Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sawitri Sjah
"Dalam penelitian ini, yang dimaksud kekerasan domestik adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Di Indonesia, saat ini, masalah kekerasan domestik telah menjadi masalah sosial yang serius yang ditandai dengan semakin meningkatnya laporan statistik mengenai kasus tersebut, dan banyaknya pemberitaan di media massa yang mengungkap mengenai masalah kekerasan domestik.
Akibat dari kekerasan domestik tentu saja dialami oleh para istri yang menderita baik secara fisik maupun psikologis. Disamping itu, anak-anak merekapun tidak luput dari akibat kekerasan domestik tersebut. Namun demikian, banyak istri yang bertahan atau harus bertahan dalam perkawinan rnereka karena berbagai sebab. Untuk itu, mereka harus melakukan coping terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka.
Ada tiga belas jenis strategi coping yang dikembangkan oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) yang dapat digunakan oleh istri dalam menangani masalah kekerasan domestik tersebut, yang dapat dibagi atas strategi coping Problem- Focused Emotion-Focused (yang termasuk dalam strategi coping yang efektif) dan strategi coping maladaptif (yang mempakan strategi coping yang kurang efektif). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku coping istri dalam menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai istri yang teIah mengalami tindak kekerasan fisik dari suaminya dan masih bertahan dalam perkawinannya. Pemilihan subyek penelitian menggunakan metode purposif sampling.
Dari penelitian kualitatif ini diperoleh hasil bahwa keempat orang istri dalam penelitian ini umumnya melakukan strategi coping yang termasuk dalam Problem-Focused Coping dan Emotion-Focused Coping. Namun pada awalnya, tiga orang istri sernpat melakukan strategi coping yang maladaptif selama beberapa waktu. Jadi ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan oleh istri dalam menangani tindak kekerasan suami. Karena istri memutuskan untuk bertahan daiam perkawinannya, istri tetap dapat berusaha untuk mengurangi atau bila mungkin, menghentikan tindak kekerasan suami. Jadi istri tidak secara pasif menerima saja segala perlakuan suami tanpa berusaha mencari cara untuk menanganinya.
Penelitian lanjutan dapat dilakukan terhadap subyek istri yang mengalami kekerasan domestik dan masih bertahan dalam perkawinannya, dengan lebih memperhatikan jangkauan lapisan sosial ekonomi, sehingga diharapkan dapat lebih terlihat keanekaragaman cara penanganan yang dilakukan istri, yang mungkin berbeda-beda, karena adanya perbedaan status sosial ekonomi.
Dapat pula dilakukan penelitian terhadap pasangan (suami-istri) yang telah berhasil mengatasi masalah kekerasan domestik dalam rumah tangganya, untuk melihat tindakan-tindakan/langkah-langkah apa saja yang telah mereka lakukan dalam menangani rnasalah mereka, yang mungkin dapat ditiru/diikuti oleh pasangan-pasangan lain yang memiliki masalah yang sama."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrina Ika Wahidayati
"Di Indonesia, tindak kekerasan dalam rumah tangga menduduki peringkat ke-10 dalam penyebab kematian perempuan usia subiu' pada tahun 1998 (Depkes, 2000). Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Indonesia mengatakan bahwa 11,4% dari 217.000.000 jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 24.000000 perempuan mengaku pemah mengalami kekerasan, dan kekerasan yang terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun kejahatan ini tenjadi di banyak tempat, kejahatan ini masih tetap tersembunyi dalam kehidupan masyarakat dan terlindungi dari intervensi dunia luar, karena nilai patriarki yang mewarnai sikap dan kultur kehidupan kebanyakan keluarga di Indonesia.
Korban dari kekerasan dalam rumah tangga merasakan dampaknya dalam berbagai bentuk, baik secara rnedis, emosional, maupun mempengaruhi pekerjaan istri. Istri yang terjebak dalam hubungan dengan kekerasan mengalami kebingungan dan tekanan manipulasi, teror, dan ancaman yang harus diterima, serta merasa cemas dan depresif (Poerwandari, 2000). Karenanya, situasi kekerasan dalam rumah tangga merupakan sumber stres bagi istri. Mengingat dampak yang mengganggu kehidupan sehari-hari yang aman dan nyaman, istri melakukan usaha-usaha untuk mengatasi kondisi stresfid tersebut Usaha istri untuk membebaskan diri dari kekerasan sebagai sumber stres merupakan suatu proses. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami istri, memahami proses coping yang terjadi, serta menetahui keefektifan coping istri dalam menghadapi bentuk-bentuk KDRT tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti berusaha untuk menggali lebih dalam pemaasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Alat ‘Inventori Sirategi terhadap Kekerasan’ dan ‘Abusive Behavior Observation Checklist (ABOC)’ yang disusun Dutton (1996) digunakan sebagai pembanding hasil wawancara. Subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 5 orang. Hasil penelitian ini memmjukkan bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang teljadi adalah kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual, dan perampasan kemerdekaan, masing-masing deugan intensitas dan Eekuensi yang bervariasi. Keberlangsungan proses coping merupakan hasil interaksi aspek-aspek eksternal dan aspek-aspek dalam individu, serta penilaian terhadap ancaman stresor dan sumber daya yang dimiliki untuk rnengatasi tindak kekerasan. Berdasarkan proses tersebut, istri yang mengalami kekerasan dapat menggunakan strategi untuk mengakhiri perkawinan, mempertahankan perkawinan dengan tetap berusaha untuk merubah perilaku suami, atau bertahan dengan menerima atau memaklumi tindak kekerasan. Keefektifan strategi coping berlaku spesifik pada tiap-tiap kasus kekerasan, seiring dengan sumber daya individu dan sirategi coping yang digunakannya. Tanda-tanda keefektifan strategi coping terhadap kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari berkurangnya frekuensi dan intensitas kekerasan, tidak adanya afek negatifl serta dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik tanpa gangguan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shera Ditriya Bastian
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara coping dan resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 101 istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga menjadi partisipan dalam studi ini dengan mengisi kuisioner coping dan resiliensi. Coping diukur dengan menggunakan alat ukur Brief COPE yang dibuat oleh Carver (1997) berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984). Brief COPE terdiri dari 14 subskala yaitu, active, planning, venting, self distraction, denial, substance use, emotional support, instrumental support, behavioral disengagement, positive reframing, humor, acceptance religion, self blame. Resiliensi diukur dengan menggunakan The 14-Item Resilience Scale (RS-14) yang disusun oleh Wagnild dan Young (2009). RS-14 terdiri dari 5 komponen, yaitu meaningfulness, perserverance, self-reliance, existential alones, equanimity. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan antara coping dan resiliensi. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa behavioral disengagement dan acceptance memiliki kontribusi terhadap resiliensi.

This research was done to see the relationship between coping & resilience toward wife whom experience domestic violence. 101 wives whom experienced domestic violence participated in this study by completing the questioners on coping and resilience. Coping was measured by the Brief COPE measurement created by Carver (1997) based on Lazarus and Folkman's theories. Brief COPE consist of 14 subscales: active, planning, venting, self distraction, denial, substance use, emotional support, instrumental support, behavioral disengagement, positive reframing, humor, acceptance religion, self blame. Resilience was measured by The 14-Item Resilience Scale (RS-14) measurement created by Wagnild dan Young (2009). RS-14 consist of 5 component: meaningfulness, perserverance, self-reliance, existential alones, equanimity. The result of this research shows the existence of positive & significant correlation between coping & resilience. Other than that, the result of the research also show that behavioral disengagement and acceptance contributes to resilience"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Caesarena Rianko Putri
"Kekerasan merupakan salah satu bentuk stresor yang berbahaya, kejam dan mengancam. Peristiwa atau kejadian hidup yang dapat mengancam dan membahayakan kesejahteraan individu sering memicu munculnya psychological distress. Diperlukan upaya untuk dapat menghadapi stressor. Upaya untuk mengatasi stress dinamakan coping. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara coping dan psychological distress pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 47 istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga menjadi responden dalam studi ini dengan mengisi kuisioner coping dan psychological distress. Coping diukur dengan alat ukur Brief COPE yang dibuat oleh Carver (1997). Coping terdiri dari dua jenis yakni problem-focused coping dan emotion-focused coping. Brief COPE terdiri dari empat belas subskala yaitu self-distraction, active coping, denial, substance use, use of emotional support, use of instrumental support, behavioral disengagement, venting, positive reframing, planning, humor, acceptance, religion, dan self-blame. Psychological distress diukur menggunakan Kessler Psychological Distress Scale (K10) yang dibuat oleh Kessler dan Mroczek (1994). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi signifikan dan negatif antara coping dan psychological distress. Berdasarkan perhitungan regresi ditemukan bahwa problem-focused coping dan emotion-focused coping tidak berkontribusi pada psychological distress namun memiliki korelasi yang signifikan. Menggunakan perhitungan regresi ditemukan pula bahwa subskala self-blame dan substance use memiliki kontribusi pada psychological distress.

Violence is one of a dangerous, vicious, and threatening stressor. Any life events that can threaten and endanger individual well-being could often trigger the emergence of psychological distress. Efforts are needed to overcome stressor, such as changing one's cognitive and behavior to deal with external and internal pressure or overcoming painful and threatening condition. Those efforts are known as coping. This research was conducted to investigate the correlation between coping and psychological distress in 47 wives who completed both questionnaires of coping and psychological distress. Coping was measured by Brief COPE which were constructed by Carver (1997). Brief COPE consist of 14 subscales, namely self-distraction, active coping, denial, substance use, use of emotional support, use of instrumental support, behavioral disengagement, venting, positive reframing, planning, humor, acceptance, religion, dan self-blame. Psychological distress were measured by Kessler Psychological Distress Scale (K10) which was constructed by Kessler and Mroczek (1994). The results show that there were negative and significant correlations coping with psychological distress. From the regression, the results show that problemfocused coping and emotion-focused coping are not contributed to psychological distress but they have a significant and negative correlation. Taken from the regression calculation, self blame and substance use were contributed in the occurance of psychological distress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Ardi Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping pada perempuan di usia dewasa muda yang mengalami kekerasan seksual, Kekerasan seksual yang dimaksud disini adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban (Rubenstein dalam Yuarsi, Dzuhayatin dan Wattie, 2003) Rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan seksual ditentukan oleh banyak faktor, yaitu antara lain faktor lingkungan dalam arti budaya dan masyarakat, faktor negara, dan juga faktor individu baik individu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual, kehendak pelaku yang berada di luar kontrol perempuan, serta reaksi perempuan terhadap kekerasan seksual itu sendiri merupakan bentuk - bentuk konkrit yang memberi sumbangan besar pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Semakin lama, perempuan harus semakin mengurangi ketergantungannya pada lingkungan, dan menjadi lebih waspada pada perubahan lingkungan di sekitarnya Namun demikian kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkup publik maupun privat, dan dilakukan oleh siapa saja baik orang yang dikenal maupun tidak dikenal, sehingga kadang kala kekerasan seksual itu tidak dapat dihindari. Saat perempuan mengalami kekerasan seksual, maka ia juga berarti mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan baik dampak fisik maupun psikologis dan dapat menempatkan individu dalam keadaan bahaya atau emotional distres disebut, keadaan ini juga disebut sebagai stres (Baron & Byrne, 2000). Untuk mengatasi keadaan ini seseorang akan perlu melakukan coping. Dimana menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Aldwin dan Revenson, 1987 : 338) coping adalah usaha yang sifatnya kognitif maupun perilaku, yang terus berubah. Dimana usaha tersebut ditujukan untuk mengatasi tuntutan yang berat maupun yang melampaui sumber daya / kemampuan seseorang Pemilihan coping yang tepat akan membawa individu pada keadaan yang stabil. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana penghayatan perempuan yang mengalami kekerasan seksual trhadap peristiwa tersebut, dan kemudian coping apa yang dikembangkan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif Oleh karena proses coping pada diri setiap orang berbeda, yang disebabkan karena perbedaan pengalaman dan penghayatan masing - masing individu, maka pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam pendekatan ini karena pendekatan ini berdasarkan pada sudut pandang individu yang mengalaminya. Selain itu, penelitian ini juga merupakan sebuah studi kasus, sebab meneliti hampir keseluruhan aspek yang terdapat pada kehidupan responden. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 rcsponden, dengan menetapka kriteria bahwa responden adalah perempuan yang berada dalam usia dewasa muda dan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada akhirnya responden pada penelitian ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, namun tingkat pendidikan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang akan memiliki strategi coping yang berbeda - beda hal ini ditentukan dari bagaimana ia mempersepsikan keadaan lingkungan dan juga dirinya sendiri. Namun ditemukan pula bahwa apabila coping yang dilakukan lebih bersifat emotion focused tanpa diimbangi dengan jenis problem - directed, maka dapat membawa akibat yang negatif sebab perasaan negatif itu menjadi lebih ditujukan pada diri. Apalagi apabila yang dikembangkan adalah strategi avoidance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoanita Eliseba
"ABSTRAK
Kekerasan merupakan wacana yang sudah sangat umum belakangan ini.
Balikan di dalam keluarga, yang seharusnya menyediakan rasa aman bagi para
anggotanya, pun dapat menjadi tempat yang paling tidak aman. Kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang disebut juga kekerasan domestik ini tidaklah sedikit
jumlahnya, walaupun pada kenyataannya hal ini seringkah dipungkiri. Kekerasan
domestik banyak dialami oleh wanita. Kekerasan domestik yang terjadi dapat
berupa kekerasan fisik, finansial, seksual, maupun emosional dan psikologis. Di
dalam keluarga wanita berperan sebagai istri dan sebagai ibu. Wanita sebagai ibu,
memiliki fungsi penting dalam melakukan pengasuhan anak. Ibu adalah primary
care giver bagi anak. Mengasuh anak bukanlah hal yang mudah, apalagi bila
harus ditambah dengan tekanan berupa perilaku kekerasan dari orang yang
seharusnya paling memberikan dukungan. Oleh karena itu penelitian ini
dimaksudkan untuk melihat gambaran parenting style yang dikembangkan ibu,
dalam konteks dimana ibu menjadi korban kekerasan domestik. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, melalui metode wawancara
mendalam. Subjek penelitian adalah tiga orang ibu yang menjadi korban
kekerasan domestik
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang
menyangkut konteks kekerasan, dalam hal ini kekerasan domestik; teori
parenting; teori molhering\ teori parenting style.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa dari tiga subjek, dua
subjek mengembangkan parenting style jenis authoritative / authoritative
reciprocal (democratic), dan satu subjek lainnya mengembangkan parenting style
jenis authoritarian / authoritarian power assertive (autocratic). Kekerasan
domestik yang dialami para subjek diakui merupakan tekanan yang sangat berat
dan berpengaruh pada subjek, termasuk dalam hal mengasuh anak. Namun
tampak adanya perbedaan jenis parenting style yang dikembangkan. Hal ini
dikarenakan faktor karakteristik subjek sebagai ibu, dan karakteristik anak yang diasuh terlihat memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan perilaku
pengasuhan seperti apa yang dikembangkan oleh ibu. Tekanan lain yang cukup
signifikan dirasakan oleh para subjek adalah masalah finansial. Para subjek jelas
sangat membutuhkan dukungan. Dukungan dapat berupa dukungan langsung
maupun dukungan tidak langsung. Keluarga luas tampak cukup berperan dalam
memberikan dukungan bagi para subjek.
Melakukan observasi dalam setting sehari-hari terhadap interaksi dan
perilaku pengasuhan ibu sangat disarankan, untuk mendapatkan konfirmasi
terhadap hasil wawancara dan memperkaya data."
2004
S3304
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Novasari
"ABSTRAK
Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga adalah realita yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Berdasarkan data statistik, wanita dan anak-anak adalah dua kelompok yang paling sering menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga: Namun, penelitian mengenai hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh para profesional di luar negeri, khususnya negara-negara Barat. Sedangkan di Indonesia sendiri belum terlalu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengupas tema kekerasan dalam lingkungan keluarga, khususnya kekerasan terhadap anak. Berangkat dari beberapa pandangan teoritis yang mengatakan bahwa korban kekerasan di masa kanak-kanak akan berpotensi untuk membina relasi interpersonal -khususnya relasi intim romantis heteroseksual- di masa dewasanya kelak, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran konflik dan strategi coping dalam relasi intim romantis heteroseksual pada dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah wawancara terfokus dan observasi. Selama proses pengumpulan data, peneliti berhasil mendapatkan 3 orang subyek (1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan), yaitu para dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya, serta sedang atau pernah menjalani relasi intim heteroseksual. Setelah melakukan penelitian, hasil yang didapat oleh peneliti adalah bahwa dari ketiga orang subyek dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kecilnya, ternyata hanya 1 orang subyek yang meneruskan rantai kekerasan dengan melakukan tindakan agresivitas terhadap pasangannya. Subyek laki-laki dan perempuan ternyata juga memiliki orientasi yang berbeda dalam relasi intim heteroseksualnya. Pada subyek laki-laki, keintiman fisik dan emosional yang dapat diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas seksual menjadi prioritas terpenting dalam hubungannya. Di sisi lain, ia tidak ingin merasa terikat oleh adanya komitmen dengan pasangan. Pada salah seorang subyek perempuan, ia memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap afeksi dan kasih sayang dari pasangannya. Namun di sisi lain, ia juga memiliki kebutuhan akan power dan dominasi yang juga sama kuatnya. Pada salah seorang subyek perempuan yang lain, kebutuhan akan afeksi dan penghargaan menjadi aspek terpenting yang mewarnai hubungannya. Jika kedua hal tersebut tidak berhasil didapatkannya dari hubungan yang dijalaninya, maka ia pun akan dengan sangat mudah mengambil jalan pintas untuk segera mengakhiri hubungan tersebut. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua bentuk kekerasan yang dialami masing-masing subyek di masa kanak-kanaknya menggoreskan luka psikologis yang mendalam pada diri mereka. Namun, dari ketiga bentuk penyiksaan fisik, emosional, dan seksual yang mereka terima, kekerasan emosionallah yang paling meninggalkan luka traumatis bagi diri mereka. Kedua orang subyek perempuan mengatakan bahwa mereka memiliki trauma atas pengalaman kekerasan seksualnya di masa kanak-kanak, sedangkan pada subyek laki-laki hal tersebut tidak dialaminya. Konflik yang terjadi dalam relasi intim heteroseksual pada masing-masing subyek dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatis mereka di masa kecil. Strategi coping yang dilakukan tiap subyek pun bersifat unik dan menunjukkan ciri khas karakter dari masing-masing individu."
2005
S3512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Soekandar Ginanjar
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan holistik tentang proses healing pada istri yang suaminya berselingkuh. Disamping itu juga ingin diketahui faktor-faktor pendukung sepanjang proses tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan disain studi kasus. Partisipan penelitian adalah tiga orang istri yang mengikuti terapi perkawinan dengan peneliti dalam jangka waktu minimal 6 bulan atau setidaknya telah mengikuti 10 sesi terapi. Untuk meningkatkan kredibilitas penelitian, peneliti melakukan triangulasi sumber data. Data utama diperoleh dari catatan selama proses terapi. Sebagai tambahan, dilakukan wawancara mendalam untuk menggali proses healing secara lebih mendetil dan faktor-faktor yang membantu para istri berkembang ke arah positif. Data lain juga diperoleh melalui observasi sepanjang proses terapi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perselingkuhan suami memberikan dampak negatif dalam kehidupan istri. Mereka mengalami berbagai emosi negatif secara bersamaan yang tidak mudah untuk dihadapi. Setiap partisipan melalui proses healing yang unik, namun secara umum mereka melewati tahapan-tahapan berikut ini: 1) terkejut dan tidak percaya, 2) mengalami dan mengatasi emosi-emosi negatif, 3) membicarakan masalah perkawinan dengan suami, 4) memperbaiki kondisi perkawinan. Proses healing dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor yang secara signifikan membantu proses healing adalah: agama, dukungan emosional, karakteristik kepribadian, perubahan positif pada suami, aktivitas yang mendukung aktualisasi diri, dan proses terapi.

The purpose of this research is to find an in-depth and holistic understanding of the betrayed wives? healing process. Also studied is any supporting factors that helps them in their healing process. This study uses qualitative method with case study design. Participants are researcher?s clients, which consist of three wives whose husbands are involved in extra marital affairs. They have been in therapy for at least six months or undergo at least ten continuous therapy sessions. This research uses several data collection methods, as data triangulation, to improve the credibility of the research. The main data source is the researcher?s notes taken in the therapy sessions. In addition, the researcher also conducts additional in-depth interview to inquire the participants? healing process in details, and the supporting factors that help them grow in a positive direction. Another source of data is observation through the therapy process.
The result shows that husbands? infidelity causes an extremely negative impact on the well-beings of their wives. They simultaneously undergo many intense negative feelings and this condition is usually extremely hard for them to experience. Every individuals go through their unique healing process, but in general they all go through the following stages: 1) shock and disbelief, 2) experience and coping with intense negative emotions, 3) talking about marital problem with the husbands, 4) repairing the damage. Healing process is influenced by internal and external factors. The factors that are significant in healing process are: religion, emotional supports, personality characteristics, positive changes of the husbands, self-actualizing activities, and therapy process."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Bernadeth
"ABSTRAK
Rumah tangga adalah salah satu area terjadinya kekerasan terhadap perempuan; baik dalam bentuk fisik, emosi, finansial dan seksual. Beberapa pilihan respons yang tersedia yaitu tetap merasa tersakiti, menuntut pembalasan,
berpura - pura tidak ada masalah, atau menghindar. Sebagai makhluk yang mempunyai berbagai kapasitas dan potensi dalam berhubungan dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Tuhan, bagi manusia - dalam hal ini perempuan yang mengalami kekerasan- terbuka pilihan untuk memaafkan, dengan kesejahteraan spiritualnya sebagai fasilitator pemaafan (Pargament, dalam Worthington, 1998) Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan metode studi kasus (N = 1). Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan mempelajari catatan responden. Responden pada kasus ini memiliki beberapa karakteristik khusus berupa menderita penyakit jantung koroner dan kanker. Kedua penyakit yang berkaitan
erat dengan stress ini (Sarafino, 1998) dialami dalam jangka waktu ia menjalani kehidupan rumah tangganya. Perilaku menyakitkan dari suami beragam dan dimulai sejak awal masa pernikahan. Responden adalah seorang individu yang mengembangkan spiritualitas dalam dirinya. Mengacu pada indikator spiritualitas yang diungkapkan Danesh (1994),
responden sejahtera secara spiritual. Hal ini beserta berbagai belief yang dipegang responden mendukung proses menuju pemaafan total (Baumeister, Exline & Sommcr dalam Worthington 1998). Saran untuk penelitian selanjutnya adalah
mengembangkan alat ukur kesejahteraan spiritual yang telah ada dengan mengintegrasikan indikator - indikator lain, terutama dalam kaitannya dengan fenomena pemaafan."
2004
S3503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmawati
"Mahasiswa merupakan populasi yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual dan risiko tersebut meningkat akibat beragam aktivitas, kunjungan tempat, dan interaksi sosial dengan dampak potensial berupa stres, sehingga diperlukan strategi koping efektif dan dukungan sosial untuk mengatasi dampak psikologis yang timbul. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres, strategi koping, dan dukungan sosial pada mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan seksual. Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif pada 107 responden dengan kriteria inklusi usia 17-23 tahun yang pernah mengalami setidaknya satu dari empat jenis kekerasan seksual dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan Perceived Stress Scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen, Kamarck, dan Marmelstein (1983), Brief COPE yang dikembangkan oleh Carver (1997), dan Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) yang dikembangkan oleh Sarason et al (1983). Hasil penelitian menunjukkan 46,7% responden mengalami stres sedang, 50,5% menggunakan strategi koping emotion-focused coping, dan 44,9% menggunakan dukungan emosional. Rekomendasi peneliti bahwa pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa dan pelayanan psikolog memberikan bimbingan dan konseling untuk korban kekerasan seksual sebagai bentuk dukungan sosial dan upaya untuk mengatasi masalah psikologis berupa stres yang dirasakan, menemukan strategi koping yang efektif, serta pentingnya dukungan sosial.

Students are a population that is vulnerable to sexual violence and the risk increases due to various activities, place visits, and social interactions with potential impacts in the form of stress, so effective coping strategies and social support are needed to overcome the psychological impact that arises. This study aims to identify the description of stress levels, coping strategies, and social support in students who have experienced sexual violence. The research method is quantitative research on 107 respondents with inclusion criteria aged 17-23 years who have experienced at least one of the four types of sexual violence using purposive sampling technique. Instruments used Perceived Stress Scale (PSS) developed by Cohen, Kamarck, and Marmelstein (1983), Brief COPE developed by Carver (1997), and Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) developed by Sarason et al (1983). The results showed 46.7% of respondents experienced moderate stress, 50.5% used emotion-focused coping strategies, and 44.9% used emotional support. Researchers recommend that health services, especially mental nursing services and psychologist services provide guidance and counseling for victims of sexual violence as a form of social support and efforts to overcome psychological problems in the form of perceived stress, find effective coping strategies, and the importance of social support."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>