Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Akbar Ahya Putra
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati perilaku makan nokturnal serta membandingkan preferensi pakan dan waktu makan setelah matahari terbenam dan menjelang matahari terbit Tarsius fuscus di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP). Pengambilan data perilaku makan T. fuscus menggunakan metode scan animal sampling dan ad libitum sampling selama 26 hari dengan total waktu pengamatan 6240 menit. Waktu pengamatan terbagi atas dua fase, yaitu pada sore hari pukul 17.00--21.00 WIB dan pagi hari pukul 03.00--07.00 WIB. Perilaku makan T. fuscus di penangkaran menunjukkan masih mempertahankan aktivitas makan crepuscular nokturnalnya dengan adanya beberapa titik puncak waktu makan pada preferensi waktu makan yaitu sore hari setelah matahari terbenam dan pagi hari menjelang matahari terbit. Preferensi spot atau tempat makan T. fuscus yaitu jantan dan betina pada kemiringan 10o--80o serta anak pada kemiringan 0o--10o. Preferensi jenis pakan T. fuscus yang teramati yaitu ulat pada jantan serta jangkrik pada betina dan anak.

A research that aims to observe the nocturnal and crepuscular feeding behavior of Tarsius fuscus that also compares their feed and feeding preferences was carried out at Primate Research Center. The data for feeding behavior of T. fuscus is collected using the focal animal sampling and ad libitum sampling methods for 26 days with a total observation time of 6240 minutes. The tarsier?s were observe at different time periods, during evening (05.00--09.00 pm western time) and morning (03.00--07.00 am western time). The feeding behavior of T. fuscus in captivity shows they still maintain their crepuscular nocturnal feeding activity which has peak feeding times with preferred feeding time during after sunset and before sunrise. The preferred eating spot/position of male and female T. fuscus is at a slop 10o--80o and at a slope 0o--10o for infant. The feed preferences T. fuscus is caterpillar on males and crickets on females and infant."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Anggraeni
"ABSTRAK
Dewasa ini, ruang dengar dan ruang pandang masyarakat mendapat suguhan baru berupa penayangan langsung proses persidangan dengan perantara media televisi. Siaran langsung pada proses persidangan mampu hadir dalam sistem peradilan pidana melalui penegakan asas terbuka untuk umum sebagai suatu jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa sekaligus demi terciptanya proses fair trial persidangan yang berkeadilan . Realitasnya, siaran langsung pada proses persidangan dapat menuai dampak terhadap penerapan kaidah-kaidah hukum yang hidup didalamnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunaan teknik pengumpulan data kualitatif, yakni melakukan wawancara langsung dengan sejumlah praktisi hukum, dan studi kepustakaan dengan membaca dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil ini dari penelitian ini adalah Asas persidangan terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 153 Ayat 3 KUHAP mampu menghadirkan praktik siaran langsung pada proses persidangan di Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan karena minimnya penjelasan baku mengenai frasa terbuka untuk umum, serta ketiadaan pengaturan lebih lanjut terhadap batasan dari umum pada Asas ini yang berimplikasi terjadinya pelanggaran pada prinsip pembuktian dan penegakan asas praduga tak bersalah melalui trial by the press.

ABSTRACT
These days, The public purview in images and sound are getting new treats in the form of live streaming of the trial process, through the form of Television. Live streaming in the trial process can appear in the criminial judicial system through the establishment of open for public principle as a guarantee of legal protection towards the rights of the accused also for the creation of fair trial process. The reality though, live broadcast in a trial process may cause impact towards the implementation of the legal principles living through it. This research is conducted using qualitative data colletion technique, which is conducting direct interview with a number of legal practitioners and literature study by reading documents related with the problem investigated. The result of this research is that the open trial for public principle as stipulated in Article 153 paragraph 3 of the Criminal Procedural Code allows live broadcast practices in trial procedures in Indonesia. This can happen due to the lack of normative explanation regarding the phrase open for public and no further regulation towards the limitation of public in this principle which implicates the violation towards the proving principle and the establishment of presumption of innocence through trial by the press. "
2017
S69031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufik Hidayat
"Operasi yustisi penegakkan protokol kesehatan coronavirus disease 2019 dilaksanakan dalam rangka untuk mencegah penyebaran yang masif dan luas atas adanya pandemi coronavirus disease di dunia pada umumnya serta indonesia pada khususnya. Operasi yustisi ini merupakan penerapan dari berbagai kebijakan maupun peraturan yang dibuat baik itu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan tentunya dijalankan oleh berbagai unsur demi tegaknya kebijakan maupun peraturan tersebut. Berdasarkan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai tindak pidana ringan, operasi yustisi penegakkan protokol kesehatan coronavirus disease ini diperiksa oleh pengadilan dengan menggunakan acara pemeriksaan cepat dengan kriteria jumlah pidana dendanya tidak lebih dari Rp. 7.500 (Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah) dan pidana kurungannya yang tidak lebih dari 3 bulan. Penggunaan Acara Pemeriksaan Cepat ini merupakan pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan

The legal operation to enforce the 2019 coronavirus disease health protocol was carried out in order to prevent the massive and widespread spread of the coronavirus disease pandemic in the world in general and Indonesia in particular. This judicial operation is the implementation of various policies and regulations made by both the central government and local governments and of course carried out by various elements for the sake of enforcing these policies and regulations. Based on Article 205 of the Criminal Procedure Code regarding minor crimes, the judicial operation to enforce the coronavirus disease health protocol was examined by the court using a quick examination procedure with the criteria for the amount of criminal fines not being more than Rp. 7,500 (Seven Thousand Five Hundred Rupiah) and imprisonment for not more than 3 months. The use of this Quick Examination Procedure is the implementation of fast, simple and low-cost judicial principles"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozy Brilian Sodik
"Pada tahun 2019 telah dilakukan pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu poin substansial perubahan tersebut adalah berkaitan dengan dibentuknya suatu badan baru bernama Dewan Pengawas KPK. Pembentukan tersebut dilatarbelakangi pandangan yang menyatakan bahwa saat ini belum ada pengawasan maksimal pada KPK sehingga berpotensi besar melakukan kesewenang-wenangan. Tetapi ada hal yang dinilai kontroversial yakni Dewan Pengawas KPK dapat memiliki kewenangan untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Adapun metode yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Kewenangan Dewan Pengawas KPK yang menggantikan lembaga peradilan ini juga dinilai problematis, terlebih lagi tidak ada norma pengecualian dalam keadaan mendesak. Selain itu, eksistensi dari Dewan Pengawas KPK ini menimbulkan beberapa implikasi seperti halnya bertambahnya prosedural yang harus dijalani penyidik sebelum melakukan upaya paksa dan besar kemungkinan hilangnya bukti serta kebocoran data. Jika dibandingkan dengan institusi lainnya seperti Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pemberian izin upaya paksa kepada penyidiknya dilakukan oleh lembaga peradilan. Begitupun jika dibandingkan dengan upaya paksa penyidik di negara lain seperti Belanda dan ICAC di Hong Kong, pemberian izin upaya paksa sebagai bentuk pengawasan juga dilakukan oleh lembaga peradilan.

In 2019, the enactment of Law No. 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. One of the substantial points of this change is related to the formation of a new body called the Corruption Eradication Commission Supervisory Board (KPK Supervisory Board). This formation was motivated by the viewpoint that currently there is no maximum oversight of the KPK so that it has great potential to commit arbitrariness. However, there are things that are considered controversial, namely the KPK Supervisory Board can have the authority to grant or not permit wiretapping, searches and confiscation. The method used by the author in this thesis is a normative juridical method. The authority of the KPK Supervisory Board to replace this judicial institution is also considered problematic, moreover there is no exception norm in an urgent situation. In addition, the existence of the KPK Supervisory Board has several implications, such as additional procedures that investigators must undergo before making forced attempts and the possibility of loss of evidence and leakage of data. When compared with other institutions such as the National Narcotics Agency (BNN) and the National Counter-Terrorism Agency (BNPT), the judicial institutions give permission for forced attempts to investigator. Likewise, when compared with the forced efforts of investigators in other countries such as the Netherlands and the ICAC in Hong Kong, the granting of forced attempts as a form of supervision is also carried out by the judiciary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Bachtiar
"Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus yang berdampak merugikan terhadap kepentingan umum terkhusus generasi muda sehingga dapat mengancam ketahanan negara negara. Tindak pidana narkotika dilaksanakan secara terorganisir dan sistematis oleh pelakunya, maka dalam penegakannya dibutuhkan suatu upaya penanganan yang luar biasa. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur suatu bentuk perluasan tindakan penyidikan yang mengoptimalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya ialah urinalisis yang pada dasarnya merupakan tindakan yang tergolong sebagai pemeriksaan barang bukti, di mana hasilnya berkedudukan sebagai alat bukti surat di pengadilan. Sebagai suatu bentuk tindakan hukum, jelas konsekuensinya bahwa pelaksanaan urinalisis harus dilaksanakan berdasarkan prinsip due process of law. Dalam penelitian yuridis-normatif ini penerapan prinsip due process of law dianalisis dengan menggunakan 5 (lima) asas yang mendasari admisibilitas alat bukti yakni, legality, necessity, legitimate aim, proportionality, dan safeguard against illegitimate access. Apabila, asas-asas tersebut tidak dipenuhi, maka akibatnya alat bukti hasil urinalisis yang dihadirkan di persidangan dapat dikesampingkan oleh hakim. Penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan urinalisis pada tindak pidana narkotika di Indonesia telah menerapkan ke-lima asas tersebut, akan tetapi belum terdapat unifikasi peraturan terkait tindakan urinalisis, dan terhadap asas safeguard against illegitimate access yang seharusnya dijamin oleh keberadaan lembaga praperadilan belum dapat diterapkan karena keterbatasan wewenang. Adapun saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini ialah, perancangan peraturan yang mengunifikasi mekansime pelaksanaan urinalisis dengan mempertimbangkan perspektif kepastian hukum, serta pemberian perluasan kewenangan pada lembaga praperadilan untuk menguji akuntabilitas aparat penegak hukum dalam pelaksanaan urinalisis pada tindak pidana narkotika.

Narcotics crime is a special crime that has a detrimental impact on the public interest, especially the younger generation so that it can threaten the resilience of the state. Narcotics crimes are carried out in an organized and systematic manner by the perpetrators, so in their enforcement extraordinary measures are needed. Therefore, Indonesian Narcotics Crime Acts regulates a form of expansion of investigative actions that optimizes the development of science and technology, one of which is urinalysis which is basically an action that is classified as an examination of evidence, where the results are located as documentary evidence in court. As a form of legal action, the consequence is clear that the urinalysis must be carried out based on the principle of due process of law. In this juridical-normative research the application of the due process of law principle is analyzed using 5 (five) principles that underlie the admissibility of evidence, namely, legality, necessity, legitimate aim, proportionality, and safeguard against illegitimate access. If, these principles are not met, then the result of the urinalysis evidence presented at the trial can be set aside by the judge. This study found that the implementation of urinalysis on narcotics crimes in Indonesia has implemented the five principles, but there has been no unification of regulations related to urinalysis, and the principle of safeguard against illegitimate access which should be guaranteed by the existence of pretrial institutions has not been implemented due to limited authority. . The suggestions that can be given through this research are the design of regulations that unify the mechanism for implementing urinalysis by considering the perspective of legal certainty, as well as granting expansion of authority to pretrial institutions to test the accountability of law enforcement officers in carrying out urinalysis on narcotics crimes. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gesa Patria Ari Cindy
"Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga bukanlah hal yang baru, dengan diaturnya tindak pidana kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Undang Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, membawa harapan bagi masyarakat Indonesia untuk dapat mengatasi kekerasan seksual dalam rumah tangga. Banyak yang menyatakan dalam Undang Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyimpangi asas unus testis nullus testis yang dianut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Sebenarnya, ketentuan dalam Pasal 55 Undang Undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sejalan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, batas minimum pembuktianpun sejalan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

As sexual violence be regulated as a form of domestic violence, it is bring the hope for people to overcome sexual violence. Many people said that the provision of Article 55 of Eradication Domestic Violence Act deviates the unus testis nullus testis that is adopted by the code of criminal procedure. Actually, the provision of Article 55 of Eradication Domestic Violence Act is similar with the provision in the code of criminal procedure, the minimum evidence is also similar with the provision in the code of criminal procedure.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, David Gilbert
"ABSTRAK
Hukuman kebiri kimia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu hukuman pidana tambahan terbaru yang dapat dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut pada bulan Mei 2019 telah digunakan pertama kalinya untuk menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak dalam putusan nomor 69/Pid.Sus/2019/PN.MJK. Namun pelaksanaan dari hukuman pidana tambahan kebiri kimia dalam putusan a quo menghadapi permasalahan dengan tidak adanya hukum formil yaitu peraturan pelaksana dari Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tersebut. Kejaksaan selaku entitas yang mengemban kewenangan pelaksana dari putusan pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada faktanya harus melakukan penunjukkan kepada entitas yang memiliki kompetensi dalam bidang medis untuk melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut secara langsung. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur bahwa kebiri kimia termasuk ke dalam tindakan medis yang disebut upaya kesehatan kuratif, karenanya pelaksanaan dari kebiri kimia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu dokter khususnya dokter spesialis kejiwaan. Sehingga Kejaksaan dalam melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia harus melakukan penunjukkan kepada dokter spesialis kejiwaan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang dibutuhkan.

ABSTRACT
Chemical castration criminal penalty regulated in Article 81 paragraph (7) of Law No. 17 of 2016 on the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection is one of the latest additional criminal penalties that can be imposed for perpetrators of sexual violence against children. The chemical penalties for additional castration in May 2019 were used for the first time to ensnare perpetrators of sexual violence against children in decision number 69 / Pid.Sus / 2019 / PN.MJK. Nevertheless, the implementation of additional chemical castration criminal penalties in the a quo decision faces a problem in the absence of formal law, particularly the implementing regulations of the Law No.17 of 2016. The Prosecutor's Office as an entity that carries out the executive authority of the court's decision according to the Criminal Procedure Code and Law No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia, in fact, must appoint an entity that has competence in the medical field to carry out additional chemical castration penalties. Law No. 36 of 2009 on Health and Law No. 18 of 2014 on Mental Health regulates that chemical castration is included in a medical action called curative health measures, therefore the implementation of chemical castration can only be carried out by authorized health personnel namely doctors especially psychiatric specialists. So that the Prosecutor's Office in carrying out additional criminal sentences of chemical castration must appoint a psychiatric specialist who has the authority and competence needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Naulina Rahajeng
"Penyelesaian perkara tindak pidana khusus narkotika seharusnya dapat diselesaikan secara lebih efektif dan efisien, dengan menjunjung tinggi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyelesaiaan perkara secara lambat menimbulkan masalah lain, seperti berupa penumpukan perkara. Indonesia telah mencoba beberapa sistem untuk menerapkan sistem peradilan pidana yang lebih efektif dan efisien, seperti whistleblower dan justice collabolator, namun pelaksanaan sistem tersebut belum mampu mengatasi permasalahan penumpukan perkara. Rancangan KUHAP mencoba menggabungkan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law, dengan tujuan meningkatkan efektivitas hukum acara pidana dan mewujudkan suatu peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan serta melindungi hak dan kewajiban para pihak yang terkait dalam peradilan pidana. Salah satu hal yang diambil dari sistem hukum Common Law adalah konsep pengakuan bersalah (plea of guilty) yang dikenal dengan lembaga Plea Bargaining. Plea Bargaining yang dimaksud ialah sebuah proses penyelesaian perkara yang lebih cepat dan efisien, berupa pembelaan pengakuan bersalah atau tidak ada kontes (nolo contendere). Jalur khusus mengadopsi nilai-nilai yang ada di plea bargaining, walaupun tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang dengan jelas memisahkan kedua konsep tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Jalur Khusus yang ada di KUHAP masih memiliki beberapa permasalahan, seperti pengaturan yang di RKUHAP untuk mengatur jalur khusus kuranglah terperinci. Dalam RKUHAP, jalur khusus hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 199 RKUHAP. Dengan kurangnya pengaturan terhadap jalur khusus, dapat mengakibatkan kemungkinan terdapat tahapan yang terlewatkan dan terdapat pelanggaran hak asasi dalam proses pidana tersebut.

The settlement of cases of narcotics crimes should be resolved more effectively and efficiently, by upholding the principles of quick, simple and low cost trial. The slow settlement of cases creates other problems, such as a backlog of cases. Indonesia has tried several systems to implement a more effective and efficient criminal justice system, such as whistleblowers and justice collectors, but the implementation of these systems has not been able to solve the problem of case accumulation. The draft Criminal Procedure Code (RKUHAP) tries to combine legal values contained in the Civil Law legal system and the Common Law legal system, with the aim of increasing the effectiveness of criminal procedure law and creating a trial that is fast, simple and low cost and protects the rights and obligations of the parties involved in criminal justice. One of the things taken from the Common Law legal system is the concept of plea of guilty, known as the Plea Bargaining institution. Plea Bargaining in question is a process of solving cases that is faster and more efficient, in the form of plea plea guilt or no contest (nolo contendere). Jalur Khusus adopts the values that exist in the plea bargaining, although there are still differences that clearly separate the two concepts. The results of this study found that the Jalur Khusus in the Criminal Procedure Code still has several problems, such as the arrangement in the RKUHAP to regulate Jalur Khusus is less detailed. In the RKUHAP, Jalur Khusus is only regulated in one article, namely article 199 RKUHAP. With the lack of regulation on special routes, it can result in the possibility of missed stages and human rights violations in the criminal process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Ucok Samuel B.
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penggunaan upaya penggeledahan di jalan raya
yang dilakukan oleh petugas kepolisian terhadap pengemudi kendaraan bermotor,
dimana dalam praktek banyak ditemui pelaksanaan upaya paksa penggeledahan
yang dikeluhkan oleh pengemudi karena tidak dilakukan sesuai prosedur
persyaratan pelaksanaan upaya paksa penggeledahan dalam peraturan perundangundangan.
Tujuan dari pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk
mengetahui prosedur upaya paksa penggeledahan dan keabsahan tindakan tersebut
dalam praktek di jalan raya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana juga dihubungkan dengan
peraturan lain yang terkait untuk menghindari penyimpangan kewenangan petugas
kepolisian dan pelanggaran hak pengemudi. Penelitian ini adalah penelitian yang
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan ditambah dengan metode
partisipatori.

ABSTRACT
This thesis discusses the search conducted by the police officer in the highway to
the driver of the vehicle, which in practice is gaining many complaints from the
driver side because the search is conducted without due process of law. The
purposes of the main issues on this thesis are to understand the procedure of a
search and the legal side of the search conducted in the highway based on Act.
22/2009 on Road Traffic and Transport, also Act. 8/1981 on Criminal Procedure
Law and another related regulation in order to avoid the abuse of power by the
police officer and to avoid the violation of the driver?s right. This study is using a
normative juridical approach and method of participatory
"
Universitas Indonesia, 2012
S43110
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>