Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146079 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Purnamasari
"Pada masa dewas muda, membentuk hubungan interpersonal yang intim dan stabil, yang dikenal dengan hubungan pacaran, merupakan hal yang penting. Havighurst (dalam Turner & Helms, 1995) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah memilih seorang pasangan hidup. Oleh karena itu, berpacaran pada masa dewasa muda berkaitan dengan pemilihan seorang pasangan hidup (suami atau istri). Karena bertujuan memilih seorang pasangan hidup, hubungan pacaran dewasa muda bersifat lebih serius, eksklusif; intim dan dapat dianggap sebagai tahap pranikah yang merupakan saat yang tepat untuk mempersiapkan pernikahan.
Salah satu gejala yang terdapat dalam hubungan pacaran adalah gejala kontrol terhadap pasangan. Penelitian mengenai gejala kontrol terhadap pasangan dalam hubungan pacaran dewasa muda diharapkan dapat memberi masukan mengenai gejala tersebut dalam perkawinan, karena sebagai tahap pranikah, kondisi yang terjadi dalam hubungan pacaran dewasa muda dapat memberi gambaran mengenai kehidupan pernikahan kelak.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran perilaku mengontrol pasangan dalam hubungan pacaran dewasa muda, yang dalam penelitian ini diwakili oleh mahasiswa UI. Dengan demikian, dapat diketahui apakah gejala kontrol terhadap pasangan dalam hubungan pacaran subyek tergolong tingkat tinggi, sedang atau rendah.
Subyek yang digunakan adalah mahasiswa UI dengan didasari beberapa pertimbangan, yaitu kemudahan didapat, subyek mahasiswa umumnya tergolong kelompok dewasa muda dan cukup berpendidikan sehingga diharapkan mampu memahami pernyataan-pernyataan dalam kuesioner. Penelitian ini melibatkan 100 orang subyek dengan jumlah subyek pria dan wanita yang seimbang dan berada dalam rentang usia 18 - 27 tahun. Metode pengambilan subyek adalah metode non-probability sampling dengan teknik insidental.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertulis yang memakai skala 4 angka berbentuk summated rating. Uji validitas menggunakan pendekatan construct validity dengan melihat konsistensi internal alat. Reliabilitas alat diuji dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach yang menghasilkan koefisien Alpha sebesar 0,8807.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kontrol terhadap pasangan subyek tergolong tingkat sedang. Artinya, memang terdapat gejala kontrol terhadap pasangan dalam hubungan pacaran subyek, namun tingkatannya berada dalam batas yang normal. Analisis tambahan yang dilakukan menunjukkan bahwa antara subyek pria dengan wanita dan subyek yang menjalin hubungan pacaran pada tahap awal dengan subyek yang menjalin hubungan pacaran pada tahap selanjutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam tingkat kontrol terhadap pasangan.
Sebagai sebuah penelitian awal mengenai gejala kontrol terhadap pasangan, penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk memperbesar jumlah subyek dan lebih memperdalam pembahasan mengenai gejala kontrol terhadap pasangan dengan mengeksplorasi variabel-variabel sekunder lain yang mungkin berpengaruh pada gejala kontrol terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarkadi
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana hubungan keakraban yang terjadi pada mantan pasangan kawin muda dan cerai dini. Serta mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kawin muda dan cerai dini.
Penelitian ini dilakukan di daerah Indramayu selama satu tahun lebih. Diambilnya daerah Indramayu karena kasus kawin muda dan cerai dini banyak terjadi di daerah ini. Informan meliputi empat mantan pasangan suami istri, orang tua dari masing-masing pasangan, penghulu desa, dan tokoh masyarakat. Tipe penelitian yang di pergunakan adalah deskriptif dan ekspalanatif dengan pendekatan kualitatif.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan dua macam teori. Teori penetrasi sosial dipergunakan untuk menganalisis awal hubungan dan masa pacaran, dan teori pertukaran sosial dipergunakan untuk menganalisis hubungan selama masa perkawinan. Sedangkan analisis terhadap kawin muda dan cerai dini disesuaikan dengan kajian teori (literatur) yang relevan.
Hasil analisis data pada awal hubungan menunjukkan bahwa hubungan romantis yang dibuktikan dengan akad nikah, ternyata dalam perkembangan hubungannya tidak sepenuhnya sesuai dengan teori penetrasi sosial. Hal ini terbukti dengan banyak munculnya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diatasi pada masa perkawinan, yang justru tidak dimunculkan saat mereka pacaran. Sedangkan hasil analisis data pada masa perkawinan ternyata dari empat mantan pasangan tidak ada yang masuk dalam hubungan pertama dan kedua (perkawinan yang memuaskan dan stabil). Demikian pula tidak ada yang masuk ke dalam hubungan keenam (perkawinan yang memuaskan dan tidak stabil). Mereka lebih banyak masuk ke dalam hubungan ketiga, keempat, dan kelima (perkawinan yang tidak memuaskan dan tidak stabil). Semua itu terjadi karena kurangnya komunikasi diantara mereka, baik pada saat mereka pacaran maupun setelah mereka menikah. Pada saat mereka pacaran hal-hal yang dibicarakan selalu yang baik-baik saja demi menjaga kelangsungan hubungan. Dan pada saat mereka sudah menikah ketika muncul konflik, mereka lebih baik memperturutkan hawa nafsu, sehingga berakhir dengan perceraian.
Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa faktor yang banyak menyebabkan terjadinya kawin muda dan cerai dini di daerah ini adalah kondisi alam dengan musim panen dan masa paceklik, pemahaman yang keliru dari orang tua tentang konsep kedewasaan yang hanya diukur dari sisi pisik semata, sebagai batu loncatan untuk tujuan lain, tingkat pendidikan yang rendah, pemahaman ajaran agama yang kurang, dan kebiasaan tiru-meniru yang kuat.
Dan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran yang diajukan perlu adanya penelitian lain sejenis yang menggunakan method of difference untuk mengkaji masalah hubungan keakraban suami istri bukan hanya dari kasus pasangan yang sudah bercerai, namun perlu juga dikaji pasangan yang belum bercerai dengan karakteristik yang sama. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mala Ursila
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan hubungan romantis dengan psychological well being pada mahasiswa yang sedang berpacaran. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Relationship Assessment Scale (RAS) yang disusun oleh Hendrick (1988) untuk mengukur kepuasan hubungan romantis dan alat ukur Psychological Well-Being disusun oleh Ryff yang diadaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi mahasiswa di Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini sejumlah 161 mahasiswa yang terdiri dari 97 perempuan dan 64 laki-laki dengan karakteristik berusia 18 ? 30 tahun dan sedang menjalin hubungan romantis dengan lama pacaran minimal 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kepuasan hubungan romantis dengan psychological well-being pada mahasiswa yang berpacaran.

This research was conducted to see the relationship between romantic relationships satisfaction and psychological well being in college students who are dating. This research used quantitative approach using Relationship Assessment Scale by Hendrick (1988) to measure satisfaction on romantic relationship and Psychological Well Being Scale by Ryff adapted to adjusting the conditions in Indonesia. The participants on this research were 161 college students which 97 females and 64 males with characteristics aged 18 - 30 years old and in a romantic relationships with long courtship at least 6 monts. The result shows that there is a significant and positive correlation between romantic relationships satisfaction and psychological well being in college students who are dating.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyana Djohansjah
"Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh individu adalah masa dewasa muda. lndividu dewasa muda belajar untuk hidup secara intimate bersama dengan individu lain, memulai sebuah keluarga, dan juga membesarkan anak-anak. Pentingnya pembuatan komitmen-komitmen pada masa ini juga ditekankan oleh Erikson.
Erikson (dalam Papalia, 2001) mengemukakan bahwa manusia dewasa muda menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan intimacy. Jika seseorang tidak mampu membina hubungan yang mendalam bersama orang lain maka ia akan merasa terisolasi meskipun pada dasarnya ada masa-masa tertentu mereka tetap membutuhkan waktu untuk menyendiri (isolated). lnteraksi yang dikembangkan oleh pasangan yang menjalin hubungan cinta dapat menggambarkan bagaimana status intimacy mereka. Status intimacy tidak sekedar menggambarkan bagaimana interaksi antara kedua individu yang sedang berpacaran namun juga menggambarkan bagaimana mereka melakukan coping atas permasalahan yang mereka hadapi.
Demikian juga dengan anak tunggal, mereka dituntut untuk mampu membuka dirinya (self-disclosure) serta membagi (share) permasalahan-permasalahan seputar hubungannya dengan orang lain, dalam hal ini adalah pacar atau teman dekatnya. Pada akhirnya tuntutan yang harus mereka jalani dalam hubungan pacaran akan menggambarkan bagaimana status intimacy mereka. Beberapa karakteristik yang dimiliki anak lunggal yang memiliki kecendenrungan untuk independent serta memiliki sense of love yang tinggi mungkin justru akan menimbulkan konflik pada saat anak tunggal membina intimate relationship. Keadaan dimana anak tunggal selalu menjadi fokus kasih sayang dari orangtua bisa jadi membuat anak tunggal mengalami kesulitan untuk membagi sayangnya pada orang lain. Hal ini membuat anak tunggal lebih sedikit merasa kehilangan kasih sayang dibandingkan anak lain yang memiliki saudara kandung (Conners, dalam Gladys, 1979). Selain itu, kesendirian anak tunggal seringkali dikaitkan dengan kebiasaan mereka untuk menghadapi masalah sendiri sehingga sulit untuk terbuka pada orang lain (self-disclosure).
Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran mengenai status intimacy pada masa dewasa muda yang berstatus anak tlmggal Serta mengetahui lebih jauh hal-hal apa saja yang memberi pengaruh pada anak tunggal saat ia mengembangkan Intimate Relationship dengan orang lain.
Dalam penelitian ini digunakan metode wawancara sebagai metode pengumpulan data utama dan observasi sebagai penunjang hasil wawancara Serta pembelian alat tes psikologis sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keempat subyek memiliki status intimacy yang berbeda-beda yaitu siereoguped relationship untuk subyek M, pseudointimate pada subyek I, merger commited pada subyek D dan intimate pada subyek R. Keempat subyek penelitian memiliki taraf yang tinggi untuk aspek penerimaan terhadap keterpisahan pasangan. Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan mereka yang selalu sendiri mengingat mereka adalah anak tunggal sehingga mereka tidak terlalu merasa kehilangan jika harus melakukan kegiatan tanpa pasangan. Keempat subyek penelitian memiliki taraf yang tinggi untuk aspek mempertahankan minat-minat pribadi. Kondisi anak tunggal yang menuntutnya untuk menjalankan segalanya sendiri bisa jadi salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan taraf tersebut.
Dua subyek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki memiliki taraf yang tinggi untuk aspek komitmen dan aspek perhatian dan kasih sayang. Dua subyek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki memliki keinginan yang lebih kuat untuk mempertahankan hubungan pacaran mereka dibanding subyek penelitian berjenis kelamin wanita. Peran, pola asuh dan attachment pada orang tua memberi kontribusi pada pembentukan status intimacy pada keempat subyek penelitian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Adinda
"Menjalani hubungan romantis yang memuaskan merupakan tugas perkembangan yang khas pada dewasa muda. Intimacy merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan romantis, yang telah konsisten ditemukan mempengaruhi kepuasan hubungan. Penelitian-penelitian sebelumnya meneliti pola attachment sebagai faktor individual yang mempengaruhi baik intimacy maupun kepuasan hubungan. Pola avoidant dan anxious attachment yang memanifestasikan rasa tidak amannya dengan menghindari atau mencemaskan hubungan romantisnya berkorelasi negatif dengan tingkat intimacy dan kepuasan hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek pola avoidant dan anxious attachment sebagai moderator antara intimacy dan kepuasan hubungan berpacaran pada dewasa muda. Sebanyak 881 dewasa muda (18-30 tahun) berpartisipasi dalam penelitian. Intimacy diukur menggunakan Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant dkk, 2016); pola attachment diukur menggunakan Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); dan kepuasan hubungan diukur menggunakan Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) intimacy dapat memprediksi kepuasan hubungan secara signifikan; (2) avoidant dan anxious attachment tidak signifikan memoderatori hubungan antara engagement dan communication intimacy dengan kepuasan hubungan; dan (3) pola anxious attachment signifikan memoderatori hubungan antara shared friends intimacy dan kepuasan hubungan. Dengan demikian, pengalaman shared friends intimacy dapat memberikan kepuasan hubungan yang lebih tinggi bagi individu dengan tingkat anxious attachment yang lebih tinggi.

Having a satisfying romantic relationship is a typical developmental task for young adults. Intimacy is one of the important factors in romantic relationships, consistently found to affect relationship satisfaction. Previous studies have examined attachment style as the individual factor that influences both intimacy and relationship satisfaction. Avoidant and anxious attachment, which manifest their feelings of insecurity by avoiding or worrying about their relationship, negatively correlated with intimacy and relationship satisfaction. This study aims to test the effect of avoidant and anxious attachment style as a moderator between intimacy and relationship satisfaction. A sample of 881 young adults (18-30 years old) participated in the study. Intimacy was measured using the Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant et al, 2016); attachment style was assessed using the Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); and relationship satisfaction was measured using the Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Results showed that (1) intimacy significantly predicted relationship satisfaction; (2) neither avoidant nor anxious attachment significantly moderated the relationship between engagement and communication intimacy with relationship satisfaction; and (3) anxious attachment significantly moderated the relationship between shared friends intimacy and relationship satisfaction. Thus, the experience of shared friends intimacy can promote higher relationship satisfaction for individuals with higher level of anxious attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rif`atul Mahmudah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara aspek intimacy dalam Sternberg's Triangular Theory of Love dengan kesiapan menikah pada dewasa muda. Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini melibatkan 120 orang dewasa muda yang telah merencanakan pernikahan dengan pasangannya Partisipan diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur intimacy dan kesiapan menikah. Intimacy diukur dengan menggunakan subscale intimacy yang menjadi bagian dari alat ukur Triangular Love Scale (TLS) yang dikembangkan oleh Robert J. Sternberg. Kesiapan menikah diukur dengan menggunakan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). Adapun area-area kesiapan menikah yang diukur adalah komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intimacy dan kesiapan menikah. Selain itu, ditemukan adanya perbedaan mean kesiapan menikah yang signifikan berdasarkan tahun rencana pelaksanaan pernikahan.

This research is examined to understand the relationship between intimacy of Sternberg's Triangular Theory of Love and readiness for marriage in young adults. The research used quantitative approach and involving 120 young adults that have planned a marriage with their couple. Intimacy was measured using a subscale intimacy which is a part of Triangular Love Scale (TLS) that developed by Robert J. Sternberg. Readiness for marriage is measured by the Modified Marriage Readiness Inventory (Wiryasti, 2004). The areas measured on the readiness for marriage is communication, finance, children and parenting, husband and wife roles, partner background and relationships with family, religion, interest and use of leisure time. The result of this research showed that there is a significant relationship between intimacy and readiness for marriage. Furthermore, this research find a significant mean difference in readiness for marriage based on years of the implementation of marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Patricia Sefrieda Nindya Karina
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara komponen intimacy dalam teori triangular cinta Sternberg dan kepuasan perkawinan pada individu yang berada dalam tahap perkawinan yang memiliki anak remaja. Sebanyak 157 partisipan mengisi kuesioner intimacy (subskala intimacy dari Sternberg's Triangular Love Scale) dan kepuasan perkawinan (Fowers and Olson's ENRICH Marital Satisfaction Scale). Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki intimacy dan kepuasan perkawinan yang tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara intimacy dan kepuasan perkawinan (r = .767, p < .01). Selain itu, ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara lama berpacaran dan kepuasan perkawinan (r = .164, p < .05).

The aim of this research was to examine the relationship between the intimacy component of Sternberg's Triangular Theory of Love and marital satisfaction in individuals who are in the marital stage with teenagers. A total of 157 participants complete questionnaires on intimacy (Sternberg's Triangular Love Scale) and marital satisfaction (Fowers and Olson's Marital Satisfaction). In this research, participants were found to have high intimacy and marital satisfaction. The result also indicates a positive and significant relationship between intimacy and marital satisfaction (r = .767, p < .01). In addition, a significant correlation was found between courtship length and marital satisfaction (r = .164, p < .05). "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annajm Arradita Andhi Ajeng
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah keberfungsian keluarga dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat apakah dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga yaitu problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement dan behavior control secara bersama-sama dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Pengukuran intimacy dilakukan dengan menggunakan Miller Social Intimacy Scale MSIS sementara pengukuran keberfungsian keluarga dilakukan dengan menggunakan Family Assessment Device FAD yang didasari oleh teori McMaster Model of Family Functioning. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 188 perempuan dan 67 laki-laki dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai, berumur 20-40 tahun, sedang menjalin hubungan berpacaran, dan belum menikah. Hasil penelitian dengan teknik simple regression menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memilki orang tua bercerai. Hal yang sama juga ditemukan pada dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga, dimana hasil multiple regression menunjukkan bahwa dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga secara bersama-sama tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai.

This study conducted to examined family functioning as predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. This study also examined whether the dimensions of family functioning problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement and behavior control could simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. Intimacy was measured with Miller Social Intimacy Scale MSIS and family functioning was measured with Family Assessment Device FAD based on McMaster Model of Family Functioning Theory. This study consisted of 188 females and 67 males young adults with divorced parents, aged 20 40, is in dating relationship during the study, and have not been married before. The result with simple regression indicated that family functioning not significantly could be a predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. The same result was found on the dimensions of family family functioning in which multiple regression showed that the dimensions of family functioning could not simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Karunia Rahma
"ABSTRAK
Intimacy merupakan salah satu aspek terpenting terutama pada individu dewasa muda. Individu yang sulit membangun intimacy dengan oranglain disebut dengan fear of intimacy. Fear of Intimacy dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah hubungan dalam keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dan fear of intimacy pada individu dewasa muda. Partisipan penelitian ini berjumlah 743 orang dewasa muda laki-laki dan perempuan yang berusia antara 21-40 tahun. Penelitian ini adalah penelitian korelasional dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengukuran keberfungsian keluarga menggunakan alat ukur Revised- Family Assesment Device dan fear of Intimacy diukur menggunakan Revised-Fear of Intimacy Scale. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sinifikan antara keberfungsian keluarga dan fear of intimacy pada dewasa muda r = -,229, p < 0.01 . Sebagai tambahan, hasil peneltiian ini menemukan bahwa dimensi behavioral control dari keberfungsian keluarga memiliki korelasi yang paling tinggi dengan fear of intimacy sedangkan dimensi affective responsiveness tidak berkorelasi dengan fear of intimacy. Arah korelasi yang didapatkan negatif, artinya semakin baik family functioning maka semakin rendah tingkat fear of intimacy.

ABSTRACT
Intimacy is one of the most important things in young adulthood. A young adult who can not build intimacy easily with others called as fear of intimacy. Fear of intimacy can caused by many factors such as family relationship. This research is conducted to find about the relationship between family functioning and fear of intimacy in young adults. Participants in this study consist of 743 young adults of man and woman aged between 21 40 years . This study was a correlational study using a quantitative approach. Family functioning was measured by Revised Family Assessment Device and Fear of Intimacy measured by Revised Fear of Intimacy Scale. The result showed that there is a significant relationship between family functioning and fear of intimacy r ,229 , p 0.01 . In addition to this research found that the behavioral control dimension of family functioning has most correlated with fear of intimacy meanwhile affective responsiveness dimension of family functioning has no correlated with fear of intimacy. The direction of correlation is negative, it means that he higher of family functioning then the lower of fear of intimacy."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukaria
"ABSTRAK
Masa dewasa muda adalah masa kehidupan yang sangat penting bagi seseorang.
Pada usia ini seseorang mencapai tanggung jawab yang lebih besar daripada usia
sebelumnya karena ia mulai memilih arah hidup selanjutnya (Tumer 8; Helms, 1987).
Di antara tugas-tugas perkembangan dewasa muda menurut Havighurst,
sebagian berkaitan dengan kehidupan berumah tangga, diantaranya adalah:
berpacaran dan memilih pasangan hidup, dan belajar menyesuaikan diri dan hidup
selaras dengan pasangan perkawinannya (Tumer & Hchns, 1987). Dalam membina
hubungan yang intim dengan lawan jenis ini, salah satu emosi yang sangat penting dan
menentukan adalah cinta. Cinta yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah cinta
heteroseksual amara dua orang dewasa yang menjurus pada perkawinan.
Dewasa ini di negara-negara maju, cinta romantis dinilai oleh orang muda sebagai
satu alasan terpenting untuk perkawinan (Rathus dkk., 1993). Satu hal yang sangat
penting dalam hubungan cinta adalah konsep cinta yang dianut oleh orang yang
bersangkutan. Konsep cinta dapat mencakup sekurang-kurangannya pemahaman
seseorang tentang apa yang menjadi ciri-ciri/unsur-unsur cinta, dan bagaimana
persamaan, dan perbedaan cinta dengan emosi yang lainnya yang hampir serupa.
Konsep cinta ini penting bagi kelangsungan hubungan cinta karena banyak
masalah yang timbul dalam hubungan cinta berkaitan dengan kosep cinta ini.
Masalah-masalah yang dapat terjadi dalam hubungan cinta yang berkaitan dengan
konsep cinta itu antara lain:
- Masalah perbedaan dalam memahami cinta karena perbedaan jenis kelamin dan
perbedaan individual
- Masalah perbedaan individual dalam komitmen dan nilai-nilai yang dianut:
- Masalah perbedaan antara gambaran ideal dan kenyataan
- Masalah-masalah perubahan cinta
Dengan adanya permasalahan di atas maka melalui penelitian ini peneliti ingin
mengetahui :
I. Bagaimanakah gambaran konsep cinta pada orang dewasa muda?
2. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara pria dan wanita?
3. Apakah ada perbedaan konsep cinta antara orang yang sudah menikah dengan
orang yang belum menikah?
Untuk menjawab masalah ini maka peneliti menggabungkan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif, dengan menggunakan dimensi-dimensi emosi menurut Frijda dkk.
(1989) dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg (1988) sebagai kerangka analisis.
Untuk alat pengumpul data, peneliti menggunakan wawancara.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: secara umum dari seluruh subyek
yang berjumlah 12 orang, dimensi yang paling menonjol pada konsep cinta keseluruhan
subyek adalah dimensi penilaian dalam teori emosi Frijda (1986, 1989) dan dimensi
keakraban dalam teori Sternberg (1988).
Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa dalam perbandingan antara pria dan
wanita, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam dimensi-dimensi emosi
menurut Frijda dan dimensi-dimensi cinta menurut Sternberg. Perbandingan antara
subyek yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
Namun secara kualitatif dari segi isi konsep cinta, nampak bahwa ada beherapa
perbedaan antara pria dan wanita, yaitu:
- dalam dimensi emosi menurut Frijda, pada pria tidak terdapat respons ketergugahan
faali sebagai unsur dalam konsep cinta sedangkan pada wanita terdapat respons
ketergugahan faali walaupun hanya sedikit (5%).
- dalam dimensi cinta menurut Sternberg (1988), unsur yang paling besar proporsinya
pada subyek pria adalah keakraban (52%) sedangkan pada wanita adalah nafsu
(44%)
Perbandingan antara orang yang belum menikah dengan orang yang menikah
juga apabila dianalisis isinya, terlihat bahwa pada orang yang sudah menikah unsur
yang menempati bagian terbesar dalam konsep cintanya adalah nafsu (48,5%)
sedangkan pada orang yang belum menikah adalah keakraban (49,4%).
Dengan analisis kualitatif peneliti juga menemukan ciri-ciri utama dari cinta sbb:
- bersifat subyektif
- bersifat egois yaitu menuntut balasan
- adanya kesediaan berkorban untuk orang yang dicintai
- berkaitan dengan ketertarikan seksual (nafsu)
- berkaitan dengan komitmen yaitu mengarah pada perkawinan, dan
- penerimaan secara total terhadap orang yang dicintai atau menerima orang yang
dicintai apa adanya.
Semua ciri di atas itulah yang membedakan cinta dari emosi lain yang hampir
sama seperti sayang dan suka. Apabila dilihat dari teori Sternberg (1988) maka
sebagian besar ciri utama itu tergolong dalam dimensi nafsu. Dengan demikian peneliti
dapat mengajukan asumsi bahwa aspek yang paling dominan dalam membedakan cinta
dengan emosi lainnya adalah nafsu.
Analisis kualitatif juga menemukan faktor-faktor penyebab seseorang mencintai
orang lain, yaitu dapat disebutkan sbb:
- karena orang yang dicintai memenuhi ideal/kriteria yang sudah dimiliki oleh subyek
- karena orang yang dicintai memenuhi kebutuhan subyek diantaranya kebutuhan akan
perhatian dan kebutuhan akan rasa penting
- karena orang yang dicintai memiliki kesamaan nilai-nilai yang dianut dengan subyek,
dan
- karena subyek mendapatkan balasan yang setimpal dari lawan jenis atas usaha dan
perhatian yang ia berikan.
Keempat faktor penyebab cinta itu secara sendiri-sendiri maupun secara bersama
dapat menimbulkan perasaan cinta pada diri subyek."
1995
S2499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>