Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulan Pratiwi
"ABSTRAK
Administrasi Negara dalam arti aparatur mempunyai tugas yang semakin berat dalam menyelenggarakan pelayanan publik, terutama pada era otonomi daerah. Pelaksanaan tugas-tugas Administrasi Negara harus sesuai dengan norma dan ketentuan yang diatur dalam Hukum Administrasi Negara, termasuk di dalamnya Hukum Kepegawaian dan berbagai produk peraturan perundang-undangan lainnya serta sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sayangnya karakter birokrasi yang hirarkis, formalistis dan terspesialisasi seringkali menjadi kendala bagi Administrasi Negara untuk melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien, bahkan rentannya organisasi birokrasi dari pengaruh politik seringkali memperburuk citra kinerja birokrasi yang berujung pada rendahnya kualitas pelayanan publik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut adalah melalui peningkatan kapasitas sumber daya aparatur birokrasi, baik melalui jalur-jalur yang sudah disediakan dalam aturan kepegawaian maupun melalui inisiatif aparatur untuk meningkatkan motivasi, cara kerja, pendidikan dan sebagainya secara personal. Meski memiliki beberapa kelemahan, kebijakan pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai tahun 2005 sampai 2009 perlu dipandang sebagai peluang untuk memperbaiki kondisi Administrasi Negara di Indonesia, tentunya jika diimbangi dengan berbagai upaya strategis peningkatan kapasitas aparatur, sehingga nantinya akan membentuk Administrasi Negara dengan kapasitas memadai dan mampu mengakomodasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, memberikan pelayanan yang cepat, terjangkau, tidak berbelit-belit dan bersahabat, sehingga akan membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Administrasi Negara. Otonomi Daerah juga memberikan peluang bagi peningkatan kapasitas Administrasi Negara melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang dianggap penting bagi aparatur di daerah, sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah. Tulisan ini merupakan hasil penelitian normatif yang didukung oleh data bahan-bahan kepustakaan sebagai data sekunder. Analisis terhadap kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dilakukan untuk membuat kajian mengenai kapasitas sumber daya aparatur birokrasi menjadi lebih komprehensif."
2007
T 19588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yanti Nurmayanti
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan status kepegawaian dosen PNS yang menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi dan menjelaskan mengenai penyelesaian permasalahan status kepegawaian dosen PNS yang menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian yang digunakan adalah eksplanatoris dengan bentuk hasil penelitian preskriptif analitis. Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 menentukan dosen PNS yang menjadi hakim ad hoc Tipikor harus cuti di luar tanggungan negara, ketentuan tersebut membuat status kepegawaian dosen PNS yang menjadi Hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi tidak jelas, karena masa cuti di luar tanggungan negara lebih singkat dibandingkan dengan masa jabatan hakim ad hoc Tipikor. Selain itu, ketentuan cuti di luar tanggungan negara tersebut akan mengakibatkan hilangnya hak-hak kepegawaian dosen tersebut. Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 seharusnya dapat dikesampingkan. Penyelesaian status kepegawaian dosen PNS yang menjadi hakim ad hoc Tipikor dapat diselesaikan dengan menetapkan pembebasan sementara dari jabatannya tanpa kehilangan status sebagai pegawai negeri sipil.

This study aims to clarify the employment status of civil servants lecturer serving as ad hoc judges for corruption crime and to explain the dispute resolution of its employment status. This study implements a normative research; a research typology uses an explanatory with analytical prescriptive form. Elucidation of Article 16 of Law Number 46 year 2009 determines that civil servants lecturer serving as ad hoc judges for corruption crime oblige to take a government unpaid leave, these provisions leads to an unclear employment status of the civil servant university lecturers serving as ad hoc Judge of Corruption crime, due to the duration for a government unpaid leave is shorter than the term given for ad hoc judges of Corruption crime. Moreover, provisions of government unpaid leave resulted in the loss of lecturers employment rights. The tenure judgeship of an ad hoc judge in the court of corruption crime is semi-permanent, whereas, this is different from ad hoc judges for special courts. Thus, the employment status of civil servants lecturer serving as ad hoc judges for corruption crime should clearly be defined. The elucidation of the article which causing the unclear employment status should be ruled out, the dispute of this employment status can be solved by establishing a temporary exemption from the judgeship tenure without losing one?s status as a civil servant."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roberia
"Tuntutan kesempurnaan Pegawai Negeri selaku aparatur negara yang memegan peranan penting dalam kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangatlah tinggi. Sementara itu, sistim penghargaan sebagai balasan atas jasa yang telah dicurahkan dengan sepenuh jiwa dan raga oleh Pegawai Negeri kepada negara diselenggarakan dengan tidak berdasarkan pada kinerja (merit system) dan sangat terkesan serta populer dengan plesetan PGPS (?pintar goblok penghasilan sama?). Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan program reformasi birokrasi yang diantaranya termasuk penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri. Kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat mulai diberlakukan bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan pada 1 Juli 2007 dan secara terbatas dan bertahap dilanjutkan penerapannya pada beberapa kementerian/lembaga. Penerapan perbaikan sistim remunerasi yang terbatas dan bertahap itu tentu telah menimbulkan diskriminasi karena tidak adanya keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagiPegawai Negeri secara keseluruhan. Di samping persoalan keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi itu, juga terdapat berbagai kelemahan yuridis dalam pelaksanaan penerapan kebijakan tersebut. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana ketaatan asas hukum dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam konteks sebagai negara yang memproklamirkan dirinya Negara Hukum. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis. Mengingat topik penelitian ini terkait dengan remunerasi yang dianalisis secara yuridis, maka landasan teori didasarkan pada kerangka pemikiran hierarki kebutuhan dan keadilan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki sistim remunerasi itu haruslah mampu memberikan dan menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan dan layak masih belum terwujud dengan baik. Kedua, peraturan perundang-undang yang mengatur sistim remunerasi tidak menegaskan aturan sistim remunerasi yang berbasis kinerja. Ketiga, rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan perbaikan sistim remunerasi tersebut adalah tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk reformasi sistim remunerasi adalah dengan membuat Undang-Undang tentang Kepegawaian yang baru yang sunguh-sunguh merumuskan amanat konstitusi dan menggantikan Undang-Undang tentang Kepegawaian yang saat ini berlaku.

Civil servants, as a state apparatus have a big and an important role in the smooth organization and tasks of the government and national development. Their performance is claimed very high. Meanwhile, the award system as a reward for services rendered have been torrentialwith full life and wholeheartedly by them with no organized based onperformance (merit system) and are very impressed with the popular and the term ?PGPS? ( ?Pintar Goblok Penghasilan Sama? or "wise fool of the same"). To solve the problem, Indonesian government has been trying to reform the remuneration system. Since July 1 2007, Department of Finance of Republic of Indonesia has started to introduce a new remuneration system for its officials. The new remuneration system has implemented by limited and gradually in several ministries / agencies. The limited application of a new remuneration system has been caused discrimination due to the absence of justice in the implementation of policy for overall civil servants. In addition to the issue of fairness/justice in the implementation of the policy, there are many weaknesses in the implementation of the juridical application of these policy. This research tries to observe whether the new remuneration system for civil servants is well obeyed in accordance with law because of Indonesia as a country proclaiming itself as the Rule of Law or Rechtsstaat. This research is based on juridicalnormative, with the secondary data analysis and with the method of data processing and analysis by qualitative and descriptive-analytical and prescriptiveanalytical. Given the topic of this research related to the remuneration of the juridical analyzed, the theoretical foundation or framework of thought is based on the hierarchy of needs and theory of justice. This research produced some findings. First, the mandate of the Constitution require the remuneration system should be able to provide and create the prosperity which is proper and justice has not been realized well. Second, the regulations which set the remuneration system does not assert that the rules-based remuneration system performance. Third, the formulation of norms and norm validity of regulations made as a legal basis of the policy about reformation of the remuneration system is not compliance the principles of law and it can be said is invalid. Therefore, in order ius constituendum, there is no way that should be done to reform the system of remuneration is to make a new Act on civil servant or officialdom Act (Undang- Undang Kepegawaian) that compliance to constitution and replacing the old Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26194
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Rosdianti
"Ketentuan mengenai peradilan administrasi dijabarkan melalui UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya UU tersebut mengalami perubahan beberapa ketentuan di dalamnya. Perubahan tersebut dituangkan di dalam UU No 9 tahun 2004 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN. Keberadaan peradilan administrasi/TUN di Indonesia sesungguhnya adalah satu langkah maju. Pengadilan TUN menjadi satu lingkungan peradilan tersendiri yang terpisah dari peradilan umum (perdata) di mana pengadilan TUN dapat memfokuskan perhatiannya, serta berkonsentrasi hanya pada sengketa administrasi saja. Obyek sengketa peradilan ini adalah Keputusan TUN. Kewenangan pengadilan TUN untuk memutuskan sengketa kewenangan Tata Usaha Negara, menjadi semacam kontrol yudisial (judicial control) bagi pelaksanaan kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL). Agar tidak ada pejabat TUN herlaku dan bertindak sewenang-wenang dengan membuat Keputusan yang tidak patut, balk secara formal maupun materiil. Peradilan TUN juga menjadi sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan, sekaligus sebagai perlindungan dari pemberlakuan keputusan administratif (yang dikeluarkan oleh pejabat TUN) yang diindikasikan sewenang-wenang. Puncak dari proses peradilan adalah pada pelaksanaan eksekusi putusannya, yakni pada saa4 mana hak-hak pencari keadilan diperoleh. Pelaksanaan putusan pengadilan adalah pada cabang kekuasaan eksekutif, dalam hal ini adalah pejabat-pejabat TUN. Di Indonesia diperoleh data bahwa sebagian besar putusan Pengadilan TUN tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN. Ini berarti bahwa putusan pengadilan yang seharusnya automatically executed, tidak terlaksana. Di Indonesia, pelaksanaan putusan bertumpu kepada kesadaran dan inisiatif pejabat TUN yang bersangkutan. Karena kesadaran hukum masih rendah, maka pengabalan putusan pengadilan oleh pejabat TUN telah mencederai penghormatan terhadap supremasi hukum sekaligus mengabaikan hak atas keadilan bagi warga negara. Sistem peradilan administrasi di Indonesia dipandang belum cukup memadai untuk memaksa para pejabat TUN melaksanakan putusan pengadilan administrasi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tidak tersedianya ketentuan (hukum acara) yang mengatur pelaksanaan pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN. Ketentuan di dalam pasal 116 huruf c,d,dan e UU Nomor 9 tahun 2004 belum dapat diimplementasikan tanpa ketentuan yang lebih rinci yang mengatur pemberian sanksi.

The focus of this study is regarding the fulfillment of right to justice through execution of administrative court's decision. Administrative Court in Indonesia is regulated within Act No.5/1986 concerning Administrative Court. In 2004, This Act is revised by the Act No.9/2004 Concerning The Revision of Act. No. 5/1985 of Administrative Court. The existence of Administrative Court is a progress, in the context of law in Indonesia. Administrative Court being a spesific court which is separated from the General Court (Frovate Court) in order to focus on its jurisdiction of administrative dispute. The Object of this Court is the decision which is made by the Government Official. This ini in the frame of administrative dispute. Within this purpose, Administrative Court is like a judicial control of the application of good governance and the general norm of a proper government. It is to make sure that the official government not to make a decision without compunction (in formal or material). Administrative Court is also a means of the citizen to get their right to justice, to be protected by the state from the decisions which are made by the official government alleged a violation in it. The top of the court process is implementation or execution of the decision of the court. It is the fulfillment of the right to justice to the citizen. The Implementation is in the executive power, in this context are government officials. But in Indonesia. We gain the data which contain the obidience of the court's decision by the most government officials. Court decision must automatically executed. But in Indonesia, it is not implemented properly. The implementation is depend on the awareness and initiative of the particular government officials to do the execution. Because of the law obedience is quite law, many problems appear regarding the negligance of these government officials. The negligance defect the supremacy of law and also the right to justice of the citizen. Administrative Court System in Indonesia has not been adequate to force the government officials to implement the court's decision. It is accasioned by insufficience of content of the regulation in Act 5/1986 and in Act 9/2004 in sanction for the government officials who are disobey the decision of administrative court. The sanction which is mentioned in article 116 c, d and f (Act No.9/2004) has not been implemented becouse there is no particularly arrangment concerning the sanction to the government officials who neglect the court decision."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24403
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Universitas Indonesia, 2001
342.068 HUK (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suartini
"ABSTRAK
Pogram wajib belajar pendidikan dasar adalah suatu program
yang mendukung jalannya pembangunan dalam bidang
pendidikan,yang mana kontribusi yang amat sangat besar dalam
pembangunan bangsa adalah pendidikan.Berbagai negara di
dunia ikut melaksanakan program pendidikan dasar sebagai
upaya dari pemenuhan hak warga negara dalam bidang
pendidikan.Pendidikan adalah salah satu upaya untuk
mewujudkan tujuan nasional yang tertuang dalam Alinea
keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Perwujudan itu
dijabarkan pada amanat konstitusi yaitu seperti yang
tertuang dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945.
Permasalahan yang dikaji pada penulisan tesis ini adalah
bagaimana hubungan program wajib belajar pendidikan dasar
dengan implementasi pasal 31 UUD 1945,bagaimana hubungan
kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan program wajib
belajar pendidikan dasar untuk mewujudkan pemerataan dan
perluasan akses pendidikan,dan faktor-faktor apa saja yang
menghambat jalannya penyelenggaraan program wajib belajar
pendidikan dasar.
Metode yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah metode
penelitian normatif,dengan mengumpulkan data dari bahanbahan
kepustakaan sebagai data sekunder.Data tersebut
diperoleh melalui:bahan primer berupa peraturan perundangundangan
dan konvensi internasional yang sudah
diratifikasi,bahan hukum sekunder berupa buku-buku
teks,kumpulan makalah,tulisan dan artikel yang berkaitan
dengan permasalahan,bahan hukum tersier berupa kamus dan
lain sebagainya.Alat pengumpulan data selain melalui studi
dokumen,juga dilakukan wawancara dengan informan untuk
mencari informasi yang berkaitan dengan permasalahan, metode
pengolahan data yaitu dengan metode kualitatif dan bersifat
deskriptif analitis.
Hubungan program wajib belajar pendidikan dasar dengan
implementasi pasal 31 UUD 1945 adalah pemenuhan hak
pendidikan atas warga negara Indonesia sebagai upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa,kebijakan pemerintah yang
mendukung jalannya program pendidikan dasar telah
terealisasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia,dan
hambatan dalam penyelenggaraan program wajib belajar
pendidikan dasar adalah faktor ekonomi,sosial-budaya bangsa Indonesia.

ABSTRACT
Education accountability program is a program which
supports an education development program, which provides
the best contribution towards nation's development. Many
nations in the world has join this basic education program
as an effort to fulfill the right of a citizen to obtain
education. Education is on of several efforts to create
nation's objective which consists in the Forth paragraph of
Undang-Undang Dasar 1945. Which also lies in the
constitutional amendment such as article 31 of UUD 1945.
Research issue will be observed in this thesis is the
relationship between the basic education accountability
program by implementing the article 31 of UUD 1945, and the
relationship of government policy in implementing the basic
education accountability program to achieve the
sustainability and expansion of education access, and what
factors which could limit the implementation of basic
education accountability program.
Method was used in this thesis is the normative
research method, by collecting data from research literature
as the secondary data. Data was obtained through : primary
source which is the constitution and international
convention which has been ratified, secondary source, such
as literatures, papers, and articles related to the research
issue; and lastly, tertiary source such as dictionary and
others. Data collection instrument was using documentary
study, and interview with the informants to obtain related
information toward research's issue, and the data processing
method was using the qualitative method and analytic
descriptive.
The relationship of the basic accountability education
program with the implementation of the article 31 of UUD
1945 is the fulfillment of educational rights of the people
of Indonesia as an effort to enhance the education standard
of the nation, and the government policies to sustain this
basic education accountability program has been realized,
and several obstacles towards the basic education
accountability program are as follows : economic factors,
and the socio-culture of the Republic of Indonesia."
2007
T36841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Santi Hapsari Dewi A.
"ABSTRAK
Netralitas adalah suatu keadaan tidak memihak;
netral. Dalam memberikan pelayanannya, birokrasi harus
mengutamakan profesionalisme, tidak membedakan
berdasarkan kepentingan politik maupun golongan
masyarakat yang dilayaninya. Netralitas Pegawai Negeri
Sipil adalah mutlak diperlukan mengingat tugas dan
kedudukan PNS sebagai abdi negara, abdi masyarakat dan
pelayan publik. Sebagai upaya menjaga netralitas
Pegawai Negeri Sipil dari pengaruh partai politik dan
untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan
pegawai negeri, serta agar memusatkan segala perhatian,
pikiran, dan tenaganya pada tugas yang dibebankan
kepadanya, maka Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik. Oleh karena itu,
Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai
Negeri baik secara hormat atau tidak hormat.
Netralitas PNS sebagai salah satu cara menuju
terciptanya Good Governance dan salah satu upaya yang
dilakukan dalam reformasi birokrasi. Dengan adanya
netralitas PNS, maka pelayanan kepada masyarakat akan
semakin baik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan,
dengan metode pendekatan yuridis analitis.
Administrasi negara sebagai organ birokrasi di
Indonesia sulit bersikap independen dan netral karena
berada di bawah kekuasaan pemerintah.
Penelitian ini merekomendasikan agar administrasi
negara diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dengan adanya
payung hukum konstitusi, maka posisi dan keberadaan
administrasi negara akan kuat dan lebih independen.
Alternatif lain adalah melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan. Perlu pengaturan tentang penggunaan
fasilitas negara yang dipakai oleh Pegawai Negeri Sipil
ABSTRAK
di luar kedinasan. Pada akhirnya, harus ada konsistensi
peraturan mengenai larangan Pegawai Negeri menjadi

ABSTRACT
Neutrality is unbiased condition; neutral.
Bureaucrat service majoring profesionalism,
undiscrimination, not based on politic interest people
they served. Neutrality of public servant absolute
needful because of their duty and position as state
servant, people servant and public servant. As eforts
to keep neutrality of public servant from politic party
effect and to assure of totality, compactness, and held
together, bend the mind to attention, energy for the
duty, then with no permitted public servant to be
member, part, and/or board of politic party. Therefore
for public servant as a member and/or board of politic
party have to get the push as public servant courtly of
not courtly.
Neutrality of public servant as one of method
concern good governance established and one of
bureucracy reform eforts. Then, public services will be
better.
Research method as used in is normative law
research method pass through library study, with
analitical juridisch approach method.
State administrator as bureaucracy organ in
Indonesia is hard to be independent and neutral because
of their position is under the government power.
This research recomend that regulate state
administration in contitution. So, existence and
position of state administration will be strong and
more independent. Other alternative is by action of
perfecting law and regulation. Its necessary the
regulation about utilizing state?s facilities that used
unofficial duty. Finally, that must be a regulation
consistency about prohibition of public servant to be a
member and/or board a politic party.
anggota dan/atau pengurus partai politik."
2008
T37161
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>