Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fidelya Amrina
"Saat ini, prevalensi orang dengan demensia (ODD) di Indonesia terus meningkat dan diperkirakan mencapai 4 juta jiwa pada tahun 2050 (Alzheimer’s Indonesia, 2020). Risiko mengalami demensia lebih besar pada kelompok lanjut usia (lansia). Kondisi tersebut menegaskan kebutuhan akan peran caregiver keluarga, karena lansia dengan demensia memerlukan bantuan dalam aktivitas sehari-hari. Di sisi lain, peran tersebut kerap disertai tantangan yang membebani caregiver. Keberadaan sumber daya yang dipersepsikan sebagai dukungan sosial diduga dapat membangun keyakinan caregiver terhadap kemampuannya dalam menghadapi kesulitan selama merawat sehingga meringankan beban yang dirasakannya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran efikasi diri caregiver sebagai mediator pada hubungan persepsi dukungan sosial dan beban pengasuhan pada caregiver keluarga lansia dengan demensia. Partisipan berjumlah 95 caregiver (16 laki-laki, 79 perempuan; rata-rata usia 40,79 tahun (SD = 12,26) dan rata-rata telah merawat selama 39.79 bulan (SD = 32.97). Alat ukur yang digunakan yaitu Zarit Burden Interview (ZBI), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Caregiver Inventory (CGI). Analisis dilakukan menggunakan program Macro PROCESS Hayes SPSS Model 4 simple mediation dan bootstrapping 5000 sampel. Hasil menunjukkan bahwa efikasi diri caregiver memediasi penuh hubungan persepsi dukungan sosial dan beban pengasuhan. Temuan ini menegaskan bahwa persepsi dukungan sosial berperan penting dalam meringankan beban selama pengasuhan, melalui peningkatan efikasi diri. Sebagai implikasi dari temuan, peneliti menekankan pentingnya intervensi untuk mempererat hubungan sosial dan mendorong peningkatan keyakinan diri caregiver.

The prevalence of people with dementia (PwD) in Indonesia continues to rise and is predicted to reach 4 million by 2050 (Alzheimer’s Indonesia, 2020). Dementia is more prevalent among older adults, highlighting the need for family caregivers, as elderly with dementia require assistance in daily activities. However, caregiving often comes with challenges that place a burden on caregivers. Resources that are perceived as social support may enhance caregivers’ confidence in managing caregiving responsibilities, which in turn may alleviate their burden. This study aims to examine the mediating role of caregiver self-efficacy in the relationship between perceived social support and caregiver burden among family caregivers of elderly with dementia. A total of 95 caregivers participated in the study (16 males, 79 females; age (M = 40.79, SD = 12.26 years old; caregiving duration (M = 39.79 SD = 32.97 months). The instruments used were the Zarit Burden Interview (ZBI), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and Caregiver Inventory (CGI). Data were analyzed using Hayes’ PROCESS Macro SPSS Model 4 with 5,000 bootstrap samples. Results showed that caregiver self-efficacy fully mediated the relationship between perceived social support and caregiver burden. The finding highlights the importance of perceived social support in alleviating caregiver burden by enhancing caregiver self-efficacy. This study highlights the importance of interventions that strengthen social relationships and enhance caregivers’ self-efficacy."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani Oktarini Hizelia
"Di tengah intensnya tekanan dalam mempertahankan daya saing, kemampuan perusahaan untuk berinovasi sangat bergantung pada keterlibatan aktif seluruh tenaga kerjanya, termasuk Generasi Z. Namun, potensi inovatif generasi ini kerap terhambat oleh rasa cemas dan tidak aman di tempat kerja akibat paparan sosial digital yang intens sejak dini. Dalam kondisi tersebut, keamanan psikologis menjadi faktor yang memungkinkan mereka merasa aman untuk menyampaikan ide dan mengambil risiko dalam proses inovasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran mediasi keamanan psikologis dalam hubungan antara kepemimpinan inklusif dan perilaku kerja inovatif, guna memahami mekanisme yang mendorong kontribusi inovatif karyawan muda. Menggunakan desain survei kuantitatif cross-sectional, data dikumpulkan melalui kuesioner terstandar yang diadministrasikan secara daring, mencakup alat ukur Inclusive Leadership Scale, Psychological Safety Scale, dan Innovative Work Behavior Scale. Sebanyak 220 karyawan Generasi Z dari berbagai sektor di Indonesia menjadi partisipan dengan menilai perilaku atasan langsung serta melaporkan persepsi keamanan psikologis dan perilaku kerja inovatif mereka. Hasil analisis mediasi menggunakan PROCESS Macro versi 4.2 menunjukkan bahwa keamanan psikologis memediasi secara parsial hubungan antara kepemimpinan inklusif dan perilaku kerja inovatif. Temuan ini menegaskan bahwa penciptaan keamanan psikologis dan pengembangan kepemimpinan inklusif merupakan strategi kunci dalam memobilisasi perilaku kerja inovatif karyawan muda di tengah dinamika transformasi organisasi.

Amid intensifying pressure to stay competitive, organizations’ ability to innovate increasingly depends on the active engagement of their entire workforce, including Generation Z. However, the innovative potential of this generation is often hindered by anxiety and insecurity at work, stemming from early exposure to digital social environments. In this context, psychological safety becomes a key factor that enables them to express ideas and take risks in the innovation process. This study aims to examine the mediating role of psychological safety in the relationship between inclusive leadership and innovative work behavior, in order to understand the mechanisms that drive young employees' innovative contributions. Employing a cross-sectional quantitative survey design, data were collected through an online questionnaire using the Inclusive Leadership Scale, Psychological Safety Scale, and Innovative Work Behavior Scale. A total of 220 Generation Z employees from various sectors in Indonesia participated by assessing their supervisors' leadership behaviors, their own perceptions of psychological safety, and their innovative work behaviors. Mediation analysis using PROCESS Macro version 4.2 revealed that psychological safety partially mediates the relationship between inclusive leadership and innovative work behavior. These findings highlight the importance of fostering psychological safety through inclusive leadership to support innovation among young employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almas Nuriyatul Fadhilah
"Mahasiswa program profesi bidang kesehatan dihadapkan pada berbagai tekanan akademik dan tuntutan pengembangan kompetensi selama menjalani pendidikan profesi. Tekanan ini terjadi pada mahasiswa di lingkungan kesehatan yang dinamis, penuh ketidakpastian, kompleks, dan ambigu, kondisi yang dikenal sebagai VUCA. Situasi tersebut berpotensi pada penurunan kesejahteraan diri (flourishing) pada mahasiswa. Salah satu faktor yang memprediksi flourishing adalah fleksibilitas kognitif, yaitu kemampuan untuk berpikir adaptif dalam merespons perubahan lingkungan. Meskipun studi mengenai hubungan fleksibilitas kognitif dan flourishing sudah berkembang secara global, penelitian dalam konteks mahasiswa program profesi bidang kesehatan di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan fleksibilitas kognitif dan flourishing. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cognitive Flexibility Inventory (CFI) dan PERMA Profiler versi Bahasa Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi Kendall’s Tau-b. Hasil analisis menunjukkan bahwa fleksibilitas kognitif memiliki hubungan positif dan signifikan dengan tingkat flourishing secara keseluruhan maupun pada kelima dimensinya. Artinya semakin tinggi kemampuan fleksibilitas kognitif, maka semakin tinggi juga tingkat flourishing seseorang. Temuan ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas kognitif sebagai sumber daya psikologis yang mendukung kesejahteraan mahasiswa program profesi bidang kesehatan.

Students of health science professional programs often face intense academic pressures and high demands for competency development throughout their professional education. These 1 challenges are heightened by the nature of today’s healthcare landscape, which is increasingly characterized by volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity, commonly referred to as VUCA. Such conditions can negatively impact students' well-being, particularly in terms of flourishing. One psychological factor that may predict flourishing is cognitive flexibility, the capacity to think adaptively in response to environmental changes. Although international studies have explored the relationship between cognitive flexibility and flourishing, research in the context of Indonesian health science professional students remains limited. Therefore, this study aims to examine the relationship between cognitive flexibility and flourishing in this specific population. A quantitative, correlational design was employed, utilizing the Indonesian version of the Cognitive Flexibility Inventory and the PERMA Profiler. Data were analyzed using Kendall’s Tau-b correlation. The results revealed a significant positive correlation between cognitive flexibility and overall flourishing, as well as each of its five dimensions. This indicates that higher levels of cognitive flexibility are associated with higher levels of flourishing. These findings underscore the significance of cognitive flexibility as a psychological resource that enhances the well-being of students in health science professional programs."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ariqah Bakri
"Residivisme masih menjadi tantangan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia sehingga penting untuk memahami faktor psikologis yang mendukung proses pembinaan narapidana. Sebanyak 161 narapidana laki-laki dan perempuan yang telah menjalani minimal setengah masa tahanan menjadi partisipan pada penelitian ini. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah General Self-efficacy Scale (GSES) dan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Hasil menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara self-efficacy dalam mencegah residivisme dan persepsi dukungan sosial pada narapidana laki-laki dan perempuan. Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada self-efficacy dalam mencegah residivisme berdasarkan jenis kelamin dan ditemukan perbedaan signifikan pada persepsi dukungan sosial antarjenis kelamin.

Recidivism remains a challenge in Indonesia's correctional system, highlighting the need to understand psychological factors supporting inmate rehabilitation. This study involved 161 male and female inmates who had served at least half of their sentence. Instruments used were the General Self-Efficacy Scale (GSES) and the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Results showed a positive correlation between self efficacy in preventing recidivism and perceived social support. No significant gender differences were found in self-efficacy in preventing recidivism, but perceived social support differed significantly by gender, suggesting the importance of gender-sensitive support in preventing recidivism."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurellia Syaharani
"Dalam menghadapi dinamika era BANI, perilaku kerja inovatif karyawan menjadi sangat penting untuk mempertahankan daya saing dan mencapai tujuan perusahaan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa perilaku kerja inovatif berhubungan dengan kualitas tidur, mengingat tidur berperan dalam memulihkan sumber daya psikologis dan fisiologis yang individu butuhkan. Hubungan antara kualitas tidur dan perilaku kerja inovatif diduga dimediasi oleh occupational self-efficacy atau kepercayaan diri individu terhadap kompetensinya untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam pekerjaan dengan sukses. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran occupational self-efficacy sebagai mediator dalam hubungan antara kualitas tidur dan perilaku kerja inovatif pada karyawan. Partisipan penelitian terdiri atas 100 karyawan Indonesia yang bekerja di Indonesia dan telah bekerja minimal 1 tahun di tempatnya bekerja saat ini (67% perempuan, M = 35,06, SD = 10,79). Kualitas tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), perilaku kerja inovatif diukur dengan Skala Perilaku Kerja Inovatif, dan occupational self-efficacy diukur dengan Occupational Self-Efficacy Scale-Short Form (OSS-SF). Hasil analisis mediasi menemukan bahwa occupational self-efficacy memiliki peran mediasi yang signifikan dalam hubungan antara kualitas tidur dan perilaku kerja inovatif (ab = -0,2775, 95% CI [-0,6221,-0,0514]). Penemuan ini menunjukkan bahwa memperbaiki kualitas tidur akan meningkatkan occupational self-efficacy, yang pada akhirnya meningkatkan perilaku kerja inovatif.

In facing the dynamics of the BANI era, employees' innovative work behavior has become crucial for maintaining competitiveness and achieving company’s goals. Previous studies have found the association between innovative work behavior and sleep quality, as sleep restores psychological and physiological resources individuals need. The relationship between sleep quality and innovative work behavior is suspected to be mediated by occupational self-efficacy or an individual's belief about their competence to successfully accomplish job tasks. This study examines the role of occupational self-efficacy as a mediator in the relationship between sleep quality and innovative work behavior among employees. Participants were 100 Indonesian employees who work in Indonesia and had at least 1 year of tenure in their current company (67% female, M = 35,06, SD = 10,79). Sleep quality was measured using the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), innovative work behavior using the Skala Perilaku Kerja Inovatif, and occupational self-efficacy using the Occupational Self-Efficacy Scale-Short Form (OSS-SF). Mediation analysis showed that occupational self-efficacy significantly mediated the relationship between sleep quality and innovative work behavior (ab = ab = -0,2775, 95% CI [-0,6221,-0,0514]). This finding indicates that improving sleep quality can enhance occupational self-efficacy, which in turn increases innovative work behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Hardiyanti Warmanda
"Orang tua dari anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA) memiliki tingkat stres pengasuhan yang lebih tinggi daripada orang tua dari anak tipikal atau anak dengan gangguan perkembangan lain. Menurut Transactional Theory of Stress and Coping, hal ini disebabkan oleh kesenjangan antara tuntutan pengasuhan yang dirasakan dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk menghadapi tuntutan tersebut. Salah satu sumber daya yang dimiliki orang tua dari anak dengan GSA adalah persepsi dukungan sosial. Penelitian terdahulu menemukan hubungan negatif signifikan antara persepsi dukungan sosial dengan stres pengasuhan. Hanya saja, penelitian mengenai hubungan dari kedua variabel tersebut serta hubungan dari tiap sumber persepsi dukungan sosial (teman, keluarga, dan significant other) dengan tiap sumber stres pengasuhan (parental distress, parent-child dysfunctional interaction, dan difficult child) masih jarang diteliti di Indonesia. Penelitian korelasional yang melibatkan 101 orang tua dari anak dengan GSA di Indonesia dilakukan untuk meneliti hubungan-hubungan tersebut. Hasil analisis regresi linear sederhana mengindikasikan bahwa persepsi dukungan sosial dapat memprediksi stres pengasuhan secara signifikan (β=-.354, p<.001). Selain itu, hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa persepsi dukungan sosial dari teman dapat memprediksi stres pengasuhan yang disebabkan oleh parental distress (β=-.294, p<.001) dan difficult child (β=-.331, p<.01) secara signifikan. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya bagi orang tua dari anak dengan GSA di Indonesia untuk tidak hanya menerima dukungan sosial, tetapi juga mempersepsikan bahwa dukungan sosial tersebut ada dan cukup dalam menghadapi stres pengasuhan. Selain itu, penelitian ini menekankan bahwa stres pengasuhan yang datang dari sumber yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula.

Parents of children with Autism Spectrum Disorder (ASD) have higher parental stress than parents of typically-developed children or children with other developmental disorders. According to Transactional Theory of Stress and Coping, this stems from the gap between perceived parenting demands and resources needed to handle it. One of the resources that parents of children with ASD have is perceived social support. Past findings found negative significant relationship between perceived social support and parental stress. Despite that, study on the relationship between the two variable, as well as sources of perceived social support (friend, family, and significant other) and sources of parental stress (parental distress, parent-child dysfunctional interaction, and difficult child), remain scarce in Indonesia. Correlational study consisting of 101 parents of children with ASD in Indonesia is done to uncover those relationships. Simple linear regression analysis found that perceived social support significantly predicts parental stress (β=-.354. p<.001). Moreover, multiple linear regression analysis indicated that perceived social support from friend is able to significantly predict parental stress stemming from parental distress (β=-.294, p<.01) and difficult child (β=-.331, p<.01). This research underlines the importance for parents of children with ASD in Indonesia to not only receive social support, but also to perceive that social support exists and sufficient to handle parental stress. Another findings also highlights that parental stress stemming from different sources requires different treatment as well."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ragiba Najmi Maulida
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji kontribusi kepemimpinan yang memberdayakan dan kepemimpinan diri terhadap kondisi berkembang optimal di tempat kerja, serta menguji varians unik kepemimpinan diri setelah mengontrol varians dari kepemimpinan yang memberdayakan menggunakan Self-Determination Theory. Pendekatan kuantitatif korelasional digunakan dalam penelitian ini dan data penelitian dikumpulkan melalui kuesioner daring. Data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi linear berganda hierarkis menggunakan software IBM SPSS statistic versi 27. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan terbukti memiliki hubungan positif dengan kondisi berkembang optimal di tempat kerja. Kepemimpinan diri juga terbukti memiliki hubungan positif dengan kondisi berkembang optimal di tempat kerja. Kemudian, kepemimpinan diri terbukti memiliki varians yang unik pada kondisi berkembang optimal di tempat kerja setelah mengontrol varians dari kepemimpinan yang memberdayakan. Temuan ini mengonfirmasi Self-Determination Theory dengan menekankan pentingnya peran faktor internal sebagai prediktor kondisi berkembang optimal di tempat kerja. Implikasi praktis dari penelitian ini bagi organisasi adalah hasil penelitian ini mendorong organisasi untuk memberikan pelatihan bagi para manajer untuk mengembangkan kemampuan memberdayakan karyawan mereka, serta mengembangkan kemampuan kepemimpinan diri pada semua karyawan agar mereka dapat berkembang secara optimal di tempat kerja.

This study aims to examine the contributions of empowering leadership and self-leadership to thriving at work, as well as to test the unique variance of self-leadership after controlling for the variance of empowering leadership, using Self-Determination Theory. A quantitative correlational approach was employed in this study, and data were collected through an online questionnaire. The data were analyzed using hierarchical multiple linear regression analysis with IBM SPSS statistic version 27. The results showed that empowering leadership had a positive relationship with thriving at work. Self-leadership also showed a positive relationship with thriving at work. Furthermore, self-leadership was found to have a unique variance in predicting thriving at work after controlling for the variance of empowering leadership. These findings confirm Self-Determination Theory by emphasizing the importance of internal factors as predictors of thriving at work. The practical implication of this research for organizations is that it encourages them to provide training for managers to develop their empowering leadership skills, as well as to develop self-leadership skills among all employees so they can thrive optimally at work."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library