Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhatman Syarif Ganie
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T58778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cosphiadi Irawan
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Andaru G. S.
"Dunia saat ini sedang menghadapi epidemi HIV/AIDS yang sangat besar jumlahnya. Di Indonesia sendiri, hingga September 2005, terdapat 4065 kasus HIV dan 4186 kasus AIDS yang dilaporkan. Data tersebut masih terrnasuk fenomaena gunung es, karena masih banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terlaporkan/tercatat. Dilihat dari penggolongan usia penderita, maka dari sejumlah kasus di atas, 3739 kasus berada pada kelompok usia dewasa muda, yaitu 20-29 tahun. Dalam kehidupannya, penderita HIV/AIDS (Odha) harus berhadapan dengan masalah yang secara umum digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) menghadapi reaksi individu lain, terutama masyarakat umum sehubungan dengan stigma dan diskriminasi yang berlaku terhadap sindrom HIV/AIDS yang diderita, (2) menghadapi kemungkinan akan datangnya kematian lebih cepat, serta (3) Odha harus terus menjaga kondisi kesehatan diri mereka, baik secara fisik maupun emosional.
Masalah yang dihadapi oleh Odha tersebut merupakan stres tambahan bagi mereka, sebab dalam kehidupan sehari-hari setiap individu sudah memiliki sires yang bersumber dari dalam diri mereka sendiri, dari keluarga, dan dari lingkungan/masyarakat. Oleh sebab itu, adanya tuntutan yang bersifat internal dan eksternal tersebut membuat Odha melakukan penyesuaian dalam mengatasi stresnya. Dengan kata lain, mereka melakukan coping stress, yaitu suatu usaha yang dapat dialkukan individu dalam menghadapi situasi yang menekan dalam hidupnya. Proses coping ini temyata dipengaruhi oleh faktor internal (bersumber dari dalam diri individu) dan ekternal (bersumber dari luar diri individu). Dengan asumsi bahwa faktor internal dan eksternal akan mengalami peningkatan sejak partisipan penelitian dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS, dalam penelitian ini faktor internal yang diteliti adalah orientasi religiusitas dan health focus of control, dan faktor eksternal berupa dukungan sosial serta sumber daya nyata yang dimiliki oleh Odha partisipan.
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah lima prang dewasa muda, dua di antaranya adalah wanita. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Dan penelitian didapatkan hasil yang menyatakan bahwa stressor yang paling dominan pada Odha adalah yang bersumber dari dalam diri mereka sendiri, antara lain diagnosis yang menyatakan bahwa partisipan terinfeksi HIV/AIDS. Walaupun kelima partisipan menggunakan kedua jenis strategi coping stress, namun partisipan laid-laid dalam penelitian ini cenderung untuk menggunakan strategi coping yang berpusat pada emosi (emotion focused coping), sementara partisipan perempuan cenderung menggunakan strategi coping yang berpusat pada masalah (problem focused coping). Faktor internal dan eksternal memiliki peranan dalam pemilihan strategi coping pada setiap partisipan. Ketika masalah yang dihadapi tidak terselesaikan sesuai dengan keinginan dan harapan masing-masing partisipan, mereka akan berusaha mencari penyelesaian dengan cara yang lain, yaitu mengubah strategi pola coping yang digunakan. Hal ini terus berlanjut sampai masalah yang dihadapi oleh masing-masing partisipan dapat terselesaikan.
Terdapat perbedaan dalam pemilihan strategi coping stress yang dikembangkan oleh Odha perempuan dan Odha laid-laki sebagai partisipan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian dengan studi perbandingan antara Odha perempuan dan Odha laki-laki."
2006
T18117
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Vernazvati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes HIV sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT.
Tujuan. Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat.
Metodologi. Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia > 15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin Penelitian dilakukan sejak November 2004 - Maret 2005.
Hasil. Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidi3ran menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belurn VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masifi aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu.
Simpulan. VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT.

Background. Problem of HIV infection is increased related to unsafe sex behavior and usage of NAPZA injection. Estimation of HIV/AIDS cases in Indonesia was around 90.000 to 130.000. Since December 01, 2003 WHO has implemented the 3 by 5 program with the purpose of therapy access for all and since September 01, 2004 government has provided ARV for free. In accessing ARV therapy, Voluntary Counseling and HIV Testing (VCT) is an essential way and service in basic level (e.g. Society Health Center/Puskesmas) has to be the backbone of the service. It is hoped that numbers of VCT will increase in line with the guarantee of ARV access.
Objective. To know numbers of VCT services, CD4 and usage of ARV in Puskesmas Kampung Bali after the implementation of free ARV policy, characteristics and reasons that could hinder the high risk group for VCT beside dugs cost
Methodology. Research on VCT program services, test CD4 and ARV access was conducted for 5 months. All people who have done VCT in Puskesmas Kampung Bali and 100 high-risk people aged > 15 years who haven't done VCT , chosen with cluster system and met the inclusion criteria, were participated in the research conducted on November 2004 - Maret 2005 and went through guided interview.
Result. In 8 months before the implementation of the policy, there were 18 peoples and then in 5 months after the policy implementation there were 27 peoples have done VCT. There's increase of ARV usage. Majority of respondent who haven't and have done VCT, are male aged 20-30 years, mid level education, no permanent job and low income. Out of 100 respondents who haven't done VCT, 64% has mid level knowledge, 48% knows the availability of free ARV, 89% has routine injection and 34% practice unsafe sex behavior. The reason for not having VCT is feeling healthy, afraid of being known to have HIV and unsafe secret show the lack of awareness and motivation. Reason of cost of treatment 1 transportation in general was not ensured yet. Out of 13 respondents who has done VCT, 12 people has mid level of knowledge, 7 has still routine injection and 10 has unsafe sex behavior. Reason for having VCT is knowing the risk.
Summary. Numbers of VCT 8 month prior and 5 month after the implementation of the policy were 18 and 27 peoples.The ARV usage is also increases. Knowledge on HIV/AIDS and availability of free ARV is enough but majority has still active having injection and practice unsafe sex behavior. Lack of awareness, motivation and afraid of HIV/AIDS social consequences are reasons that could hinder VCT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Fauzan
"Latar Belakang
Jumlah penderita HIV pada pengguna narkoba suntikan saat ini semakin meningkat. Demikian juga dengan infeksi yang menyertainya (misalnya hepatitis C dan tuberkulosis paru). Sejak tahun 1996 ARV dinyatakan bermanfaat sebagai salah satu terapi yang efektif pada penderita HIV, karena dapat menurunkan mobiditas dart mortalitas, sehingga perhatian terhadap pengobatan ARV pads penderita HIV semakin ditingkatkan. Sampai saat ini belum ada dilaporkan penelitian mengenai respon pengobatan ARV pada penderita HIV di Indonesia.
Tujuan
Mengetahui respon pengobatan ARV selama enam bulan pada penderita HIV dan faktor-faktor yang berpengaruh.
Metodologi
Studi cross sectional retrospektif dengan besar sampel 139 orang penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi yang datang berobat RSCM dan RS Kanker Dharmais Jakarta antara bulan Januari 2004 sampai Maret 2005. SampeI dikumpulkan dari data rekam medik.
Hasil
Pada penelitian ini didapatkan hasil gambaran demografi jenis kelamin laki-laki 95% dan wanita hanya 5%. Kelompok umur terbanyak usia kurang dari 30 tahun sebanyak 81,3%. Infeksi yang menyertainya didapatkan infeksi hepatitis C sebanyak 64,0% dan tuberkulosis paru 44,6%. Respon pengobatan positif 91,4%, respon pengobatan komplit 70,5%, respon Minis 1,4%, respon imunologis 20,1%, dan tidak respon pengobatan 8,6%. Efek samping pengobatan ARV didapatkan sebanyak 93,5% dan status hidup sesudah pengobatan ARV 6 bulan sebanyak 97,1%, sedangkan mortalitas hanya 2,9%. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat didapatkan faktorfaktor yang mempengaruhi respon pengobatan ARV pada penderita HIV secara dominan adalali hitung limfosit CD4 > 50/rnm3 dengan OR sebesar 0,13 (p),003 dengan IK 95% 0,03-0,60).
Simpulan
Respon pengobatan ARV pada penelitian ini tinggi (91,4%). Hanya faktor hitung limfosit CD4 >50/mm secara dominan berpengaruh dan secara statistik terdapat hubungan bermakna dengan respon pengobatan ARV.

Background
Recently, the number of HIV patients and IVDU are increasing. As well as other confounding infections (eg.hepatitis C and pulmonary tuberculosis). Since 1996, ARV has been declared as one of the most effective treatment in HIV patients, reduce morbidity and mortality_ Therefore treatment using antretroviral has caught much attention to developed. Until now there has not been reports any study about the response to ARV treatment in HIV patients in Indonesia
Objective
To investigate proportion of response to antiretroviral treatment for six month in HIV patients and risk factors that influence.
Methodology
Study design was cross sectional retrospective study on 139 HIV patients who fullfiled inclusion criteria were conducted in RSCM and RSK Dharmais Jakarta from January 2004 to March 2005. We collected data from medical records of patients.
Result
From this study we found the demographic characteristic male (95%) more prevalent than female (5,0%). Majority age group less than 30 years old (81,3%). Confounding infection were hepatitis C (64%) and pulmonary tuberculosis (44.6%). The positive response to treatment (91.4%), complete response (70.5%), clinical response (1.4%), immunological response (20,1%), and no-response to treatment (8.6%). Adverse reaction led by ARV are found 93.5%. The mortality after 6 months ARV treatment only 2.9% cases end up with death. After bivariat analysis, we found the predominant influencing factors response to ARV treatment in HIV patients, which is the lymphocyte count CD4 > 50/mm with OR= 0.13 (p=0.003, CI 95% 0.03-0.60).
Conclusion
The response to ARV treatment in this study is high 91,4%. The lymphocyte count CD4 501mm3 is only the dominant influencing factors and showed statistically significant relation with response to ARV treatment in HIV patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Vernawati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT. Tujuan: Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat. Metodologi: Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia >15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin. Penelitian dilakukan sejak November 2004 -Maret 2005. Hasil: Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidikan menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belum VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masih aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu. Simpulan: VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suzy Maria
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hingga saat ini belum ada panduan mengenai paduan terapi
antiretroviral (antiretroviral therapy/ART) terpilih pada pasien HIV dewasa
dengan riwayat interupsi tidak terencana. Kondisi pasien pada saat reintroduksi
ART perlu dievaluasi sebagai dasar pemilihan paduan ART
Tujuan: Mengetahui proporsi keberhasilan virologis pada reintroduksi ART lini
pertama pasca interupsi tidak terencana. Mengetahui hubungan antara berbagai
faktor klinis dan laboratoris dengan keberhasilan virologis pada reintroduksi
tersebut.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien HIV yang
mendapatkan reintroduksi ART lini pertama pasca interupsi tidak terencana
selama minimal 1 bulan. Data didapatkan dari rekam medis RS dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta. Viral load (VL) dinilai 6-18 bulan setelah reintroduksi
ART lini pertama, dinyatakan berhasil bila VL <400 kopi/ml. Dilakukan analisis
terhadap faktor yang berhubungan dengan keberhasilan virologis tersebut.
Hasil: Selama periode Januari 2005 s.d. Desember 2014 terdapat 100 subjek yang
mendapatkan reintroduksi ART lini pertama dan memiliki data viral load 6-18
bulan pasca reintroduksi. Pasca reintroduksi ART didapatkan keberhasilan
virologis pada 55 (55%) subjek. Pada analisis didapatkan dua faktor yang
berhubungan dengan keberhasilan virologis pada reintroduksi ART lini pertama,
yaitu frekuensi interupsi satu kali (adjusted OR/aOR 5,51; IK95% 1,82-16,68;
p=0,003), nilai CD4 saat reintroduksi ≥200 sel/mm
xi
3
(aOR 4,33; IK95% 1,1416,39,
p=0,031).
Simpulan:
Proporsi keberhasilan virologis pada reintroduksi ART lini pertama
pasca interupsi tidak terencana adalah 55%. Pasien dengan frekuensi interupsi 1
kali dan pasien dengan nilai CD4 saat reintroduksi ≥200 sel/mm
3
memiliki kecenderungan untuk mencapai keberhasilan virologis pada reintroduksi ART.
ABSTRACT
There is no guideline concerning antiretroviral therapy (ART) of
choice for adult HIV patients after unplanned interruption. Hence, patients?
conditions at time of ART reintroduction need to be evaluated as a basis for
selecting ART regiment.
Objectives: To know the proportion of virological success of first line ART
reintroduction after unplanned interruption. To know the association between
either clinical or laboratory factors and virological success in reintroduction.
Methods: We conducted a retrospective cohort study in HIV patients that were
reintroduced to first line ART after having unplanned interruption for at least one
month period. The data were collected from medical records of Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta. Viral load (VL) was evaluated at 6-18
months after first line ART reintroduction, declared as a success if VL <400
copies/mL. Analysis was done to factors associated with such virological success.
Results: Between January 2005 and December 2014, 100 subjects were
reintroduced to first line ART and having VL data in 6 to 18 months after the
reintroduction. Virological success was achieved in 55 (55%) subjects. In the
analysis we found that virological success was associated with interrupted once
(adjusted OR/aOR 5.51%, 95%CI 1.82-16.68, p=0.003) and CD4 ≥200 cell/mm
xii
Universitas Indonesia
3
at the time of reintroduction (aOR 4.33, 95%CI 1.14-16.39, p=0.031).
Conclusions: Proportion of virological success on first line ART reintroduction
after unplanned interruption was 55%. Patients who were having interrupted once
and patients with CD4 ≥200 cell/mm
3
at the time of reintroduction would have
higher odds of virological success on first line ART reintroduction.
;Background: There is no guideline concerning antiretroviral therapy (ART) of
choice for adult HIV patients after unplanned interruption. Hence, patients?
conditions at time of ART reintroduction need to be evaluated as a basis for
selecting ART regiment.
Objectives: To know the proportion of virological success of first line ART
reintroduction after unplanned interruption. To know the association between
either clinical or laboratory factors and virological success in reintroduction.
Methods: We conducted a retrospective cohort study in HIV patients that were
reintroduced to first line ART after having unplanned interruption for at least one
month period. The data were collected from medical records of Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta. Viral load (VL) was evaluated at 6-18
months after first line ART reintroduction, declared as a success if VL <400
copies/mL. Analysis was done to factors associated with such virological success.
Results: Between January 2005 and December 2014, 100 subjects were
reintroduced to first line ART and having VL data in 6 to 18 months after the
reintroduction. Virological success was achieved in 55 (55%) subjects. In the
analysis we found that virological success was associated with interrupted once
(adjusted OR/aOR 5.51%, 95%CI 1.82-16.68, p=0.003) and CD4 ≥200 cell/mm
xii
Universitas Indonesia
3
at the time of reintroduction (aOR 4.33, 95%CI 1.14-16.39, p=0.031).
Conclusions: Proportion of virological success on first line ART reintroduction
after unplanned interruption was 55%. Patients who were having interrupted once
and patients with CD4 ≥200 cell/mm
3
at the time of reintroduction would have
higher odds of virological success on first line ART reintroduction.
;Background: There is no guideline concerning antiretroviral therapy (ART) of
choice for adult HIV patients after unplanned interruption. Hence, patients?
conditions at time of ART reintroduction need to be evaluated as a basis for
selecting ART regiment.
Objectives: To know the proportion of virological success of first line ART
reintroduction after unplanned interruption. To know the association between
either clinical or laboratory factors and virological success in reintroduction.
Methods: We conducted a retrospective cohort study in HIV patients that were
reintroduced to first line ART after having unplanned interruption for at least one
month period. The data were collected from medical records of Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta. Viral load (VL) was evaluated at 6-18
months after first line ART reintroduction, declared as a success if VL <400
copies/mL. Analysis was done to factors associated with such virological success.
Results: Between January 2005 and December 2014, 100 subjects were
reintroduced to first line ART and having VL data in 6 to 18 months after the
reintroduction. Virological success was achieved in 55 (55%) subjects. In the
analysis we found that virological success was associated with interrupted once
(adjusted OR/aOR 5.51%, 95%CI 1.82-16.68, p=0.003) and CD4 ≥200 cell/mm
xii
Universitas Indonesia
3
at the time of reintroduction (aOR 4.33, 95%CI 1.14-16.39, p=0.031).
Conclusions: Proportion of virological success on first line ART reintroduction
after unplanned interruption was 55%. Patients who were having interrupted once
and patients with CD4 ≥200 cell/mm
3
at the time of reintroduction would have
higher odds of virological success on first line ART reintroduction.
;Background: There is no guideline concerning antiretroviral therapy (ART) of
choice for adult HIV patients after unplanned interruption. Hence, patients?
conditions at time of ART reintroduction need to be evaluated as a basis for
selecting ART regiment.
Objectives: To know the proportion of virological success of first line ART
reintroduction after unplanned interruption. To know the association between
either clinical or laboratory factors and virological success in reintroduction.
Methods: We conducted a retrospective cohort study in HIV patients that were
reintroduced to first line ART after having unplanned interruption for at least one
month period. The data were collected from medical records of Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta. Viral load (VL) was evaluated at 6-18
months after first line ART reintroduction, declared as a success if VL <400
copies/mL. Analysis was done to factors associated with such virological success.
Results: Between January 2005 and December 2014, 100 subjects were
reintroduced to first line ART and having VL data in 6 to 18 months after the
reintroduction. Virological success was achieved in 55 (55%) subjects. In the
analysis we found that virological success was associated with interrupted once
(adjusted OR/aOR 5.51%, 95%CI 1.82-16.68, p=0.003) and CD4 ≥200 cell/mm
xii
Universitas Indonesia
3
at the time of reintroduction (aOR 4.33, 95%CI 1.14-16.39, p=0.031).
Conclusions: Proportion of virological success on first line ART reintroduction
after unplanned interruption was 55%. Patients who were having interrupted once
and patients with CD4 ≥200 cell/mm
3
at the time of reintroduction would have
higher odds of virological success on first line ART reintroduction.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Sanityoso Sulaiman
"Telah dilakukan penelitian secara potong lintang terhadap pasien sirosis hati di poli Hepatologi dan IRNA B ruang penyakit dalam Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo di Jakarta, periode Januari 2000 sampai Juli 2000. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur kadar endotoksin endogen pada penderita sirosis hati non alkoholik yang sedang dalam keadaan stabil serta melihat adakah hubungannya dengan derajat beratnya sirosis. Pengukuran kadar endotoksin menggunakan metode spesifik dengan alat toxinometer yang berdasarkan metode turbidimetri kinetik, telah dilakukan pada 45 kasus sirosis hati non alkoholik, dua puluh kasus termasuk klasifikasi Child-Pugh A, tujuh belas kasus termasuk Child-Pugh B sedangkan delapan kasus termasuk Child-Pugh C. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya peningkatan kadar endotoksin di vena perifer yang melebihi nilai normal pada semua kasus. Walaupun terlihat adanya sedikit peningkatan pada penderita sirosis hati Child-Pugh C dibandingkan pada yang ChildPugh B atau A. Namun peningkatan tersebut secara perhitungan statistik tidak bermakna.

A cross-sectional study has been conducted on liver cirrhosis patients at the Hepatology and IRNA B polyclinic in the internal medicine room of the Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in Jakarta, the period of January 2000 to July 2000. The study aims to measure endogenous endotoxin levels in patients with non-alcoholic liver cirrhosis who are in a stable state and see if there is The relationship is with the severity of cirrhosis. Endotoxin levels were measured using a specific method with a toxinometer based on the kinetic turbidimetry method, which has been carried out in 45 cases of non-alcoholic liver cirrhosis, twenty cases including Child-Pugh A classification, seventeen cases including Child-Pugh B while eight cases included Child-Pugh C. In this study, there was no increase in endotoxin levels in the periver veins that exceeded normal values in all cases. Although there was a slight increase in patients with Child-Pugh C liver cirrhosis compared to ChildPugh B or A. However, the increase was statistically meaningless."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Imran
"Objectives - To determine prevalence of distal sensory polyneuropathy (DSP) in HIV infected patients, whether clinical manifestation are affected by HIV disease stage, CD4 cell count or other clinical variables. Methods - Seventy-two of HIV patients attending Pokdisus out-patient clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital in July to September 2004 were included in this cross sectional study after excluding confounding factors. An interview focusing on risk and symptoms of DSP, neurologic examination and electroneurography study were performed. DSP was diagnosed if subjects had simptoms of peripheral neuropathy in distal limb, decreased or absent ankle jerks, decreased or absent vibratory perception at the toes and electroneurographic evidence of polyneuropathy. A p value of < 0,05 was considered significant Results - Of the 72 patients 52 were classified as AIDS and 20 as asymptomatic HIV. The majority of patients were males 62 (86.1%). The ages of patients ranged from 21 - 45 years, mean 26.9 years. Risk factors for HI\! were IDU in 73.6% and sexual in 26.4%. CD4 cell count ranged from 1 to 1562 sellmm3 , median 113 sellmm3 . Clinical and electroneurographic evidence of DSP was revealed in 20.8% (15172) of the patients. Significant associatior. between lower CD4 count and DSP was found (p=0.002). Conclusion - DSP was found in 20.8% of the patients. Subjed with low CD4 cell count commonly-have DSP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T58423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Noor Muhammad
"ABSTRAK
Latar belakang: Menurut data tahun 2015 dari WHO dan UNAIDS, ada sekitar 36,7 juta orang di dunia hidup dengan HIV/AIDS. Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi HIV mencapai 0,4 dimana terdapat 232.323 penderita HIV dan 86.780 penderita AIDS yang dilaporkan pada tahun 2016. Kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien HIV dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesahihan dan keandalan kuesioner WHOQOL-HIV BREF dalam bahasa Indonesia sebagai alat untuk mengukur kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di Poliklinik khusus HIV RSCM pada bulan November 2016 dengan cara consecutive sampling. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap awal yang merupakan proses adaptasi bahasa dan budaya dan tahap akhir yaitu uji kesahihan dan keandalan dari kuesioner.
Hasil : Dari 56 responden yang mengisi kuesioner diketahui bahwa 69,6% laki-laki. Melalui pendekatan multi-trait scaling analysis didapatkan nilai koefisien korelasi yang tinggi terhadap skor total domainnya sehingga dapat dapat dikatakan memiliki validasi yang baik. Korelasi antar domain kuesioner WHOQOL-HIV BREF dan domain kuesioner SF-36 didapatkan 6 domain yang signifikan bermakna (p <0,005) dengan nilai koefisien korelasi kuat (r=0,60-0,79). Keandalan kuesioner dinilai dengan intra class correlation coefficient masing-masing domain 0,401-0,484 dan nilai Alpha Cronbach 0,513-0,798.
Kesimpulan: Kuesioner WHOQOL-HIV BREF dalam bahasa Indonesia sahih dan andal. Diharapkan kualitas hidup dapat dipertimbangkan sebagai salah satu acuan respon pengobatan.

ABSTRACT
Background According to data from WHO and UNAIDS in 2015, approximately 36.7 million people worldwide living with HIV AIDS. In Indonesia, according to the data from the Ministry of Health Republik Indonesia, the HIV prevalence reached 0.4 where 232.323 people living with HIV and 86.780 people already in AIDS stage at 2016. Health status, which contributes to the quality of life in HIV patients, can be used as one indicators of the success of therapy. This study aims to determine the validity and reliability of the questionnaire WHOQOL HIV BREF in Indonesian as a tool for measuring the quality of life of HIV patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in HIV Integrated Service Unit Cipto Mangunkusumo General Hospital RSCM in November 2016 with consecutive sampling method. The study was conducted in two phases first, the language and cultural adaptation process and second phase was to test the validity and reliability of the questionnaire.
Result: Total 56 respondents who filled the questionnaire, 69.6 % of them were men. Through a multi-trait scaling analysis, correlation coefficient value has a high correlation to the total score domain, and thus can be concluded that it has a good validation. Correlation between questionnaire domain WHOQOL-HIV BREF and SF-36 questionnaire domain obtained 6 significant domain (p <0.005) with a strong correlation coefficient (r=0.60 to 0.79). Reliability of the questionnaire was assessed by intra class correlation coefficient, each domain from 0.401 to 0.484 and 0.513 to 0.798 for Cronbach Alpha.
Conclusion: The questionnaire WHOQOL-HIV BREF in the Indonesian language is valid and reliable. As such the quality of life can be considered as one criteria of a successful response of HIV treatment."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>