Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191242 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asih Hartanti
"Prevalensi Sifilis menurut data STBP Kemenkes Tahun 2011 pada 7 populasi kunci adalah sebesar 6% dimana prevalensi Sifilis tertinggi ditemukan pada Transgender Waria (25%) kemudian diikuti WPSL (10%), LSL (9%), WBP (5%), Pria Potensial Risti (4%), WPSTL (3%) dan Penasun (2%). Sifilis pada Transgender Waria meningkat 1% dari 27% pada STBP 2007 menjadi 28% pada STBP 2011 di kota yang sama. Faktor- faktor yang diduga berhubungan dengan infeksi Sifilis pada Transgender Waria antara lain : Umur, Tingkat Pendidikan, Penggunaan kondom, Penggunaan Napza Suntik, Penggunaan Hormon Suntik Silikon, Status HIV, Datang ke Layanan Klinik IMS, Konsumsi Alkohol dan Lama melakukan hubungan Seks Komersial dengan mendapat imbalan.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor ?faktor terhadap infeksi Sifilis pada Transgender Waria. Desain studi Cross Sectional dengan sampel sebanyak 1.089 Waria secara acak dan berasal dari 5 kota besar di Indonesia melalui metode wawancara, Diagnosis Laboratorium Sifilis dilakukan dengan TPHA dan RPR.
Hasil : Prevalensi Sifilis pada Transgender Waria di 5 Kota sebesar 25,25%, Faktor yang berhubungan signifikan adalah Status HIV(p=0,000), PR =2,28 (95% CI 1,78-2,92) kemudian Umur >31 tahun (p=0,000) ,PR= 1,76 (95% CI 1,36- 2,28) dan Penggunaan Hormon Suntik Silikon (p=0,012) PR=1,37 (95% CI 1,07-1,76), Tingkat pendidikan, Lamanya melakukan hubungan seks komersial dengan imbalan, Penggunaan Kondom, Konsumsi Napza Suntik, Konsumsi Alkohol dan Akses ke Layanan IMS tidak berhubungan.
Kesimpulan : Faktor biologis Status HIV memiliki hubungan yang kuat PR =2,28 (95% CI 1,78-2,92)dengan Kejadian Sifilis pada Kelompok Transgender Waria di 5 Kota besar di Indonesia.

The prevalence of syphilis according to MOH- IBBS 2007 was found at 6% in the High Risk Population. Highest prevalence was found in Transvestite (25%) followed by Direct Female Sex Worker (10%), MSM (9%), PLT (5%), High Risk Men's (4%), Non Direct Female Sex Worker (3%) and IDU (2%). Syphilis Prevalens among Transvestite increased 1% from 27% to 28 % (2007 to 2011 in the same city). Factors associated with syphilis infection in Transvestite are Age, level of Education, Condom use, Drug Injection use, Use of Silicon Injections, HIV Status, Access to STI Service Clinic, Alcohol consumption and The duration of engaging in commercial sex.
Purpose: Knowing associated factors of syphilis infection on Transvestite. Design Cross sectional study with a sample of 1089 randomly Transvestite and derived from the 5 major cities in Indonesia through the interview method and Laboratory diagnosis of syphilis is performed by TPHA and RPR.
Results: The prevalence of syphilis in Transvestite in 5 Cities is 25.25% and significant factors related are HIV status (p = 0.000), PR =2,28 (95% CI 1,78-2,92), Age > 31 years (p=0,000) ,PR= 1,76 (95% CI 1,36-2,28), Use of Silicon Injection Hormone p=0,012) PR=1,37 (95% CI 1,07-1,76), Low educational level, The duration of engaging in commercial sex, Condom Use, Drug Injection, Alcohol consumption and Access to STI Service Clinic are not significant related.
Conclusion: HIV Status as a biological factors have a strong relation with Syphilis incidence in Transvestite group population within 5 major cities in Indonesia PR =2,28 (95% CI 1,78-2,92).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31667
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Setianingsih
"Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi untuk terinfeksi hiv. Berdasarkan STBP 2007 dan 2011, prevalensi hiv pada waria belum menunjukkan penurunan yang signifikan 24,33 dan 21,85. Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status hiv pada waria di 5 kota di Indonesia Jakarta, Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya menggunakan data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku STBP Tahun 2015. Penelitian ini menggunakan total sampel dari penelitian STBP 2015 dan menggunakandesain studi cross sectional.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi hiv pada waria di 5 kota di Indonesia adalah 24,8. Diketahui sebanyak 52.9 responden berumur 21 - 35 tahun, 62.1 berpendidikan rendah, 95.9 berstatus belum kawin/pernah kawin, 41 merupakan pekerja seks, 35,7 berpengetahuan rendah, 35.1 memiliki riwayat IMS, 37.2 memulai berhubungan seks < 16 tahun, 50.5 telah terlibat kerja seks ge; 96 bulan, 42.9 tidak konsisten menggunakan kondom, 39.3 mengonsumsi alkohol, 7.4 mengonsumsi napza, dan 39 melakukan kunjungan klinik IMS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan p = 0,01 dan OR = 0,60; 95 CI: 0,43 - 0,82 , riwayat IMS p = 0,03 dan OR = 1,41; 95 CI: 1,05; 1,89 ,lama terlibat kerja seks p = 0,04 dan OR = 1,43 95 CI: 1,03 - 1,99, konsumsi alkohol p = 0,01 dan OR = 0,67; 95 CI: 0,49 - 0,91, dan konsumsi napza p = 0,04 dan OR = 1,64; 95 CI: 0,99; 2,71 berhubungan dengan status hiv pada waria.Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kampanye terapi IMS dan melakukan inovasi mobile health care yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada populasi waria.

Transgender is one of the high risk populationfor hiv infection. According to Integrated Biological and Behavioural Survey IBBS 2007 and 2011, the prevalence of hiv on transgender has not demonstrated a significant reduction 24.33 and 21.85. This study discusses the determinants of hiv on transgender in 5 cities in Indonesia Jakarta, Bandung, Semarang, Malang and Surabaya using data Integrated Biological and Behavioural Survey IBBS in 2015. This study used the all of sample from the IBBS 2015 and used cross sectional study.
The results showed that the prevalence of hivon transgender in 5 cities in Indonesia is 24.8. It is known that 52.9 of respondents are 21 35 years old, 35,7 are low educated, 95.9 are single, 41 are sex workers, 65.1 having low knowledge, 35.1 having a history of STI, 37.2 starts sex before 16 years, 50.5 had worked as sex work ge 96 months, 42.9 inconsistently using condoms, 39.3 consuming alcohol, 7.4 taking drugs, and 39 had come STI clinic before.
The results of this study indicated that knowledge p 0.01 and OR 0,60 95 CI 0,43 ndash 0,82, history of STI p 0,03 and OR 1,41 95 CI 1,05 ndash 1,89, had worked as sex worker more than 96 months p 0.04 and OR 1,43 95 CI 1,03 ndash 1,99, alcohol consumption p 0.01 and OR 0,67 95 CI 0,49 ndash 0,9 , drug comsumption p 0.04 and OR 1,64 95 CI 0,99 ndash 2,71 are significantly associated to hiv infection. Therefore, it is recommended to conduct STI therapy campaigns and mobile health care innovation to reach transgender population.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandrawati Mutmainah
"Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV. Di Indonesia, tren HIV pada waria meningkat, dari 5.8% pada tahun 2009 menjadi 8.2% pada tahun 2013. Mernurut Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2013, Kota Makassar memiliki prevalensi HIV pada waria tertinggi dibandingkan dengan kota lainnya dalam survei tersebut, yakni 10.8%. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status HIV pada waria di Kota Makassar pada tahun 2013. Penelitian ini mernggunakan desain studi cross sectional dengan menggunakan data STBP 2013. Hasil penelitian mendapatkan status HIV (+) sebesar 11.1%, diketahui sebanyak 62.2% respoden berusia <30 tahun, 99.2% belum menikah, 70.4% memiliki pendidikan tinggi, 85.6% bukan bekerja sebagai pekerja seks, 72.8% memiliki pengetahuan buruk mengenai HIV, 52.7% mulai berhubungan seks pada usia dini, 58.4% konsisten menggunakan kondom, 87.4% telah bekerja sebagai pekerja seks selama ≥2 tahun, 56.8% memiliki status IMS negatif, 56.8% mengkonsumsi alkohol, 81.5% tidak mengkonsumsi napza, 77% tidak pernah mengunjungi klinik IMS, 80.3% mudah mengakses pelayanan kesehatan, 92.6% mudah memperoleh kondom. Status IMS merupakan faktor yang berhubungan secara signifikan dengan status HIV (p=0.005, PR=3.1). Maka dari itu, pelayanan kesehatan perlu didekatkan kepada kelompok waria demi meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh waria.

Transgender is at high risk for HIV infection. In Indonesia, the trend of HIV prevalence has increased from 5.8% in 2009 to 8.2% in 2013. According to the Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2013, Makassar has the highest prevalence of HIV on transgender population (10.8%) among the cities on the survey. The objective of this study is to observe associated risk factors of HIV status among transgender in Makassar in 2013. This is a cross sectional study using the data from STBP 2013. The result indicates that proportion of HIV positive is 11.1%, most respondents (62.2%) are <30 years old, 99.2% are single, 70.4% are high educated, 85.6% aren?t sex workers, 72.8% having bad knowledge about HIV, 52.7% having an earlier sexual debut, 58.4% consistently using condom in every sexual intercourse, 87.4% had worked as sex worker more than 2 years, 56.8% not having STIs, 56.8% consuming alkohol, 81.5% aren?t drug users, 77% had not came to STI clinic before, 80.3% have easy access to health care, and 92.6% have easy access to condoms. Having STIs is significantly associated to HIV positive. Transgender with STI is 3.12 times more likely to have HIV positive than transgender with no STI (p<0.05). The results suggest that health care need to be brought closer to transgenders in order to improve utilization of health care by transgenders, so they can get immediate treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S59866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Udin Komarudin
"Efektivitas penggunaan kondom dan pelicin secara terpisah saat seks anal terhadap kejadian infeksi sifilis sudah banyak diketahui, namun masih jarang dilakukan penelitian untuk melihat efek gabungan penggunaan kondom dan pelicin dalam menyebabkan Sifilis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan kondom dan pelicin tambahan dengan infeksi sifilis diantara populasi kunci waria. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional menggunakan data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kementerian Kesehatan RI tahun 2015. Sampel yang dianalisis pada penelitian ini berjumlah 759 setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis multivariat menggunakan uji cox regresi. Hasil penelitian didapatkan proporsi infeksi sifilis sebesar 18,05%. Analisis multivariat menunjukkan penggunaan kondom dan pelicin tambahan berasosiasi dengan kejadian infeksi sifilis (PR=1,76 95%CI=0,83-3,76), waria yang tidak menggunakan kondom dan tidak menggunakan pelicin tambahan berisiko 1,76 kali untuk mengalami sifilis. Perlu terus dikampanyekan pentingnya penggunaan kondom dan pelicin tambahan berbahan dasar air saat seks anal kepada waria dan pelanggannya untuk menurunkan kejadian infeksi sifilis.

The effectiveness of using condoms and lubricants separately during anal sex on the incidence of syphilis infection is well known, but research is still rare to see the combined effect of the use of condoms and lubricants in causing syphilis. This study aims to determine the relationship between condom use and additional lubrication with syphilis infection among key waria populations. This study used a cross-sectional design using data from Integrated Biological and Behavior Survey (STBP) the Indonesian Ministry of Healths in 2015. The samples analyzed in this study amounted to 759 after fulfilling the inclusion and exclusion criteria. Multivariate analysis using the cox regression test. The results showed that the proportion of syphilis infection was 18.05%. Multivariate analysis showed that the use of condoms and additional lubricants was associated with the incidence of syphilis infection (PR = 1.76 95% CI = 0.83-3.76), Male to female transgender who did not use condoms and did not use additional lubricants had a risk of 1.76 times to experience syphilis . It is necessary to continue campaigning on the importance of using condoms and additional water-based lubricants during anal sex to male to female transgender and their customers to reduce the incidence of syphilis infections. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romauli
"Infeksi Menular Seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Sifilis merupakan salah satu IMS yang beberapa tahun terakhir meningkat termasuk Indonesia khususnya pada kelompok berisiko. Sifilis juga merupakan faktor risiko infeksi HIV, demikian pula sebaliknya. Supir truk antar kota merupakan populasi jembatan tansmisi sifilis dari resiko tinggi ke populasi umum. Penyakit ini sering tanpa gejala sehingga tidak disadari penderita padahal dapat menyebabkan penyakit yang serius seperti kerusakan jantung, otak bahkan kematian. Selain itu dapat ditularkan dari ibu kepada bayi yang kemudian dapat menyebabkan prematur, kecacatan dan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi sifilis pada supir truk antar kota di 4 kabupaten/kota yaitu Deli Serdang, Lampung Selatan, Batang dan Denpasar. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian ini menggunakan data STBP 2011 dengan jumlah responden 1492 orang. Pada penelitian ini diperoleh prevalensi sifilis 5,8%.
Hasil multivariat menunjukkan umur ≥ 35 tahun dan usia pertama kali berhubungan seks < 18 tahun berhubungan bermakna dengan infeksi sifilis dengan POR secara berurutan 2,63 dan 1,79. Setelah dilakukan pemodelan dengan regresi logistik, variabel yang menjadi prediktor infeksi sifilis pada supir truk antar kota adalah variabel umur ≥ 35 tahun, usia pertama kali melakukan hubungan seks (< 18 tahun) dan status HIV.

Sexually transmitted infections (STIs) are very common and still a public health problem worldwide. Syphilis is an STI caused by Treponema pallidum, which can be transmitted through sexual contact or from mother to child during pregnancy. Many studies have been revealed that syphilis promotes the transmission of HIV and both infections can stimulate and interact with each other. Recently there have been epidemics of syphilis in certain countries of the world especially in high risk groups. Long-distance truck drivers is a bridge transmission of syphilis from high risk to general population. Often the infected person does not realize that he has been infected and only can be detected by serological tests. If left untreated, may caused complications such cardiovascular and neurological. During pregnancy, syphilis may contribute to stillbirth, preterm delivery, and early fetal death.
The objective of this study was to indentify factors associated with syphilis infection among long-distance truck drivers in 4 municipalities (Deli Serdang, Lampung Selatan, Batang and Denpasar). This study disign is a cross sectional study using IBBS 2011 data with 1492 participants. The prevalence of syphilis was 5,8%.
In multivariate analysis, syphilis infection was associated with older age (≥ 35 years old) and age at first sex (< 18 years old) with POR respectively 2,63 and 1,79. After modelling with logistic regression, fit model of syphilis predictors include older age (≥ 35 years old), age at first sex (< 18 years old) dan HIV infection.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T34952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butar Butar, Marta
"Latar Belakang : Berdasarkan angka kejadian sifilis pada kelompok LSL yang tercatat pada STBP Tahun 2011 cenderung meningkat sebesar 9 % (dari 4% menjadi 13%) dibandingkan STBP Tahun 2007. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis prediktor kejadian sifilis pada populasi LSL yaitu umur, tingkat pendidikan, status HIV, penggunaan kondom, konsumsi Napza/Napza suntik, konsumsi alkohol, jumlah pasangan seks dan pemeriksaan IMS.
Metode : Desain Penelitian cross sectional menggunakan data sekunder dari STBP 2015. Data di analisis dengan Cox regresion. Populasi penelitian yaitu kelompok LSL yang berasal dari 10 kabupaten/kota dengan jumlah sampel responden yaitu 1495 orang.
Hasil : Proporsi infeksi Sifilis pada kelompok LSL pada 10 kabupaten/kota di Indonesia adalah 15,7%. Ada hubungan yang bermakna antara status HIV (PR 2,05 (95% CI 1,58-2,66), Umur (20-24 tahun (PR 2,45, 95% CI 1,07-5,64), 25-29 tahun (PR 3,01, 95% CI 1,30-6,95), > 30 tahun (PR 2,42, 95% CI 1,04-5,65) dibandingkan LSL umur 15-19 tahun) dengan kejadian infeksi sifilis pada LSL dan ada interaksi antara alkohol dan pendidikan (LSL berpendidikan rendah yang minum alkohol (PR Interaksi 0,47 95% CI 0,23-0,96), LSL berpendidikan rendah tidak minum alkohol (PR Interaksi 1,34 95% CI 0,94-1,90) dan LSL berpendidikan tinggi yang minum alkohol (PR Interaksi 1,4 95% CI 1,03-1,90) dibandingkan LSL yang berpendidikan tinggi yang tidak minum alkohol) dengan kejadian infeksi sifilis pada LSL sedangkan penggunaan kondom, Napza/Napza suntik, jumlah pasangan seks lelaki dan pemeriksaan IMS tidak berhubungan secara statistik dengan nilai p > 0,05 dengan kejadian sifilis.

Background : Based on the incidence of Syphilis in delayed groups of MSM in STBP 2011 the symptoms increased by 9% (from 4% to 13%) compared to STBP Year 2007. The purpose of this study was predictors of syphilis infection in MSM population, age, education level, HIV status, Condoms, intake / drug consumption, alcohol consumption, number of sex partners and STI examination.
Method: The cross sectional study design used secondary data from STBP 2015. The data were analyzed by Cox regression. The population of the study were MSM group from 10 districts / cities with 1495 respondents.
Results: The proportion of Syphilis infections in MSM in 10 districts / cities in Indonesia was 15.7%. There was a significant relationship between HIV status (PR 2.05 (95% CI 1.58-2.66), Age (20-24 years (PR 2.45, 95% CI 1.07-5.64), 25 - 29 years (PR 3.01, 95% CI 1.30-6.95),> 30 years (PR 2.42, 95% CI 1.04-5.65) compared with men aged 15-19 years) with syphilis infection in MSM and there is an interaction between alcohol and education (low educated MSM who drink alcohol (PR Interaction 0.47 95% CI 0.23-0.96), low educated MSM who not drink alcohol (PR Interaction 1.34 95 % CI 0.94-1.90) and high educated MSM who drink alcohol (PR Interaction 1,4 95% CI 1.03-1.90) than high educated MSM who not drink alcohol with syphilis infection in MSM while condom use, drug/ injecting drug, number of male sex partners and STI examination were not statistically correlated (p> 0,05) with syphilis infection.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor (faktor predisposisi yaitu umur, pengetahuan tentang HIV AIDS, sikap terhadap penggunaan kondom, faktor pendukung yaitu keterpaparan program HIV AIDS dan ketersediaan kondom, faktor penguat yaitu adanya kelompok dukungan sebaya yang berhubungan dengan praktek penggunaan kondom pada kelompok waria di Kota Tangerang tahun 2015. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel berjumlah 151 waria yang diambil dari seluruh total sampel dan kuesioner sebagai alat ukur penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 55,6% responden selalu menggunakan kondom, 56,3% berumur sama dengan 30 tahun, 57,6% berpengetahuan baik, 51,7% bersikap negatif terhadap penggunaan kondom, 53,6% terpapar program HIV AIDS, 62,3% tersedia kondom, 76,2% ada Kelompok dukungan sebaya. Menurut uji chi square terdapat 4 variabel yang memiliki hubungan signifikan terhadap praktek penggunaan kondom pada waria yaitu pengetahuan mengenai HIV AIDS, keterpaparan program HIV AIDS, ketersediaan kondom, dan dukungan kelompok sebaya. Faktor yang paling dominan adalah keterpaparan program HIV AIDS terhadap praktek penggunaan kondom pada waria.

The purpose of this study was to determine the factors (predisposing factors such as age, knowledge about HIV AIDS, attitudes towards condom use, enabling factors are exposure to HIV AIDS program and the availability of condoms, reinforcing factor is the existence of peer support groups associated with the practice of the use of condoms on transsexuals in Tangerang city in 2015. This study used cross sectional design with a sample totaling 151 transvestites taken of the total sample and questionnaire as a measuring tool of the study.
The results of this study showed that 55.6% of respondents always use a condom, 56.3 % of the same age to 30 years, 57.6% good knowledge, 51.7% negative attitudes toward condom use, 53.6% are exposed to HIV AIDS program, 62.3% provided condoms, 76.2% no peer support groups. According to chi square test there are four variables that have a significant relation to the practice of condom use on transsexuals that knowledge about HIV AIDS, exposure to HIV AIDS program, the availability of condoms, and peer support. The most dominant factor is the exposure of HIV-AIDS program to the practice of the use of condoms on a transsexual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Wati Murliani
"Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) telah menjadi masalah kesehatan internasional karena telah terjadi peningkatan jumlah pasien di beberapa negara di dunia. Kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, merupakan kawasan dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi kedua yaitu sebanyak 7,8 juta atau 5,2-12 juta. Prevalensi HIV pada kelompok waria di Indonesia tahun 2003 sebesar 22% lebih tinggi dibandingkan dengan negara Bangkok (16,8%) dan Kamboja (9,8%). Sekitar 59,3% waria tidak menggunakan kondom saat melakukan seks anal lebih tinggi dibandingkan pada gay (53,1%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsistensi penggunaan kondom dengan HIV(+) pada waria. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Responden berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya pada tahun 2011, dengan metode pengambilan sampel Two-stage Proportionate Probability Sampling. Dari 1089 sampel yang ada, sampel yang eligible dan masuk dalam analisis sebanyak 1070 sampel. Prevalensi kasus HIV(+) pada waria sebesar 21,9%, dengan analisis bivariat yang menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik adalah konsistensi penggunaan kondom, umur, pendidikan, lama melakukan seks komersil, jumlah pelanggan seks anal, negosiasi kondom, kontak dengan petugas, dan kunjungan klinik IMS. Setelah dilakukan uji stratifikasi, didapatkan ada interaksi variabel pendidikan dan konsistensi penggunaan kondom terhadap hubungan konsistensi penggunaan kondom dengan HIV(+). Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil akhir hubungan konsistensi penggunaan kondom dengan HIV(+) yang didapatkan setelah mengontrol pengetahuan komprehensif HIV/AIDS, negosiasi kondom, jumlah pelanggan seks anal, kunjungan klinik IMS, pendidikan, lama melakukan seks komersil, dan interaksi konsistensi penggunaan kondom dan pendidikan dengan OR sebesar 0,037 (95% CI: 0,004-0,349). Terdapat hubungan risiko yang tidak logis dalam penelitian ini, menyebabkan hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan untuk 5 kota besar di Indonesia. Pada waria yang tidak konsisten dalam menggunakan kondom baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi, perlu dilakukan upaya peningkatan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi. Monitoring dan evaluasi juga sangat diperlukan untuk memantau prevalensi HIV(+) pada waria dan mengumpulkan data/ informasi yang berhubungan dengan meningkatnya kasus HIV(+) pada beberapa propinsi dengan jumlah waria terbanyak berdasarkan estimasi populasi rawan tertular HIV di Indonesia.

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) has been a health international problem due to the increasing of patient in several countries in the world. South and South-East Asia is the second region of the biggest number of HIV/AIDS, that is around 7,8 million or 5,2-12 million. The prevalence of HIV among transgender in Indonesia in 2003 is 22% higher than Bangkok (16,8%) and Cambodia (9,8%). Around of 59,3% transgender were not using condom during anal intercourse which was higher than among men who have sex with men (53,1%). The aim of this study is to estimate the correlation of consistent condom use and HIV (+) among transgender. The study design is cross-sectional. The respondents were taken from Jakarta, Bandung, Semarang, Malang and Surabaya in 2011, by Two-stage Proportionate Probability Sampling method. Total of available sample were 1089 sample, but only 1070 sample were eligible and continued to analysis. The prevalence of HIV(+) among transgender is 21,9%. The result of bivariat analysis showed that several covariat variables had a statistically significant: consistent of condom use, age, education, time of commersial sex practice, anal-sex partner number, condom negotiation, contact with health worker, and visit to sexually transmitted infection (STI)`s clinic. There is an interaction variable of education and consistent condom use to the correlation of consistent condom use and HIV (+). Logistic regression was used for multivatiate analysis. The end of the result in this study is odds ratio (OR) of the correlation of consistent condom use and HIV (+) after controlling some confounders: a HIV/AIDS comprehensive knowledge, condom negotiation, anal-sex partner number, visit to STI`s clinic, education, time of commersial sex practice, and interaction of education and consistent condom use, is 0,037 (95% CI: 0,004-0,349). There are unlogically risk correlation in this study, which can cause the end of this result could not be generalized for the transgender`s population in 5 bis cities in Indonesia. An unconsistent condom use among high and low education among transgender, should be intervented by strenghtening of communication, information, and education programme. Monitoring and evaluation is more important to be implemented for monitoring the number of prevalence of HIV(+) among transgender and compiling data/informations of the correlation increased number of HIV(+) in several provinces which have a biggest number of transgender based on the estimation of population at risk of infected HIV in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T36865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Timotius Kevin P.
"Latar belakang: Individu transgender pada satu waktu akan menjalani transisi gender karena rasa tidak nyaman terhadap dirinya. Namun, proses transisi ini tidak mudah karena ada faktor internal dan eksternal yang dihadapi individu transgender. Tantangan tersebut membuat individu transgender rentan mengalami gangguan mental akibat sulitnya tercapai proses transisi yang diinginkannya. Walaupun, individu transgender sudah melakukan transisi, individu tersebut juga rentan mengalami stigma dan diskriminasi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kebutuhan layanan psikiatri pada individu transgender di Indonesia yang menjalani proses transisi gender, serta memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Studi ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survei, melibatkan populasi transgender di Indonesia sebagai subjek penelitian. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang mengukur karakteristik sosiodemografis, proses transisi gender, dukungan keluarga, pengalaman kekerasan, penggunaan layanan kesehatan psikiatri, dan dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.
Hasil: Dari 121 subjek menunjukkan variasi dalam karakteristik sosiodemografis dan proses transisi gender pada populasi transgender di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan faktor internal, seperti tingkat pendidikan (p=0,003), mempengaruhi pilihan transisi. Individu dengan pendidikan setara kuliah lebih sering memilih transisi medis dibandingkan mereka dengan pendidikan setara SMA ke bawah. Faktor eksternal, seperti dukungan keluarga (p=0,036) dan sikap tenaga medis (p=0,025), juga signifikan dalam menentukan jenis transisi. Sebagian besar subjek kesulitan mengakses informasi terkait transisi gender dan lebih sering berdiskusi dengan teman atau komunitas LGBTQ. Layanan psikiatri belum sepenuhnya diakses karena keterbatasan informasi. Namun, individu yang melakukan konseling psikiatri menunjukkan peningkatan signifikan dalam menjalani transisi medis.
Simpulan: Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, dukungan keluarga, dan diskriminasi tenaga medis terhadap proses transisi gender. Layanan psikiatri yang tersedia belum sepenuhnya diakses oleh individu transgender karena informasi yang kurang. Oleh karena itu, pentingnya dukungan psikiatri yang inklusif dan terjangkau bagi komunitas transgender.

Background: Transgender individuals often undergo gender transitions due to feelings of discomfort with their identity. However, the transition process is challenging due to internal and external factors faced by transgender individuals. These challenges make transgender individuals vulnerable to mental health disorders because of the difficulty in achieving their desired transition process. Even after transitioning, they remain at risk of stigma and discrimination. This study aims to assess the need for psychiatric services among transgender individuals in Indonesia undergoing gender transitions and understand the factors influencing these needs.
Method: This study employs a quantitative survey approach involving the transgender population in Indonesia as research subjects. Data were collected using questionnaires measuring sociodemographic characteristics, gender transition processes, family support, experiences of violence, and the use of psychiatric health services, supplemented with open-ended questions.
Results: Out of 121 subjects, the study revealed variations in the sociodemographic characteristics and gender transition processes within the transgender population in Indonesia. The findings show that internal factors, such as education level (p=0.003), influence transition choices. Individuals with college-level education are more likely to choose medical transitions compared to those with high school-level education or below. External factors, such as family support (p=0.036) and attitudes of healthcare providers (p=0.025), also significantly affect the type of transition. Most subjects face difficulties accessing information about gender transitions and often discuss their plans with friends or LGBTQ communities. Psychiatric services are not fully utilized due to a lack of information. However, individuals who undergo psychiatric counseling show significant improvements in undergoing medical transitions.
Conclusion: There is a relationship between education level, family support, and discrimination by healthcare providers in the gender transition process. Psychiatric services available to transgender individuals are underutilized due to insufficient information. Therefore, inclusive and accessible psychiatric support for the transgender community is essential.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muflihah Firdaus Ilyas
"Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Waria sebagai populasi kunci perlu dikontrol prevalensinya agar tidak menyebar ke populasi umum. Berdasarkan STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada waria belum menunjukkan penurunan yang signifikan (24% di 2007 dan 22% di 2011). Penelitian ini membahas mengenai determinan HIV pada waria di 5 kota di Indonesia dengan menggunakan data Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional mengikuti desain studi pada STBP 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan status HIV pada waria di 5 kota di Indonesia antara lain adalah umur, lama terlibat kerja seks, pendidikan, riwayat IMS, pekerjaan, jumlah pelanggan seks anal, konsistensi penggunaan kondom dan pelicin, tes HIV, dan kunjungan klinik IMS. Hasil penelitian ini menunjukkan pekerjaan waria merupakan faktor yang paling besar risikonya terhadap status HIV pada waria di 5 kota di Indonesia (OR=2,36).

HIV and AIDS is a public health problem that requires serious attention. Waria as key populations, the prevalence needs to be controlled to not spread to the general population. Based on the Integrated Biological and Behavioural Surveillance (IBBS) 2007 and 2011, the prevalence of HIV on the transgender has not demonstrated a significant reduction (24% in 2007 and 22% in 2011). The aim of this study is to discuss the determinants of HIV on transgenders in 5 cities in Indonesia using data Integrated Biological and Behavioral Surveillance (IBBS) in 2011. This study is a quantitative study with a cross-sectional study design followed the design of the study on IBBS 2011.
The results showed that the determinant of HIV status on transgender in 5 cities in Indonesia, are age, duration involved sex work, education, history of STIs, job as a sex worker, number of anal sex clients, consistency use of condoms and lubricants, HIV testing, and STI clinic visits. Results of this study indicate transgender job is the greatest risk factor of HIV status on transgender in 5 cities in Indonesia (OR = 2.36).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>