Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Skolastika Sandya Esti Rahayu
"Legalisasi untuk tindakan pengguguran janin dalam kandungan 1 penghentian kehamilan secara disengaja, atau dalam istilah kedokteran disebut Abortus Provokatus, menimbulkan polemik yang berkepanjangan di berbagai negara di seluruh dunia. Ada anggapan negatif di masyarakat bahwa melakukan aborsi adalah suatu tindak kriminal dan tidak bermoral karena membunuh janin yang dikandung. Pada umumnya dilakukan oleh para wanita muda untuk mengatasi kehamilan yang terjadi akibat melakukan seks bebas (pra nikah).
Di bawah undang-undang aborsi, Undang-Undang Eugenika Nasional 1940 dan Undang-Undang Perlindungan Eugenika 1948 (Yusei Hogo Ho), aborsi di Jepang dilegalkan. Tujuan utama undang-undang tersebut dibuat adalah untuk mencegah kelahiran bayi-bayi dengan penyakit turunan dan menjaga kesehatan wanita yang mengandung. MeIalui Undang-Undang Aborsi tahun 1948, Pemerintah Jepang menyetujui keinginan untuk aborsi dengan beberapa syarat tambahan, seperti kehamilan akibat perkosaan, ketidakmampuan untuk memelihara bayi secara ekonomi, serta kesehatan mental ibu menjadi terganggu selama mengandung.
Dalam skripsi ini, berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh penulis, ditemukan suatu fakta bahwa wanita-wanita Jepang menyetujui aborsi dilakukan. Kasus aborsi yang terjadi di Jepang tetap tinggi dan sebagian besar dari total kasus tersebut, justru dilakukan oleh para wanita yang telah menikah. Aborsi digunakan sebagai salah satu alat pengendali kelahiran yang paling disukai karena terjamin efektivitasnya, tanpa harus melibatkan orang lain, termasuk pada pasangannya, Dampak psikologis (rasa bersalah pada janin yang digugurkan) setelah aborsi dilakukan, dianggap sebagai hal yang wajar dan seolah-olah dapat diatasi dengan suatu ritual keagamaan tertentu, seperti upacara keagamaan Mizuko Kuyo untuk mendoakan ketenangan dan kebahagiaan arwah si janin."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S13950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Pusparesmi M
"Skripsi ini menguraikan tentang wanita Jepang. Secara khusus skripsi ini menguraikan tentang perubahan pandangan wanita Jepang terhadap perkawinan sebagai akibat dari adanya perubahan Undang Undang dan perkembangan pendidikan bagi wanita Jepang. Perubahan pandangan ini terutama ditekankan pada saat Jepang berada di bawah pendudukan Amerika (tahun 194 akibat dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II) karena setelah masuknya Amerika terlihat jelas perubahan pandangan tersebut. Namun, sebelumnya diuraikan pula mengenai kehidupan dan anti perkawinan bagi wanita sebelum tahun 1946 (sebagai latar belakang). Sebelum tahun 1946, perkawinan dianggap sebagai jalan hidup wanita karena pendidikan yang diterima wanita pada saat itu, baik di rumah maupun sekolah bertujuan untuk menjadikan wanita sebagai Ryosai Kenbe sehingga wanita tidak memiliki kemandirian. Adanya perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang atas desakan pihak penguasa Amerika menumbuhkan kesadaran wanita Jepang bahwa perkawinan bukanlah satu-satunya jalan hidup yang tersedia bagi mereka. Perkawinan yang pada awalnya dianggap sebagai suatu keharusan kemudian berubah menjadi satu pilihan hidup wanita Jepang. Dengan demikian terbukti bahwa secara tidak langsung Amerika melalui perubahan Undang Undang dan perkembangan bidang pendidikan telah mempengaruhi pandangan wanita Jepang terhadap perkawinan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13576
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Erawati
"Fenomena bertambah pesatnya peningkatan jumlah wanita yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu daripada pekerja purna waktu di Jepang pada sekitar tahun 90-an, tidak dapat dilepaskan dan kesadaran ibu-ibu Jepang akan tanggung jawab utamanya terhadap keluarga. Pekerjaan paruh waktu nampaknya merupakan jalan keluar yang realis bagi kaum ibu bekerja supaya dapat memadukan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaannya di luar rumah secara selaras.
Skripsi berjudul PEKERJA PARUH WAKTU WANITA DI JEPANG Antara Pekerjaan dan Rumah Tangga ini mengangkat pokok permasalahan tentang 1. Alasan ibu-ibu rumah tangga di Jepang banyak yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu daripada menjadi pekerja purna waktu. 2. Bagaimana pekerjaan paruh waktu bisa menjadi jalan bagi terlaksananya pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan yang rnenghasilkan uang secara selaras. 3. Keuntungan dan kerugian yang diperoleh ibu-ibu yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu.
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, penulis membahas dengan menggunakan metode kepustakaan dan menjelaskan perubahan jumlah ibu-ibu yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu dengan kecenderungan naik yang dapat dilihat dengan jelas melalui grafik dan tabel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S13884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditta Resti Setioningtias
"Penurunan angka kelahiran total di negara maju menjadi permasalahan penting bagi pemerintahnya. Di Jepang sendiri, terjadinya penurunan tingkat kelahiran dalam beberapa dekade terakhir memunculkan istilah tersendiri, yaitu shoshika. Jepang diproyeksikan memiliki tingkat kelahiran yang negatif dalam beberapa dekade ke depan. Hal ini diperburuk dengan bertambahnya masyarakat lanjut usia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan shoshika,salah satunya adalah bertambahnya jumlah wanita karier di Jepang. Bertambahnya jumlah wanita karier di Jepang memiliki beberapa faktor penyebab, salah satunya pergeseran sistem nilai budaya. Pergeseran nilai budaya ini terjadi karena masuknya budaya asing akibat penyebaran unsur-unsur kebudayaan.
Artikel jurnal ini menganalisis hubungan antara adanya wanita karier dengan penurunan tingkat kelahiran di Jepang. Artikel jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum zaman Meiji, wanita Jepang merasa terkungkung oleh sistem patriarki yang meninggikan status pria. Berubahnya peran mereka dari ibu rumah tangga menjadi wanita karier merupakan salah satu sikap mereka keluar dari sitem patriarki yang ada dengan menuntut kebebasan.

Declining birth rates in developed countries had become a problematic issue that concerns its government. In Japan, the issue of declining birth rates has become such a concern that they have established a new term for it, which is shoshika. Projections of the population growth in Japan have shown negative birth rates for the coming decades. This issue is further worsened by the number of elders in the country. There are a couple factors as to why shoshika is currently taking place, and one of them is the increase of career women in Japan. The increase of Japanese career women is linked to causes such as the shift of cultural values. The shift in cultural values is product of foreign culture brought into Japan as a result of spreading culture.
This article analyzes the relation between the increase of career women with the declining birth rates in Japan. This article uses qualitative research method. Results show that before Meiji Period, Japanese women felt restraint by the patriachal system that superiorizes the status of men. The shift in their roles as housewives to career women is to show that they are no longer following the patriachal system by demanding freedom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nirmala Sitta
"Skripsi ini berjudul Tingkat Partisipasi Wanita Sebagai Tenaga Pengajar Dalam Dunia Pendidikan Tinggi di Jepang yang dibuat dibawah bimbingan Dr. Bachtiar Alam. Penulis tertarik mengambil judul ini karena melihat di Jepang wanita yang menjadi tenaga pengajar untuk tingkat perguruan tinggi apalagi yang sampai mencapai gelar tinggi sangat sedikit dibandingkan dengan prianya, padahal sekarang ini pendidikan wanita boleh dibilang meningkat dibandingkan sebelumnya, saat ini wanita sudah banyak yang berpendidikan tinggi tapi mengapa wanita yang terjun sebagai tenaga pengajar khususnya yang menjadi pengajar tetap di universitas sangat sedikit, kalaupun mereka menjadi guru biasanya kebanyakan tenaga pengajar tidak tetap, dari situlah penulis bermaksud untuk meneliti apa faktor-faktor penyebab perbedaan itu. Data-data yang diperoleh didapat sebagian dari guru pembimbing dan sebagian lagi dari perpustakaan. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan.
Dari kajian yang dilakukan diketahui bahwa masih berlakunya diskriminasi gender yang berlaku dalam masyarakat Jepang yang secara tidak langsung diterapkan juga dalam praktek-praktek kebijaksanaan personalia di perguruan tinggi di Jepang contohnya dalam hal pengangkatan staff pengajar, selain itu wanita memang tidak dapat terus-menerus secara kontinu karena ada saat dimana dia harus berhenti bekerja untuk menikah dan mengasuh anak sehingga kalau dia harus mengikuti tahapan-tahapan untuk menjadi tenaga pengajar di universitas di Jepang sangatlah sulit apalagi sampai ke jenjang yang tinggi. Bidang - bidang pekerjaan yang dapat dimasuki oleh wanita setelah dia lulus program Master dan program Doktor memang terbatas. Lalu dikaitkan dengan ideologi gender yang berlaku di Jepang yaitu Ryosai Kenbo sangat mempengaruhi posisi wanita dalam keluarga dan masyarakat yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab kurangnya partisipasi wanita sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi di Jepang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna tapi semoga penulisan ini dapat berguna bagi Para pembaca."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S13755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baker, Virgie
"Perkembangan jaman telah membuat wanita-wanita hampir di seluruh dunia mendapatkan pendidikan yang sama tinggi dengan kaum pria. Sehingga seperti yang pada umumnya diketahui bahwa pembagian tugas berdasarkan gender, wanita ditugaskan untuk mengatur kebutuhan rumah tangganya atau dengan kata lain bekerja di rumah. Sekarang ini semakin banyaknya keinginan para wanita itu untuk dapat juga berkarya dan mendapatkan posisi setingkat dengan pria khususnya di tempat-tempat kerja seperti perusahaan. Tapi di negara Jepang banyak sekali hambatan untuk para wanitanya dalam mendapatkan kesempatan yang sama seperti pria, khususnya di perusahaan.
Oleh sebab itu banyak protes dari para wanita Jepang yang menuntut persamaan kesempatan di perusahaan khususnya dalam peningkatan promosi jabatan. Untuk itu Pemerintah Jepang membuat hukum Kintoho, yaitu hukum yang mengatur tentang persamaan kesempatan pria dan wanita di dalam pekerjaan.
Skripsi yang berjudul tentang Sistem jalur- Karir Bagi Wanita Sebagai Akibat Terbentuknya Kintoho ini mengangkat perkembangan wanita Jepang dilihat dari keadaan jaman serta pendidikannya untuk mencapai persamaan dalam bidang pekerjaan dengan pria yang ditunjang dengan hukum Pemerintah, yang diharapkan untuk dapat mengatasi hambatan-hambatan wanita Jepang untuk meniti karirnya sampai ke posisi tertinggi sama seperti pria."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
S13968
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kreasita
"Salah satu hal yang sampai saat ini masih menjadi topik pembicaraan hangat di Jepang adalah masalah pada masyarakatnya yang semakin menua. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah penduduk lansia yang sangat cepat dan sudah hampir mencapai 1/4 dari keseluruhan penduduk Jepang di abad ke-21 ini. Walaupun Jepang bukanlah negara pertama yang memiliki koreika shakai, namun kecepatan pertumbuhannya yang luar biasa kurang diantisipasi oleh pemerintah sehingga tak dapat dielakkan lagi dan timbullah permasalahan di berbagai bidang. Di satu sisi dapat dikatakan bahwa Jepang memang sudah berhasil meningkatkan taraf hidup penduduknya sehingga usia rata-rata harapan hidup penduduk Jepang menduduki peringkat tertinggi di dunia sekarang ini. Namun di sisi lain seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, penduduk berusia lanjut juga semakin meningkat. Dalam bidang ekonomi dampaknya sudah terasa sekali dimana jumlah angka ketergantungan semakin tinggi tetapi jumlah penduduk berusia produktif semakin berkurang. Di bidang pendidikan pun tak luput terkena dampak dari koreika shakai ini. Beberapa sekolah dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi harus ditutup karena kekurangan murid. Tak hanya itu saja, rupanya koreika shakai di Jepang juga menimbulkan permasalahan khususnya bagi para wanita lansia. Karena harapan hidup mereka yang relatif lebih panjang daripada pria, sekarang mereka harus menghadapi kenyataan untuk siap dalam menjalani hidup tuanya tanpa didampingi oleh pasangannya. Bukan hanya perasaan kesepian saja yang harus siap mereka hadapi kelak, tetapi juga masalah kesehatan dan keuangan yang harus mereka jalani. Pendapatan wanita yang relatif lebih kecil daripada pria membuat wanita mau tak mau harus giat bekerja selagi mampu untuk menabung sebagai bekal hidup di hari tua. Itulah sebabnya mengapa banyak wanita yang sudah tua tetapi masih tetap bekerja. Itu pun berlaku hanya untuk yang masih sanggup untuk bekerja, tetapi banyak juga wanita lansia yang sudah tidak dapat bangun lagi dari tempat tidurnya. Bagi mereka hidup adalah siksaan karena harus membebani orang lain, sehingga banyak diantara mereka yang lebih memilih untuk melakukan bunuh diri. Sehingga tak mengherankan jika angka bunuh diri wanita lansia di Jepang salah satu yang tertinggi di dunia selain Hungaria. Pemerintah Jepang di satu pihak memang telah berhasil meningkatkan kesehatan rakyatnya dengan memberlakukan standar hidup yang tinggi sehingga penduduknya dapat hidup lebih lama, tetapi apa gunanya umur yang panjang jika harus menderita di hari tua."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Wulansari
"Mengacu kepada konsep jender yang menganalisa kedudukan wanita dari dua segi, yaitu segi konstruksi simbolik dan segi peran sosial, terungkap adanya suatu kontradiksi dalam pemahaman kedudukan wanita dalam masyarakat Okinawa. Dari segi konstruksi simbolik, wanita Okinawa memiliki kedudukan yang kuat dan mulia, karena dalam konteks kebudayaan Okinawa, khususnya yang berkenaan dengan nilai-nilai simbolik dalam mitologi dan konsep-konsep keagamaan, wanita Okinawa digambarkan sebagai mahluk yang memiliki muatan nilai-nilai kesucian dan kemuliaan karena wanita dianggap memiliki sifat-sifat utama para dewa yang dapat melahirkan, membesarkan dan melindungi manusia. Wanita Okinawa secara simbolik juga ditampilkan sebagai mahluk yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Dengan kekuatan spiritual yang dimilikinya ini, wanita Okinawa dianggap mempunyai kemampuan untuk menjaga dan melindungi manusia serta mampu menghubungkan manusia dengan dewa maupun roh nenek moyang. Oleh karena itu, wanita memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan keagamaan di Okinawa, di mana hanya wanita yang dapat menduduki status sebagai pendeta wanita (nuru) maupun sebagai dukun wanita (yuta).
Namun hal ini tidak berarti bahwa wanita Okinawa selalu mempunyai kedudukan yang kuat dan mulia dalam semua segi kehidupan. Dari segi peran sosial, wanita Okinawa justeru ditempatkan pada posisi yang lemah dan tidak jarang mendapat perlakuan yang diskriminatif. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam sistem kekerabatan Okinawa yang bersifat patrilineal dengan kelompok kekerabatannya yang disebut munchu, maupun dalam sistem pewarisan altar pemujaan nenek moyang (tootoomee). Dalam sistem kekerabatan Okinawa yang berpusat pada munchu, konsep yang diutamakan adalah konsep shiji, yaitu konsep hubungan darah melalui garis keturunan pria. Konsep ini menekankan bahwa yang dapat menjadi penerus dalam suatu keluarga adalah anak laki-laki pertama dan orang yang tidak mempunyai hubungan darah melalui kerabat pria tidak bisa dijadikan anak angkat dan menjadi penerus suatu keluarga. Dengan demikian, sistem kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan pria ini sangat menomor-duakan posisi wanita, karena secara tegas menutup kemungkinan seorang wanita untuk menjadi penerus keluarga.
Dalam sistem pewarisan altar pemujaan nenek moyang (tootoomee) yang juga berarti pewarisan rumah tempat tinggal berikut harta benda lainnya, wanita Okinawa kembali mendapat perlakuan yang diskriminatif. Menurut kepercayaan orang Okinawa, altar pemujaan nenek moyang tersebut hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki, terutama anak laki-laki tertua. Tradisi seperti ini jelas-jelas menomor-duakan posisi wanita, karena wanita tidak diberikan hak yang sama dengan pria untuk mewarisi tootoomee. Akibat negatif yang dirasakan oleh wanita bukan saja dalam hal pewarisan harta, tetapi juga dalam melahirkan anak, karena seorang istri yang belum melahirkan anak laki-laki diharapkan melahirkan anak terus sampai mendapatkan anak laki-laki. Dengan demikian, pengutamaan kaum wanita dalam mitologi dan kehidupan keagamaan di Okinawa sangat berkontradiksi dengan pengutamaan kaum pria dalam kehidupan sosial. Secara teoritis, nilai-nilai positif yang diberikan kepada wanita Okinawa dalam dimensi simbolik tidak begitu saja akan terwujud dalam peran dan hubungan sosial yang nyata."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S13686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ailah Dahlia
"Dikukuhkannya sistem keluarga tradisional Ie sebagai standar keluarga nasional dalam Meiji Minpo di zaman Meiji telah membuat keadaan perempuan Jepang lebih buruk lagi dari sebelumnya Akan tetapi di tengah tengah bangsa yang sangat patriarkat tersebut komunitas geisha justru muncul dengan sistem matriarkat yang dijalankan dengan ketatnya Skripsi ini membahas mengenai keunikan sistem matriarkat dalam komunitas geisha Kyoto serta ldquo penolakan rdquo nya terhadap dominasi kaum lelaki di zaman Meiji Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan metode deskriptif analisis Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijalankannya sistem matriarkat dalam komunitas geisha tersebut telah membebaskan mereka dari berbagai subordinasi seperti yang telah diterima perempuan pada umumnya.

During the Meiji period, the condition of women in Japan deteriorated as a result of Ie, the Japanese traditional family system, which was further legitimized by Meiji Civil Code. The geisha community, however, created a stringently matriarchy system in the midst of a patriarchy nation. This study focuses on the uniqueness of the matriarchy system established by the geisha community of Kyoto, and its “rejection” of Meiji Period male dominance. The research conducted was primarily a literature study, using techniques of descriptive analysis, and the result show that the matriarchy system of Kyoto geisha community was able to sustain itself by means of several sub-ordinations received by women in general."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani Wahyuningtias
"Pandangan usia tepat untuk menikah (kekkon tekireiki) telah mengalami perubahan. Dewasa ini, perkawinan tidak terkonsentrasi pada batas usia yang sempit, dan usia rata-rata orang Jepang pertama kali menikah bertambah tinggi. Adapun orang-orang yang tidak ingin terikat dalam tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga lebih memilih untuk terus melajang (single life) atau hidup bersama tanpa menikah (cohabitation). Sikap mereka tersebut didasari atas keinginan untuk tidak mau disusahkan oleh kewajiban hukum dan sosial.
Penelitian ini mengkaji dan menganalisis pengaruh terbukanya peluang kerja di luar sektor tradisional dan tampilnya pekerja wanita dalam angkatan kerja terhadap usia dan minat berumah tangga, keinginan pasangan suami-istri untuk mempunyai anak, dan pola hubungan suami-istri serta sikap mereka terhadap kelangsungan rumah tangga. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini, berkisar antara tahun 1990-2003."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>