Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145589 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekarsari Suyono
"Kemacetan lalu lintas merupakan salah satu masalah bagi warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas ternyata dapat menimbulkan kerugian psikis bagi pengguna jalan. Hal ini dapat terjadi karena adanya interaksi psikologis, yaitu kondisi pengemudi kendaraan secara psikologis melakukan interaksi dengan sistem kontrol kendaraan, lingkungan sekitar jalan raya termasuk sistem kontrolnya, kemudian melakukan respon terhadap stimulan yang terjadi selama ini. Salah satu daerah yang sangat dikenal akan kemacetan lalu lintasnya adalah Ciputat. Kondisi yang telah dianggap sebagai sebuah pemandangan sehari-hari ini ternyata mempunyai berbagai dampak negatif bagi manusia. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikologis, dalam hal ini berupa stres terhadap subyek yang mengalami kemacetan lalu lintas.
Karena itu penelitian ini mencoba melihat dampak psikologis kemacetan terhadap warga Kompleks Dosen UI Ciputat sebagai wilayah penelitian. Jika seseorang mengalami stres maka akan timbul tingkah laku tertentu sebagai usahanya dalam meredakan rasa tidak menyenangkan yang dialaminya akibat stres. Tingkah laku yang ada karena stres sebenarnya merupakan cara individu mencari strategi coping terbaik bagi dirinya untuk menghadapi stres yang dialaminya. Dalam psikologi dikenal tiga macam coping yang konstruktif, yakni coping yang dinilai relatif sehat baik dari segi mental maupun fisik, yaitu problem-focused coping, appraisal-focused coping, dan emotion-focused coping. Setelah individu memilih suatu strategi coping tertentu, maka stres yang dialaminya akan mereda, sehingga individu tersebut dapat cope dengan stressor dan dapat dikatakan coping individu efektif. Akan tetapi jika strategi coping yang dipilih tidak dapat meredakan stres yang dialaminya, maka coping individu tidak ekektif.
Penelitian ini juga melihat tanda-tanda atau gejala-gejala stres yang timbul dari subyek yang disebabkan oleh stressor, dalam hal ini kemacetan lalu lintas dan mengaitkannya dengan hubungan antara gender dan tipe kepribadian A dan B. Alat yang digunakan untuk melihat tanda-tanda stres akibat kemacetan dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan tanda-tanda stres dari Vlisides, Eddy, dan Mozie; yang diambil dalam Rice (1999), menggunakan skala 1-5. Alat mengukurtipe kepribadian disusun berdasarkan 3 faktor menurut Jenkins, 1974; Zyzanski dan Jenkins, 1970), yakni faktor S, yaitu cepat dan tidak sabar (speed and impatience); faktor J, yaitu keterlibatan dengan tugas/pekerjaan (job involvement);dan faktor H, yaitu kompetitif, mudah marah dan pekerja keras (competitive, hostile, and hard driving), menggunakan skala 1-6. Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping disusun menurut Rudolph Moos dan Andrew Billings (dalam Weiten dan Lloyd, 1997)."
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 2001
S2956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alula Aurelia Alfediar
"enelitian ini bertujuan untuk melihat peran Supportive Dyadic Coping sebagai moderator dalam hubungan stres eksternal dan stres internal pada pasangan dengan usia pernikahan 1-5 tahun di Indonesia. Diketahui tingkat perceraian di Indonesia meningkat. Hal ini dikarenakan pasangan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap satu sama lain, terutama pasangan dengan usia pernikahan 1-5 tahun yang membutuhkan banyak penyesuaian. Penelitian dilaksanakan pada 128 partisipan WNI yang berusia minimal 20 tahun yang sudah menikah dengan memiliki usia pernikahan 1-5 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah Multidimensional Stress Questionnaire for Couple Dyadic Coping Inventory (DCI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara stres eksternal dan stres internal serta adanya efek moderasi supportive dyadic coping (SDC) terhadap hubungan stres eksternal dan stres internal. Implikasi penelitian ini adalah dapat menjadi acuan bagi konselor pernikahan/psikolog agar dapat menggunakan strategi supportive dyadic coping (SDC) sebagai strategi dyadic coping yang paling sesuai dengan kriteria partisipan yaitu pasangan yang sudah menikah dengan usia pernikahan 1-5 tahun di Indonesia dalam mengatasi stres eksternal dan stres internal.

This study aims to examine the role of Supportive Dyadic Coping as a moderator in the relationship between external stress and internal stress in couples with 1-5 years of marriage in Indonesia. It is known that the divorce rate in Indonesia is increasing. This is because couples have difficulty adjusting to each other, especially couples with a marriage age of 1-5 years which requires a lot of adjustment. The study was conducted on 128 Indonesian participants who were at least 20 years old who were married with a marriage age of 1-5 years. The measuring instruments used were the Multidimensional Stress Questionnaire for Couples (MSF-P) and the Dyadic Coping Inventory (DCI). The results showed that there was a significant positive relationship between external stress and internal stress and the moderating effect of supportive dyadic coping (SDC) on the relationship between external stress and internal stress. The implication of this study is that it can be a reference for marriage counselors/psychologists to be able to use the supportive dyadic coping (SDC) strategy as a dyadic coping strategy that best fits the criteria of participants, namely married couples with a marriage age of 1-5 years in Indonesia in overcoming external stress and internal stress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dixie Rinanti Nugita
"Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini dilakukan untuk melihat hubungan antara trait kepribadian dan strategi coping pada penerbang sipil. Jumlah partisipan yang mengikuti penelitian ini berjumlah 57 orang dengan seluruh partisipan berjenis kelamin laki-laki dan mempunyai rentang usia 20-64 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah NEO FFI untuk mengukur trait kepribadian dan Brief COPE untuk mengukur strategi coping yang telah diadaptasi oleh peneliti ke dalam Bahasa Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan teknik statistik Pearson Product-Moment Correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara trait kepribadian extraversion dan emotion focused coping, trait kepribadian extraversion dan problem focused coping, serta antara trait kepribadian conscientiousness dan problem focused coping.

This research which uses quantitative approach is done to see the relationship between personality trait and coping strategy among civil pilot. There are a total of 57 participants, all of which is male, ranging from the age of 20 to 64. The instruments used in this research is NEO FFI to measure personality trait and Brief COPE to measure coping strategy which had been adapted into Indonesian language. The data analysis is done using Pearson Product-Moment Correlation statistical technique. The research show that there are positively significant relationship between extraversion personality trait and emotion focused coping, extraversion personality trait and problem focused coping, and between conscientiousness personality trait and problem focused coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristiyabudi Purwo Hananto
"Manusia bekerja karena mereka memerlukan aktivitas yang berguna untuk memenuhi segala kebutuhannya, tidak hanya untuk kebutuhan fisik dan materiil melainkan juga mempunyai fungsi psikologis. Namun tidak selamanya manusia dapat bekerja, walaupun ia ingin selalu aktif dan produktif. Batas dimana seseorang tidak diharapkan untuk bekerja atau tidak bekerja lagi disebut pensiun.
Individu yang mulai memasuki masa pensiun pada umumnya memiliki karakteristik khas karena mereka harus memerankan jobless role, sementara selama bertahun-tahun mereka bekerja dan menemukan makna hidupnya melalui kerja. Hal umum yang biasanya terjadi pada mereka setelah berhenti bekerja adalah perasaan-perasaan tidak berdaya, merasa tidak dibutuhkan lagi oleh orang lain. Sehingga logis jika dikatakan bahwa pensiun merupakan salah satu peristiwa besar dalam hidup seseorang (major life event) yang menimbulkan stres. Hal ini didukung pula oleh Lazarus dan Cohen (1977), Lazarus dan Folkman (1984) dalam Feldmen (1989) yang mengatakan bahwa adanya perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu stressor pada diri seseorang. Dalam menghadapi transisi hidup yang penuh ketegangan-ketegangan emosional, individu akan termotivasi untuk meredusirnya; dan hal inilah yang disebut perilaku coping.
Menurut Folkman dan Lazarus (1980, dalam Carver et.al, 1989) terdapat dua jenis umum perilaku coping: yang pertama problem-focused coping, dan yang kedua adalah emotion-focused coping. Nalaupun pada hampir semua stressor kedua jenis coping ini selalu ditampilkan, jenis perilaku coping yang pertama akan lebih digunakan, jika seseorang merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan untuk mengatasi masalah / situasi yang menimbulkan stres; sementara emotion-focused akan dipakai jika situasi yang menimbulkan stres yang mau tidak mau harus diterima karena tidak dapat dirubah (unchangeable).
Individu dengan tipe-A mempunyai karakteristik yang khas. Mereka adalah individu-individu yang memiliki keterlibatan tinggi pada pekerjaan, kompetitif, berorientasi pada pencapaian suatu hasil (achievement-oriented) serta selalu dalam kondisi terburu-buru / sangat mementingkan waktu (time-urgency), akan mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi waktu senggang seperti itu. Mereka menempatkan kerja sebagai sesuatu yang sentral dalam hidupnya. Karena itu, maka masa pensiun mungkin akan dipandang sebagai peristiwa yang mengancam diri mereka karena dengan berhenti bekerja berarti kehilangan aktivitas penting yang sulit untuk digantikan dengan kegiatan lainnya.
Tuntutan untuk segera menyesuaikan diri terhadap lingkungan serta peran barunya tersebut akan timbul agar tercapai rasa puas dan akhirnya integritas pada individu. Diener (dalam Floyd, 1992) mengatakan bahwa hal yang utama bagi pencapaian kesejahteraan diri seseorang adalah penilaian dirinya terhadap kualitas dan kepuasan hidupnya, yang merupakan perbandingan antara kondisi hidup secara kongkrit dengan suatu standar yang telah dibuat.
Bagi semua individu, tidak terkecuali individu tipe-A, masa pensiun merupakan peristiwa yang tidak mungkin dihindarkan karena suatu saat mereka pasti akan tiba pada tahap akhir siklus kerjanya. Karena merupakan peristiwa utama dalam hidup (major life event), mereka mau tidak mau harus melakukan seeuatu untuk menghadapinya. Sejauh ini perilaku coping mereka terhadap situasi yang menekan (dalam bekerja) adalah dengan bekerja cepat, kompetisi dan menampilkan tingkah laku agresif atau bermusuhan. Dengan memasuki masa pensiun berarti mereka tidak lagi memiliki banyak kesempatan untuk menampilkan pola perilaku yang sudah terinternalisasi tersebut, walaupun berada dalam situasi yang menekan lainnya (dalam hal ini pensiun) karena situasi tersebut tidak sama dengan situasi ketika mereka bekerja.
Dari sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa satu tahun setelah pensiun, mereka menampilkan TABP (Type A Behavior Paterrn) yang lebih rendah dibanding menjelang pensiun (Howard et.al, 1986, dalam Sarafino, 1994). Bagaimanapun juga mengingat karakteristik individu dengan tipe kepribadian-A, maka mereka akan cenderung menggunakan perilaku coping yang problem-focused seperti coping aktif dan langsung menghadapi stressor serta mengabaikan perasaan-perasaan negatif yang menyertai masalah atau situasi yang menganggu (Hattews et.al, 1976, dalam Carver et.al, 1989).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para responden yang memiliki perbedaan tipe kepribadian, menampilkan juga adanya perbedaan dalam pemilihan perilaku coping-nya. Responden yang memiliki tipe kepribadian-A (TABP), cenderung lebih menampilkan problem-focused coping. Sebaliknya para pensiunan dengan tipe kepribadian-B (TBBP) tampak lebih mempergunakan strategi Coping emotion-focused. Individu dengan tipe kepribadian-B (TBBP) memiliki kepuasan hidup masa pensiun yang lebih tinggi dibanding subyek dengan tipe kepribadian-A. Kelompok problem-focused ternyata memiliki tingkat kepuasan hidup masa pensiun yang lebih rendah dibandingkan kelompok emotional-focused Sebagai rangkuman dari seluruh penelitian ini diperoleh hasil bahwa tipe kepribadian tertentu (tipe-A, maupun tipe-B) memang mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya kepuasan hidup pada masa pensiun. Namun efek variabel perilaku coping (problem-focused atau emotional-focused) tidak banyak berpengaruh terhadap terbentuknya kepuasan dalam masa pensiun."
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Elvina
"Non-suicidal self-injury (NSSI) merupakan isu kesehatan global dengan prevalensi yang tinggi dan meningkat di kalangan dewasa awal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kecenderungan perilaku NSSI pada dewasa awal di Indonesia serta menemukan hubungan antara stres, koping religius positif dan negatif, dan keparahan perilaku NSSI. Data dikumpulkan dari 311 partisipan berusia 18–29 tahun (M = 23.37, SD = 2.38) menggunakan kuesioner daring, yang mencakup alat ukur stres (Perceived Stress Scale-10), koping religius positif dan negatif (Brief RCOPE), serta karakteristik perilaku NSSI (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). Dalam penelitian ini, 40.2% partisipan pernah atau masih melakukan NSSI. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan pada stres secara statistik signifikan memprediksi peningkatan pada keparahan perilaku NSSI. Koping religius negatif memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik pada hubungan antara stres dan keparahan NSSI, namun koping religius positif tidak memiliki efek moderasi yang signifikan secara statistik. Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa stres dan koping religius negatif memainkan peran penting dalam memperparah perilaku NSSI. Penelitian ini mengilustrasikan pentingnya program prevensi dan intervensi untuk NSSI yang menargetkan stres dan koping religius negatif.

Non-suicidal self-injury is a global health issue with a high and increasing prevalence among emerging adults. This study is aimed to examine the tendency of NSSI among emerging adults in Indonesia while also investigating the relationship between stress, positive and negative religious coping, and NSSI severity. Data was gathered from 311 participants aged 18–29 years old (M = 23.37, SD = 2.38) using online questionnaire, which included measures of stress (Perceived Stress Scale-10), positive and negative religious coping (Brief RCOPE), and NSSI severity (Non-Suicidal Self-Injury Function Scale). This study revealed that 40.2% of participants had or were still engaging in NSSI. Results indicated that an increase in stress predicted with statistical significance an increase in NSSI severity. Negative religious coping had a statistically significant moderation effect on the relationship between stress and NSSI severity, while positive religious coping did not. Thus, this study demonstrated that stress and negative religious coping play important roles in exacerbating NSSI. This study illustrated the importance of prevention and intervention programmes for NSSI that target stress and negative religious coping. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Katris Lamira Abadi
"Pada tahap dewasa muda, rnenurut Havighurst (dalam Turner & Helms, 1995), salah satu tugas perkembangan individu yang harus dipenuhi adalah memperoleh keintiman melalui pemikahan. Melalui pemikahan terdapat persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ke-tiga yang bare (Santrock, 2002). Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, sebenamya ia telah masuk ke dalam lingkungan barn dengan pola aturan dan kebiasaan yang .kemungkinan berbeda dart dirinya. Kebutuhan untuk menyesuaikan dirt semakin besar ketika setelah menikah pasangan berencana untuk linggal bersama mertua. Berdasarkan penelitian Duvall (dalam Phelan, 1979), ditemukan bahwa mertua perempuan lebih sering terlibat masalah dengan mertua perempuan karena peran gender yang menuntut pada hubungan interpersonal yang dekat dengan keluarga. Perempuan juga cenderung menghadapi masalahnya dengan berusaha mengelola emosi yang ditimbulkan akibat permasalahan tersebut Kandisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi apabila terjadi antara dua individu yang berjenis kelamin perempuan. Mereka akan berusaha menyelesaikan masalahnya dengan cara-cara yang mengedepankan emosi. Oleh karenanya tinggal seatap bersama mertua tidak selalu perkara yang mudah dan kerap kali memicu konflik dalam rumah tangga keluarga. Jika is merasa bahwa tuntutan yang ditujukan padanya melebihi kemampuan yang dimiliki, maka tingkat stres yang dirasakan pun akan meningkat. Untuk mengatasinya, Taylor berpendapat bahwa cara individu berespon terhadap stres berbeda-beda. Menurut Carver, Scheier dan Weintraub (1989), terdapat tiga strategi yang bisa dilakukan individu dalam menghadapi sires, yaitu: problem focused coping, emotion focused coping dan maladaptive coping. Salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam pemilihan strategi coping, yaitu: dukungan sosial. Sarafino (1994) menjelaskan arti penting dukungan sosial dalam membantu individu mengatasi styes. Menurut Rodin dan Salovey (dalam Smet, 1989), perkawinan dalam keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Begitu halnya suami sebagai orang terdekat bagi pasangan merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang memiliki peran besar dalam membantu istri mengatasi stres dengan mertua dan membantu menciptakan hubungan yang harmonis antara menantu dan mertua.
Dalam penelitian ini yang altar digali adalah sumber stres, strategi coping yang digunakan seat mengalami masalah dengan ibu mertua mertua dan ketersediaan dukungan suami yang diberikan pada subyek dalam mengatasi sumber sues. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengambilan sampel wawancara dan observasi. Subyek penelitian ini ada tiga orang. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa instrumen penelilian yaitu alai perekam dan pedoman wawancara.
Dari data yang didapat serta berdasarkan basil analisis dapat terliaht bahwa sum ber sires utama yang dihadapi ketiga subyek adalah masalah berkaitan dengan dominansi ibu mertua terhadap urusan rumah langga mereka dan pandangan ibu mereka yang masih konservatif. Umumnya subyek memilih strategi problem focused coping yaitu active coping dimana subyek secara asertif menyuarakan pendapat pada mertua jika terjadi perbedaan pendapat. Dukungan suami yang diberikan pada istri untuk mengatasi sumber stres yang ditemukan pada semua subyek adalah dukungan emosi berupa mendengarkan keluh kesah subyek dan menghibur subyek saat dalam keadaan sedih."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18066
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanesthi Hardini
"Saat ini perempuan berjilbab bukan merupakan hal yang aneh lagi. Padahal sekitar tahun 1980-an, banyak kejadian tidak menyenangkan yang menimpa para perempuan berjilbab, misalnya tekanan dari pihak sekolah yang melarang para sisiwi muslim untuk berjilbab, isu-isu yang tidak benar tentang perempuan berjilbab atau juga teror yang ditujukan pada mereka. Selain itu ada juga para perempuan berjilbab yang mendapat tekanan dari orang tuanya berupa larangan untuk berjilbab. Larangan in diwujudkan dalam berbagai pedakuan dengan tujuan agar anak perempuannya itu tidak lagi berjilbab.
Pedakuan-pedakuan tidak menyenangkan sebagai bentuk dad larangan bisa Hiniki oleh perempuan berjilbab tersebut sebagai hal yang menekan atau mengancam keberadaannya. Penilaian atas keadaan ini bisa menimbulkan stres, terutama bila perempuan tersebut tidak memJliki kemampuan dan dukungan untuk mengatasi hal ini (Sarafino, 1994). Munculnya frustrasi dan konflik akibat adanya larangan orang tua merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan stres (Lazarus, 1969). Perlakuan orang tua yang kemungkinan besar berubah juga merupakan hal yang potensial menyebabkan stres, apalagi bila hal ini bedangsung dalam jangka waktu yang cukup lama (Mirowsky dan Ross, 1989).
Untuk dapat memahami stres ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan yang berorientasi stimulus, pendekatan yang berorientasi respon, dan yang ketiga adalah pendekatan transaksionaL Pendekatan transaksional memandang stres sebagai basil interaksi antara individu dan lingkungan, sehingga dalam proses ini individu merupakan pihak yang aktif yang dapat mempengaruhi akibat dari stres melalui strategi-strategi tingkah laku, kognitif maupun emosi (Sarafino, 1994).
Interaksi antara individu dan lingkungannya menimbulkan penilaian kognitif yang dilakukan individu untuk mengevaluasi situasi atau tuntutan yang potensial menyebabkan stres. Selain menilai situasi yang potensial menyebabkan stres, penilaian ini juga mengevaluasi sumber-sumber yang dimilikinya untuk mengatasi tuntutan tersebut (Lazarus dan Folkman, dalam Johnson, 1986). Perbedaan individual yang memperngaruhi proses penilaian kognitif ini menyebabkan perbedaan dalam mengevaluasi stces dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk mengatasi stres tersebut.
Betdasatkan uraian di atas, akan diteliti lebih lanjut bagatmana proses stres yang oleh perempuan berjilbab yang pemah mendapat larangan dari orang tua untuk berjilbab serta perilaku coping apa saja yang dilakukan untuk mengatasi masalab tersebut.
Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini akan didapatkan pemahaman yang mendalam atas suatu fenomena (Poerwandari, 1998). Selain itu karena masalah yang akan diungkap merupakan masalab yang unik dan sensitif, maka pendekatan kuabtatif merupakan pendekatan yang sesuai (Patton, dalam Perwandari, 1998). Subyek penebtian berjumlab empat orang dan pengambilan sampel akan dilakukan secara purposif. Pengambilan data akan Hilalcnkan dengan metode wawancara mendalam.
Dari basil wawancara dapat disimpulkan babwa tiga orang subyek sudab mengalami stres pada masa sebelum berjilbab dan terus berlanjut sampai mereka sudab berjilbab (pada masa pelarangan). Sedangkan satu orang subyek yang lain baru mengalami stres setelab berjilbab (pada masa pelarangan). Tuntutan-tuntutan yang dibadapi pada masa sebelum berjilbab adalab tuntutan internal, berupa keingman yang kuat untuk berjilbab; dan tuntutan ekstemal, berupa larangan dari orang tua untuk berjilbab. Sumber-sumber stres yang ditemui adalab terjadinya konflik internal, konflik ekstemal, dan anggapan orang tua yang negatif tentang perempuan berjilbab.
Reaksi-reaksi yang muncul pada masa ini adalab sedib dan kecewa, dan timbul keragu-raguan, dan bingung karena ada konflik internal. Adapun strategi coping yang banyak dipakai pada masa ini adalab prohkm-focused coping^ yaitu active coping dan seeking social support for instrumental reasons strategi emotional-focused coping juga dilakukan, yaitu seeking social srtpportfor emotional reasotr, ada pula subyek yang melakukan strategi coping maladaptif, yaitu mental disengagement. Pada masa pelarangan, tuntutan utama yang barus dibadapi oleb keempat subyek adalab ketidaksetujuan orang tua atas kepututsan mereka untuk berjilbab.
Dari tuntutan ini sumber-sumber stres yang ditemiai adalab perlakuan orang tua yang tidak menyenangkan pada subyek, dan anggapan orang tua yang negatif terbadap perempuan berjilbab. Reaksi-reaksi yang muncul adalab rasa sedib, malas pulang ke rumab, kecewa dan kesepian. Strategi coping yang HilaVukan adalab prohkm-focused coping^ yaitu active coping dan seeking social stppori for instrumental reason^ strategi emotion-focused coping yang dilakukan bersamaan dengan prohkm-focused coping adalab turning to religion, seeking social support for emotional reason, denial, acceptance, dan beberapa perilaku coping unik dari masing-masing subyek.
Untuk penebtian selanjutnya disarankan imtuk menggab masalab ini dari sudut pandang orang tua yang peraab melarang anaknya untuk berjilbab, jadi tidak banya dari sudut pandang perempuan berjilbab yang mempunyai masalah ini saja, sehingga basilnya akan lebih kaya dan komprebensif. Ada baiknya juga bUa dalam penebtian lanjutan dimasukkan teori-teori perkembangan, terutama yang berbubungan dengan psikologi keluarga, sebingga bisa digab dinamika bubungan orang tua dan anak ketika keluarga tersebut sedang mengalami masalab ini."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2466
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hairil Susanto
"ABSTRAK
Institusi kepolisian adalah penegak hukum sebagai salah satu dari komponen
criminal justice system. Kriminalitas erat hubungannya dengan tugas Reserse sebagai
salah satu fungsi teknis operasional kepolisian yang mengemban tugas dalam
penegakan hukum yaitu investigasi kriminalitas yang artinya adalah serangkaian
tindakan penyidikan pada setiap perbuatan yang terbukti melanggar hukum pidana.
Rangkaian tindakan Reserse itu disebut tindakan represif yang terdiri dari
penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan,
penahanan, dan penyerahan berkas perkara.
Tugas investigasi kriminalitas Reserse sebagai polisi membutuhkan kehadiran
langsung seorang polisi/Reserse yang tidak dapat digantikan oleh tehnologi yang
paling canggih sekalipun (Kunarto, 1995), sebab sumber dasar kepolisian adalah
manusianya, tehnologi hanyalah sebagai alat bantu dalam melaksanakan tugas
kepolisian (Bayley, 1994). Sebagai penyidik kejahatan dan penegak hukum, Reserse
merupakan pekerjaan yang berkaitan kejahatan dan kekerasan yang dapat
menimbulkan stres. Beberapa aspek pekerjaan polisi/Reserse yang dapat
menimbulkan stres yaitu sistem pengadilan, administrasi kepolisian, sarana/peralatan,
hubungan dengan masyarakat, sistem pergantian tugas, tanggung jawab terhadap
tugas dan keterpisahan sosial (Kroes, Margolis, dan Hurrel, 1974).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber stres dan coping stres
anggota Reserse dalam tugas investigasi kriminalitas di Jakarta serta strategi coping
apa yang paling banyak digunakan. Metode pengambilan sampel penelitian ini adalah
non-probability sampling dengan teknik purpusive sampling. Desain penelitian ini
bertipe non experimental design yang bersifat ex posi facto field study yang dilakukan
di Polda Metro Jaya dan jajarannya dengan subyek 146 orang anggota Reserse Polri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber stres anggota Reserse Polri
dalam tugas investigasi kriminalitas di Jakarta berdasarkakan intensitasnya berturutturut
yaitu: administrasi kepolisian, tanggung jawab terhadap tugas, sistem pergantian
dalam tugas, hubungan dengan masyarakat, sistem pengadilan, keterpisahan sosial,
dan yang terahir sarana dan prasarana.
Strategi coping yang digunakan anggota Reserse Polri dalam tugas
investigasi kriminalitas di Jakarta yaitu Problem-Focused Coping. Emotion-Focused
Coping, dan Maladaptive Coping. Problem-Focused Coping lebih banyak digunakan
oleh anggota Reserse Polri dalam tugas investigasi kriminalitas di Jakarta, kemudian
diikuti Emotion-Focused Coping dan Maladaptive Coping. "
2003
S3247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Sarah Dewi
"ABSTRAK
Kondisi stres yang dialami narapidana narkoba di rutan disebabkan karena tuntutan dan kebutuhan yang tidak sesuai yaitu dengan adanya rasa keterbatasan yang dimiliki mereka dalam hal ruang gerak, komunikasi dengan dunia di luar penjara dan tidak dapat mengkonsumsi narkoba yang mereka butuhkan. Adanya kenyataan tersebut tentunya menimbulkan dampak-dampak psikologis pada para narapidana antara lain kehilangan kepribadian, kehilangan rasa aman, kehilangan kemerdekaan individual, kehilangan kebebasan berkomunikasi, kehilangan pelayanan, kehilangan hubungan heteroseksual, kehilangan harga diri, kehilangan percaya diri dan kreativitas (Sykes, 1958). Mereka tidak dapat menghindari kondisi ini dan mereka dituntut untuk bisa menerima kondisi tersebut serta dapat mengatasinya sendiri. Narapidana laki-laki kasus narkoba yang di tempatkan di Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Pusat, subyek diasumsikan memiliki sumber stress baik dari aspek stress psikologis, aspek stress fisiologis dan aspek stress lingkungan. Penelitian ini akrui membahas sumber stress yang dibahas oleh Martin & Osbome dan bagaimana perilaku coping bagi para subyek tersebut Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber stres dan perilaku coping yang dialami oleh narapidana laki-laki kasus narkoba di Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Pusat. Pada penelitian ini sumber stres yang digunakan sebagai dasar dalam pembuatan alat ukur stres psikologis dan lingkungan adalah pembagian sumber stres menurut Martin & Osbome, sedangkan alat ukur stres fisiologis adaptasi dari Atkinson dan alat ukur perilaku coping adaptasi dari Carver, Weintrub & Scheier. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan kondisi-kondisi stres berasal dari faktor lingkungan, dan kemudian diikuti dengan faktor keluarga. Jika dilihat dari faktor usia, jumlah terbesar berada pada rentang usia 20 - 25 tahun sebanyak 34 orang. Status pernikahan subyek yang terbanyak adalah tidak menikah, yaitu sebanyak 40 orang. Rata-rata pendidikan subyek yang paling banyak adalah SMU yaitu dengan frekuensi 42 orang dan mayoritas subyek penelitian belum pernah di penjara. Jenis narkoba yang banyak dipakai adalah putaw kemudian ganja dan shabu-shabu. Frekuensi hukuman terbanyak ada 18 orang dengan vonis dibawah 1 tahun. Status pekerjaan subyek penelitian sebanyak 22 orang tidak bekerja, 14 orang pelajar dan 23 orang sebagai pekerja. Kesimpulan dari penelitian ini, bahwa narapidana narkoba tidak menunjukkan stres yang khusus sebagai pemakai narkoba, tetapi mengalami stres sebagai narapidana."
2004
S3397
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Aziz
"ABSTRAK
Mengalami peristiwa slressful merupakan hal yang pernah dialami oleh
seseorang dalam rentang kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Banyak
peristiwa stressful yang dapat menjadi potenlial slressor dan bila tidak diatasi
dengan baik dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Menghadapi
deadline skripsi bisa menjadi peristiwa yang stressful bagi mahasiswa bila tidak
mempersiapkan diri dengan baik saat mengerjakan tugas skripsi yang sewaktuwaktu
dapat menjadikan dirinya keadaan stres. Banyak cara untuk mengatasi
stres, salah satunya adalah coping religius yang merupakan bagian dari emotionfocused
coping.
Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan teknik event
& incidental sampling dengan jumlah sampel 73 orang pada mahasiswa yang
sedang menghadapi deadline skripsi di Universitas Indonesia, Depok.
Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari RCOPE berupa skala
Likert. Validitasnya diuji dengan melalui expert judgement, Pearson Product
Moment Correlation dan reliabilitasnya dengan C.oefficient Alpha. Dalam
pengadaptasian alat tes temvata terdapat satu faktor dan beberapa item yang harus
dibuang karena nilai reliabilitasnya dan validitasnya kurang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara
mahasiswa pria dengan mahasiswa wanita dalam menggunakan coping religius
bentuk positif dan negatif. Namun terdapat perbedaan antara coping religius
bentuk positif dengan coping religius bentuk negatif pada mahasiswa yang sedang
menghadapi deadline skripsi. Ternyata coping religius bentuk positif lebih banyak
digunakan bila dibandingkan dengan bentuk negatif. Coping religius bentuk
positif cukup sering digunakan, sedangkan bentuk negatif kurang sering
digunakan pada mahasiswa yang sedang menghadapi deadline skripsi.
Saran yang diberikan adalah perlunya meningkatkan kemampuan dalam
menggunakan coping dengan emotion-focused maupun problem focused dan
perlunya menggunakan kedua tipe coping tersebut secara bersamaan agar lebih
berguna dan efektif dalam menghadapi peristiwa yang stressful pada mahasiswa
yang sedang menghadapi deadline skripsi."
2004
S3461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>