Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Asroruddin
"Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus <6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata penyebab, dan kisaran lama kebutaan.
Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total (p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan penglihatan.

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25 questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey 2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages, and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite score of blind was statistically significant lower than severe low vision group (p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and onset of visual impairment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Rejeki Herdiana
"Tujuan tesis ini adalah untuk mengetahui proporsi, karakteristik, dan faktor risiko retinopati diabetik pada responden diabetes melitus di puskesmas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Desain penelitian berbasis populasi, studi deskriptif-analitik dengan metode potong lintang. Kriteria inklusi adalah pasien diabetes melitus berusia > 18 tahun yang dilakukan pemeriksaan foto fundus di puskesmas kecamatan Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Dilakukan cluster random sampling dan didapatkan 17 kecamatan intervensi yang dilakukan pemeriksaan foto fundus. Dilakukan consecutive sampling dengan pemberitahuan secara aktif kepada responden. Responden diperiksa foto fundus tanpa dilatasi dan retinopati digrading dengan menggunakan klasifikasi NSC (National Screening Committee). Responden diperiksa tajam penglihatan, tekanan darah, lingkar pinggang, lingkar panggul, pemeriksaan laboratorium, dan dilakukan wawancara terpimpin untuk evaluasi faktor risiko. Jumlah total sampel dari penelitian ini adalah 419 responden dengan proporsi retinopati diabetik adalah 49 responden (11.7%). Pada analisis multivariat, faktor risiko independen untuk DR adalah usia ≥ 60 saat datang (OR 0.46; 95% CI, 0.24-0.89), durasi DM ≥ 5 tahun (OR 1.43; 95% CI, 0.79-2.59), keturunan DM (+) (OR 1.89; 95% CI, 0.98-3.63), GDP ≥ 126mg/dl (OR 2.06; 95% CI, 0.95-4.44), penyakit komplikasi (+) (OR 1.41; 95% CI, 0.78-2.57), gangguan penglihatan ringan (OR 1.81; 95% CI, 0.84-3.88), lingkar pinggang berlebih (OR 0.39; 95% CI, 0.20-0.73). Responden dengan retinopati diabetik cenderung memiliki indeks massa tubuh normal, tanpa obesitas sentral, dengan lingkar pinggang normal. Berdasarkan data yang didapatkan, satu dari 10 responden diabetes melitus di puskesmas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan memiliki retinopati diabetik. Faktor risiko independen yang berkaitan dengan retinopati diabetik adalah usia ≥ 60 tahun dan lingkar pinggang berlebih.

The purpose of this study was to describe the proportion, characteristics, and risk factors of diabetic retinopathy in diabetic population at primary health care (PHC) in East Jakarta and South Jakarta. Population-based cross sectional study, analytic ? descriptive. Method: Diabetic individuals > 18 years were screened for diabetic retinopathy with single field nonmydriatil 45o retinal photograph at PHC in East Jakarta and South Jakarta and retinopathy was graded in NSC (National Screening Committee) system. We had cluster random sampling for 34 PHC and 17 were selected and performed retinal photography for DR screening. Consecutive sampling was performed with active announcement for diabetic patients in PHC within the scope of the study. All participants underwent guided interview and examination including uncorrected visual acuity, blood pressure, waist-hip circumference, body mass index, and collection of blood samples. Results : We had 419 diabetic person who participated in this study. The overall proportion of DR was 49 (11.7%). In logistic regression analysis, independent risk factors for DR were age ≥ 60 years (OR 0.46; 95% CI, 0.24-0.89), diabetic duration ≥ 5 years (OR 1.43; 95% CI, 0.792.59), related to diabetes mellitus (OR 1.89; 95% CI, 0.98-3.63), fasting blood glucose ≥ 126mg/dl (OR 2.06; 95% CI, 0.95-4.44), complications of diabetes (OR 1.41; 95% CI, 0.78-2.57), mild visual acuity disturbance (OR 1.81; 95% CI, 0.84-3.88), excessive waist circumference (OR 0.39; 95% CI, 0.20-0.73). Person with DR tend to have normal body mass index, without central obesity, with a normal waist circumference. Conclusion : One in 10 adults with diabetes at PHC in East Jakarta and South Jakarta has diabetic retinopathy. The independent association of DR with established risk factors were age more than or equal to 60 years old and excessive waist circumference."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Sari
"ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh edukasi terhadap pengetahuan, sikap, perilaku terkait operasi katarak pada penderita gangguan penglihatan berat dan buta akibat katarak usia 50 tahun ke atas. Desain penelitian berbasis populasi dengan metode quasi Experiment dengan pretest-posttest design. Sampel penelitian adalah responden yang turut serta dalam survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness RAAB DKI Jakarta tahun 2015 yang berjumlah 76 orang yang terbagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. Kriteria inklusi adalah responden yang memiliki visus terbaik < 3/60 ndash; 6/60 dengan pinhole disebabkan oleh katarak dan belum pernah mengikuti operasi katarak. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian edukasi efektif meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki perilaku untuk menjalani operasi katarak 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan orang yang tidak menerima edukasi p>0.5

ABSTRACT
To determine the effect of education on knowledge, attitude, behavior related cataract surgery in patients with severe visual impairment and blindness due to cataracts aged 50 years and over in the area of Jakarta. Population based research design using the Quasi Experiment method with pre test and post test design, using questionnaires containing questions about cataracts. The affordable population in this study were all respondents who participated in the 2015 Rapid Assessment of Avoidable Blindness RAAB survey. Inclusion criteria were respondents who had the best visus "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Diastiningsih
"Latar belakang: Data global, terdapat 2,2 milyar penduduk di seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan jauh dan dekat. Setengah dari kasus atau sekitar 1 milyar memiliki gangguan penglihatan yang dapat dicegah atau belum ditangani, dan berpotensi kejadian low vision. Seorang dengan low vision berakibat kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat mempengaruhi kualitas hidup seperti putus sekolah, dan kehilangan pekerjaan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Desain studi yang digunakan adalah desain studi potong lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data sekunder berasal dari rekam medis. Sampel penelitian ini adalah 281 responden pasien kontrol rawat jalan Poli Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Hasil: Proporsi kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 16,8%. Adanya hubungan signifikan secara statistik dengan kejadian low vision pada faktor klinik yaitu katarak nilai-p=<0,001dan PR=6,03 (95%CI;2,21 – 16,5) dan retinopati diabetik dengan nilai-p=0,005 dan PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Kesimpulan: Katarak dan retinopati diabetik memiliki hubungan secara signifikan dengan kejadian low vision. Meningkatkan pelayanan kesehatan mata dan deteksi dini diharapkan dapat mencegah gangguan penglihatan yang berakibat low vision.

Background: Global data reported that 2.2 billion of worldwide population suffer from far and near vision impairment. Half of the cases, or approximately 1 billion people, exhibits the visual impairment which can be prevented but has not been addressed, leading to the occurrence of low vision. A person with a low vision would be susceptible to the risk of the difficulty in performing their daily activity and affects their quality of life such as school dropout and loosing their job. Objective: This study aims to determine the factors associated of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Method: This study performs a cross sectional study design, using secondary data obtained from medical records. As many as 281 respondents were collected from outpatient control in Poliklinik Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Results: The propotion of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was estimated 16.8%. There is a statistically significant relationship with the incidence of low vision between clinical factor, i.e. cataract with p-value=<0,001 and PR=6,03(95%CI;2,21 – 16,5) and diabetic retinopathy with p-value=0,005 and PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Conclusion: Cataract and diabetic retinopathy were identified to have a significant relationship with the incidence of low vision. Improving eye health services and early detection is expected to prevent visual impairment which result in low vision"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nafisa Shihab
"Latar Belakang Ulkus kornea merupakan kondisi yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang signifikan, sehingga penting untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dan keparahannya. Penelitian ini berfokus pada profil faktor risiko dan tingkat keparahan ulkus kornea pada pasien RSCM Kirana pada tahun 2023. Metode Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa penelusuran data rekam medis elektronik yang dilakukan bulan agustus – September 2024. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengidentifikasi profil faktor risiko dan tingkat keparahan ulkus kornea. Hasil Dari 121 pasien yang diteliti, 78 pasien (64,5%) adalah laki-laki dan 43 pasien (35,5%) perempuan. Sebagian besar pasien berusia 30-60 tahun (65,3%), dengan trauma okular menjadi faktor risiko utama pada 98 pasien (81,0%). Sebagian besar pasien mengalami gejala selama 15-29 hari (28,9%). Sebagian besar pasien mengalami ukuran ulkus 2-6mm (61,98%) dan kedalaman ulkus 1/3-2/3 stroma (65%). Lokasi ulkus lebih dominan di bagian sentral/parasentral (83,5%). Perforasi ditemukan pada 41 pasien (34,7%), dan infiltrasi pada 36 pasien (29,8%). Sebagian besar pasien mengalami penglihatan <1/60- LP (17,4%) . Hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan signifikan antara trauma okular dan tingkat keparahan ulkus kornea (p = 0,002), namun tidak ada hubungan signifikan dengan faktor lainnya secara statistik. Kesimpulan Faktor risiko trauma okular merupakan penyebab utama terjadinya ulkus kornea, dengan proporsi pasien yang mengalami ulkus sedang dan berat yang signifikan.

Corneal ulcer is a condition that can cause significant visual impairment, so it is important to understand the factors that influence its occurrence and severity. This study focuses on the risk factor profile and severity of corneal ulcer in RSCM Kirana patients in 2023. Method This study uses secondary data in the form of electronic medical record data searches conducted from August to September 2024. Data analysis was carried out descriptively to identify the risk factor profile and severity of corneal ulcers. Hasil Of the 121 patients studied, 78 patients (64.5%) were male and 43 patients (35.5%) were female. Most patients were aged 30-60 years (65.3%), with ocular trauma being the main risk factor in 98 patients (81.0%). Most patients experienced symptoms for 15-29 days (28.9%). Most patients experienced ulcer size 2-6mm (61.98%) and ulcer depth 1/3-2/3 stroma (65%). Ulcer location was more dominant in the central/paracentral part (83.5%). Perforation was found in 41 patients (34.7%), and infiltration in 36 patients (29.8%). Most patients experienced vision <1/60- LP (17.4%). The results of the Chi-Square test showed a significant relationship between ocular trauma and the severity of corneal ulcers (p = 0.002), but there was no statistically significant relationship with other factors. Conclusion Ocular trauma risk factors are the main cause of corneal ulcers, with a significant proportion of patients experiencing moderate and severe ulcers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewinta Retno Kurniawardhani
"Perkembangan terapi adjuvan pada glaukoma untuk memperlambat progresi glaukoma saat ini terus dieksplorasi. Penelitian ini mengevaluasi efek Mirtogenol, pada perubahan perfusi okular (perfusi kapiler dan flux index), ketebalan lapisan serabut saraf retina (LSSR), dan tekanan intraokular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang menerima terapi timolol maleat 0,5% tetes mata. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Terdapat 36 subjek (37 mata) dengan GPSTa dan TIO < 21 mmHg yang diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo selama 8 minggu. Kedua grup dibandingkan, pada kelompok Mirtogenol, rata-rata peningkatan perfusi kapiler dan flux index lebih baik, dan pada kuadran superior terdapat hasil yang signifikan secara statistik setelah 4 minggu (p=0.018). Rerata perbedaan ketebalan LSSR di seluruh kuadran terdapat penurunan dengan nilai yang lebih sedikit pada kelompok Mirtogenol (p>0.05). Penurunan TIO yang konsisten pada kelompok Mirtogenol setelah 8 minggu (p>0.05). Ditemukan efek samping pada 1 subjek yaitu gangguan lambung. Suplementasi Mirtogenol, sebagai terapi adjuvan pada pengobatan glaukoma dapat meningkatkan perfusi okular, mempertahankan ketebalan LSSR, dan menurunkan TIO.

The development of adjuvant therapies in glaucoma to slow its progression is currently being explored. This study evaluates the effects of Mirtogenol on changes in ocular perfusion (capillary perfusion and flux index), retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness, and intraocular pressure (IOP) in primary open-angle glaucoma (POAG) patients receiving 0.5% timolol maleate eye drops. This study is a double-blind, randomized controlled clinical trial. There were 36 subjects (37 eyes) with POAG and IOP < 21 mmHg randomized to receive Mirtogenol or placebo for 8 weeks. Compared between the two groups, the Mirtogenol group showed a better average improvement in capillary perfusion and flux index, with statistically significant results in the superior quadrant after 4 weeks (p=0.018). The mean difference in RNFL thickness across all quadrants showed a smaller reduction in the Mirtogenol group (p>0.05). There was a consistent decrease in IOP in the Mirtogenol group after 8 weeks (p>0.05). One subject experienced side effects, specifically stomach disturbances. Mirtogenol supplementation, as an adjuvant therapy in glaucoma treatment, can improve ocular perfusion, maintain RNFL thickness, and reduce IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Permatasari
"Latar belakang: Ulkus kornea dapat menyebabkan kebutaan karena sikatriks kornea. Transplantasi kornea sebagai tatalaksana sikatriks kornea berisiko tinggi mengalami kegagalan dengan adanya neovaskular pada kornea resipien. VEGF-A diduga sebagai faktor angiogenik utama dalam terbentuknya neovaskular kornea. Berdasarkan pengamatan klinis, neovaskular kornea pada pasien ulkus kornea bakteri lebih luas dibandingkan ulkus kornea jamur, namun belum pernah dibandingkan secara ilmiah. Tujuan: Studi ini membandingkan VEGF-A air mata dan neovaskularisasi kornea antara ulkus kornea bakteri dan jamur. Korelasi antara VEGF-A dengan luas neovaskular juga dihitung. Metode: Penelitian dilakukan terhadap pasien ulkus kornea bakteri dan jamur dengan sampel foto kornea dan air mata. Pengambilan sampel dilakukan pada hari pertama kedatangan dan diulang pada minggu keempat. Analisis foto kornea menggunakan peranti lunak ImageJ® untuk menilai luas neovaskular kornea dan luas defek kornea. Analisis VEGF-A air mata menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Perbedaan dianggap signifikan jika p<0,05. Hasil: Didapatkan 12 subjek ulkus kornea bakteri dan 10 subjek ulkus kornea jamur dengan rerata usia 37 tahun. Bakteri terbanyak Pseudomonas aeruginosa. dan jamur terbanyak Fusarium sp. Defek kornea setara pada awal (bakteri 25,6% (1,8-81,5) vs jamur 22,7% (3,0-45,0), p = 0,644) dan membaik pada minggu keempat (bakteri 0,04% (0-30,5) vs jamur 2,5% (0-15,1), p=0,368). Luas neovaskular kornea pada hari pertama setara (bakteri 10,3% (2,3-37,5) vs jamur 8,0% (3,7-22,8), p = 0,262) namun pada minggu keempat lebih luas pada kelompok bakteri (bakteri 21,6% (2,3-58,0) vs jamur 11,0% (5,4-22,5), p=0,033). VEGF-A air mata setara pada hari pertama (bakteri 215,6 pg/ml (58,0-1111,6) vs jamur 339,3 pg/ml (22,7-1313,0), p=0,391) dan minggu keempat (bakteri 399,7 pg/ml (181,9-1496,3) vs jamur 743,8 pg/ml (78,7-1416,5), p=0,792). Tidak didapatkan korelasi VEGF-A terhadap luas area neovaskular kornea (hari pertama r -0,28, p=0,212, minggu keempat r -0,04 p=0,855). Kesimpulan: Perbedaan luas neovaskular pada minggu keempat diduga karena faktor proangiogenik pada bakteri yang jarasnya melalui VEGF-A serta faktor antiangiogenik pada jamur yang mengalahkan pengaruh VEGF-A. Diperlukan penelitian mendasar yang mencari faktor antiangiogenik tersebut pada jamur.

Background: Corneal ulcer can cause blindness due to corneal cicatrix. Corneal transplantation as the treatment of corneal cicatrix had higher risk for rejection or failure if the recipient’s cornea possessed neovascularization. VEGF-A was thought to be the major angiogenic factor in corneal neovascularization. Based on clinical observation, corneal neovascularization in bacterial corneal ulcers had more area than in fungal corneal ulcers, however it was never proved scientifically. Objective: This study aimed to compare tear fluid VEGF-A and corneal neovascularization between bacterial and fungal corneal ulcers. The correlation between VEGF-A and neovascular area was also measured. Methods: Corneal photograph and tear fluid samples of bacterial and fungal in corneal ulcer patients were studied. Sample was taken at the first visit and at the fourth week follow up. Corneal photograph was analyzed using ImageJ® software to measure neovascular area and defect area. Tear fluid VEGF-A was examined using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Difference was considered significant if p<0,05. Results: There were 12 bacterial corneal ulcer patients and 10 fungal corneal ulcer patients with mean age 37 years old. Most common bacteria was Pseudomonas aeruginosa and most common fungi was Fusarium sp. Corneal defect area between the groups was similar at the first visit (bacterial 25,6% (1,8-81,5) vs fungal 22,7% (3,0-45,0), p = 0,644) and improved at the fourth week (bacterial 0,04% (0-30,5) vs fungal 2,5% (0-15,1), p=0,368). Neovascular area was similar among the groups at the first visit (bacterial 10,3% (2,3-37,5) vs fungal 8,0% (3,7-22,8), p = 0,262), however bacterial group showed larger area at the fourth week (bacterial 21,6% (2,3-58,0) vs fungal 11,0% (5,4-22,5), p=0,033). Tear fluid VEGF-A was similar at the first visit (bacterial 215,6 pg/ml (58,0-1111,6) vs fungal 339,3 pg/ml (22,7-1313,0), p=0,391) and the fourth week (bacterial 399,7 pg/ml (181,9-1496,3) vs fungal 743,8 pg/ml (78,7-1416,5), p=0,792). No correlation obtained between VEGF-A and corneal neovascular area (first visit r -0,28, p=0,212, fourth week r -0,04 p=0,855). Conclusion: The difference of neovascular area at the fourth week could be due to proangiogenic factor of bacteria through its effect on VEGF-A and antiangiogenic factor in fungi that may overcome VEGF-A effect. Further study is needed to confirm the antiangiogenic factor that fungi possess."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Dwi Mayasari
"Glaukoma merupakan suatu kelompok neuropati optik progresif yang ditandai dengan kelainan struktural dan fungsi saraf optik. Fungsi penglihatan yang paling terganggu pada penderita glaukoma adalah lapang pandangan. Pemeriksaan perimetri berguna untuk mengidentifikasidan mengukur defek lapang pandangan serta memperkirakan progresivitas glaukoma. Aplikasi perimetri berbasis tablet atau website sangat berguna untuk pemantauan pasien selama pandemi Covid-19 dan dapat digunakan di daerah terpencil dengan keterbatasan alat Humphrey Field Analyzer (HFA). Perimetri Melbourne Rapid Fields (MRF) merupakan teknologi baru yang terjangkau, mudah dibawa dan andal, serta dapat memberikan manfaat yang sama dengan perimetri HFA. 
Tujuan: Menilai kesesuaian hasil perimetri MRF terhadap HFA pada pasien glaukoma derajat sedang– berat dengan tajam penglihatan terganggu. Metode: Penelitian observasional dengan desain potong lintang untuk menilai hubungan tajam penglihatan terhadap kesesuaian hasil perimetri MRF 24-2 dibandingkan dengan HFA 24-2 pada pasien glaukoma derajat sedang-berat. Dilakukan pengelompokan subjek ke dalam dua grup berdasarkan tajam penglihatan. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan dengan dua macam alat, urutan pemeriksaan dilakukan randomisasi blok. Pemeriksaan perimetri HFA sebanyak satu kali dan pemeriksaan MRF sebanyak dua kali. Hasil pemeriksaan yang memenuhi kriteria dilakukan analisis komparatif, korelasi, kesesuaian, serta test-retest repeatability. 
Hasil: Total 64 mata dari 57 subjek terbagi dalam dua kelompok. Durasi pemeriksaan MRF lebih singkat dibanding HFA (265,7 ± 26,6 vs 384,4 ± 46,7, p < 0,001). Tidak terdapat perbadaan bermakna pada indeks reliabilitas kedua alat. MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat kuat dan baik dengan HFA (R = 0,931, ICC = 0,957, p < 0,001 pada hasil mean deviation (MD) dan R = 0,941, ICC = 0,974, p < 0,001 pada hasil Visual Field Index (VFI)). Test-retest repeatability MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat baik (R = 0,948, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil MD dan R = 0,946, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil Visual Capacity (VC)). Tidak didapatkan korelasi antara tajam penglihatan dengan Root Mean Squared Error (RMSE) hasil MRF, p > 0,05. 
Kesimpulan: Hasil perimetri MRF memiliki korelasi yang sangat kuat dnegan HFA. MRF juga menunjukkan hasil test-retest repeatability yang sebanding dengan HFA.Keakuratan hasil MRF tidak berkorelasi dengan perbedaan tajam penglihatan.

Background: Glaucoma is a group of progressive optic neuropathy characterized by structural and functional abnormalities of the optic nerve. The most impaired visual function in glaucoma sufferers is the visual field. Perimetric examination is useful for identifying and measuring visual field defects and predicting the progression of glaucoma. Tablet or website-based perimetry applications are very useful for monitoring patients during the Covid-19 pandemic and can be used in remote areas with limited Humphrey Field Analyzer (HFA) perimetry. Melbourne Rapid Fields (MRF) is a new perimetry technology that is affordable, portable and reliable, also can provide the same benefits as HFA perimetry.
Objective: To assess the agreement of MRF perimetry results with HFA in moderate to severe glaucoma patients with impaired visual acuity.
Methods: Observational study with a cross-sectional design to assess the relationship of visual acuity to the agreement of perimetry MRF 24-2 versus HFA 24-2 in patients with moderate-to-severe glaucoma. Subjects were grouped into two groups based on visual acuity. Each subject was examined with two kinds of perimetry, the order of examination was randomized using block randomization. Participants were tested once on HFA and twice on MRF. Examination results that meet the criteria are analyzed for comparative, correlation, agreement, and test-retest repeatability
Results: A total of 64 eyes from 57 subjects were divided into two groups. MRF examination duration was shorter than HFA (265.7 ± 26.6 vs 384.4 ± 46.7, p < 0.001). There is no significant difference in the reliability index of the two perimetry. MRF showed a very strong and good correlation and agreement with the HFA (R = 0.931, ICC = 0.957, p < 0.001 in the mean deviation (MD) and R = 0.941, ICC = 0.974, p < 0.001 in the results of the Visual Field Index (VFI)). The MRF test-retest repeatability showed a very good correlation and agreement (R = 0.948, ICC = 0.989, p < 0.001 on the MD and R = 0.946, ICC = 0.989, p < 0.001 on the Visual Capacity (VC)). There was no correlation between visual acuity and Root Mean Squared Error (RMSE) MRF, p > 0.05. 
Conclusion: The perimetry results from MRF have a very stong correlation to the HFA outcomes. MRF reveals test-retest repeatability comparable to HFA. The accuracy of MRF results did not correlate with differences in visual acuity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Hartomuljono
"Latar Belakang: Kelainan soket mengerut merupakan salah satu kasus rekonstruksi mata yang sering dijumpai. Kelainan ini menyebabkan protesa mata tidak dapat dipasang sehingga dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang berdampak pada kualitas hidup pasien. Rekonstruksi soket mengerut dapat dilakukan menggunakan berbagai materi autogenous graft, namun graft kartilago aurikular dinilai lebih kuat dan lebih tahan lama.
Tujuan: Menilai peran penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut derajat ringan - sedang, baik secara objektif maupun subjektif.
Metode: Penelitian prospektif ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan membandingkan sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Pasien dengan kelainan soket mengerut derajat ringan-sedang dengan riwayat protesa mata terlepas akan dilakukan rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular. Dilakukan pemeriksaan soket secara objektif pada pasien sebelum dan sesudah dilakukan intervensi hingga 8 minggu pascaoperasi, berupa kedalaman forniks inferior, volume soket, dan epitelisasi konjungtiva. Secara subjektif, kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF sebelum dan sesudah rekonstruksi.
Hasil: Rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular dilakukan pada 12 pasien (rerata usia 47,7±0,1 tahun). Didapatkan perubahan kedalaman forniks inferior sebelum intervensi 1 - 5 mm (2,75±1,1 mm) menjadi 4 - 9 mm (7,17±1,5 mm) setelah 8 minggu pascaoperasi (p<0,001). Volume soket pada awal kedatangan 0,2-0,6 ml (0,45±0,1 ml) meningkat menjadi 0,7 - 1,1 ml (0,87±0,1 ml) pada minggu ke-8 pascaoperasi (p<0,001). Epitelisasi lengkap terlihat pada seluruh subjek di minggu ke-8. Kualitas hidup pasien dinilai mengalami peningkatan signifikan (p<0,001) pada seluruh domain dengan skor melebihi 65% pasca rekonstruksi.
Kesimpulan: Penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan rerata selisih pada kedalaman forniks inferior 4,42±1,2mm dan volume soket 0,42±0,2ml. Epitelisasi konjungtiva terjadi lengkap pada seluruh pasien penelitian di minggu ke-8. Tidak ada morbiditas pada area donor. Secara subjektif, pasien mengalami peningkatan kualitas hidup yang bermakna pada aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.

Background: A contracted socket is one of the most common ocular reconstruction cases. This abnormality causes prosthetic eye cannot be attached, leading to decreased productivity which affects the patient's quality of life. Contracted socket reconstruction can be performed with various autogenous graft materials, although auricular cartilage graft provides greater support and longer durability
Objective: To assess auricular cartilage graft application in mild to moderate degree of contracted socket reconstruction, both objectively and subjectively.
Methods: This prospective study was a quasi-experimental study using a comparison of the sample before and after an intervention. Patients with a contracted socket of mild to moderate degree with a history of prosthetic eye detachment were reconstructed using auricular cartilage graft. Objective assessments, such as inferior fornix depth, socket volume, and epithelization, were done before and after the surgery until eight weeks postoperative. Subjectively, the patient's quality of life was observed using the WHOQOL-BREF questionnaire before and after the reconstruction.
Result: Reconstruction using auricular cartilage graft was performed in 12 patients (mean age 47,7 ±. This study found inferior fornix depth changed from 1 - 5 mm (2,75 ± 1,1 mm) pre-operative to 4 - 9 mm (7,17 ± 1,5 mm) 8 weeks after surgery (p<0,001). Socket volume increased from 0,2-0,6 ml (0,45 ± 0,1 ml) in pre-operative assessment to 0,7 - 1,1 ml (0,87 ± 0,1 ml) in 8-week follow up (p<0,001). Complete epithelization was seen in all subjects after 8 weeks period. Patient's quality of life showed significant increase (p<0,001) in all domain with score exceeding 65% after reconstruction.
Conclusion: Auricular cartilage graft application in contracted socket showed a significant increase with a mean difference of inferior fornix depth 4,42±1,2mm and socket volume 0,42±0,2ml. Complete conjunctival epithelization was seen in all patients on the eighth week. No morbidity was found in the donor area. Subjectively, patients showed a significant increase in quality of life from physical health, psychological, relationship, and environmental aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library