Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12072 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Klopidogrel adalah obat anti-platelet yang banyak digunakan pada penyandang kardiovaskular (CV) aterosklerosis. Walaupun awalnya dianggap aman, sejumlah studi melaporkan bahwa penggunaan klopidogrel menyebabkan peningkatan signifikan kejadian perdarahan gastrointestinal (GI). Kejadian ini dapat diminimalisasi dengan pemberian penghambat pompa proton (PPI). Namun, karena PPI dan klopidogrel mempunyai jalur metabolisme yang sama, dihipotesiskan bahwa pemberian PPI pada terapi klopidogrel menyebabkan terjadinya penurunan efek anti-platelet klopidogrel, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kejadian kardiovaskular. Studi terkini melaporkan bahwa tidak terjadi penghambatan yang bermakna pada aktivasi klopidogrel oleh CYP2C19 dengan pemberian PPI in-vitro. Sejumlah studi farmakokinetik, farmakodinamik, serta studi klinis melaporkan hasil yang masih bertentangan menyangkut kemungkinan interaksi antara PPI dan klopidogrel. Hingga kini, sebagian besar studi yang ada untuk menyelidiki interaksi PPI-klopidogrel bersifat observasional. Studi COGENT merupakan satu-satunya studi prospektif, plasebo-terkontrol yang memeriksa interaksi PPI-klopidogrel. Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kejadian kardiovaskular secara bermakna pada pasien yang mendapatkan PPI dan klopidogrel, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Walaupun masih bersifat kontroversial, konsensus ahli terkini merekomendasikan pemberian PPI pada pasien yang mendapatkan klopidogrel, khususnya pasien dengan risiko tinggi.

Abstract
Clopidogrel is an anti-platelet agent commonly used in patients with atherosclerotic cardiovascular (CV) disease. Although formerly considered safe, several studies reported that the use of clopidogrel may cause a significant increase in the rate of gastrointestinal (GI) bleeding. This adverse effect could be minimized by coadministration of proton pump inhibitor (PPI). However, since PPI and clopidogrel share the same metabolic pathway, it has been hypothesized that the administration of PPI following clopidogrel therapy may cause a reduction in its anti-platelet effect, thereby increasing the risk of CV events. Recent studies found no significant inhibition in the activation of clopidogrel by CYP2C19 with administration of PPI in vitro. Pharmacokinetic and pharmacodynamic studies, as well as clinical studies, reported conflicting results regarding the potential interaction between PPI and clopidogrel. Until now, the available study investigated the PPI-clopidogrel interaction are primarily observational. The COGENT study is the only prospective, placebo-controlled trial examined the PPI-clopidogrel interaction. This study revealed no significant increase in CV events in patients receiving PPI following clopidogrel therapy, compared to the control group. Though remains controversial, current expert consensus recommended the administration of PPI in patients receiving clopidogrel, particularly in high-risk patients."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Bahkti Wara. Pangkalpinang], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Smout, A.J.P.M.
Hampshire: Wrightson Biomedical Publishing, 1994
616.33 SMO n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Inas Fadhilah Hanif
"Efek samping dari obat golongan proton pump inhibitor (PPI) pada gastrointestinal diantaranya diare dan konstipasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase besarnya efek samping pada gastrointestinal berupa diare dan konstipasi serta melihat adanya hubungan antara efek samping pada gastrointestinal dengan jenis kelamin, usia, dosis PPI, dan lama pemberian PPI pada pasien rawat inap di RSPAD Gatot Soebroto periode Februari ? April 2016. Penelitian ini adalah studi deskriptif analitik. Pengambilan data dilakukan secara prospektif terhadap data sekunder dari resep, dan rekam medis pasien serta data primer melalui wawancara pasien menggunakan kuisioener yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari sampai April 2016 secara total sampling. Analisis kausalitas efek samping pada gastrointestinal dilakukan dengan menggunakan algoritma Naranjo. Sampel adalah pasien dengan usia ≥ 17 tahun yang menerima proton pump inhibitor dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani Informed Consent. Pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 58 pasien. Sebanyak 19 pasien (32,75%) mengalami efek samping berupa konstipasi dimana 16 pasien (27,58%) dengan kategori mungkin (probable), dan 3 pasien (5,17%) dengan kategori cukup mungkin (possible). Tidak ada pasien yang mengalami efek samping diare. Hasil analisis statistik dengan uji chi-square dan uji mutlak Fisher menunjukkan tidak ada hubungan antara efek samping pada gastrointestinal dengan jenis kelamin, usia, dosis PPI, dan lama pemberian PPI.

Prevalances of crohn?s disease and ulcerative colitis in the world are still increasing. These two diseases are categorized as inflammatory bowel disease (IBD). Even there has been some theurapetic option for patient with these diseases, but surgery still the only option to treat fibrotic strictures. Tetrandrine was chosen as drug in this research because of its antifibrotic effect. This research was conducted to develop and evaluate calcium pectinate beads exploiting pH sensitive property for colon-targeted delivery of tetrandrine. Beads were prepared by ionotropic gelation method followed by enteric coating with HPMCP HP-55 or CAP. Uncoated beads were evaluated for particle size, shape, morphology, swellability, process efficiency and encapsulation efficiency. From evaluation, beads with concentration of calcium chloride 5% (formula 1) was chosen as formula for coating. First formula were more spherical in shape, not too sticky, and smaller in size when compared with beads using calcium chloride concentration 10% (formula 2) and 15% (formula 3). Encapsulation efficiency of the three formula, 65.67 ± 0.39%, 68.03 ± 0.12%, 56.28 ± 0.2% respectively. After coating process, beads were used in in vitro drug release and targeted test. The studies showed that coated calcium pectinate beads were sufficient to resist tetrandrine released in acidic medium, but was unsuccessfully in targeting colon."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S63759
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uci Ramadhani Uci Ramadhani
"Obat golongan proton pump inhibitor (PPI) digunakan secara luas dalam berbagai gangguan pada saluran gastrointestinal terkait asam lambung dan sering digunakan bersama dengan obat lain sehingga meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi interaksi obat golongan PPI pada pasien rawat jalan di RSPAD Gatot Soebroto periode Juli-Desember 2015. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik-retrospektif pada data resep dan rekam medis pasien rawat jalan periode Juli-Desember 2015 yang menerima obat golongan PPI dan satu atau lebih item obat lain yang dipilih dengan metode pursposive sampling. Analisis dilakukan terhadap 400 lembar resep yang berasal dari 192 pasien.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi obat golongan PPI pada pasien rawat jalan di RSPAD Gatot Soebroto periode Juli-Desember 2015 memiliki potensi interaksi obat pada 324 lembar resep (81,00%) dengan total kasus sebanyak 475 kasus yang terdiri dari 42 kasus interaksi mayor, 138 kasus interaksi moderat dan 295 kasus interaksi minor. Terdapat 14 obat yang memiliki potensi interaksi dengan obat golongan PPI antara lain mikofenolat mofetil, klopidogrel, kilostazol, warfarin, besi, levotiroksin, propranolol, siklosporin, simvastatin, atorvastatin, sianokobalamin, sukralfat, teofilin dan antasida.

Proton pump inhibitor (PPI) drugs are widely used for the treatment of gastrointestinal tract with gastric-acid disorder and usually used concomitant with other drugs so that increase the risk of drug interaction. This study aimed to analyse the potential of PPI drug interaction in outpatients at Gatot Soebroto Army Centre Hospital period of July-December 2015. This study use analytical descriptive-retrospective method on prescriptions and medical records of outpatients who get PPI drugs with one or more other drugs in the period of July-December 2015, which were selected by purposive sampling method. This analysis study was conducted on 400 prescriptions from 192 patients.
This study concluded that PPI therapy in outpatients at RSPAD Gatot Soebroto period of July-December 2015 had potential drug interaction on 324 prescriptions (81,00%) with total of 475 cases, which are consisted of 42 cases of major interactions, 138 cases of moderate interactions, and 295 cases of minor interactions. There are 14 drugs that can potentially interact with PPI drugs, such as: mycophenolate mofetil, clopidogrel, cilostazol, warfarin, iron, levothyroxine, propranolol, cyclosporine, simvastatin, atorvastatin, cyanocobalamin, sucralfate, theophylline and antacid.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64795
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Hidayat
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahriah
"Berbagai penelitian telah membuktikan khasiat ekstrak air rosella (Hibiscus sabdariffa L) dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular. Penggunaan ekstrak air rosella yang dikoadministrasikan dengan aspirin berpotensi untuk terjadi, karena aspirin merupakan terapi yang juga digunakan dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular, khususnya sebagai antiplatelet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak air rosella terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin. Studi interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik ekstrak air rosella dengan aspirin terbagi dalam beberapa kelompok perlakuan, yaitu kelompok aspirin tunggal, rosella tunggal dan tiga kelompok ko-administrasi ekstrak air rosella dengan aspirin. Ekstrak air rosella dalam tiga variasi dosis yang diberikan secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap AUC, Cmaks, tmaks, Vd, Klirens, dan t1/2 asam salisilat. Selain itu, pemberian ekstrak air rosella secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan waktu perdarahan dan survival rate dari tikus uji. Berdasarkan  hasil penelitian ini disimpulkan, ekstrak air rosella yang digunakan secara ko-administrasi dengan aspirin pada tikus tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin.

Various studies have proven the efficacy of Roselle (Hibiscus sabdariffa L) in maintaining cardiovascular function. The use of aqueous extract of Roselle with aspirin has the potential to occur, because aspirin is a therapy that is also used in the maintenance of cardiovascular function, especially as antiplatelet. This study aimed to determine the effect of aqueous extract of Roselle on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin. The study of pharmacokinetic and pharmacodynamic interactions of aqueous extract of Roselle with aspirin was divided into several treatment groups: single aspirin group, single Roselle and three co-administration groups of aqueous extract of Roselle with aspirin. Co-administration aqueous extract of Roselle with aspirin did not have a significant difference on AUC, Cmax, Tmax, Vd, clearance, and t½ salicylic acid. In addition, co-administration aqueous extract of Roselle and aspirin did not show a significant increase in the bleeding time and survival rate of rats. In conclusion, aqueous extract of Roselle used by co-administration with aspirin in rats did not have a significant effect on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Mulyani Harsrinuksmo
"ABSTRAK
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang terjadi di saluran pencernaan. Beberapa penelitian mengidentifikasikan pola makan merupakan salah satu penyebab gastritis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah pola makan baik atau buruk yang akan menimbulkan risiko gastritis. Desain yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan potong lintang (survey cross-sectional). Sampel sebanyak 98 responden diambil menggunakan tehnik purposive sampling dengan ketentuan lolos tahap skrinning dan belum pernah terdiagnosa gastritis. Hasil menyatakan ada hubungan yang bermakna antara pola makan dengan risiko gastritis pada mahasiswa (p=0,026; =0,05; OR=0,327). Peneliti menyarankan pemberian edukasi terkait pola makan yang tepat sebagai motivasi gaya hidup lebih sehat bagi mahasiswa agar terhindar dari penyakit gastritis

ABSTRACT
Gastritis is a disease that occurs in the gastrointestinal tract. Some studies suggest that one of the cause of gastritis is food pattern. Purpose this study will examine the relationship between student’s food pattern and risk of gastritis. Research design is descriptive correlation with cross sectional survey. Sample of 98 respondents that have not been diagnosed with gastritis based on screening test. It was taken by using puposive sampling technique. Result of test stating there is a significant relationship between food pattern and the risk of gastritis in student (p=0,026; =0,05; OR=0,327). Researcher suggesting the education program for students related to food pattern is needed to motivate and maintance student’s health out of gastritis"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anatha Chriscilia Selaindoong
"Gangguan pencernaan merupakan isu global dengan hasil  studi epidemiologi lebih dari 40% orang diseluruh dunia mengalami gangguan pencernaan. Salah satu faktor diet yang berhubungan dengan gangguan pencernaan yaitu jenis makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Minahasa memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan berempah dan pedas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara mengonsumsi makanan minahasa berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang melibatkan 212 sampel berusia 18-60 tahun yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dikontrol dengan variabel perancu, terdapat hubungan antara konsumsi makanan berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan (nilai p 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Pasien yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas berisiko 2.523 kali mengalami gejala gangguan pencernaan. Peneliti merekomendasikan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara komperhensif sebagai educator dan fasilitator untuk mengoptimalkasn kesehatan masyarakat yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas serta faktor lainnya yang berisiko  dengan gejala gangguan pencernaan. Bagi pelayanan kesehatan dan pemerintah daerah dapat menyusun rencana strategi dalam upaya pencegahan maupun penanganan gangguan pencernaan terkait konsumsi makanan berempah dan pedas dengan tetap melestarikan kekhasan budaya setempat.

Gastrointestinal disorders are a global issue with the epidemiology study results of more than 40% of people around the world experiencing digestive disorders. A dietary factor associated with indigestion is the type of food consumed. Minahasa people habitually consume spicy foods. The aim of this study was to identify the relationship between consuming spicy Minahasan food and symptoms of indigestion. This study was a cross-sectional study involving 212 samples aged 18-60 years who complied with the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling technique was used. After control for confounding variables, there was an association between consuming spicy foods and gastrointestinal symptoms (p value 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Patients who consume spicy foods are at risk of 2.523 times to experience gastrointestinal symptoms. Furthermore, Researchers recommend nurses to provide comprehensive nursing care as educators and facilitators to optimize the health of people who consume spicy foods and other risk factors associated with gastrointestinal symptoms. For health services and government can establish a strategic plan in preventing and treating gastrointestinal disorders related to the consumption of spicy food while preserving the characteristics of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadlurahman
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut kerap terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Fungsi saluran menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian nutrisi pasien. Komplikasi pada saluran cerna dapat menghambat pemberian nutrisi enteral yang lebih direkomendasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Penelitian ini memiliki desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM dari September 2019 sampai Agustus 2020. Cedera gastrointestinal akut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WGAP ESICM. Asupan nutrisi diambil dari data rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Saphiro-Wilk dilanjutkan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capian nutrisi enteral pasien. Data diolah menggunakan aplikasi IBM SPSS for windows versi 20.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 26 pasien. Median presentase capaian nutrisi enteral hari ketiga (% laju metabolik basal) setiap derajat yaitu derajat satu 40,08 (0-144,39); dua 0,00 (0-219); tiga 19,10 (0,00-38,20); dan empat 0,00 (0,00-130,30) dengan hasil uji Kruskal-Wallis (p=0,904). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama capaian 25% nutrisi enteral dengan derajat cedera gastrointestinal akut (Kruskal-Wallis, p=0,556). Pada penelitian, faktor lain seperti status gizi (p=0,952), penggunaan ventilator mekanik (p=0,408), dan riwayat pascaoperasi (p=0,423) tidak mempengaruhi presentase nutrisi enteral hari ketiga.
Kesimpulan: Pada pasien anak kritis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral.

Background: Acute gastrointestinal injury (AGI) is usually found in critically ill patients. Gastrointestinal function can determine the route od nutritional therapy. Gastrointestinal abnormalities may delay enteral nutrition therapy in patients. Therefore, this study aims to determine the association between the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcome in critically ill children.
Methods: This study had a cross-sectional study design using the medical records of critically ill children in PICU RSCM from September 2019 until August 2020. AGI patients was classified based on WGAP ESIM grading system. Nutritional outcomes were assessed using data from medical record. Data were analyzed the Kruskal-Wallis test to determine the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcomes. The Data were analysed using SPSS for windows version 20.
Results: The study sample was 26 patients. The medians of day three enteral nutrition percentage were grade one 40,08 (0-144,39); grade two 0,00 (0-219); grade three 19,10 (0,00-38,20); dan grade four 0,00 (0,00-130,30) with Kruskall-walis test result (p=0,904). There was no significant association between AGI and the duration of 25% basal metabolic rate (Kruskal-Wallis, p=0,556). In this study, Other factors such as nutritional status (p=0,952), ventilator usage (p=0,408), and post-operative history (p=0,423) did not associate with day three enteral nutrition percentage.
Conclusion: In critically ill children, there was no significant association between the acute gastrointestinal injury and the outcome of enteral nutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sri Wulandari
"Latar Belakang: Penyakit saluran pencernaan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di seluruh dunia, pembedahan menjadi prosedur utama dalam penanganan tumor dan kanker saluran cerna. Tindakan pembedahan ini sering kali berisiko menimbulkan komplikasi, seperti penurunan massa otot rangka akibat peningkatan respon inflamasi. Rasio C-Reactive Protein (CRP) terhadap albumin dapat digunakan sebagai indikator penting dalam memprediksi prognosis dan komplikasi pasca operasi, termasuk inflamasi sistemik dan penurunan indeks massa otot rangka. Pengukuran rasio CRP terhadap albumin yang menilai status inflamasi dapat menggambarkan penurunan massa otot yang dinilai dengan perubahan Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) pra dan pascaoperasi pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pengukuran kadar CRP dan albumin satu sampai tujuh hari praoperasi, kemudian hasil CRP dan albumin dibagi menjadi rasio CRP terhadap albumin. Pengukuran ASMI menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 yang dilakukan satu sampai tiga hari praoperasi dan lima sampai tujuh hari pascaoperasi. Karakteristik subjek lainnya meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, status gizi berdasarkan GLIM, etiologi pembedahan, penyakit penyerta, kadar CRP praoperasi, kadar albumin praoperasi, serta asupan energi dan protein praoperasi.
Hasil: Terdapat 78 subjek dengan rerata usia 52 tahun dan mayoritas perempuan (57,7%). Terdapat 60,3% status malnutrisi menurut kriteria GLIM, 32% subjek mengalami delta ASMI turun, asupan energi kurang sebanyak 48,7%, asupan protein kurang sebanyak 57,7%, dan nilai median rasio CRP terhadap albumin 5,98. Tidak terdapat korelasi rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI (p = 0,424). Tidak terdapat perbedaan bermakan antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun (p = 0,813).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun.

Background: Gastrointestinal diseases are prevalent health problems worldwide, with surgery being the primary procedure for treating tumors and gastrointestinal cancers. However, this surgical intervention often carries the risk of complications, such as a decline in skeletal muscle mass due to increased inflammatory responses. The C-Reactive Protein (CRP) albumin ratio can serve as a significant indicator for predicting prognosis and postoperative complications, including systemic inflammation and a decrease in skeletal muscle index. Measuring the CRP albumin ratio, which assesses inflammatory status, can reflect muscle mass reduction, evaluated through changes in Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) before and after surgery in patients undergoing major gastrointestinal surgery.
Methods: This study is a prospective cohort conducted on patients undergoing major gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. CRP and albumin levels were measured 1 to 7 days preoperatively, and the CRP to albumin ratio was calculated. ASMI was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 within 1 to 3 days before surgery and 5 to 7 days postoperatively. Other subject characteristics included age, sex, body weight, height, BMI, nutritional status based on GLIM criteria, surgical etiology, comorbidities, preoperative CRP levels, preoperative albumin levels, and preoperative energy and protein intake.
Results: A total of 78 subjects with a mean age of 52 years were included, with the majority being female (57.7%). There were 60.3% of subjects with malnutrition status according to GLIM criteria, 32% experienced a decrease in delta ASMI, 48.7% had inadequate energy intake, 57.7% had insufficient protein intake, and the median CRP-to-albumin ratio was 5.98. There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI (p = 0.424). There was also no significant difference between the CRP albumin ratio and decreased versus non- decreased delta ASMI (p = 0.813).
Conclusion: There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI in patients undergoing major gastrointestinal surgery. Additionally, no significant difference was found between the CRP albumin ratio and decreased versus non-decreased delta ASMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>