Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125614 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Razi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carmelia Susanti
2001
S3056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verina Adristi Maheswari
"Fenomena perselingkuhan daring semakin hari semakin meningkat dimana salah satu variabel yang berhubungan dengan perilaku perselingkuhan adalah tingkat kepuasan hubungan romantis yang rendah. Namun, terdapat faktor pelindung yang dapat mempengaruhi individu untuk tidak melakukan perselingkuhan daring, yaitu tingkat kontrol diri yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kontrol diri sebagai moderator dalam hubungan antara kepuasan hubungan romantis dan perselingkuhan daring. Penelitian dilakukan kepada 239 partisipan yang sedang berpacaran selama minimal enam bulan dan menggunakan internet selama minimal tujuh jam seminggu yang didapatkan dengan convenience sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu modifikasi dari Internet Infidelity Scale (IIS), Relationship Assessment Scale (RAS), dan Brief Self Control Scale (BSCS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol diri berperan sebagai moderasi dalam hubungan antara kepuasan hubungan romantis dan perselingkuhan daring dengan β = 0,0513, t(239) = 3,8336, p<0,05. Ketika dianalisis lebih lanjut, ditemukan bahwa tingkat kontrol diri yang tinggi mampu berperan untuk menahan individu untuk tidak melakukan perselingkuhan daring pada hubungan romantis yang tidak memuaskan. Peran kontrol diri terbatas pada saat hubungan romantis memuaskan.

The phenomenon of cyber infidelity keeps increasing where one of the variables related to infidelity behavior is the low level of romantic relationship satisfaction. However, there are protective factors that can influence individuals not to commit cyber infidelity, it is a high level of self control. This study is aimed to examine the role of self control as a moderator in the relationship between romantic relationship satisfaction and cyber infidelity. The study was conducted on 239 participants who had been dating for at least six months and used the internet for at least seven hours per-week obtained through convenience sampling. The measuring instruments that are used in this study are modifications of the Internet Infidelity Scale (IIS), Relationship Assessment Scale (RAS), and Brief Self Control Scale (BSCS). The results of this study indicated that self control moderated the relationship between romantic relationship satisfaction and cyber infidelity with β = .0513, t(239) = 3.8336, p<.05. Analyzing further, it was found that a high level of self control restraining individuals from committing cyber infidelity in unsatisfied romantic relationships. The role of self control is limited to satisfied romantic relationships."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Arief Setyawan
"Seorang manajer dituntut untuk seialu menunjukkan citranya sebagai eksekutif. Upaya ini untuk mengolah dengan cara memanipulasi kesan fisik dikenal sebagai upaya impression management. Konsep ini diperkcnalkan oieh Erving Goffman (1959), seorang sosiolog Amerika yang menjelaskan kecenderungan seseorang untuk menyesuaikan antara harapan masyarakat dengan peran yang disandang oleh seorang. Sebagai salah satu cara untuk menirigkatkan citranya, yakni dengan memakai benda-benda yang melekat dan berkaitan dengan identitasnya. Kemampuan untuk mengolah kesan yang positif sesuai dengan peran yang disandang akan membantu manajer untuk menjalankan tugas dan fungsi kemanajerialan. Peran sebagai eksekutif seiring berhubungan dengan orang lain, membuat manajer dituntut untuk seialu raenjaga wibawanya. Fungsi-fungsi manajeriai seperti conlrolling. stajfing, organizing. leading, dan planning, dapat beijalan lancar jika kewibawaan manajer seialu dijaga. Konsep yang dapat menjelaskan bagaimana seorang manajer dapat menampilkan kesan atau citra yang positif sesuai dengan perannya, yakni self motiitoring.
Menurut Snyder (1974), konsep self monitoring ini merujuk pada lima komponen yakni, pertama. menyangkut keputusan sosial dari presentasi diri seseorang di hadapan publlik ; kedua, perhatian terhadap informasi tentang berbagai perbandingan sosial sebagai isyarat-isyarat dari penampilan diri yang bagaimana yang pantas jika berada dalam situasi terlentu , ketiua. kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi ekspresi tingkalh laku , keemoat, pemanfaatan dan penggunaan kemampuan tersebut dalam situasi-sitiasu khusus, dan terakhir kelima, sampai seberapa jauh ekspresi tingkah laku dan presentasi diri seseorang bentuk untuk menyesuaikan dengan situasi-situsi khusus.
Dalam pengukurannya Seli Monitoring, dibagi menjadi tiga aspek yakni Ekstraversion-Intraversion, Self Directedness, Acting Out. Aspek pertama, Ekstraversion-Introversion mengukur kemampuan self explanatory, yakni kesediaan individu dalam mengorienlasikan diri berhubungan dengan orang lain. Aspek kedua, Otherdirectedness, mengukur kemauan atau kesediaan untuk mengubah tingkah laku di hadapan orang lain. Sedangkan aspek ketiga yakni Acting Out, mengukur kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi presentasi diri dan tingkah laku ekspresif yang sponlas dalam situasi publik. Singkat kata pengukuran self monitoring ini secara keseluruhan unutk melihat dua kemampuan yakni kemampuan mengatur dan kemampuan menjaga kesan positif penilain orang lain terhadap penampilan diri.
Salah satu cara mengkomunikasikan citra dan wibawa, yakni dengan cara memakai barang-barang bermerek yang mahal. Gaya hidup manajer selama ini dianggap high profile, mengingat pola konsumsinya terhadap barang-barang yang mahal. Salah satu barang yang melekat dan berkaitan erat dengan identitas manajer, yakni busana eksekutif. Busana eksekutif dibatasi sebagai busana keija yang dipakai manajer dalam lingkungan formalnya (setting keija). Busana ini terdiri; kemeja dan celana panjang untuk pria, blues dan blazer untuk wanita.
Merek-merek terkenal yang telah mendunia (international) menjadi pilihan utama setelah bentuk morfologisnya. Merek-merek tersebut berharga mahal dan tidak semua orang dapat mengkonsumsinya. Alasan mereka yang mengkonsumsi busana mahal tersebut beraneka ragam. Namun jika dicermati terdapat dua alasan yakni sebagai ekspresi hedonis dan utilitaraian Loudoun & Delabitta (199j). Sebagai ekspresi hedonis merujuk pada pengakuan terhadap social power, seperti kekayaan, kemakmuran, dan kekuasaan. Sedangkan utilitarian motif mementingkan asas kegunaan, dan biasanya menjadi perilaku instrumental untuk mencapai tujuan utama. Motif-motif pembelian ini berkaitan dengan keyakinan atau belief seseorang.
Untuk mengetahui secara pasti, maka diperlukan penelitian yang dapat melihat belief-belief tersebut. Konsep yang dapat melihat secara luas, namun tepat melihat keinginan manajer untuk membeli busana eksekutif terkenal, yakni intensi. Konsep intensi ini diperkenalkan oleh Fishbein & Ajzen (1975) yang mendefinisikannya sebagai kecenderungan seseorang menempatkan diri dalam dimensi probabUitas yang melibatkan dirinya dan tingkah laku. Dalam upaya melengkapi konsep ini Ajzeo (1988) mengoreksi dengan menambahkan satu komponen penting dari intensi, sehingga menjadi tiga komponen, yakm sikap, norma subyektif, dan yang baru perceived behavior control (PBC). Sikap dipengaruhi oleh dua variabel yakni belief behavior, yakni keyakinan seseorang tentang tingkah laku tersebut, dan out comes evaluation, yakni evaluasi terhadap konsekuensi yang diterima jika memunculkan tingkah laku tersebut.
Norma subyektif terdiri dari dua bagian yakni normatif belief, yakni keyakinan bahwa terdapat orang-orang yang penting {signiftkan others) menginginkan seseorang untuk menampilkan tingkah laku. Aspek kedua dari norma subyektif yakni motivation to comply yakni kesediaan untuk memenuhi harapan signifikan others. Sedangkan PBC terdiri dari aspek control belief yakni keyakinan bahwa terdapat sumberdaya dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menampilkan tingkah laku, aspek kedua perceived pmver yak " terdapat kontrol langsung yang dimiliki subyek untuk menampilakn tingkah laku tertentu. Pengukuran terhadap konstruk intensl ini semakin relevan jika dikaitkan dengan adanya krisis ekonomi, dimana terdapat asumsi bahwa upaya penghematan seseorang sebagai respon dari adanya inflasi yang tinggi akan mempengaruhi keinginan sseorang manajer untuk membeli busana-busana yang mahal.
Penelitian ini mempunyai empat tujuan yakni, pertama, ingin melihat bagaimana gambaran self monitoring manajer, kedua bagaimana intensi manajer untuk membelibusana eksekutif bermerek terkenal. ketiga, ingin melihat seberapa besar pengaruh sunmbangan komponen sikap, nomna subyektif, dan perceived behavior control, dan keempat ingin melihat apakah ada hubungan antara self monitoring dengan intensi untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal pada manajer. Penelitian ini menggunakan sampel manajer lini pertama, manajer madya, dan manajer puncak mengingat bahwa indikasi kuat bahwa ketiga kelompok ini mempunyai daya beli yang cukup tinggi untuk membeli busana-busana mahal. Penentuan sampel menggunakan tekmk accidental sampling, dimana sampel yang tersedia dapat diambil asal memenuhi syarat karakteristik sampel. Teknik sampling ini termasuk non probability sampling, dimana setiap subyek penelitian tidak mempunyai peluang yang sama menjadi sampel penelitian. Jumlah sampel yang dapat diambil sebanyak 127 orang.
Dari basil penelitian menemukan bahwa self monitoing para manajer ratarata tinggi. Terdapat perbedaan yang signifikan antara manajer puncak, madya, dan lini pertama dalam self monitoringnya, dimana semakin tinggi jabatan seseorang SMnya semakin tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal cendemng tinggi. Terdapat perbedaan intensi yang signifikan antara manajer puncak, madya dan Kni pertama. Perbedaan ini rupanya masih berhubungan erat dengan daya beli mereka. Manajer puncak dan manajer madya masih menganggap dirinya masih mampu membeli busana-busana tersebut meskipun makin mahal. Dari penelitian tentang belief-belief mereka nampaknya para manajer terdorong untuk membeli busana busana tersebut lebih dikarenakan pertimbangan utilitarian yang melihat sebagai tingkah laku memakai busana eksekutif bermerek terkenal sebagai salah cara untuk meraih kewibawaan dan mendapatkan legitimasi yang wajar.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen PBCD merupakan prediktor terbaik dari dua komponen sikap dan norma subyektif. Hasil ini sesuai dengan teori Ajzen (1988) bahwa persepsi terhadap sumberdaya mempengaruhi kontrol seseorang dalam memunculkan tingkah laku. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa selama daya beli masih tinggi, tingkah laku akan dimunculkan seseorang. Namun dari hasil ini daya beli tersebut masih dimiliki kelompok manajer puncak dan madya yang memang mempunyai penghasilan yang cukup, meski berada dalam situasi ekonomi yang sulit.
Hasil utama lain dari penelitian ini, yakni bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self monitoring dengan intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal yang mahal. Hal ini berarti semakin tinggi SM manajer semakin tinggi pula intensinya untuk membeli busana-busana mahal tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosipana Kusnulhuda
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara self-monitoring dengan kualitas pertemanan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Self-monitoring diukur menggunakan Self-Monitoring Scale (Snyder & Gangestad, 1986) sedangkan kualitas pertemanan diukur menggunakan McGill Friendship Questionnaire (Mandelson & Aboud, 2012). Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa dengan jumlah 125 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-monitoring memiliki hubungan yang negatif dengan kualitas pertemanan (r = -0,165, n = 125, p < 0,05, one tailed). Ini berarti, semakin tinggi tingkatan seseorang dalam melakukan self-monitoring maka akan semakin rendah kualitas pertemanan yang ia miliki.

This research was conducted to find the correlation between self-monitoring and friendship quality. This research used the quantitative approach. Self-monitoring was measured using Self-Monitoring Scale (Snyder & Gangestad, 1986) and friendship quality was measured using McGill Friendship Questionnaire (Mandelson & Aboud, 2012). The partisipant of this research are 125 college student. The result of this research show that self-monitoring have negatif correlation with friendship quality (r = -0,165, n = 125, p < 0,05, one tailed). That is, the higher person level of self-monitoring, the lower friendship quality he/she have.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57364
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah Trikusumaningrum
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-monitoring dan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia yang berusia 18-24 tahun. Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan mengukur variabel self-monitoring menggunakan Revised Self-monitoring Scale yang dikembangkan oleh Lennox dan Wolfe (1984) dan mengukur variabel psychological well-being menggunakan Ryff?s Scale of Psychological Well-being (1995). Responden penelitian sejumlah 198 orang yang tersebar dalam 12 fakultas dan Pendidikan Vokasi di Universitas Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-monitoring dan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia (r = + 0,427, n = 198, p < 0,01 (one tailed). Hal ini menunjukkan semakin tinggi self-monitoring yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin tinggi pula psychological wellbeing-nya. Oleh karena itu, hipotesis alternatif ditolak dan dibahas lebih lanjut di dalam subbab diskusi.

This research aimed to find correlation between self-monitoring and psychological well-being of college students in Universitas Indonesia who having an age of 18-24 years old. Researcher used quantitative approach to find this correlation. Self-monitoring was measured using Revised Self-monitoring Scale (Lennox & Wolfe, 1984) and psychological well-being was measured using Ryff’s Scale of Psychological Well-being (Ryff, 1995). Participants of this research are 198 college students from 12 Faculties and Vocational Program in Universitas Indonesia.
The result of this research shows that there is positive significant correlation between self-monitoring and psychological well-being of college students in Universitas Indonesia (r = + 0,427, n = 198, p < 0,01 (one tailed). This result means the higher self-monitoring in participants, the higher their psychological well-being. Then, alternative hypothesis was rejected and be discussed further in discussion subchapter.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradina Paramitha
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-monitoring dan strategi regulasi emosi yang digunakan oleh mahasiswa yang sedang mengikuti organisasi kemahasiswaan. Hal ini menjadi penting karena self-monitoring, yaitu tingkatan individu dalam memonitor dan memantau tingkah laku yang ditunjukkan (Snyder, 1974) memiliki implikasi yang penting pada perilaku berorganisasi. Penelitian ini menggunakan alat ukur RSMS (Revised Self-Monitoring Scale) milik Lennox dan Wolfe (1984) untuk mengukur self monitoring dan alat ukur ERQ (Emotion Regulation Questionaire) milik Gross dan John (2003) untuk mengukur strategi regulasi emosi yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Partisipan penelitian merupakan 133 mahasiswa yang sedang aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan. Terdapat dua hasil penelitian pada penelitian ini. Hasil penelitian pertama menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara self-monitoring dengan cognitive reappraisal (r = 0,250; n = 133 ; p = 0,004, two tailed). Artinya semakin tinggi self-monitoring individu semakin tinggi pula kecenderungannya untuk menggunakan strategi cognitive reappraisal. Hasil penelitian kedua menunjukkan tidak terdapat hubungan antara self-monitoring dengan expressive suppression (r = 0,034; n = 133; p = 0,01, two tailed).

This research is intended to find out the correlation between self-monitoring and emotional regulation strategy used by the students involved in an organization.This research is important because self-monitoring which refer to the extent to which people monitor and observe their expressive behavior (Snyder,1974) has important implication to organizational behavior. This research applied RSMS (Revised Self-Monitoring Scale)by Lennox and Wolfe (1984) to measure self-monitoring and ERQ (Emotion Regulation Questionnaire) by Gross and John (2003) to measure emotional regulation strategy namely cognitive reappraisal and expressive suppression. The research participants are 133 students actively involved in the student organization. Two results are obtained. The first result shows that there is a significance relationship between self-monitoring and cognitive reappraisal (r = 0,250; n = 133 ; p = 0,004, two tailed). It means that the higher the individual self-monitoring is conducted, the higher the tendency to apply the cognitive reappraisal strategy. The second result shows that there is no relationship between self-monitoring and expressive suppression (r = 0,034; n = 133; p  0,01, two tailed).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55150
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Maulida Bastaman
"ABSTRAK
Banyak orang berasumsi bahwa trait pemimpin, seperti self-monitoring dan achievement orientation, berhubungan dengan efektivitas seorang pemimpin. Akan tetapi, sesungguhnya penelitian-penelitian terdahulu belum sepakat mengenai hubungan antara self-monitoring dan achievement orientation dengan efektivitas pemimpin. Ada yang berpendapat bahwa pemimpin dengan self-monitoring dan achievement orientation tinggi lebih dipersepsi sebagai pemimpin yang efektif. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa self-monitoring dan achievement orientation yang tinggi justru menjadi hambatan bagi seseorang untuk dapat dipersepsi sebagai pemimpin yang efektif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara self-monitoring dan achievement orientation dengan efektivitas pemimpin. Efektivitas pemimpin dalam penelitian ini dinilai melalui evaluasi bawahan terkait perilaku pemimpin efektif. Untuk membatasi common method bias, dilakukan pengambilan data dari dua sumber berbeda (data self-monitoring dan achievement orientation diperoleh dari atasan dan data perilaku pemimpin efektif diperoleh dari bawahan) serta diterapkan counterbalancing pada item alat ukur yang diperoleh dari sumber atasan (self-monitoring dan achievement orientation). Penelitian ini dilakukan terhadap 215 pasang atasan dan bawahan pegawai perusahaan di sektor industri jasa keuangan dan perhotelan. Analisis multiple regression menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara achievement orientation dan perilaku pemimpin efektif. Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara self-monitoring dan perilaku pemimpin yang efektif. Implikasi dari penelitian ini didiskusikan lebih lanjut.

ABSTRAK
Many assume that leader?s traits, like self-monitoring and achievement orientation, are related to leader effectiveness. However, previous studies have not actually agreed yet on the relationships between self-monitoring, achievement orientation, and leader effectiveness. Some argue that high self-monitored leaders are perceived as more effective, as well as high achievement-oriented leaders. Contrary to that, others see high self-monitoring and achievement orientation as hindrances to the leader effectiveness. Therefore, this current study aims to investigate the relationships between self-monitoring and achievement orientation with leader effectiveness. In this study, leader effectiveness is measured from subordinate?s evaluation of leader effectiveness behavior. To limit common method bias, data was gathered from two different sources (self-monitoring and achievement orientation data gathered from leaders and leader effectiveness behavior data gathered from subordinates) and counterbalancing method is in place. Research data was collected from 215 pairs of leaders and subordinates in financial and hospitality industries. Multiple regression analysis demonstrates that there is a significant positive relationship between achievement orientation and leader effectiveness behavior. However, no significant relationship is found between self-monitoring and leader effectiveness behavior. Implications of this research are discussed further."
2016
S63131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Ikhsan Fahdiat
2002
S3170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Andriana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek moderasi dari self-monitoring pada hubungan antara job insecurity dan impression management. Menggunakan teori job adaptation dan teori self-monitoring sebagai pedoman, individu dengan self-monitoring yang tinggi akan memperkuat hubungan antara job insecurity dan impression management, karena mereka akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keinginan perusahaan sehingga meningkatkan kemungkinan untuk melakukan impression management sebagai respon dari job insecurity yang dimillikinya. Data diperoleh dari karyawan dari berbagai organisasi di Jakarta N=281 dan dianalisis menggunakan macro Hayes PROCESS pada SPSS v. 21. Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara job insecurity dengan impression management. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya efek moderasi self-monitoring pada hubungan job insecurity dan impression management.

This study aims to investigate the moderating effect of self monitoring on the relationship between job insecurity and impression management. Drawing on the job adaptation and self monitoring theories, individuals with a high level of self monitoring will strengthen the relationship between job insecurity and impression management, in which they are more likely to adjust themselves according to what the organization expects, thus they are more likely to use impression management in response to job insecurity. Data were collected among employees from various organizations in Jakarta N 281 and were analysed using the Hayes Process macro on SPSS v. 21. Results indicated that there were a significant positive effects of job insecurity and impression management. However, there were no moderating effect of self monitoring on the relationship between job insecurity and impression management.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67698
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>