Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tia Rahmania
"Terdapat kebutuhan yang mendesak unluk mengerti proses perkembangan seperti apa yang memberikan kontribusi timbulnya conduct disorder pada anak-anak. Conduct disorder sendiri adalah suatu sindrom yang dikenal pada bidang psikiatri yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja, serta memiliki karakteristik adanya suatu bentuk perilaku yang tidak mengikuti aturan-aturan dan perilaku antisosial dalam jangka waklu tertentu (Searight, Ronnek, & Abby, 2001).
Terdapat beberapa penjelasan leori mengenai agresifitas yang menjadi salah satu ciri dari anak conduct disorder. Menurut teori belajar, perilaku agresif yang tampil dipelajari anak melalui berbagai tindakan agresif yang mereka amati dari orang lain, misalnya dari orang tua, saudaranya dan teman-teman sepermainan. Selain itu, perilaku agresif ini juga dipelajari saat anak diberi perhatian dari orang dewasa. Keadaan sehari-hari yang tidak menguntungkan juga diyakini menimbulkan reaksi agzresif saat individu merasakan suatu kesulitan unluk rnendapatkan pemuasan kebutuhan atau mencapai tujuarmya (Schaefer & Millrnan, 1981). Baum (1989, dalam Wenar, 1994) melaporkan hahwa pada populasi yang mengalami conduct disorder sebanyak satu-perlima hingga satu-pertiganya mengalami masalah depresi.
Conduct disorder sendiri dapat dipengaruhi baik oleh faktor genetik maupun lingkungan. Resiko munculnya perilaku conduct disorder ini lebih besar terjadi pada anak yang orang tuanya atau saudara kandungnya mengalami antisocial personality disorder dan conduct disorder. Conduct disorder ini juga sering muncul pada anak dengan orang tua yang mengalami ketergantungan alkohol, gangguan mood, schizophrenia, ADHD dan conductdisorder (DSM-IV-TR, 2000).
Dari berbagai sumber, conduct disorder pada anak sering dikaitkan karena adanya masalah-masalah yang timbul dalam keluarga, psikoparologi pada orang tua, dan kondisi yang tidak menguntungkan dalam lingkungan (Schachar & Tannock, 1995, dalam Mash & Wolf, 1999). Hal ini menimbulkan ketertarikan untuk meneliti dinamika yang terjadi dalam keluarga dari anak yang didiagnosis memiliki masalah atau kecenderungan conduct disorder melalui gambaran pola asuh yang diterapkan orang tua.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data yang bersumber dari 5 orang anak sesuai dengan data kasus yang ada pada Klinik Anak F. Psikologi UI dari tahun 2000 - 2003.
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua pasangan orangtua pada anak-anak dengan masalah atau memiliki kecenderungan conduct disorder yang menjadi subjek dalam penelitian ini menerapkan pengasuhan yang tidak sama (inkonsisten), dimana antar orangtua sendiri tidak didapatkan kesepakatan mengenai pola asuh yang diberikan kepada anak. Pola asuh yang diterapkan kepada anak pada umumnya adalah pola asuh otoriter,
permisif dan rejecting/neglecting, dan tidak ditemukan orangtua yang menggunakan pola asuh otoritatif. Pada dimensi kontrol, seluruh subjek mendapatkan hukuman sebagai bentuk usaha orangtua untuk mendapatkan perilaku yang diharapkan, berupa bentakan-bentakan dan kata-kata kasar sampai dengan hukuman fisik mulai dari mengisolasi anak di ruangan, tidak
memperbolehkan masuk rumah hingga pukulan di badan. Tuntutan-tuntutan yang diberikan pun tidak disertai dengan pengawasan yang terus-menerus (konsisten) oleh orangtua. Ditemukan bahwa anak-anak disorder yang menjadi subjek penelilian ini kurang mendapatkan pemenuhan afeksi dari orangtuanya. Kurangnya pemberian afeksi kepada anak-anak oleh orangtua dikarenakan kesibukan orangtua dengan pekerjaannya atau dikarenakan orangtua yang
cenderung menutupi perasaannya sehingga iidak lancarnya interaksi dengan
muatan emosi antara oraugtua dan anak.
Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan data sekunder, dimana wawancara klinis tidak dilakukan langsumg oleh peneliti sehingga terdapat kemungkinan adanya data-data yang belum tergali. Selain itu, sampel yang digunakan terbatas hanya 5 subjek sehingga tidak dapat di generalisasi pada semua anak dengan masalah conduct disorder. Sehingga, untuk lebih memperkaya pengetahuan masalah conduct disorder ini, penelitian selanjutnya disarankan
dilakukan secara kuantitatif sehingga dapat dilihat seperti apa kecenderungan
pada populasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azza Maulydia
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas penerapan prinsip-prinsip Parent-Child Interaction Therapy PCIT dalam mengatasi perilaku disruptive pada anak usia 7 tahun dengan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder ADHD . PCIT digunakan untuk meningkatkan keterampilan orangtua dalam melakukan interaksi positif dengan anak dan keterampilan dalam mendisiplinkan anak. Kedua keterampilan tersebut kemudian akan meningkatkan kualitas pengasuhan orangtua, sehingga perilaku disruptive anak menurun. Perilaku disruptive diukur dengan menggunakan alat ukur Eyberg Child Behavior Inventory ECBI . Keterampilan orangtua diukur menggunakan Dyadic Parent-Child Interaction Coding System III DPICS-III . Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip PCIT efektif dalam menurunkan perilaku disruptive dari rentang klinis menjadi rentang normal pada anak usia 7 tahun dengan ADHD.

This research was conducted to see the principle implementation of Parent Child Interaction Therapy PCIT effectivity to deal with disruptive behavior in school aged child with Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD . PCIT used to increasing parents skills when interacting positively with their child and skill to dicipline their child. Both of those skills will increasing quality of their parenting, therefore disruptive behavior will reduce. To evaluate the effectiveness of the result, the study measured development of interaction between the mother and child using the Dyadic Parent Child Interaction Coding System III DPICS III and the disruptive behavior intensity using Eyberg Childhood Behavior Inventory ECBI . The result indicate that the principals used in PCIT effective to overcome disruptive behavior on 7 year old with ADHD."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T47347
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Aprilia Permata Kusumah
"Temper tantrum adalah hal yang umum ditemukan pada toddler, namun dapat dikatakan abnormal jika durasi, frekuensi, dan/atau intensitasnya berlebihan atau disertai dengan mood negatif yang menetap di antara periode tantrum. Tantrum abnormal dapat menimbulkan berbagai masalah perilaku pada anak, distress bagi orangtua, dan kualitas interaksi orangtua-anak yang buruk, yang bertahan hingga dewasa jika tidak diintervensi sejak dini. Salah satu populasi yang rentan menunjukkan tantrum abnormal adalah toddler dengan keterlambatan bicara.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diketahui bahwa Parent-Child Interaction Therapy PCIT merupakan intervensi yang terbukti efektif mengatasi berbagai perilaku disruptif-termasuk tantrum-pada anak. Oleh karena itu, penelitian single-subject ini menerapkan intervensi dengan prinsip-prinsip PCIT pada seorang toddler dengan keterlambatan bicara. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas intervensi tersebut dalam menurunkan frekuensi dan durasi perilaku tantrum pada partisipan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi yang diterapkan berhasil menurunkan frekuensi dan durasi perilaku tantrum partisipan sebesar 50 , hingga tergolong ke dalam rentang normal berdasarkan observasi harian ibu . Dilihat dari hasil pengukuran Dyadic Parent-Child Interaction Coding System-III dan Eyberg Child Behavior Inventory yang dilakukan berkala, intervensi juga menurunkan kemunculan berbagai perilaku disruptif lainnya pada partisipan dan meningkatkan kualitas interaksinya dengan ibu.

Temper tantrums are common among toddler, but could be categorized as abnormal if they are excessive in duration, frequency, and or intensity, or presented with persistent negative mood between episodes. Abnormal tantrum may cause many behavior problems in a child, distress for parents, and low quality of parent child interaction, which could last until adulthood if there is no early intervention introduced. One of many populations with high risk of abnormal tantrum is toddler with speech delay.
Based on previous studies, Parent Child Interaction Therapy PCIT was found as an effective intervention to overcome many disruptive behaviors mdash including tantrum mdash in children. Therefore, this single subject study applied an intervention with PCIT principles to a toddler with speech delay. The purpose of this study is to examine the effectiveness of said intervention in reducing frequency and duration of tantrum behavior in participant.
This study shows that the intervention applied had succeeded in reducing 50 of participant's frequency and duration of tantrum behavior, so that they are within normal range based on her mother's daily observation. Based on repeated measures of Dyadic Parent Child Interaction Coding System III and Eyberg Child Behavior Inventory, the intervention also resulted in decreased other disruptive behaviors in participant and increased interaction quality of her and her mother.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T50972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Agustina Murpratiwi
"Disruptive behavior merupakan salah satu bentuk perilaku bermasalah pada anak. Disruptive behavior perlu mendapatkan intervensi sedini mungkin agar tidak berkembang menjadi gangguan yang lebih serius. Mengingat disruptive behavior secara signifikan dipengaruhi oleh hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak akibat pola asuh yang keliru menggunakan kekerasan fisik dan agresifitas verbal maka intervensi yang dilakukan harus melibatkan orang tua untuk memperbaiki hubungan orang tua dengan anak sehingga diharapkan dapat menurunkan disruptive behavior. Parent child interaction therapy PCIT dipilih karena PCIT menyasar pada terciptanya interaksi yang hangat dan positif antara anak dan orang tua melalui aktivitas bermain serta membentuk kepatuhan dan kedisiplinan pada anak yang diharapkan sejalan dengan penurunan disruptive behavior. Dengan menggunakan single subject design, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah penerapan prinsip-prinsip PCIT efektif dalam menurunkan disruptive behavior pada seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan disruptive behavior pada anak yang dipengaruhi oleh hubungan anak dan ibu yang membaik setelah ibu mendapatkan pengetahuan mengenai keterampilan dalam berinteraksi dan mendisiplinkan anak. Ini membuktikan bahwa PCIT efektif dalam menurunkan disruptive behavior pada anak.

Disruptive behavior is one of the behavior problems in children. Disruptive behavior needs an early intervention so it doesn rsquo t develop into a serious disorder. Some disruptive behaviors are significantly influenced by bad relationships between parents and children due to false parenting usually using physical violence and verbal aggressiveness so it needs an intervention that involve parents and improve parent child relationships to reduce disruptive behavior. Parent child interaction therapy PCIT aims in creating a warm and positive interaction between child and parent through play activities. PCIT also helps parent to shape compliance and discipline in their child which expected in line with reduction of disruptive behavior. Using single subject design, this study was conducted to evaluate whether the implementation of PCIT principles was effective in reducing disruptive behavior in a 7 years old girl. The results showed reduction in child disruptive behavior affected by improved child and maternal relationships after the mother gained knowledge on skills in interacting and disciplining children. This proves that PCIT was effective in reducing child disruptive behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T51607
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Rahmawati
"ABSTRAK
Gangguan mental pada anak-anak dan remaja berkontribusi dalam beban penyakit dunia karena dampak yang ditimbulkan mencakup aspek yang luas. Di Indonesia, gangguan mental usia 15 tahun ke atas cukup tinggi dengan proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur NTT . Komunikasi orang tua-anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan perilaku anak, terutama pada anak usia 3-6 tahun ketika dimulainya perkembangan kemampuan sosial pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan emosi dan perilaku pada anak usia 3-6 tahun di Provinsi NTT dan hubungannya dengan frekuensi komunikasi orang tua-anak. Desain potong lintang analitik dilakukan terhadap 328 sampel anak usia 36-83 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 49,7 subjek mengalami gangguan emosi dan perilaku. Pada hampir setengah jumlah subjek jarang atau tidak pernah terjadi komunikasi orang tua-anak 44,2 . Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan hubungan tidak bermakna antara frekuensi komunikasi orang tua-anak dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak p=0,272 . Selain itu, didapatkan hasil yang tidak bermakna antara karakteristik subjek lainnya, yaitu faktor jenis kelamin p=0,505 , gangguan perkembangan p=0,956 , jumlah anak dalam keluarga p=0,244 , dan status ekonomi keluarga p=0,707 . Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa frekuensi komunikasi orang tua-anak tidak berhubungan secara bermakna dengan gangguan emosi dan perilaku pada anak.

ABSTRACT
Children rsquo s and adolescents rsquo mental disorder attributes to global burden of disease due to its wide impacts. In Indonesia, mental disorder of people aged 15 years old or more is high and Nusa Tenggara Timur NTT has the highest proportion. Parent child communication is one of many factors that influences the development of children rsquo s emotion and behavior, especially when they are 3 6 years old, the time whose social abilities is developing. This research aims to assess the emotional and behavioral disorder of 3 6 years old children in NTT and its association with parent child communication frequency. This analytical cross sectional study is used to 328 subjects of 3 6 years old children. The result shows that 49.7 subjects had emotional and behavioral disorder. Nearly half of the subjects had infrequently parent child communication 44.2 . Bivariate analysis using chi square test shows a nonsignificant association between parent child communication and children rsquo s emotional and behavioral disorder p 0.272 . In addition, there are nonsignificant association with other characteristics of the subjects gender p 0.505 , developmental delay p 0.956 , number of children in the family p 0.244 , and family rsquo s economic status p 0.707 . In conclusion, parent child communication frequency has nonsignificant association with emotional and behavioral disorder among 3 6 years old children in NTT."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kyana Salapani Sangadi
"Durasi screen time tinggi merupakan salah satu faktor risiko munculnya masalah perilaku pada anak usia prasekolah. Aspek yang bisa menjadi faktor protektif terhadap dampak buruk dari media adalah parental mediation. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara screen time dan masalah perilaku pada anak usia prasekolah yang dimoderasi oleh parental mediation. Partisipan merupakan 663 orang tua anak usia prasekolah yang memenuhi kriteria. Hasil menunjukkan adanya efek positif dan signifikan antara screen time dan masalah perilaku (r = 0.128, p < 0.01). Efek negatif dan signifikan ditemukan antara parental mediation terhadap masalah perilaku (r = , p < 0.01). Dimensi dari parental mediation yaitu, supervision (r = -0.25, p <0.01), activerestrictive meditation (r = -0.18, p < 0.01), dan technical restriction (r = -0.18, p < 0.01) juga memiliki hubungan yang signifikan dengan masalah perilaku. Namun, dimensi couse tidak memiliki efek signifikan terhadap masalah perilaku ( r = - 0.02, p > 0.05). Selanjutnya, parental mediation secara keseluruhan dan dimensinya tidak memoderasi secara signifikan hubungan antara durasi screen time dan masalah perilaku (p > 0.05). Penemuan dari riset ini dapat digunakan sebagai pertimbangan pembuatan panduan durasi screen time dan pengembangan strategi untuk memitigasi efek negatif dari screen time.

High screen time duration can be considered as a risk factor for the emergence of problem behaviors in preschool-aged children. One aspect that may serve as a protective factor against the negative effects of scree time is parental mediation. The aim of this research is to examine the moderating effect of parental mediation on screen time and behavior problems will also be studied in this study. Based on the results of this study, it was found that there was a positive and significant effect between screen time and behavioral problems (r = 0.128, p < 0.01). Furthermore, a negative and significant effect was found between parental mediation and problem behavior (r = -0.18, p < 0.01). Different dimensions of parental mediaiton such as supervision (r = -0.25, p <0.01), active- restrictive meditation (r = -0.18, p < 0.01), technical restriction (r = -0.18, p < 0.01) was also found to correlate negatively with problem behavior. However, co-use did not have a significant effect on behavior problems (r = -0.18, p < 0.01). There was also no significant moderating effect of parental mediation and its dimensions on the relationship between screen time and behavior problems (p > 0.05). The findings of this research can considered for creating guidelines regarding screen time duration as well as developing strategies to mitigate the negative effects of screen time."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Ijime yang terjadi di lingkungan sekolah Jepang muncul dan berlangsung di dalam kelompok pertemanan anak. Dengan menggunakan konsep amae sebagai bagian dari kebudayaan Jepang, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami makna Ijime dalam kelompok pertemanan anak Jepang dewasa ini. Hal ini dilakukan dengan menganalisis sejumlah data mengenai kasus-kasus Ijime yang terjadi di lingkungan sekolah dasar di Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa Ijime yang terjadi dalam kelompok pertemanan sebenarnya bertujuan untuk menjaga keutuhan kelompok. Rasa kebersamaan dan rasa kesatuan para anggota kelompok untuk menjaga keutuhan kelompok merupakan unsur dari amae yang menunjukkan nilai budaya masyarakat Jepang. Amae berperan menunjukkan kesadaran berkelompok pada diri anak. Ijime kelompok pertemanan anak yang didasari amae menunjukkan keinginan untuk melestarikan kehidupan kelompok melalui tindakan kebersamaan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada pada teman-temannya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S13716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Apriyanti Setianingsih
"

Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit sistem saraf yang terjadi karena kerusakan atau kematian sel saraf yang mengandung dopamin di bagian otak yang berfungsi mengkoordinasikan kerja sistem motorik. Terdapat gejala motorik dan gejala non-motorik yang muncul pada penyakit Parkinson. Salah satu gejala non-motorik yang muncul, yaitu Impulse-Control Disorder (ICD). Pada penyakit Parkinson terdapat 4 symptoms utama ICD yang sering terjadi, yaitu pathological gambling, binge-eating, compulsive buying, dan compulsive sexual behavior. Kejadian ICD kerap kali ditemukan ketika pengobatan penyakit Parkinson dimulai, sehingga pada penelitian ini difokuskan pada kejadian ICD sebagai akibat pengobatan penyakit Parkinson. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko dari jenis maupun banyaknya ICD symptoms yang muncul pada penderita penyakit Parkinson. Metode decision tree digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian ICD pada penderita Penyakit Parkinson. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total skor STAI-Trait merupakan faktor risiko yang selalu muncul untuk setiap jenis maupun banyaknya ICD symptoms yang muncul. Selain itu, faktor risiko yang hanya muncul di beberapa symptom tertentu adalah lamanya pendidikan yang ditempuh, total skor STAI­-State, usia, lamanya mengidap penyakit Parkinson, total skor SCOPA-AUT, total skor MOCA, dan total skor MDS-UPDRS 3. Sementara faktor risiko yang hanya muncul untuk suatu symptom tertentu adalah histori keluarga mengidap penyakit Parkinson, rasio pengikat DAT, dan pengobatan Dopamine Agonist.


Parkinson's disease is one of motoric neurodegenerative disorders that occurs due to damage or death of cells that contain dopamine in a part of the brain that functions to coordinate the work of the motor system. There are several motor symptoms and non-motor symptoms that occur in Parkinson's disease. One of the non-motor symptoms that occur is Impulse-Control Disorder (ICD). In Parkinson's disease, there are 4 main symptoms of ICD that often occur such as pathological gambling, binge-eating, compulsive buying, and compulsive sexual behavior. ICD are often discovered when the treatment of Parkinson's disease begins, so this research focused on the incidence of ICD as a result of the treatment of Parkinson's disease. The purpose of this study is to identify risk factors for the type and number of ICD symptoms that occur in patients with Parkinson's disease. Decision tree method is used to identify risk factors associated with the incidence of ICD for patients with Parkinson's disease. The results obtained show that the total STAI-Trait score is a risk factor that always appears for each type and number of ICD symptoms that occur in patients with Parkinson's disease. Moreover, risk factors that only appear in certain symptoms are the length of education taken, STAI-State total score, age, duration of Parkinson's disease, SCOPA-AUT total score, total MOCA score, and MDS-UPDRS 3 total score. While risk factors that only appear for a particular symptom are family history of Parkinson's disease, DAT binding ratio, and dopamine agonist treatment.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Siti Zahra
"Latar belakang: Hemofilia merupakan penyakit kronis yang dapat memengaruhi aspek psikososial penderitanya. Gangguan psikososial yang mungkin dialami adalah gangguan tidur serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk menilai gangguan tidur, gangguan emosi dan perilaku, dan hubungan keduanya pada pasien anak dengan Hemofilia.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien anak dengan hemofilia di poli hematologi anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2022-Januari 2023. Penilaian gangguan tidur dilakukan melalui kuesioner the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) berbahasa Indonesia. sedangkan gangguan emosi dan perilaku dinilai berdasarkan kuesioner Pediatric Symptom Checklist-17 (PSC-17) berbahasa Indonesia, Analisis hubungan antara keduanya dinilai melalui uji Fisher.
Hasil: Terdapat 43 pasien anak laki-laki dengan hemofilia dalam periode penelitian. Gangguan tidur terdapat pada 19/43 (44,2%). Gangguan emosi dan perilaku terdapat 5/43 (11,6%). Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi perilaku menunjukkan nilai p sebesar 0,387 (Hasil uji Fisher).
Kesimpulan: Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi dan perilaku pada pasien anak dengan hemofilia tidak dapat disimpulkan.

Introduction: Hemophilia is a chronic disease that can affect the psychosocial aspects of sufferers. Psychosocial disorders that may be experienced are sleep disturbances and so emotional and behavioral disorders. This study aims to assess sleep disturbances, emotional and behavioral disorders, and the relationship between the two in pediatric patients with Hemophilia.
Method: This cross-sectional study involved pediatric patients with hemophilia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Assessment of sleep disturbances was carried out through the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaire, while emotional and behavioral disorders were assessed using the Pediatric Symptom Checklist-17 questionnaire (PSC-17). Those questionnaires had already validated in Indonesian. The analysis of the relationship between the two was assessed through Fisher's test.
Result: There were 43 male pediatric patients with hemophilia in this study. It showed that 19/43 (44.2%) of pediatric patients with hemophilia experienced sleep disturbances. In addition, there were 5/43 (11.6%) of patients who had emotional and behavioral disorders. Fisher's test results showed p value=0.387.
Conclusion: Thus, the relationship between sleep disturbances and emotional and behavioral disturbances in pediatric patients with hemophilia can not be concluded.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Made Puspita Sari
"Pola asuh merupakan rangkaian interaksi intensif yang melibatkan orang tua dan anak. Sibling relationship adalah interaksi antar dua individu maupun lebih yang memiliki hubungan secara biologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua terhadap sibling relationship dengan anak penyandang Autisme Spectrum Disorder (ASD).
Penelitian ini menggunakan pendekatan potong silang pada 107 responden dipilih melalui teknik purposive sampling. Peneliti melihat pola asuh orang tua menggunakan kuesioner Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) dan sibling relationship menggunakan kuesioner Sibling Relationship Questionnaire (SRQ).
Hasil penelitian menunjukkan 77,78% ibu yang menerapkan pola asuh demokratis memfasilitasi sibling relationship bersifat positif dan 74,28% ayah yang menerapkan pola asuh demokratis memfasilitasi sibling relationship bersifat negatif. Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh responden dengan sibling relationship (p>0,05; α=0,05). Penelitian selanjutnya dapat dilakukan observasi dan wawancara langsung kepada sibling serta memperluas lokasi penelitian untuk lebih menggambarkan populasi penelitian.

Parenting is an intensive interaction involving parents and children. Sibling relationship is the interaction between two or more individuals who have a biological relationship. The aim of this research was to identify the relation between parenting style of sibling relationship with Autism Spectrum Disorder (ASD).
This research used cross-sectional on 107 respondents was involved with purposive sampling technique. Researcher used Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) to study parenting style and Sibling Relationship Questionnaire (SRQ) to measure sibling relationship.
The result showed that 77,78% mother applying authoritative facilitate sibling relationship is positive and 74,28% applying authoritative facilitate sibling relationship is negative. Bivariate analysis result showed that there was no relation between parenting style of sibling relationship with Autism Spectrum Disorder (p>0,05; α=0,05). It is recommended that research should conduct observation and interview are more appropriate toward sibling. Beside, the future research can increasing the number of respondents will benefit the future research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>