Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155673 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siagian, Eva Grace Rouli
"ABSTRAK
Hubungan pacaran merupakan salah salah jenis hubungan interpersonal.
Menurut Bird dan Melville (1994), hubungan pacaran adalah suatu hubungan atau
proses formal yang dilewati oleh perempuan lajang dan laki-laki lajang, dimana
dalam proses/hubungan itu masing-masing memilih pasangan hidupnya. Dalam
hubungan pacaran, pasangan kekasih biasanya saling mencurahkan atau
mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya terhadap satu sama lain.
Menurut Plutchik, cinta adalah salah satu jenis emosi kompleks yang
dibentuk dari kombinasi dua emosi dasar, yaitu joy dan acceptance. Sementara itu,
dengan merujuk pada definisi ekspresi emosi menurut Gross dan John (1997), maka
ekspresi emosi cinta dapat diartikan sebagai manifestasi dari emosi cinta yang
muncul dalam bentuk perilaku. Menurut Buscaglia (1988), ekspresi emosi cinta ini
sangat penting bagi perkembangan hubungan pacaran. Ekspresi emosi cinta juga
penting karena dapat memperkuat emosi cinta itu sendiri (Tysoe, dalam Sukaria,
1995). Adapun setiap budaya memiliki display rules yang berperan dalam mengatur
tampilan atau ekspresi emosi seseorang.
Sesuai dengan stereotip gender dan beberapa literatur, disebutkan bahwa
perempuan lebih ekspresif dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian ini bertujuan
untuk meneliti gambaran ekspresi emosi cinta dalam hubungan pacaran menurut
laki-laki dan perempuan. Subyek penelitian adalah individu dewasa muda yang
berusia antara 20-30 tahun. Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Subyek diminta untuk memberi tanda
centang (v) pada skala yang sesuai dengan diri subyek, untuk setiap ekspresi emosi
cinta yang dilakukan subyek kepada pasangannya dan untuk setiap situasi dimana
subyek mengekspresikan emosi cinta kepada pasangannya. Untuk mengukur
ekspresi emosi cinta, dilihat nilai mean dari total ekspresi verbal dan nilai mean dari
total ekspresi non verbal pada kelompok subyek laki-laki dan perempuan. Kemudian
dilakukan perhitungan t-test untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan
antara kedua kelompok subyek dalam jenis-jenis ekspresi emosi cinta (verbal dan
non verbal), serta antara jenis-jenis ekspresi cinta itu sendiri pada masing-masing
kelompok subyek. Selain itu, dilihat pula nilai mean dari setiap ekspresi untuk
mengetahui ekspresi-ekspresi mana yang paling sering dan yang paling jarang
dilakukan subyek. Kemudian untuk mengukur situasi ekspresi emosi cinta, dilihat
dari nilai mean setiap situasi untuk mengetahui pada situasi-situasi apa subyek cenderung mengekspresikan dan pada situasi-situasi apa subyek cenderung tidak
mengekspresikan emosi cinta kepada pasangan.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok subyek laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan emosi cinta
kepada pasangannya, baik secara verbal maupun secara non verbal. Hasil penelitian
juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antar jenis ekspresi emosi cinta
(verbal dan non verbal), baik pada kelompok subyek laki-laki maupun pada
kelompok subyek perempuan. Dalam hal ini, kelompok subyek laki-laki dan
kelompok subyek perempuan sama-sama lebih ekspresif secara non verbal daripada
secara verbal.
Hasil penelitian yang diperoleh ternyata tidak sesuai dengan stereotip gender
dan literatur yang menyebutkan bahwa perempuan lebih ekspresif daripada laki-laki.
Hasil tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena kesetaraan gender
yang saat ini sudah mulai berkembang. Kedua, karena pengaruh kemajuan jaman
sehingga masyarakat sekarang menjadi lebih terbuka. Selain itu, dikatakan pula
bahwa individu yang mengalami emosi cinta akan cenderung mengekspresikannya
baik secara verbal maupun secara non verbal (Fitness & Fletcher, 1993).
Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pembenahan terhadap alat
ukur ekspresi emosi cinta dan situasinya serta lebih memperhatikan faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi ekspresi emosi cinta. Pada penelitian lanjutan
sebaiknya juga dilakukan metode observasi dan wawancara disamping metode
kuantitatif untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai
ekspresi emosi cinta yang diteliti pada konteks yang lebih spesifik. Selain itu, dapat
juga dilakukan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi emosi cinta atau
penelitian perbandingan antar kelompok usia yang berbeda maupun status hubungan
yang berbeda."
2002
S3117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukaria
"Masa dewasa muda adalah masa kehidupan yang sangat penting bagi seseorang. Pada usia ini seseorang mencapai tanggung jawab yang lebih besar daripada usia sebelumnya karena ia mulai memilih arah hidup selanjutnya (Tumer 8; Helms, 1987). Di antara tugas-tugas perkembangan dewasa muda menurut Havighurst, sebagian berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, diantaranya adalah: berpacaran dan memilih pasangan hidup, dan belajar menyesuaikan diri dan hidup selaras dengan pasangan perkawinannya (Tumer & Hchns, 1987). Dalam membina hubungan yang intim dengan lawan jenis ini, salah satu emosi yang sangat penting dan menentukan adalah cinta. Cinta yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah cinta heteroseksual amara dua orang dewasa yang menjurus pada perkawinan.
Dewasa ini di negara-negara maju, cinta romantis dinilai oleh orang muda sebagai satu alasan terpenting untuk perkawinan (Rathus dkk., 1993). Satu hal yang sangat penting dalam hubungan cinta adalah konsep cinta yang dianut oleh orang yang bersangkutan. Konsep cinta dapat mencakup sekurang-kurangannya pemahaman seseorang tentang apa yang menjadi ciri-ciri/unsur-unsur cinta, dan bagaimana persamaan, dan perbedaan cinta dengan emosi yang lainnya yang hampir serupa.
Konsep cinta ini penting bagi kelangsungan hubungan cinta karena banyak masalah yang timbul dalam hubungan cinta berkaitan dengan kosep cinta ini. Masalah-masalah yang dapat terjadi dalam hubungan cinta yang berkaitan dengan konsep cinta itu antara lain:
- Masalah perbedaan dalam memahami cinta karena perbedaan jenis kelamin dan perbedaan individual
- Masalah perbedaan individual dalam komitmen dan nilai-nilai yang dianut:
- Masalah perbedaan antara gambaran ideal dan kenyataan
- Masalah-masalah perubahan cinta
Dengan adanya permasalahan di atas maka melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui :
2. Bagaimanakah gambaran konsep cinta pada orang dewasa muda?
2. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara pria dan wanita?
3. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara orang yang sudah menikah dengan orang yang belum menikah?
Untuk menjawab masalah ini maka peneliti menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan dimensi-dimensi emosi menurut Frijda dkk. (1989) dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg (1988) sebagai kerangka analisis. Untuk alat pengumpul data, peneliti menggunakan wawancara.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: secara umum dari seluruh subyek yang berjumlah 12 orang, dimensi yang paling menonjol pada konsep cinta keseluruhan subyek adalah dimensi penilaian dalam teori emosi Frijda (1986, 1989) dan dimensi keakraban dalam teori Sternberg (1988). Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa dalam perbandingan antara pria dan wanita, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam dimensi-dimensi emosi menurut Frijda dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg. Perbandingan antara subyek yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Namun secara kualitatif dari segi isi konsep cinta, nampak bahwa ada beherapa perbedaan antara pria dan wanita, yaitu:
- dalam dimensi emosi menurut Frijda, pada pria tidak terdapat respons ketergugahan faali sebagai unsur dalam konsep cinta sedangkan pada wanita terdapat respons ketergugahan faali walaupun hanya sedikit (5%).
- dalam dimensi cinta menurut Sternberg (1988), unsur yang paling besar proporsinya pada subyek pria adalah keakraban (52%) sedangkan pada wanita adalah nafsu (44%)
Perbandingan antara orang yang belum menikah dengan orang yang menikah juga apabila dianalisis isinya, terlihat bahwa pada orang yang sudah menikah unsur yang menempati bagian terbesar dalam konsep cintanya adalah nafsu (48,5%) sedangkan pada orang yang belum menikah adalah keakraban (49,4%).
Dengan analisis kualitatif peneliti juga menemukan ciri-ciri utama dari cinta sbb:
- bersifat subyektif
- bersifat egois yaitu menuntut balasan
- adanya kesediaan berkorban untuk orang yang dicintai
- berkaitan dengan ketertarikan seksual (nafsu)
- berkaitan dengan komitmen yaitu mengarah pada perkawinan, dan
- penerimaan secara total terhadap orang yang dicintai atau menerima orang yang dicintai apa adanya.
Semua ciri di atas itulah yang membedakan cinta dari emosi lain yang hampir sama seperti sayang dan suka. Apabila dilihat dari teori Sternberg (1988) maka sebagian besar ciri utama itu tergolong dalam dimensi nafsu. Dengan demikian peneliti dapat mengajukan asumsi bahwa aspek yang paling dominan dalam membedakan cinta dengan emosi lainnya adalah nafsu.
Analisis kualitatif juga menemukan faktor-faktor penyebab seseorang mencintai orang lain, yaitu dapat disebutkan sbb:
- karena orang yang dicintai memenuhi ideal/kriteria yang sudah dimiliki oleh subyek
- karena orang yang dicintai memenuhi kebutuhan subyek diantaranya kebutuhan akan perhatian dan kebutuhan akan rasa penting
- karena orang yang dicintai memiliki kesamaan nilai-nilai yang dianut dengan subyek, dan
- karena subyek mendapatkan balasan yang setimpal dari lawan jenis atas usaha dan perhatian yang ia berikan.
Keempat faktor penyebab cinta itu secara sendiri-sendiri maupun secara bersama dapat menimbulkan perasaan cinta pada diri subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laili Irawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3518
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Tiodora Br.
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penghayatan makna cinta dalam perkawinan dan dalam hubungan perselingkuhan pada laki-laki dan perempuan yang melakukan perselingkuhan. Teori-teori yang digunakan adalah teori segitiga cinta Stemberg, teori perkawinan dan teori mengenai perselingkuhan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam pada empat orang subyek yang melakukan perselingkuhan yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Dari hasil penelitian didapatkan gambaran mengenai makna cinta pada lakilaki dan prempuan yang melakukan perselingkuhan sebagai berikut:
1. Cinta, dengan ketiga komponennya adalah bukan hal yang mendasari perkawinan keempat subyek.
2. Adanya pemahaman yang tidak utuh mengenai definisi cinta pada ketiga subyek di mana mereka melihat cinta hanya sebagai satu komponen cinta dari tiga komponen cinta dari segitga cinta Stemberg, intimacy, passion dan commitment.
3. Penghayatan subyek terhadap makna cinta dalam perkawinan yang tidak menyeluruh di mana ada komponen-komponen cinta yang dinyatakan penting oleh subyek tetapi perwujudannya dalam perilaku sehari-hari tidak tampak.
4. Ketidakpuasan terhadap pasangan dalam perkawinan mendorong keempat subyek untuk melakukan perselingkuhan, walaupun mungkin bukan menjadi sebab langsung.
5. Perselingkuhan yang dilakukan oleh keempat subyek memiliki dampak yang sama pada keadaan rumah tangga yaitu, terpecahnya atau berkurangnya perhatian untuk anggota keluarga.
Saran diberikan untuk penelitian lebih lanjut di mana penelitian akan lebih lengkap bila diperoleh data dari pasangan dalam perkawinan dan pasangan dalam hubungan perselingkuhan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3491
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Dyah A
"ABSTRAK
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk
menghayati peristiwa atau kejadian di dalam hidupnya. Ada banyak emosi yang
dapat dirasakan oleh manusia, dan salah satunya adalah emosi cinta. Cinta
dinilai sebagai salah satu hal esensial dalam kehidupan manusia (Strong &
DeVault, 1989). Cinta merupakan dasar bagi terbentuknya bermacam-macam
hubungan interpersonal.
Ada banyak bentuk cinta. Dalam kebudayaan Yunani dikenal empat
bentuk cinta, yaitu: storge, agape, philia dan eros. Tetapi penelitian ini hanya
akan memusatkan perhatian pada salah satu bentuk cinta, yaitu eros. Eros
seringkali disebut juga sebagai cinta romantik (romantic love) (Rathus, 1993).
Fromm (dalam Peele,1988) mengemukakan bahwa cinta merupakan
sesuatu yang unik, sehingga penghayatan cinta bagi setiap individu dalam suatu
hubungan akan bersifat unik pula. Brehm (1992) mensinyalir perbedaan tersebut
mungkin berkaitan dengan tiga faktor, yaitu: perbedaan jenis kelamin, perbedaan
lamanya hubungan yang terjalin dan perbedaan kepribadian individu yang
terlibat. Di antara ketiganya, perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang
paling berpengaruh.
Hubungan pacaran merupakan salah satu bentuk hubungan intim antara
pria dan wanila yang didasari oleh rasa cinta yang kuat atau eros. Pada
hubungan tersebut masing - masing pihak akan memperlihatkan penghayatan
cinta yang berbeda. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan jenis
kelamin di antara kedua individu tersebut.
Oleh karena itu penelitian ini hendak melihat adakah perbedaan cinta
antara pria dan wanila dalam hubungan pacaran. Untuk menjawab
permasalahan tersebut dpilihlah teori Segitiga Cinta dari Stemberg (1988). Teori
ini menyatakan bahwa cinta mengandung tiga komponen, yaitu intimacy passion
dan commitment. Ketiga komponen ini merupakan pembentuk (building block)
cinta dan masing-masing komponen memiliki sifat serta peran yang berbeda.
Maka pemasalahan penelitian ini adalah adakah perbedaan komponen-
komponen cinta antara pria dan wanita dalam hubungan pacaran?
Dari hasil perhitungan t-test ternyata tidak ditemukan perbedaan antara
pria dan wanita untuk ketiga komponen tersebut. Hal ini mungkin disebabkan
oleh dua hal, yaitu: karena pengaruh budaya sebagaimana yang disinyalir oleh
Brehm (1992) atau implikasi dan teknik pengambilan sampel, dimana subyek
dalam penelitian ini adalah pasangan pria dan wanita yang sedang berpacaran.
Jika dilihat dari harga rata-rata (mean) untuk setiap komponen, kelompok
subyek wanita memberikan penilaian yang Iebih tinggi untuk komponen intimacy dibandingkan dua komponen lainnya. Artinya wanita komponen intimacy yang
paling tepat menggambarkan diri serta pasangannya dalam hubungan pacaran
Sementara komponen commitment dinilai Iebih sesuai/tepat bagi kelompok
subyek pria dibandingkan kedua komponen Iainnya.
Dari penelitian ini juga terlihat bahwa hubungan pacaran pada dewasa
muda didasari oleh consumate love, yaitu jenis cinta yang merupakan kombinasi
antara ketiga komponen cinta, yaitu; komponen intimacy, passion dan
commitment (Stemberg, 1988)."
1999
S2597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisea Rainima
"Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa korelasi antara Keketatan Budaya dan kecenderungan individu dalam melakukan Penekanan Emosi. Selain itu, penelitian ini juga memeriksa apakah religiusitas bertindak sebagai moderator dalam interaksi antara pengaruh Keketatan Budaya dan Penekanan Emosi. Keketatan budaya mengacu pada keberadaan norma sosial yang ketat dan tidak fleksibel. Religiusitas ditandai dengan keyakinan kuat terhadap adanya kuasa yang lebih tinggi. Penekanan emosi melibatkan penahanan ekspresi emosi yang dilakukan secara sengaja. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan analisis korelasi dan moderasi untuk menjawab tujuan dari penelitian. Penelitian ini melibatkan 141 partisipan yang diperoleh menggunakan teknik convenience sampling melalui iklan di berbagai platform media sosial dan poster. Temuan penelitian mengkonfirmasi semua hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Ditemukan bahwa Keketatan Budaya memiliki hubungan yang signifikan dengan Penekanan Emosi. Selain itu, terdapat efek moderasi yang signifikan dan negatif dari Religiusitas pada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Meskipun hasil moderasi yang diperoleh memiliki skor yang signifikan, namun temuan temuan ini tidak sesuai dengan asumsi awal penelitian. Hal ini dapat dijelaskan melalui pandangan bahwa kesadaran bahwa identitas sosial pada dasarnya fleksibel dan mudah beradaptasi, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan tanpa konflik.

The purpose of this study was to examine the correlation between Cultural Tightness and Emotion Suppression. The purpose also included examining if Religiosity acts as a moderator in the interaction between the influence of Cultural Tightness and Emotion Suppression. Cultural tightness refers to the presence of strict and inflexible social norms. Religiosity is characterised by a strong belief in a higher power. Emotion suppression involves deliberately reducing the outward display of emotions. The study employed a cross-sectional research design and utilised correlation analysis and moderation analysis to determine the study's findings. A total of 141 participants responded to the link that was distributed using convenience sampling technique, which involved utilising various social media platforms and posters for the study. The research findings confirmed all the hypotheses that were formulated for investigation. It was found that Cultural Tightness has a significant relationship with Emotion Suppression. Additionally, there was a significant and negative moderating effect of Religiosity on the relationship between the main independent variable and dependent variables. The research findings did not align with the initial assumptions of the study, despite the presence of significant moderation. This led to the realisation that social identities are inherently flexible and adaptable, enabling them to coexist without conflicts.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Endang Sriningsih
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S2532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Edy Subandono
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tresidder, Andrew
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005
155.4 TRE i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Kuswidhiastri
"Regulasi emosi kognitif merupakan keterampilan individu untuk mengelola pikiran dan reaksi emosional dalam menghadapi situasi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perbedaan kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi kognitif berdasarkan jenis kelekatan dengan orang tua pada remaja akhir. Penelitian dilakukan secara cross-sectional pada 674 orang remaja akhir berusia 18-22 tahun (n perempuan = 75.2%) yang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kelekatan aman (46.2%), kelekatan tidak aman-menghindar (48.2%), dan kelekatan tidak aman- ambivalen (5.8%). Penelitian menggunakan analisis One-Way MANOVA untuk mengamati perbedaan kemampuan menggunakan strategi kognitif dalam masing-masing kelompok jenis kelekatan. Penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga jenis kelekatan dalam menggunakan strategi regulasi emosi kognitif (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Strategi kognitif yang lebih adaptif lebih mampu digunakan oleh remaja dengan kelekatan aman, sementara remaja dengan kelekatan tidak aman lebih sering menggunakan strategi kognitif yang kurang adaptif. Perbedaan penggunaan strategi kognitif juga ditemukan pada kedua jenis kelekatan tidak aman.

Cognitive emotion regulation is the ability to manage thoughts and emotional reactions when faced with bad situations. This research aims to prove the differences between in the cognitive emotion regulation strategies of late adolescents based on their parental attachment types. Cross-sectional study was conducted on a total sample of 674 late adolescents between 18-22 years (n female = 75.2%) which are divided into three groups based on parental attachment types. A set of One-Way MANOVA was used to assess the differences in the ability to use cognitive emotion regulation strategies between groups. Results showed that there are significant differences in the three types of attachment in using cognitive emotion regulation strategies (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Adolescents with secure attachment are more likely to use adaptive cognitive strategies, while those with insecure attachments are more likely to use less adaptive strategies. Differences in cognitive strategy use were also found in the insecureavoidant and insecure-ambivalent attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>