Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150730 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laili Kurnia
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self esteem dan compulsive buying pada wanita dewasa muda. Compulsive buying merupakan perilaku belanja yang tidak terkontrol, berulang-ulang, dan memiliki dorongan kuat untuk berbelanja yang dianggap sebagai cara untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stress dan kecemasan. Sementara self esteem adalah penilaian yang diberikan seseorang terhadap dirinya yang diekspresikan melalui sikap menerima atau menolak dirinya sehingga terlihat sejauhmana individu meyakini bahwa dirinya mampu, penting, sukses, dan berharga. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan 2 instrumen pengukuran yang mengukur self esteem dan compulsive buying. Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 105 orang wanita dewasa muda dengan rentang usia 20 ? 40 tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara self esteem dan compulsive buying pada wanita dewasa muda, dengan nilai r = -0.416.

The current study examined the relationship between self esteem and compulsive buying among young adulthood women. Compulsive buying is a shopping behavior in which the afflicted consumer has overpowering, uncontrollable, chronic, and repetitive urge to shop as a means of alleviating negative feelings of stress and anxiety. Meanwhile, self esteem is the evaluation a person makes of her/himself, expressed an attitude of approval or disapproval and indicates whether or not the person believes her/himself to be capable, significant, successful, and worthy. Using quantitative method, self esteem and compulsive buying instruments have been developed and given to 105 young adulthood women. Result indicated that there are negative and significant relationship between self esteem and compulsive buying among young adulthood women, with r = -0.416."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuanita Zandy Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional study. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 101 perempuan dewasa muda. Pengukuran kekerasan dalam pacaran menggunakan alat ukur The Revised Conflict Tactics Scales 2 dan pengukuran self esteem menggunakan Rosenberg Self Esteem Scale. Hasil dari penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem perempuan dewasa muda (r = -0,252, p<0,05). Ketiga bentuk kekerasan yaitu psikologis, fisik dan seksual juga berhubungan signifikan dengan self esteem.

This research investigates the relationship between dating violence and self esteem on young women. This study uses a quantitative approach with cross sectional study design. One hundred and one young women were served as a participants in study. Measurement of dating violence using The Revised Conflict Tactics Scales 2 and measurement of self esteem using Rosenberg Self Esteem Scale. The result of study authenticate that there is a significant relationship between dating violence and self esteem on young women (r = -0,252, p<0,05). The third form of violence, that is psychological, physical, and sexual has a significant relationship with self esteem."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S44811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shauma Lannakita
"Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh kualitas pelayanan dan nilai yang dirasakan terhadap kepuasan pasien dan dampaknya terhadap minat berprilaku pasien. Di dalam penelitian ini, pennulsi menyebarkan kuesioner kepada 155 orang responden yang pernah menjadi pasien rawat jalan di rumah sakit swasta di Jakarta. Untuk menganalisis data menggunakan metode Structural Equation Model dengan bantuan software LISREL 8.51.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kualitas pelayanan dan nilai yang dirasakan mempengaruhi kepuasan pasien yang dapat menggerakkan behavioral intention. Hail lain dari penelitian ini adalah bahwa baik kualitas pelayanan dan nilai yang dirasakan pelanggan tidak berpengaruh secara langsung terhadap behavioral intention.

The objective of this study is to examine the influence off perceived service quality and perceived value toward patient satisfaction and its impact on behavioral intention.. In conducting the survey, the author distributed the questionnaire to 155 respodents who has been gone to private hospitals in Jakarta. This research use Structural Equation Modeling (SEM) as an analytical tool by LISREL 8.51.
Findings indicate that both perceived service quality and perceived value have influence satisfaction that drives behavioral intention. Interestingly, both perceived service quality and perceived value have no direct impact on behavioral intention while value assessment was influenced by perceived service quality.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devirianty
"Fear of intimacy merupakan hambatan yang menghalangi dewasa muda untuk membangun keintiman dalam rangka membentuk hubungan romantis dengan pasangan. Self-esteem rendah sebagai faktor internal yang memungkinkan seseorang untuk mempunyai fear of intimacy tinggi, merupakan salah satu akibat dari fenomena perceraian yang semakin marak di Indonesia sekarang ini. Dewasa muda yang berasal dari keluarga bercerai cenderung mempunyai self-esteem yang rendah dibandingkan dewasa muda dari keluarga utuh, dan karena itu cenderung mempunyai fear of intimacy yang tinggi. Penelitian ini mencoba untuk mencari dan menemukan arah korelasi self-esteem dengan fear of intimacy pada dewasa muda melalui pendekatan kuantitatif. 103 partisipan yang terdiri dari tiga kelompok berdasarkan status perkawinan orangtua (menikah, bercerai, janda/duda meninggal) mengisi alat ukur yang terdiri dari adaptasi Fear of Intimacy Scale (FIS) dan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Pengolahan data dengan teknik chi-square menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan ( Pearson?s r = - .368, p value = 0.00) antara skor self-esteem dan skor fear of intimacy. Korelasi negatif yang ditemukan mengindikasikan bahwa semakin baik self-esteem seseorang maka semakin rendah kecenderungan fear of intimacy. Oleh karena itu, self-esteem anak yang orangtuanya bercerai (cenderung rendah) perlu mendapat perhatian khusus agar tidak tumbuh menjadi faktor internal yang menimbulkan fear of intimacy saat anak berusia dewasa muda.

Fear of intimacy are barriers that prevent young adults to build intimacy in order to form a romantic relationship with a partner. Low self-esteem as internal factors that enable a person to have a high fear of intimacy, is one result of the growing phenomenon of divorce in Indonesia today. Young adults from divorced families tend to have lower self-esteem than young adults from intact families, and therefore tend to have a high fear of intimacy. This study tries to seek and find the direction of the correlation of self-esteem and fear of intimacy in young adults through a quantitative approach. 103 participants consisting of three groups based on parental marital status (married, divorced, widow / widower dies) fill the adaptation of Fear of Intimacy Scale (FIS) and the Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Data analysis with chi-square technique showed a significant negative correlation (Pearson's r = - .368, p value = 0:00) between the scores of self-esteem and fear of intimacy scores. Negative correlation that was found indicating that if a person's has better self-esteem, they would have the lower the tendency of fear of intimacy. Therefore, the self-esteem of children whose parents divorce (rather low) need special attention so it wont grow into internal factors that give rise to fear of intimacy when children were in young adult."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariska Aryani
"[ Penelitian ini didasari oleh fenomena penggunaan telepon genggam secara
berlebihan sehingga mengganggu kehidupan pribadi maupun profesional
penggunanya.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apakah self-esteem dan
loneliness memiliki hubungan dengan mobile phone addiction. Pengukuran selfesteem
menggunakan Rosenberg?s Self-esteem Scale, pengukuran loneliness
menggunakan UCLA Loneliness Scale sedangkan mobile phone addiction diukur
menggunakan Mobile Phone Addiction Index. Karakteristik responden dalam
penelitian ini adalah dewasa muda dengan rentang usia 20-40 tahun yang
memiliki telepon genggam dengan akses internet. Jumlah responden yang
didapatkan sebanyak 296 orang dengan menggunakan teknik accidental sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis null ditolak (r = 0.157, p < 0.05)
dan nilai determinasi sebesar 0.025 (r2 = 0.025), yang berarti terdapat hubungan
yang signifikan antara self-esteem dan loneliness terhadap mobile phone
addiction. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat mobile phone addiction seseorang
dapat diprediksi berdasarkan tingkat loneliness dan tingkat self-esteemnya sebesar
2,5% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Implikasi dari penelitian ini adalah
diharapkan bahwa masyarakat dapat mengidentifikasi penyebab dari kecanduan
telepon genggam dan segera melakukan intervensi.;This study is based on excessive use phenomenon of mobile phones that interferes
one?s personal and professional life. This research aims to explain the relationship
between self-esteem and loneliness towards mobile phone addiction. Self-esteem
is measured by using Rosenberg?s Self-esteem Scale while loneliness is measured
by using UCLA Loneliness Scale. Lastly, mobile phone addiction is measured by
using Mobile Phone Addiction Index. Respondent counts 296 young adults
between 20-40 who own a mobile phone with internet access. The results show
that the null hypothesis is rejected (r = 0.157, p < 0.05) and determination value
0.021 (r2 = 0.025), which means there is a significant relationship between selfesteem
and loneliness towards mobile phone addiction. The implications of this
research are expected to enable the society to identify causes of mobile phone
addiction and immediately start an intervention.;This study is based on excessive use phenomenon of mobile phones that interferes
one?s personal and professional life. This research aims to explain the relationship
between self-esteem and loneliness towards mobile phone addiction. Self-esteem
is measured by using Rosenberg?s Self-esteem Scale while loneliness is measured
by using UCLA Loneliness Scale. Lastly, mobile phone addiction is measured by
using Mobile Phone Addiction Index. Respondent counts 296 young adults
between 20-40 who own a mobile phone with internet access. The results show
that the null hypothesis is rejected (r = 0.157, p < 0.05) and determination value
0.021 (r2 = 0.025), which means there is a significant relationship between selfesteem
and loneliness towards mobile phone addiction. The implications of this
research are expected to enable the society to identify causes of mobile phone
addiction and immediately start an intervention., This study is based on excessive use phenomenon of mobile phones that interferes
one’s personal and professional life. This research aims to explain the relationship
between self-esteem and loneliness towards mobile phone addiction. Self-esteem
is measured by using Rosenberg’s Self-esteem Scale while loneliness is measured
by using UCLA Loneliness Scale. Lastly, mobile phone addiction is measured by
using Mobile Phone Addiction Index. Respondent counts 296 young adults
between 20-40 who own a mobile phone with internet access. The results show
that the null hypothesis is rejected (r = 0.157, p < 0.05) and determination value
0.021 (r2 = 0.025), which means there is a significant relationship between selfesteem
and loneliness towards mobile phone addiction. The implications of this
research are expected to enable the society to identify causes of mobile phone
addiction and immediately start an intervention.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Melati Putri
"Cara pandang atau evaluasi seorang individu terhadap dirinya sendiri akan cenderung positif apabila ia memiliki self-esteem yang baik. Individu pada tahap perkembangan dewasa muda (usia 18-29 tahun) dihadapi dengan berbagai tugas perkembangan serta tuntutan kehidupan di kesehariannya, sedangkan disisi lain penting juga untuk menerapkan perilaku mempromosikan kesehatan. Individu yang memiliki self-esteem yang baik diharapkan lebih mampu untuk melakukan perilaku mempromosikan kesehatan dengan lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai hubungan antara perilaku mempromosikan kesehatan dan self-esteem pada dewasa muda. Responden dalam penelitian ini berjumlah 798 orang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Perilaku mempromosikan kesehatan diukur dengan Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II) dan self-esteem diukur dengan Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Kedua alat ukur tersebut telah di adaptasi ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi perkembangan spiritual terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan self-esteem. Sementara itu, pada dimensi tanggung jawab kesehatan, hubungan interpersonal, aktivitas fisik, nutrisi, dan manajemen stres tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan self-esteem.

The way individuals perceives or evaluates themselves are tend to be more positive when they have a good self-esteem. Individuals in the phase of emerging adulthood (18-29 years old) are faced with various developmental task and the demands of life, but on the other hand, to put in mind it is also important for them to implement health promoting behavior on daily basis.
This study aims to investigate the relationship between health promoting behavior and self-esteem in emerging adulthood. Respondents in this study consist of 798 emerging adulthood from various regions in Indonesia. Health promoting behavior were measured by Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP-II) and self esteem were measured by Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Both of this instrument has been adapted in Bahasa Indonesia.
The results shows that spiritual growth is positively and significantly correlated with self-esteem. Meanwhile, health responsibility, interpersonal relationships, physical activity, nutrition, and stress management are not significantly correlated to self-esteem.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Apriliani
"Self-esteem adalah evaluasi individu terhadap dirinya yang penting untuk dirinya perhatian, terutama bagi dewasa muda yang mulai memiliki banyak tanggung jawab menjawab. Penelitian ini ingin menguji apakah ada hubungan antar keterampilan manajemen waktu dan harga diri dalam kelompok dewasa muda. Peserta yang terlibat dan data yang dapat digunakan dalam penelitian ini berjumlah 312 peserta, terdiri dari 141 perempuan dan 171 laki-laki dengan kriteria pendidikan terkini minimal D3 / Akademi yang telah bekerja minimal 6 bulan di tempat kerja saat ini. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa keterampilan manajemen waktu dengan harga diri berkorelasi signifikan. Pada masing-masing dimensi harga diri juga menunjukkan bahwa keterampilan manajemen waktu berkorelasi signifikan dengan dimensi kinerja, sosial, dan penampilan. Hasil koefisien korelasi positif menunjukkan bahwa semakin tinggi keterampilan manajemen waktu, itu akan diikuti oleh harga diri yang tinggi pula, begitu pula untuk masing-masing dimensi, di mana dimensi penampilan berkontribusi paling besar harga diri tinggi. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa jika individu memiliki keterampilan manajemen waktu yang tinggi, maka akan diikuti oleh harga diri
yang juga tinggi, terutama pada dimensi tampilan.

Self-esteem is an individual's evaluation of himself which is important for his attention, especially for young adults who begin to have a lot of responsibility to answer. This study wanted to examine whether there is a relationship between time management skills and self-esteem in young adult groups. Participants involved and the data that can be used in this study amounted to 312 participants, consisting of 141 women and 171 men with the latest education criteria of at least D3 / Academy who have worked for at least 6 months in the current workplace. Based on the results of statistical analysis, it shows that time management skills and self-esteem have a significant correlation. In each of the dimensions of self-esteem also shows that time management skills have a significant correlation with the dimensions of performance, social, and appearance. The results of the positive correlation coefficient indicate that the higher the time management skills, it will be followed by high self-esteem as well, as well as for each dimension, where the appearance dimension contributes the most high self-esteem. Thus, it can be seen that if individuals have high time management skills, self-esteem will follow
which is also high, especially in the dimensions of the display.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariadne Dwiyanri Putri
"Contingent self esteem mengacu pada sejauh mana seseorang menilai dirinya berdasarkan pada standar dan ekspektasi tertentu dan hal tersebut terkait dengan citra tubuh seseorang. Keterkaitan tersebut terjadi ketika individu mengalami kekhawatiran akan citra tubuh dikarenakan ketidakmampuan individu dalam memenuhi standar atau ekspektasi tertentu yang dipersepsi oleh dirinya. Ketidakmampuan tersebut dapat dirasakan pada individu yang memiliki ketidaksempurnaan pada penampilan dan dapat mempengaruhi interaksinya dengan orang lain, hal tersebut dapat disebut dengan visible disfigurement. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dilakukan untuk melihat hubungan antara contingent self esteem dan citra tubuh pada dewasa muda dengan visible disfigurement. Penelitian ini melibatkan partisipan sebanyak 52 orang pada tahap perkembangan dewasa muda yaitu dengan usia 18 - 40 tahun yang memiliki visible disfigurement. Contingent self esteem diukur dengan skala Contingencies of Self Worth (CSW) dan citra tubuh diukur dengan menggunakan skala Cutaneous Body Image (CBI). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif dan signifikan antara contingent self esteem dan citra tubuh (r= -0,423, p<0,01) yang berarti bahwa peningkatan skor dari contingent self esteem diikuti dengan penurunan skor citra tubuh, begitu pula sebaliknya.

Contingent self esteem refers to the degree to which a person evaluate him/herself based on certain standards and expectations and it is closely associated with a person's body image. The association between contingent self esteem and body image occurs as a person experience body image concern due to the inability of a person meets certain standards or expectation perceived by him/herself. The inability of a person meets certain standards or expectations, often perceived by those who has disfigurement on his/her appearance and could affect their interaction with others. This study is a quantitative research aims to investigate the correlation between contingent self esteem and body image in young adult with visible disfigurement. Contingent self esteem is measured by Contingencies of Self Worth (CSW) Scale and body image is measured by Cutaneous Body Image (CBI) Scale. The result shows that contingent self esteem and body image negatively related (r= -0,423, p<0,01) which means that the increase of the contingent self esteem score follows by the decrease of the body image score, so as in reverse.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthianissa Amanda
"Perceraian di Indonesia sedang meningkat yang diantaranya disebabkan oleh hubungan yang sudah tidak harmonis dan kecemburuan. Hal itu disebabkan karena kurangnya intimacy di dalam sebuah hubungan. Lamanya sebuah hubungan membuat intimacy semakin tinggi. Intimacy yang tinggi akan membuat kepuasan hubungan juga semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran self-esteem dalam memediasi hubungan antara keberfungsian keluarga dan intimacy pada dewasa muda yang berpacaran. Responden pada penelitian ini adalah sebanyak 1024 orang. Laki-laki berjumlah 298 orang dan perempuan berjumlah 726 orang dengan karakteristik berusia 20-39 tahun, sedang berpacaran, dan belum menikah. Melalui program PROCESS by Andrew Hayes, diperoleh hasil bahwa self-esteem dapat memediasi penuh hubungan antara keberfungsian keluarga dan intimacy pada dewasa muda yang berpacaran b= 0.26, t 1021 = 2.29, p= 0,022 . Hal itu disebabkan oleh individu yang memiliki persepsi yang baik mengenai hubungan dengan orangtuanya saat kecil, ia akan memiliki gambaran baik pula mengenai diri sendiri yang mengakibatkan tingginya self-esteem. Self-esteem yang tinggi membuat individu percaya terhadap pasangannya dan membuat mereka lebih terbuka, nyaman, merasa aman karena dihargai, dekat, lebih menyayangi satu sama lain, serta saling memberikan dukungan. Hal itu yang akan membuat intimacy dalam hubungan mereka menjadi lebih tinggi.

The divorce rate in Indonesia has been rising, which is a result of inharmonic relationships and jealousy. This is caused by the lack of intimacy in relationships. The duration of a relationship can make the intimacy level higher. The higher the intimacy level, the higher the satisfaction of the relationship. The purpose of this research is to acknowledge self esteem role to mediate relationship of family functioning and intimacy among dating young adults. The total respondent in this research is 1024 respondents. Consist of 298 men and 726 women, with following characteristics aged 20 39 years old, in relationship, and not married yet. Using PROCESS program by Andrew Hayes, the result of this research pointed out that self esteem can fully mediate the relationship of family functioning and intimacy among dating young adults b 0.26, t 1021 2.29, p 0,022. It is caused by individuals who have a good perception about their relationship with their parents in their childhood, will have a good perception about themselves, and will raise their self esteem levels. High self esteem makes individuals trust their partner and make them more open, comfortable, secure, close, love, and support each other. This will cause intimacy levels higher."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranty
"Pada tahap dewasa muda, individu berusaha mendapatkan intimacy dengan membuat komitmen pribadi yang mendalam dengan orang lain, dan jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam dirinya sendiri (Erikson dalam Papalia, 2004). Menurut Brehm (1992), intimacy terpenuhi dengan adanya hubungan intim. Namun, ada juga wanita yang berusia diatas 30 tahun, belum berhasil membentuk hubungan intim dan meneruskannya ke pernikahan. Keadaan ini membuat individu memilih untuk hidup lajang dan tidak lagi memprioritaskan pernikahan sebagai tugas perkembangannya. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan dalam membina hubungan intim. Menurut Miller, Pearlman & Brehm (2007), kemampuan untuk membina hubungan intim berbeda antara satu orang dengan yang lain dan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu attachment style dengan orangtua dan self-esteem.
Pada penelitian ini, sampel penelitian adalah tiga orang wanita dewasa muda yang tidak memprioritakan pernikahan. Berdasarkan hasil analisis yang didapatkan, diperoleh gambaran yang berbeda antara intimacy, attachment style dan self-esteem pada seluruh partisipan penelitian. Wanita lajang dapat memiliki gambaran kebutuhan intimacy yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka semua memiliki intimacy emosional sebagai kebutuhan terpenting dalam hidup mereka. Mereka juga memiliki attachment style yang berbeda, ada yang memiliki secure dan ada juga yang memiliki insecure attachment. Mereka juga ada yang memiliki self-esteem yang rendah dan ada juga self-esteem yang tinggi. Insecure attachment dapat berdampak pada self-esteem yang rendah dan akhirnya kesulitan dalam membina hubungan intim. Sementara itu, individu yang hidup lajang, dapat juga memiliki secure attachment dan self-esteem yang tinggi.

According to Erikson (Papalia, 2004), the main problem that occur in a person in the stage of young adulthood is intimacy versus isolation. In this stage, a person is trying to make a deep personal commitment to other people, if this is not working, he or she would felt isolated and drown into him/herself. According to Brehm (1992), intimacy will be fullfilled through an intimate relationship. However, there are some single women in their thirties, who aren't in intimate relationship. They also don?t choose marriage as their priority in lives. According to Miller, Pearlman & Brehm (2007), the ability to develop intimate relationsip is different one from another and influenced by attachment style with parents and self-esteem.
The participant of this reseach are three women in young adulthood who do not choose marriage as a priority. Based on analisys, the researcher found that participants had different potray of intimacy, attachment style and self-esteem. Single women could have different need of intimacy. However, all of the participants have intimacy emotional as the most important need of their life. They have different attachment style. They also have low self-esteem and high self-esteem. Insecure attachment can effect to the low self-esteem and finnaly have troubled in developing intimate relationship. Nonetheless, single people could also have secure attachment and high self-esteem."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>