Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118803 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Telah dilakukan penelitian tentang kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan penyakit dalam Instalasi Rawat Inap B Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, periode Mei-Juli 2005 untuk mengetahui proporsi kejadian, manifestasi klinik yang sering terjadi dan obat yang sering menyebabkannya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain
studi potong lintang (cross-sectional) dan untuk penilaian kausalitas ROTD digunakan algoritma Naranjo. Total pasien yang ikut serta dalam penelitian ini berjumlah 102 orang. Diperoleh proporsi kejadian ROTD yang menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan penyakit dalam Instalasi Rawat Inap B Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 14,7% (interval kepercayaan 95%: 11,2-18,2%). Satu dari 15 ROTD yang terjadi dikategorikan pasti (definite) dan 14
kejadian dikategorikan besar kemungkinan (probable). Manifestasi klinik terbesar adalah perdarahan saluran cerna dan penurunan kesadaran karena hipoglikemi. Obat yang sering menyebabkan pasien dirawat karena ROTD tersebut adalah obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) dan obat hipoglikemi oral.

Abstract
Objectives. To determine the prevalence of adverse drug reaction related hospital admissions in geriatric patients, to describe the most frequent clinical manifestations and the drugs responsible to adverse drug reaction related hospital admissions.
Design. Observational cross-sectional study.
Methods. Naranjo algorithm used to assess the adverse drug reaction causality.Subjects and setting. Geriatric patients admitted to geriatric inpatient installation of Cipto Mangunkusumo general hospital over one month period and assessed for cause of admissions.
Results. 14,7% of 102 admissions were identified to be adverse drug reaction related hospital admissions. One adverse drug reaction was categorized as definite and 14 were probable causality. Gastrointestinal bleeding and hypoglicemia were the most common clinical manifestation found. The drugs most frequent responsible for these adverse drug reactions were nonsteroidal antiinflamatory drugs and oral antidiabetic drugs. Conclusion. Adverse drug reactions are an important cause of hospital admission in geriatric patients."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nora Wulandari
"Pengobatan pada pasien lansia sangat kompleks karena biasanya bersifat multipatologi sehingga menyebabkan peningkatan jumlah obat yang digunakan (polifarmasi) untuk kondisi klinis yang berbeda-beda. Terdapatnya hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemia menyebabkan pengobatan yang berpotensi menimbulkan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), karena umumnya pengobatan pada pasien dengan hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemia bersifat jangka panjang dengan menggunakan beberapa jenis obat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh umur lansia terhadap kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki pada pasien dengan hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemia di Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Tanah Baru, dan Puskesmas Beji kota Depok. Penelitian menggunakan rancangan kohort prospektif. Sampel penelitian terdiri dari 62 pasien lansia sebagai kelompok kohort dan 62 pasien non lansia sebagai kelompok kontrol. Pengambilan sampel dilakukan selama Januari-Juni 2014. Sampel dimonitoring keadaannya setiap minggu selama satu bulan. Manifestasi klinik ROTD merupakan hasil evaluasi terhadap keluhan-keluhan yang dialami pasien yang dievaluasi menggunakan skala Naranjo. Manifestasi klinik ROTD yang didapat pada kedua kelompok dianalisis menggunakan uji kaikuadrat dan uji regresi logistik. Pasien dengan hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemia yang mengalami kejadian ROTD 30,6% dengan frekuensi kejadian 39 kali, presentase terbesar adalah batuk kering karena kaptopril (56,3%), dan tingkat keparahan manifestasi klinik ROTD yang terjadi pada mayoritas (53,8%) pasien tersebut adalah level 2 (mild/sedang). Risiko umur lansia 3,577 kali lebih besar untuk terjadinya ROTD.

Treatment in elderly patients is very complex, because it is usually multiphatology thus causing an increase in number of drugs used (polypharmacy) for every clinical conditions. The presence of hypertension, diabetes and/or dyslipidemia will increase the risk of cause Adverse Drug Reaction (ADR) because of polypharmacy and long term of treatment. This study aimed to assess the effect of elderly age on the incidence of ADR in patients with hypertension, diabetes and/or dyslipidemia at Puskesmas Pancoran Mas, Beji, and Tanah Baru Depok. The design of the study is cohort study. The Sampling was conducted at January- June 2014. 62 elderly patients was collected as a risk factor group and 62 non- elderly patients as a control group. Sample was monitored every weeks in a month. Clinical Manifestation of ADR event was an evaluation result of the recording complaints experienced by the sampel using Naranjo scale. Clinical manifestation of ADR events obtained in the both group were analyzed using Chi- Square and Logistic Regression test. Patient with hypertension, diabetes and/or dyslipidemia experienced ADR event 30,6% with a frequency of accurrence was 39 times. Dry cough because of captopril (56,3%) was the most common clinical manifestation found, while severity level clinical manifestation ADR which occured in most of patient (53,8%) was at level 2 (mild). The risk of elderly age was 3,577 times greater for ADR event.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
T42976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Usman Sumo Friend
"ABSTRAK
Salah satu jenis obat yang digunakan untuk pengobatan ketidak normalan "neuromuscular system" adalah kelompok antireumatik, analgesik, dan antiinflamasi nonsteroid (AINS). ,jenis AINS yang banyak digunakan adalah turunan asam 2-aril atau alkilpropionat yang kemungkinan masih ada dipasarkan dalam bentuk campuran rasemat. Aktivitas biologis, toksisitas, disposisi obat serta metabolisme dapat berbeda jika stereokimia senyawaan obat tersebut berbeda.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimasikan proses produksi lipase dengan melakukan pengembangan galur dengan teknik mutasi. Proses mutasi dilakukan secara kimia menggunakan n-metil-N-nitro-N-nitrosoguanidin (NTG) dengan dosis 1100 s/d 1200 µglmL dengan waktu kontak 5,6 dan 7 jam. Seleksi mutan dilakukan secara acak, selanjutnya dengan cara selektif menggunakan media Spirit Blue Agar (SEA). Isolat atau mutan potensial diuji aktivitas biotransformasinya dengan menggunakan substrat (R-S)-metilibuprofen pada media standar. Selain itu stabilitas mutanlisolat A. niger UICC 159 As-4 ; As-6 ; As-14 dan R. stolonifer UICC 137 Rs-6. Selanjutnya dipilih galur terbaik untuk produksi lipase, karakterisasi lipase serta kemampuannya memisahkan/meresolusi (R,S)-metil ibuprofen.
Empat isolat yang diisolasi menunjukkan aktivitas lipolitik lebih baik dari tetuanya, yaitu Aspergillus niger UICC 159 As-5, As-6 dan As-14 dan Rhizopus stolonifer UICC 137 Rs-6. Isolat Aspergillus niger UICC 159 As-5 menunjukkan aktivitas biotransformasi 75,50% (rendemen) dan % e.e 89.60%. Hasil ini relatif lebih baik jika dibandingkan dengan tetua maupun isolat lain yang diisolasi. Keempat isolate/mutan A. niger UICC 159 AS-4 ; As-6 ; As-14 dan R. stolon fer UICC 137 Rs-6 relatif stabil pada suhu penyimpanan 2-3°C dan 30°C hingga generasi ke-5. Lipase A. niger UICC 159 As-6 memiliki aktivitas lipolitik relatif lebih besar dari lipase mutan/isolat lain. Aktivitas lipolitik dan aktivitas spesifik lipase A. niger UICC 159-6 adalah 15,25 ± 0,35 unit dan 20,35 ± 0,25 unit/mg protein dan fraksi 30-60% memiliki aktivitas spesifik 47,70 ± 0,30 p./mg protein. Karakteristik lipase: Km = 12,5 mg/mL; Vmaks = 15,15 Vmol/mmol; pH optimum = 7 dan suhu optimum 37°C (RS)-metil ibuprofen menghasilkan isruh (S) dengan ee = 96,24%. "
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mochamad Farid Bachtiar
"Latar belakang: Prevalensi adverse drug reaction (ADR) pada pasien tuberkulosis (TB) sensitif obat yang mendapat pengobatan antituberkulosis fase intensif cukup tinggi. ADR dapat mempengaruhi pengobatan pasien TB dan jika tidak ditangani dengan tepat, dapat menyebabkan komplikasi serius yang mengancam jiwa. Komplikasi gastrointestinal (GI) dan peningkatan fungsi liver merupakan ADR yang paling umum dijumpai pada pasien TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan faktor risiko komplikasi GI serta peningkatan fungsi liver berupa peningkatan enzm GGT, AST, ALT pada pasien TB sensitif obat yang menerima pengobatan antituberkulosis fase intensif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional terhadap 110 subjek yang menjalani pengobatan TB fase intensif. Subjek akan dilakukan evaluasi gejala mual, muntah, penilaian status gizi serta pemeriksaan laboratorium serial yaitu darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah, albumin, fungsi hati dan ginjal sebelum memulai pengobatan, serta hari ke-7 dan ke-14 pengobatan.
Hasil: Komplikasi GI terjadi pada 40,9% pasien TB dengan pengobatan TB fase intensif, dengan gejala terbanyak merupakan mual dan muntah. Peningkatan enzim gamma glutamyl transferase (GGT) terjadi pada 60% populasi sedangkan peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) terjadi pada 17,3% populasi. Di antara pasien TB yang menjalani pengobatan fase intensif, 57,3% mengalami underweight. Namun, penelitian ini menemukan adanya hubungan antara kejadian komplikasi gastro intestinal (GI) dengan overweight (p=0.021; OR= 11.428). Selain itu, peningkatan fungsi liver juga ditemukan berhubungan dengan usia yang lebih tua (p= 0,041).
Kesimpulan: Proporsi peningkatan fungsi liver dan komplikasi GI pada pasien yang menerima pengobatan antituberkulosis fase intensif cukup tinggi, dengan mual dan muntah menjadi gejala yang paling umum. Overweight berhubungan dengan terjadinya komplikasi GI, sedangkan usia lebih tua berhubungan dengan peningkatan fungsi liver. Diperlukan studi prospektif dengan durasi yang lebih lama untuk menilai efek GI dan peningkatan fungsi liver mulai dari munculnya gejala hingga perbaikan fungsi liver..

Background: The prevalence of adverse drug reaction (ADR) in tuberculosis (TB) patient receiving intensive phase antituberculosis treatment is high. ADR can affect the treatment of TB patients and if not treated appropriately, can cause serious, life-threatening complications. Gastrointestinal (GI) and increasing of liver function are two of the most common ADR in TB patients. This research aims to provide the proportion and risk factors of GI and increasing of liver function marked by increase level of GGT, AST, ALT in drug sensitive TB patients receiving intensive phase antituberculosis treatment.
Method: This study is a cross sectional study of 110 subjects who underwent intensive phase TB treatment. Subjects will be evaluated regarding the nausea, vomiting, nutritional status assessment and undergo serial laboratory test evaluation i.e. complete peripheral blood, electrolytes, blood sugar, albumin, liver and renal function before treatment, and also 7th and 14th day of treatment.
Results: GI complications occurred in 40.9% TB patients in intensive phase TB treatment, the most common symptoms were nausea and vomiting. Increasing of GGT enzyme occur in 60% of the population, while increase in ALT and AST occured in 17,3% of the population. Among the TB patients in intensive phase TB treatment, 57,3% were underweight. However, this study found an association between GI complication occurrence with overweight (p=0.021; OR= 11.428). In addition, increasing of liver enzymes was also found to be associated with older age (p= 0.041).
Conclusion: The proportion of improved liver function and GI complications in patients receiving intensive phase antituberculosis treatment is high, with nausea and vomiting being the most common symptoms. Being overweight is associated with GI complication occurrence, where as older age is associated with increased liver function. The prospective studies with a longer duration is needed to assess GI effect and improvement in liver function from the first appearence of symptoms until the improvement of the liver function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Windiastuti
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu kegiatan pelayanan farmasi klinik untuk memastikan terapi obat yang digunakan aman, efektif dan rasional yang mencakup pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki dan rekomendasi perubahan terapi. Masalah yang sering timbul dalam pengobatan terkait dengan pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak tepat, adanya interaksi antara 1 obat dengan obat lainnya atau pemberian dosis yang kurang tepat. Analisis DRP (Drug Related Problem) menggunakan metode PCNE (Pharmaceutical Care Network Europe) dan kemudian merekomendasikan penyelesaian DRP kepada DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan). Pemantauan terapi obat (PTO) dilakukan pada pasien Tn.D.L., umur 78 tahun, berat badan 66 kg dan tinggi badan 165 cm. Pasien didiagonis CVD infark, sepsis ec pneumonia, HHD, Riwayat MRSA, DM tipe 2 dan hipoalbumin. Hasil SOAPI didapatkan pasien menerima obat klopidogrel dan lansoprazole yang digunakan secara bersamaan. Dari penelusuran melalui Micromedex, terdapat interaksi major obat antara klopidogrel dan lansoprazol yang jika digunakan bersamaan akan mengurangi aktivitas antiplatelet dari klopidogrel yang akan berpengaruh dalam pengobatan infark pasien. Serta ditemukannya penggunaan antibiotik meropenem dengan dosis 3x2 g melebihi dosis yang dianjurkan yaitu 1g/8jam. Rekomendasi penyelesaian yang disarankan yaitu penggunaan antiplatelet klopidogrel dan lansoprazol diberi jeda satu sama lain dan meropenem tetap diberikan pada pasien dengan dosis tinggi dengan pertimbangan MIC ≥ 16.

Drug Therapy Monitoring is a clinical pharmacy service activity to ensure that drug therapy is used safely, effectively and rationally including assessing drug selection, dosage, method of drug administration, therapeutic response, unwanted drug reactions and recommendations for therapy changes. Problems that often arise in treatment are related to the administration of drugs that are contraindicated with the patient's condition, inappropriate drug administration, interactions and inaccurate dosage. DRP (Drug Related Problem) analysis uses the PCNE (Pharmaceutical Care Network Europe) method and then recommends DRP to the Doctor. Drug therapy monitoring was carried out on the patient Tn.D.L., aged 78 years, body weight of 66 kg and a height of 165 cm. The patient was diagnosed with CVD infarction, sepsis ec pneumonia, HHD, history of MRSA, type 2 DM and hypoalbumin. SOAPI results showed that the patient received clopidogrel and lansoprazole that were used simultaneously. From Micromedex, there is a major drug interaction between clopidogrel and lansoprazole which would reduce the antiplatelet activity of clopidogrel which will affect the treatment of patient infarction. As well as the discovery of the use of the antibiotic meropenem at a dose of 3x2 g exceeding the recommended dose of 1g/8 hours. The recommendation solution is that the use of antiplatelet clopidogrel and lansoprazole is given a break from each other and meropenem is still given to patients with high doses with consideration of MIC ≥ 16.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avini Risda Khaerani
"Pasien pediatri merupakan kelompok yang rentan akan terjadinya Efek Samping Obat (ESO), dikarenakan perbedaan farmakokinetika, farmakodinamika, dan kematangan sistem tubuh yang berbeda dengan pasien dewasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ESO antimikroba yang terjadi pada pasien pediatri COVID-19 dengan menggunakan metode trigger tool dimodifikasi dan algoritma Naranjo dan mengetahui antimikroba penyebab ESO. Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dideteksi dengan trigger tool yang dimodifikasi dan analisis kausalitas dianalisis dengan algoritma Naranjo. Studi cross-sectional ini dilakukan pada pasien pediatri yang dirujuk pada unit rawat inap RSUD Pasar Minggu dari Agustus 2020 hingga Juli 2021. Dari 120 pasien, didapatkan 119 pasien mengalami 389 kasus ESO dengan tingkat probabilitas sebesar 67,7% kasus possible dan 6,1% probable. ESO yang paling banyak ditemukan adalah ulser (84,2%), hipersensitivitas (39,2%), dan mual (27,5%). Obat yang diduga sebagai penyebabnya adalah seftriakson dan azitromisin. Kemampuan trigger tool dan naranjo untuk mendeteksi ESO ditunjukkan dengan Positive Predictive Value (PPV) berada pada rentang 0 hingga 1. Metode trigger tool yang dimodifikasi dan algoritma Naranjo dapat digunakan untuk mendeteksi ESO yang terjadi pada pasien pediatri. Seftriakson dan azitromisin adalah antimikroba dengan penyebab ESO tertinggi pada pasien pediatri COVID-19 dari hasil penelitian ini.

The pediatric population is vulnerable to ADRs due to the different pharmacokinetics, pharmacodynamics, and maturity of pediatric body systems compared to adults. The purposes of this study were to analyze antimicrobial ADRs in pediatric COVID-19 patients using a modified trigger tool and Naranjo algorithm and to determine the antimicrobials most associated with ADRs. Adverse Effects (AEs) were detected using a modified trigger tool, and causality assessment was analyzed using the Naranjo algorithm. This cross-sectional study was performed on pediatric patients with COVID-19 admitted to Pasar Minggu District Hospital from August 2020 until July 2021. A total of 120 patients, 119 patients were observed with 389 ADRs. According to the Naranjo scale, probable cases were 6,1%, and possible cases were 67,7%. The most common ADRs in pediatric patients are ulcer (84,2%), hypersensitivity (39,2%), and nausea (27,5%). The effectiveness of the modified trigger tool and Naranjo algorithms at detecting ADRs were calculated with Positive Predictive Value (PPV), ranging from 0 to 1. Modified trigger tool and Naranjo algorithm are applicable for ADRs detection in pediatric patients. Based on this study results, Ceftriaxone and azithromycin are the most common antibiotics associated with ADRs in pediatric COVID-19 patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irsalina Nurul Putri
"ABSTRAK
Reaksi obat tidak dikehendaki (ROTD) adalah salah satu masalah kesehatan di masyarakat yang terjadi terutama pada populasi anak.  ROTD pada anak dapat memiliki efek yang relatif lebih parah bila dibandingkan dengan orang dewasa. Penggunaan obat off-label merupakan faktor risiko terjadinya ROTD pada anak. Penelitian tentang penggunaan obat off-label sudah dilakukan di beberapa tempat di Indonesia tetapi sebagian besar hanya sebatas persentase penggunaan obat off-label tetapi tidak diketahui lebih lanjut tentang pengaruhnya terhadap munculnya ROTD. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi penggunaan obat off-label dan on-label sebagai faktor risiko terjadinya reaksi obat tidak dikehendaki pada pasien pediatri di ruang rawat Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.  Penelitian ini merupakan penelitian studi kohor yang membandingkan reaksi obat tidak dikehendaki antara peresepan secara ­on-label  dan off-label selama masa rawat pasien. Studi ini meneliti 130 pasien dengan jumlah penggunaan obat sebanyak 549 obat selama 4 bulan masa penelitian. Sebanyak 141 obat digunakan secara off-label dan 408 obat digunakan secara on-label. Pemberian obat off-label memiliki risiko untuk terjadinya ROTD 5,787 (Relative Risk=5,787; 95% Confidence Interval 1,072- 31,256) atau 5 kali lebih besar dibandingkan dengan pemberian obat on label. Peneitian ini mengindikasikan bahwa pemberian obat off-label merupakan faktor risiko terjadinya reaksi obat tidak dikehendaki. Variabel perancu yang berhubungan bermakna dengan kejadian ROTD adalah variabel umur (p< 0,05).

ABSTRACT
Adverse drug reaction (ADR) is  one of the health problems in the community that occurs mainly in the pediatric population. ADR in children can have a relatively more severe effect compared to adults. The use of off-label drugs is a risk factor for ADR in children. Research on off-label drug use has been carried out in several places in Indonesia, but most are only limited to the percentage of off-label drug use, but it is not known more about its effect on the emergence of ROTD. The purpose of this study was to evaluate the use of off-label and on-label drugs as risk factors for adverse drug reactions in pediatric patients in the ward room at the RSUP Fatmawati. This study is a cohort study that compares adverse drug reactions between on-label and off-label prescriptions during the patient's care period. The study examined 130 patients with a total drug use of 549 during the 4 months of the study, 141 drugs are used off-label and 408 drugs are used on-label. Patients who received an off-label drug has a risk for ADR 5,787 (Relative Risk = 5,787; 95% Confidence Interval 1,072-31,256) or 5 times higher than patients who received the drug on label. This research indicates that giving off-label drugs is a risk factor for adverse drug reactions. Confounding variables that are significantly related to the incidence of ADR are age variables (p <0.05).

 

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T51804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyanto Utomo
"Obat merupakan salah satu sumber daya penting yang diperlukan dalam upaya pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Pengadaan obat oleh pemerintah jumlahnya terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah perencanaan, pengelolaan obat yang baik dan yang lebih penting adalah penggunaannya harus rasional.
Penggunaan obat yang tidak rasional akan berdampak buruk pada sisi ekononni (pemborosan sumber daya), pada sisi medik (efek samping, resistensi dan penyakit iatrogenik), dan pada sisi psikososial di masyarakat yaitu ketergantungan masyarakat pada obat tertentu (injeksi).
Berbagai upaya untuk mengurangi penggunaan obat tidak rasional telah dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Kesehatan IV yang disponsori oleh Bank Dunia di 5 Provinsi termasuk Provinsi Kalimantan Barat yang dimulai pada tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun anggaran 1999/2000, diantaranya adalah Pelatihan Penggunaan Obat Rasional pada dokter dan paramedis di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas se Kabupaten Sambas Kalimantan Barat tahun 1999 menggunakan 3 indikator peresepan obat yaitu; 1)% peresepan antibiotik, 2)% peresepan injeksi dan 3)polifarmasi. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional juga dilihat.
Total sampel dalam penelitian ini adalah 423 resep yang berasal dari semua Puskesmas di Kabupaten Sambas yang berjumlah 29 buah yang diambil dengan menggunakan stratified proportional random sampling method dari resep yang ditulis oleh 30 tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan pengobatan. Penefitian ini menggunakan disain penelitian potong lintang dan dilaksanakan selama 1 bulan (Desember 1999),
Sebagai variabel terikat adalah penggunaan obat tidak rasional dengan 3 indikator peresepan tersebut di atas; sebagai variabel babas adalah Karakteristik individu tenaga kesehatan (jenis tenaga, masa kerja, penetapan diagnosis, -sikap terhadap Pedoman Pengobatan, sikap terhadap penggunaan obat rasional dan sikap terhadap manajemen obat), dan Karakteristik lingkungan (Karakteristik pasien/pengantarnya meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat pengetahuan pada antibiotik dan injeksi, serta tingkat motivasi untuk suntik), tingkat kecukupan obat, manajemen obat dan jumlah kunjungan poliklinik Puskesmas per hari.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi penggunaan obat tidak rasional adalah 46,6%. Pelayanan pengobatan 65,7% dilakukan oleh perawat/bidan.
Dari analisis bivariat diketahui beberapa variabel yang secara bermakna (p<0,05) berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (p-0,000), 2)masa kerja (p-0,000), 3)sikap terhadap Pedoman Pengobatan (p =0,007), 4)sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,001), 5)umur c 44 tahun (p-0,401), 6)motivasi untuk suntik (p-O,021), 7)tingkat kecukupan obat (p=0,007) dan 8)jumlah kunjungan poliklinik per hall (p=0,023),
Pada analisis multivariat dihasilkan 5 variabel dominan dan 3 variabel interaksi yang bermakna (Likelihood Ratio Test p-X2=0,0000 di-8) secara bersama-sama berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan), 2)jumlah kunjungan poliklinik per hail (sedikit), 3)Tingkat kecukupan obat (cukup), 4)umur (5 44 tahun), 5)sikap terhadap Pedomam Pengobatan (negatif), .6)interaksi jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan)*jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit), 7)interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*tingkat kecukupan obat (cukup) dan 8)interaksi-interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*umur (S 44 tahun).
Rekomendasi dari penelitian ini adalah legislasi tenaga paramedis dalam melakukan upaya pengobatan dasar di Puskesmas, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan paramedis di bidang upaya pengobatan melalui pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan, penyusunan Pedoman Pengobatan yang bersifat lokal yang melibatkan seluruh dokter Puskesmas dengan melakukan penyesuaian (adjusting) Pedoman Pengobatan dari Depatemen Kesehatan, meningkatkan peran dokter dalam supervisi dan sebagai pelatih di bidang upaya pengobatan terhadap paramedis, pendidikan kesehatan masyarakat untuk mengurangi penggunaan injeksi dan memperbaiki perencanaan kebutuhan obat dengan menggunakan metode epidemiologi di samping metode konsumsi yang selama ini dipakai dengan peningkatan kemampuan perencana di Kabupaten melalui pelatihan di bidang perencanaan, penelitian lanjutan dengan melihat indikator penggunaan obat tidak rasional lain yang belum diteliti, dan yang lebih penting adalah komitmen yang tinggi dari Kepala Dinas Kesehatan Dati II Sambas untuk meningkatkan penggunaan obat rasional dengan cara memperbaiki pola peresepan obat di Puskesmas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pernanda Selpia S.
"Latar Belakang. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang banyak terjadi pada usia reproduktif. Kehamilan pada LES adalah kehamilan risiko tinggi dengan kemungkinan luaran kehamilan buruk pada maternal dan fetal/neonatal. Belum ada data dalam 5 tahun terakhir di RSCM mengenai proporsi luaran kehamilan buruk tersebut.
Tujuan. Mengetahui proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang berhubungan
Metode. Dilakukan studi cohort retrospective melalui telaah rekam medis pada pasien LES mulai 1 Januari 2015-Mei 2021. Dilakukan analisis bivariat dengan chi square untuk variabel kategorik. Variabel yang bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Dari 173 subjek dengan 150 kehamilan, didapatkan luaran kehamilan buruk maternal sebanyak 47,4% (flare 43,3%, preeklamsia/eklamsia 12,1%, kematian maternal 3,6%). Luaran kehamilan buruk fetal/neonatal 65,3% (kelahiran prematur 31,2%, BBLR 32%, still birth 8,1%, SGA 34%, IUGR 16,2%, abortus 19,5%). Berdasarkan analisis multivariat terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan kejadian luaran kehamilan buruk maternal yaitu aktivitas LES tinggi OR: 2,25 (IK95% [1,199-4,225], p=0,012) dan hipertensi OR 3,007 (IK95% [1,425-6,341), p=0,004). Sedangkan hasil analisis multivariat pada luaran kehamilan buruk fetal/neonatal, ditemukan aktivitas LES tinggi OR: 2,40 (IK95% [1,041-5,534], p=0,040) dan hipertensi OR: 5,988 (IK95% [1,640-21,870], p=0,007) berhubungan dengan kejadian luaean kehamilan buruk fetal/neonatal.
Kesimpulan. Proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo cukup tinggi. Aktivitas LES tinggi dan hipertensi merupakan faktor yang berhubungan dengan luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal.

Background. Systemic Lupus Eritematosus is a chronic systemic inflamatory disease found in reproductive age. Pregnancy in SLE patients is a high risk pregnancy mainly with the possibility of adverse outcome in maternal and fetal/neonatal. There is no data in last 5 years about proportion of adverse pregnancy outcome at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Aim. To determine proportions of adverse pregnancy outcomes of maternal and fetal/neonatal in Systemic Lupus Eritematosus patients at Cipto Mangunkusumo Hospital and it’s related factors.
Method. A retrospective cohort study was done through medical records study in medical record installation at SLE Patient from 1 January 2015 to Mei 2021. Bivariate analysis was done with chi square for categorical variable. Statistically significant variable then analyzed with multivariate analysis with logistic regression analysis. Bivariat and Multivariate analysis was done using SPSS.
Result. Of the 173 subjects with 150 pregnancies, the maternal outcome was 47.4% (43.3% flare, 12.1% preeclampsia/eclampsia, 3.6%). Fetal/neonatal poor pregnancy outcome was 65.3% (31.2% premature birth, 32% LBW, 8.1% still birth, 34% SGA, 16.2% IUGR, 19.5% abortion). Based on multivariate analysis, there were 2 factors associated with maternal adverse pregnancy outcomes, namely high LES activity OR: 2.25 (CI 95% [1.199-4.225], P = 0.012) and hypertension OR 3.007 (CI 95% [1.425-6.341), p =0.004). Meanwhile, the results of multivariate analysis on the outcome of poor fetal/neonatal pregnancy, found high LES activity OR: 2.40 (CI 95% [1.041-5.534], P=0.040) and hypertension OR: 5.988 (CI 95% [1.640-21.870], p= 0.007) associated with fetal/neonatal pregnancy outcome.
Conclusion. The proportion of maternal and fetal/neonatal adverse pregnancy outcomes in SLE patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital is quite high. High SLE disease activity and hypertension are factors associated with poor maternal and fetal/neonatal outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>