Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23501 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Nurfitri
"Nutrisi merupakan salah satu faktor lingkungan hidup sebagai kebutuhan dasar yang sangat panting untuk anak. Nutrisi dibutuhkan setiap hari tanpa dapat ditangguhkan ke hari esok untuk kelangsungan hidup maupun tumbuh kembang anak.
Selama ini pengetahuan tentang nutrisi sebagian besar membicarakan komponen diet, penyakit yang berhubungan dengan kekurangan gizi dan jumlah yang diperlukan untuk mencegahnya. Pada dekade terakhir timbul pemikiran bahwa nutrisi dapat berlaku sebagai "pengobatan". Diet tertentu bukan hanya merupakan obat bagi beberapa kelainan inborn error of metabolism seperti fenilketonuria, homosistinuria, dan galaktosemia, tetapi juga sebagai terapi penyakit lain. Salah satunya adalah diet ketogenik sebagai terapi epilepsi intraktabel.
Angka kejadian epilepsi pada anak dan remaja berkisar antara 50 - 100 per 100.000 penduduk pertahun. Di Inggris, 20 - 70 kasus per 100.000 populasi pertahun dengan prevalensi 4 - 10 kasus per 1000 populasi. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM. terjadi peningkatan cukup berarti, darn 65 kasus barn dan 343 kasus epilepsi lama pada tahun 2000 menjadi 116 kasus epilepsi baru dan 356 kasus epilepsi lama pada tahun 2001.
Obat anti epilepsi (OAF) merupakan pilihan terapi pertama dan berhasil bank pada sebagian besar penderita anak, tempi lebih darn 25% diantaranya menderita epilepsi intraktabel atau kejang tidak terkontrol. Di Indonesia angka kejadian epilepsi intraktabel belum tercatat, diperkirakan tidak berbeda jauh dengan penelitian di luar negeri. Diet ketogenik dapat menjadi alternatif terapi epilepsi intraktabel. Variabel lama diet ketogenik adalah rasio ketogen dan non ketogen, yaitu rasio lemak dengan protein ditambah karbohidrat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Rafli
"Latar belakang: Saat ini, diet ketogenik menjadi salah satu penanganan epilepsi yang sulit terkontrol dengan obat anti-epilepsi (intraktabel) pada anak dan sudah mulai diterapkan di seluruh dunia.Diet ketogenik Modified Atkins Diet (MAD) adalah jenis diet ketogenik yang lebih tidak restriktif dengan prinsip yang sama dengan diet ketogenik yang klasik.Penelitian mengenai penggunaan diet ketogenik MAD pada anak dengan epilepsi intraktabel juga masih belum ada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh, efek samping, toleransi, tingkat kepatuhan, menu makanan diet ketogenik MAD yang mudah diterapkan pada anak dengan epilepsi intraktabel yang dipantau dalam waktu 6 bulan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian awal dengan uji klinis pre dan post treatment pada populasi anak dengan epilepsi intraktabel yang berobat ke Poliklinik Neurologi dan Nutrisi Penyakit Metabolik Anak Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2021 hingga Juni 2022. Hasil penelitian: Sebanyak 31 subyek penelitian memenuhi kriteria inklusi. Subyek yang menjalani diet ketogenik MAD pada bulan pertama 31 subyek (100%), bulan ke-3 13 subyek (41,9%), dan bulan ke-6 adalah 9 subyek (29%). Pengaruh diet ketogenik MAD terhadap median pengurangan frekuensi kejang pada bulan pertama 50%, p=0,144; bulan ketiga 62%, p=0,221; dan bulan keenam 83,3%, p=0,028. Efek samping diet ketogenik MAD yang paling sering adalah muntah dan diare. Tingkat ketidakpatuhan diet ketogenik MAD ditemukan pada 18 subyek (58,1%). Buku contoh menu diet ketogenik MAD untuk anak epilepsi intraktabel di Indonesia dibuat untuk memudahkan orangtua dalam menjalankan diet ketogenik. Simpulan: Pengaruh diet ketogenik MAD pada anak dengan epilepsi intraktabel yang ditunjukkan dengan penurunan frekuensi kejang (median) secara klinis pada bulan ke-1,3,6 dan bermakna secara statistik pada bulan ke-6. Penelitian dengan metode uji acak ganda tersamar dan jumlah sampel penelitian yang lebih besar, multisenter, waktu lebih lama serta menu diet ketogenik MAD khas Indonesia yang mudah diterapkan dan murah diperlukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik. Kata kunci: epilepsi, diet, ketogenik, modified atkins

Background: At present, ketogenic diet has been explored as a potential treatment approach for intractable epilepsy (difficult to control with anti-epileptic drugs) in children, and is applied in various parts of the world. The Modified Atkins Diet (MAD) is a less restrictive type of ketogenic diet, while still maintaining the same principles as the classic ketogenic diet. However, no existing studies have been performed to evaluate the use of the MAD ketogenic diet in children with intractable epilepsy in Indonesia. This study aims to assess the influence, side effects, tolerance, degree of adherence, and menu of MAD ketogenic diet food that can be easily applied to children with intractable epilepsy during a 6-months monitoring period. Methods: This is a pilot pre- and post-treatment clinical trial involving children with intractable epilepsy treated at the Pediatric Neurology and Nutrition & Metabolic Diseases Outpatient Clinics at the Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta treated between November 2021 and June 2022. Results: A total of 31 subjects met the inclusion criteria. There were 31 subjects receiving the MAD ketogenic diet in the first month (100%), followed by 13 subjects in the third month (41.9%), and 9 subjects in the sixth month (29%). The effect of ketogenic diet in reducing the frequency of seizures was 50% in the first month (p=0.144), 62% in the third month (p=0.221), and 83.3% in the sixth month 83.3% (p=0.028). The most frequent side effects of the MAD ketogenic diet were vomiting and diarrhea. Non-compliance to the MAD ketogenic diet was observed in 18 (58.1%) of subjects. A sample book of food menu complying to the MAD ketogenic diet for intractable epilepsy based on Indonesian delicacies was also created to ease parents to comply to the diet. Conclusions: Effect of the MAD ketogenic diet in children with intractable epilepsy was clinically observed as a decrease in the median frequency of seizures in the first, third, sixth month of the diet and statistically significant in the sixth month. Further multicenter double-randomized trials with larger sample size, longer observation period and the MAD ketogenic diet with indonesian menu (cheap and applicable) are also warranted to obtain more rigorous research results. Keywords: epilepsy, diet, ketogenic, modified atkins"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suharyuni Suharmadji Argadikusuma
"Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka berkembang pula peralatan yang dipergunakan oleh dokter baik peralatan diagnostik maupun terapetik.
Demikian pula dalam bidang ilmu Rehabilitasi Medik. Salah satu jenis alat tersebut adalah alat terapetik yang menggunakan arus listrik dan dipakai untuk pemanasan jaringan ("diathermy") dengan mengubah arus listrik menjadi arus eletromagnetik gelombang ultra pendek ("ultra short wave diathermy") atau elektromagnetik gelombang mikro ("micro wave diathermy") (1) (2) (3).
Beberapa kepustakaan menyebutkan pemakaian diatermi gelombang pendek bermanfaat pada panatalaksanaan lesi yang terletak dalam dan sulit dicapai oleh alat modalitas yang lain (4) (5).
Akhir-akhir ini disebutkan pula alat ini berfaedah pada terapi keluhan-keluhan ginekologis (6) (7).
Pada adneksitis, seringkali infeksi oleh bakteri gonorrhoe disertai kuman lain, sehingga penyembuhan tidak sempurna, timbul penyumbatan dan perlekatan antara tuba dengan ovarium atau jaringan sekitarnya dan penyakit kronis (8) (9).
Selain penggunaan antibiotika yang dapat mencakup beberapa jenis kuman, diatermi ternyata bermanfaat untuk menunjang keberhasilan terapi stadium kronis ini (1) (2). Disini pemanasan menyebabkan peningkatan vaskularisasi yang akan membantu penyembuhan penyakit dan membantu terapi antibiotika menjadi lebih efektif.
Tehnik pemakaian yang sesuai adalah dengan metode kondensor secara "cross fire techniques". Cara pemberian yang terdiri dari 2 bagian dengan tehnik pemasangan elektroda saling tegak lurus, memungkinkan ke empat dinding rongga panggul dipanasi (2) (10).
Untuk keberhasilan terapi ini, penilaian rasa nyeri merupakan hal yang penting. Telah dikenal beberapa cara, salah satu diantaranya yang cukup dapat diandalkan adalah Visual Analogue Scale {VAS). VAS merupakan cara yang cukup popular karena caranya mudah, murah dan dapat diulang (11) (12).
Akhir-akhir ini kasus adneksitis lebih banyak ditemukan, hal ini mungkin berhubung dengan spektrum penyakit hubungan seksual yang semakin luas (6). Demikian pula dengan jumlah rujukan dari bagian kebidanan ke Unit Rehabilitasi Medik. Selain itu di Indonesia, penelitian khusus mengenai hal ini belum pernah dilakukan.
Oleh karena itu penulis merasa perlu melakukan penelitian dengan tujuan umum yaitu membantu upaya peningkatan kualitas pengobatan serta mempercepat proses penyembuhan penyakit adneksitis kronis serta tujuan khusus menilai adakah kecenderungan manfaat terapi diatermi sebagai terapi penunjang pada pengobatan penyakit tersebut.
Walaupun penulis telah melakukan berbagai upaya penelusuran bahan rujukan dari berbagai sumber antara lain: Perpustakaan Pusat FKUI, Pusat Inforrnasi Kedokteran dan Kesehatan (PIKK), perpustakan di Tokyo Jepang, perpustakaan beberapa pabrik obat dan lain-lain, tetapi penulis masih merasakan banyaknya kekurangan-kekurangan mengenai hal tersebut, tetapi walaupun begitu hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat terhadap penderita adneksitis kronis dan akan diperoleh pengertian lebih mendalam tentang potensi terapi, ini?"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awidiya Afiati
"Latar belakang. Epilepsi fokal merupakan jenis epilepsi terbanyak pada anak. Kemungkinan untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada epilepsi fokal lebih besar dibandingkan dengan epilepsi umum. Data mengenai faktor risiko epilepsi fokal intraktabel masih sangat sedikit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui strategi pengobatan dan konseling bagi pasien dan keluarga.
Tujuan. (1) mendapatkan frekuensi terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi fokal. (2) mengetahui karakteristik pasien epilepsi fokal yang kontrol ke poliklinik Neurologi Anak. (3) mengetahui apakah usia awitan, etiologi epilepsi, frekuensi awal serangan, status perkembangan motor kasar awal, respon terapi awal, gambaran EEG awal, dan gambaran CT-Scan/MRI kepala dapat memprediksi kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsi fokal. (4) mengetahui apakah evolusi status perkembangan motor kasar, dan evolusi EEG epileptiform dapat memprediksi terjadinya epilepsi intraktabel.
Metode penelitian. Desain penelitian adalah kohort retrospektif dan dilakukan poliklinik rawat jalan Neurologi Anak di RSCM sejak November 2013 sampai dengan Februari 2014 terhadap anak epilepsi fokal hingga usia 18 tahun, dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel adalah 35 (39%).Usia subjek terbanyak adalah usia>3 tahun sebanyak 81(90%) subjek. Pada analisis bivariat didapat faktor risiko bermakna adalah etiologi kejang simtomatik (OR 6,12 IK95% 2,08-18,04), frekuensi kejang>5x/hari (OR 3,91 IK95% 1,43-10,75), respon awal terapi buruk (OR 233,14 IK95% 27,40-1983,27), EEG awal abnormal (OR 4,51 IK95% 1,82-11,17), MRI abnormal (OR 10,38 IK95% 2,91-37,06), evolusi status perkembangan motor kasar buruk (OR 21,62 IK95% 2,62-178,1), dan evolusi EEG epileptiform buruk (OR 25 IK95% 7,71-81,03). Pada analisis multivariat didapatkan respon awal terapi buruk dengan nilai OR136,00 (IK95% 14,79 sampai 1250,08), dan evolusi EEG epileptiform buruk dengan nilai OR 10,00 (1,68 sampai 59,35) merupakan faktor risiko yang berperan untuk menjadi epilepsi fokal intraktabel.
Simpulan. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel sebanyak 39%. Faktor risiko yang berperan adalah respon terapi awal buruk, dan evolusi EEG epileptiform buruk.

Background. Epilepsy focal is the most common type epilepsy in children. The chance to be intractable epilepsy is higher than general epilepsy. Therefore, study of the risk factors to predict intractable epilepsy is the utmost importance to conduct the treatment strategy and consult the patients and family.
Objective. (1) to determine the characteristic focal epilepsy in children (2) to determine the frequency of intractable focal epilepsy (3) to identify and analyze the association of early risk factors including the onset of seizure, frequency of seizure, etiology of epilepsy, gross motor developmental status, the response of antiepileptic drugs, the electroencephalogram (EEG), and magnetic resonance imaging (MRI) / computed tomography (CT) Scan findings with intractable focal epilepsy, (4) to identify and analyze the relationship between the evolution factors including the evolution of EEG epileptiform, and the evolution of gross motor development with intractable focal epilepsy.
Methods. Retrospective cohort study was conducted in child neurology outpatient clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta on November 2013 to February 2014. Inclusion criteria was children with epilepsy focal who was treated with antiepileptic drugs at least 6 month therapy until 18 years old age. Patients with febrile convulsions; central nervous system infections; neurodegenerative, neurometabolic diseases; and catastrophic epileptic syndromes with poor prognosis were excluded from the study. Data were analyzed using the IBM SPSS for Windowsv.17 software (IBM, New York, USA).
Results. The proportion of intractable focal epilepsy is 35 (39%). The most of children is >3 years old 81 (90%). Bivariate analysis showed that significantly early risk factors are symptomatic epileptic (OR = 6.12; 95%CI 2.08-18.04), frequency of seizure >5x/day (OR = 3.91; 95%CI 1.43-10,75), gross motor developmental delay (OR = 233.14; 95%CI 27.40-1983.27), early abnormal EEG wave (OR = 4.51; 95%CI 1.82-11.17), abnormal MRI (OR = 10.38; 95%CI 2.91-37.06), poor gross motor developmental evolution (OR = 21.62; 95%CI 2.62-178.1), and poor the EEG epileptiform evolution (OR = 25; 95%CI 7.71-81.03). Multivariate logistic regression analysis revealed that an initial non response to antiepileptic drugs (OR = 136.00; 95%CI 14.79-1250.08), and the poor evolution of EEG epileptiform (OR =10.00; 95%CI 1.68-59.35) were all found to be significant and independent risk factors for intractable focal epilepsy.
Conclusion. The present study reveals that the early non response to antiepileptic drugs, and poor of EEG epileptiform evolution are strongly associated with intractable focal epilepsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Indah Mulyani
"[ABSTRAK
Latar belakang: Epilepsi umum merupakan jenis epilepsi yang sering dijumpai pada anak. Data mengenai faktor risiko epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum masih sangat terbatas. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor risiko yang berperan dalam kejadian epilepsi intraktabel sehingga dapat menjadi dasar dalam tata laksana serta edukasi pasien dan orangtua.
Tujuan: (1) Mengetahui karakteristik pasien epilepsi umum dan frekuensi terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum . (2) Mengetahui apakah usia awitan, tipe kejang, frekuensi awal serangan, status perkembangan motor kasar awal, respon terapi awal, gambaran EEG awal, dan gambaran MRI/CT Scan kepala dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum. (3) Mengetahui apakah evolusi status perkembangan motor kasar, dan evolusi EEG epileptiform dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum
Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis dilakukan di poliklinik rawat jalan neurologi anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dan poliklinik anak swasta RSCM antara bulan September sampai dengan Desember 2014 terhadap anak epilepsi umum usia koreksi 1 bulan hingga 18 tahun, dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis bivariat dan multivariat.
Hasil: Angka kejadian epilepsi umum intraktabel adalah 21 (21%). Usia subjek terbanyak adalah usia >3 tahun sebanyak 85(83%) subjek. Pada analisis bivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna adalah usia awitan kejang <1 tahun (OR 11,4 IK 95% 3,45-37,62), frekuensi awal serangan ≥5 kali/hari (OR 8,5 IK95% 2,90-24,80), respon awal terapi buruk (OR 160 IK 95% 19,12-1339,06), evolusi status perkembangan motor kasar buruk (OR 4,9 IK95% 1,79-13,67) dan evolusi EEG epileptiform buruk (OR 10 IK95%3,25-30,92). Pada analisis multivariat didapatkan respon awal terapi buruk dengan nilai OR 144,3 (IK95% 15,47-1345,59) dan usia awitan kejang < 1 tahun dengan nilai OR 9,6 (IK95% 1,78-51,92) merupakan faktor risiko yang berpern untuk menjadi epilepsi umum intraktabel.
Simpulan : Angka kejadian epilepsi umum intraktabel sebanyak 21%. Faktor risiko yang sangat berperan adalah respon terapi awal buruk dan usia awitan kejang <1 tahun.

ABSTRACT
Background: Generalized epilepsy is the most common type of epilepsy in children. Limited datas of intractable epilepsy risk factors are available at present. Therefore, more studies are needed to investigate the risk factors of intractable epilepsy in order to manage and educate both patients and parents.
Objective: (1) to describe characteristic and frequency of intractable epilepsy in children with generalized epilepsy, (2) to investigate the role of age onset of seizure, initial seizure frequency, type of seizure, early gross motor developmental status, early therapeutic response, early EEG description and cerebral MRI/CT scan as risk factors of intractable epilepsy in children with generalized epilepsy, (3) to investigate the role of gross motor developmental status evolution and epileptiform EEG evolution as risk factors of intractable epilepsy.
Methods: Retrospective cohort study was conducted at neurology outpatient pediatric RSCM and private outpatient clinic between September to December 2014. The inclusion criteria was generalized epilepsy children age 1 month of corrected age to 18 years old which has been treated with antiepileptic drugs for at least 6 months. Risk factors were analyze with bivariate and multivariate analysis.
Results: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Most subject are >3 years old 85(83%) subject. Bivariate analysis showed that age onset of seizure (OR 11,4 CI95% 3,45-37,62), initial seizure frequency ≥5 times/day (OR 8,5 CI 95% 2,90-24,80), non-responder of early treatment (OR 160 CI 95% 19,12-1339,06), unfavorable gross motor development evolution (OR 4,9 CI 95% 1,79-13,67) and unfavorable epileptiform EEG evolution (OR 10 CI 3,25-30,92) are significantly associated with intractable epilepsy. The most important among those risk factors based on multivariate analysis are non-responder of early treatment with OR 144,3 (CI95% 15,47-1345,59) and age onset < 1 year old with OR 9,6 (CI 1,78-51,92).
Conclusions: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Non-responder early treatment and age onset of seizure < 1 year old are strongly associated with intractable generalized epilepsy.;Background: Generalized epilepsy is the most common type of epilepsy in
children. Limited datas of intractable epilepsy risk factors are available at present.
Therefore, more studies are needed to investigate the risk factors of intractable
epilepsy in order to manage and educate both patients and parents.
Objective: (1) to describe characteristic and frequency of intractable epilepsy in
children with generalized epilepsy, (2) to investigate the role of age onset of
seizure, initial seizure frequency, type of seizure, early gross motor developmental
status, early therapeutic response, early EEG description and cerebral MRI/CT
scan as risk factors of intractable epilepsy in children with generalized epilepsy,
(3) to investigate the role of gross motor developmental status evolution and
epileptiform EEG evolution as risk factors of intractable epilepsy.
Methods: Retrospective cohort study was conducted at neurology outpatient
pediatric RSCM and private outpatient clinic between September to December
2014. The inclusion criteria was generalized epilepsy children age 1 month of
corrected age to 18 years old which has been treated with antiepileptic drugs for at
least 6 months. Risk factors were analyze with bivariate and multivariate analysis.
Results: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Most subject are
>3 years old 85(83%) subject. Bivariate analysis showed that age onset of seizure
(OR 11,4 CI95% 3,45-37,62), initial seizure frequency ≥5 times/day (OR 8,5 CI
95% 2,90-24,80), non-responder of early treatment (OR 160 CI 95% 19,121339,06),
unfavorable
gross
motor
development
evolution
(OR
4,9
CI
95%
1,7913,67)
and unfavorable epileptiform EEG evolution (OR 10 CI 3,25-30,92) are
significantly associated with intractable epilepsy. The most important among
those risk factors based on multivariate analysis are non-responder of early
treatment with OR 144,3 (CI95% 15,47-1345,59) and age onset < 1 year old with
OR 9,6 (CI 1,78-51,92).
Conclusions: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Nonresponder early treatment and age onset of seizure < 1 year old are strongly associated with intractable generalized epilepsy.;Background: Generalized epilepsy is the most common type of epilepsy in
children. Limited datas of intractable epilepsy risk factors are available at present.
Therefore, more studies are needed to investigate the risk factors of intractable
epilepsy in order to manage and educate both patients and parents.
Objective: (1) to describe characteristic and frequency of intractable epilepsy in
children with generalized epilepsy, (2) to investigate the role of age onset of
seizure, initial seizure frequency, type of seizure, early gross motor developmental
status, early therapeutic response, early EEG description and cerebral MRI/CT
scan as risk factors of intractable epilepsy in children with generalized epilepsy,
(3) to investigate the role of gross motor developmental status evolution and
epileptiform EEG evolution as risk factors of intractable epilepsy.
Methods: Retrospective cohort study was conducted at neurology outpatient
pediatric RSCM and private outpatient clinic between September to December
2014. The inclusion criteria was generalized epilepsy children age 1 month of
corrected age to 18 years old which has been treated with antiepileptic drugs for at
least 6 months. Risk factors were analyze with bivariate and multivariate analysis.
Results: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Most subject are
>3 years old 85(83%) subject. Bivariate analysis showed that age onset of seizure
(OR 11,4 CI95% 3,45-37,62), initial seizure frequency ≥5 times/day (OR 8,5 CI
95% 2,90-24,80), non-responder of early treatment (OR 160 CI 95% 19,121339,06),
unfavorable
gross
motor
development
evolution
(OR
4,9
CI
95%
1,7913,67)
and unfavorable epileptiform EEG evolution (OR 10 CI 3,25-30,92) are
significantly associated with intractable epilepsy. The most important among
those risk factors based on multivariate analysis are non-responder of early
treatment with OR 144,3 (CI95% 15,47-1345,59) and age onset < 1 year old with
OR 9,6 (CI 1,78-51,92).
Conclusions: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Nonresponder early treatment and age onset of seizure < 1 year old are strongly associated with intractable generalized epilepsy., Background: Generalized epilepsy is the most common type of epilepsy in
children. Limited datas of intractable epilepsy risk factors are available at present.
Therefore, more studies are needed to investigate the risk factors of intractable
epilepsy in order to manage and educate both patients and parents.
Objective: (1) to describe characteristic and frequency of intractable epilepsy in
children with generalized epilepsy, (2) to investigate the role of age onset of
seizure, initial seizure frequency, type of seizure, early gross motor developmental
status, early therapeutic response, early EEG description and cerebral MRI/CT
scan as risk factors of intractable epilepsy in children with generalized epilepsy,
(3) to investigate the role of gross motor developmental status evolution and
epileptiform EEG evolution as risk factors of intractable epilepsy.
Methods: Retrospective cohort study was conducted at neurology outpatient
pediatric RSCM and private outpatient clinic between September to December
2014. The inclusion criteria was generalized epilepsy children age 1 month of
corrected age to 18 years old which has been treated with antiepileptic drugs for at
least 6 months. Risk factors were analyze with bivariate and multivariate analysis.
Results: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Most subject are
>3 years old 85(83%) subject. Bivariate analysis showed that age onset of seizure
(OR 11,4 CI95% 3,45-37,62), initial seizure frequency ≥5 times/day (OR 8,5 CI
95% 2,90-24,80), non-responder of early treatment (OR 160 CI 95% 19,121339,06),
unfavorable
gross
motor
development
evolution
(OR
4,9
CI
95%
1,7913,67)
and unfavorable epileptiform EEG evolution (OR 10 CI 3,25-30,92) are
significantly associated with intractable epilepsy. The most important among
those risk factors based on multivariate analysis are non-responder of early
treatment with OR 144,3 (CI95% 15,47-1345,59) and age onset < 1 year old with
OR 9,6 (CI 1,78-51,92).
Conclusions: Prevalence of intractable generalized epilepsy is 21%. Nonresponder early treatment and age onset of seizure < 1 year old are strongly associated with intractable generalized epilepsy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Perwira Kesuma
"Parabahasa sebagai penyerta bahasa : suatu penelitian pendahuluan tentang penyuaraan. Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian salah satu bagian penelitian linguistik yang mempelajari faktor-faktor di luar bahasa dengan mengadakan suatu penelitian pendahuluan. Bidang penelitian linguistik yang penulis maksud adalah bidang linguistik interdisipliner, khususnya bidang sosiolinguistik. Istilah sosiolinguistik merupakan perpaduan linguistik dengan sosiologi yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat- pemakai bahasa (Kridalaksana, dalam Pengantar Linguistik Umum, 1984: 14). Banyak ahli linguistik di Indo_nesia yang telah meneliti bidang sosiolinguistik; sejalan dengan itu sejak tahun 1987 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia telah diadakan seminar tahunan sosiolinguistik yang secara berkala diadakan untuk memantau perkembangan penelitian sosiolinguistik di Indonesia.
Penulis akan menjabarkan topik yang termasuk dalam kajian bidang sosiolinguistik itu, yaitu paralanguage (untuk selanjutnya disebut parabahasa . Gerakan tubuh merupakan bidang penelitian yang sangat luas untuk dipelajari secara lebih mendalam, demikian juga bidang penyuaraan. Oleh karena itu, penulis membatasi pembahasan sekitar parabahasa; sebagai penyerta bahasa, dalam percakapan lisan bahasa Indonesia yang tertulis : suatu penelitian pendahuluan tentang penyuaraan yang menyertai..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S10796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Egy Septiyadi
Jakarta: Restu Agung, 2004
615.854 EGY t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lestaria Aryanti
"ABSTRAK
Frozen shoulder merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekakuan pada sendi bahu yang diawali dengan rasa nyeri dan berakibat berkurangnya lingkup gerak sendi kesegala arah. Seringkali keadaaan ini timbul tanpa alasan yang jelas, tetapi dapat pula dihubungkan dengan berbagai keadaan seperti angina/insufisiensi coroner, hemiplegia, parkinson, tumor pada daerah apex paru-paru, tumor pada payu dara, akibat pemakaian obatobatan, diabetes melitus dan lain sebagainya.(1, 3, 4, 5, 6,11,13,18,26). Keadaan ini merupakan 'self limiting disease' (2,8,22,23,24). Reeves (23) meneliti penderita Frozen Shoulder selama 5 sampai 10 tahun (dengan rata-rata 30 bulan } pada 41 penderita, semua kembali pulih dengan baik secara spontan. Dengan waktu penyembuhan antara 1 sampai 4 tahun setelah timbulnya gejala. Simmand meneliti bahwa setelah 3 tahun dari 21 penderita hanya 5 penderita yang berfungsi normal, 9 penderita masih terdapat kelemahan dan nyeri serta 6 penderita terdapat kelemahan dan keterbatasan gerak. Karena gangguan fungsi yang dialami serta rasa nyeri me nyebabkan penderita mencari berbagai pertolongan kepada tenaga kesehatan seperti dokter spesialis syaraf, spesialis rheumatologi, spesialis bedah tulang, maupun pada dokter rehabilitasi medik. Pengobatan yang diberikan dalam bidang rehabilitasi medik bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan mengembalikan lingkup gerak sendi pada keadaan yang normal. (6.1618,20)
Penanganan dalam bidang rehabilitasi medik dapat berupa terapi panas/dingin, terapi latihan fisik, manipulasi dengan atau tanpa anestesi, ultra sound, medikamentosa seperti analgesik dan steroid. Dari semua jenis terapi ini, latihan gerak merupakan bagian yang terpenting. Tanpa latihan gerak, maka sulit diharapkan hasil yang baik. Pengobatan ini bukan merupakan pengobatan standard, tetapi disesuaikan dengan keadaan penderita. (18, 10) Lamanya pengobatan dan jenis terapi yang diberikan menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh penderita menjadi cukup besar.
Terapi latihan fisik yang merupakan salah satu terapi dibidang rehabilitasi medik merupakan terapi yang mudah dilaksanakan baik dirumah maupun di rumah sakit. Melakukan latihan terapi fisik di rumah sakit sampai sembuh sempurna tentunya tidak ekonomis, untuk itu latihan dirumah secara teratur dapat mengatasi masalah tersebut. Sebagian besar keberhasilan-keberhasilan terapi ditunjang oleh latihan fisik tersebut. Sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian dibidang rehabilitasi medik di Indonesia untuk membandingkan hasil terapi latihan fisik pada penderita Frozen Shoulder yang dilakukan dirumah dengan latihan fisik yang dilakukan dirumah sakit. Oleh karena itu perlu di lakukan penelitian dengan tujuan agar dapat menilai efek terapi latihan fisik tersebut pada pemulihan rasa sakit dan fungsi dari bahu serta efisiensi dalam jumlah biaya yang diperlukan selama pengobatan penderita Frozen Shoulder.
Meskipun penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, diharapkan akan diperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang manfaat latihan fisik yang dilakukan dirumah?"
1990
T58521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Adsorpsi polielektrolit pada suatu permukaan zat padat merupakan
fenomena yang menarik untuk diamati karena dapat diaplikasikan untuk
pembuatan lapisan film yang mempunyai luas permukaan lebin besar_
Limban deterjen memiliki komponen yang sulit terdegradasi di alam_ Selama
ini belum ada metode yang cukup efisien dan signifikan untuk mendegradasi
limban deterjen_ Penelitian ini memberikan usulan model untuk mengatasi
limban deterjen dengan metode adsorpsi film polielektrolit po/y(a//y/amine
hydrochloride) (PAH) pada susbtrat zeolit C/inopti/o/ite. Pembuatan adsorben
PIVIZ (Po//mer Modiiied Zeo/it) memvariasikan konsentrasi PAH, derajat
keasaman (pH) dan kuat ion. Didapatkan konsentrasi optimum pada
konsentrasi PAH 5x1O'5 mmol/L, pH optimum pada pH 2 dan konsentrasi kuat
ion optimum pada 0_6 lVl_ dengan % PAH yang teradsorpsi sebesar 2_239%_
PIVIZ kondisi optimum diaplikasikan untuk mengadsorpsi sodium dodecyl
su/fate. Didapatkan nasil SDS yang mampu terserap optimum pada
konsentrasi 35 mmol/L sebesar 93_93%"
Universitas Indonesia, 2007
S30445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>