Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indina Sastrini Sekarnesia
"Latar belakang: Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat yang
disebabkan disfungsi melanogenesis, berupa makula coklat kehitaman simetris,
terutama mengenai area wajah. Patogenesis melasma belum diketahui dengan jelas,
beberapa faktor yang diduga berperan, di antaranya disfungsi tiroid dan defisiensi seng.
Tujuan: Mengetahui kadar seng serum pada pasien melasma dan nonmelasma dengan
dan tanpa disfungsi tiroid.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada
September-Desember 2019. Terdapat 60 pasien melasma dan 60 pasien nonmelasma.
Kedua kelompok dilakukan matching usia dan jenis kelamin. Atomic absorption
spectrophotometry digunakan untuk mengukur kadar seng serum. Laboratorium darah
untuk memeriksa fungsi tiroid (TSH dan FT4). Analisis statistik menggunakan software
SPSS.
Hasil: Rerata kadar seng serum pada kelompok melasma 10,25±1,89 μmol/L dan
nonmelasma adalah 10,29±1,46 μmol/L (p <0,901). Rerata kadar seng serum pada
pasien melasma dengan disfungsi tiroid 8,77±0,69, melasma tanpa disfungsi tiroid
10,33±1,89, nonmelasma dengan disfungsi tiroid 10,48±2,4, dan nonmelasma tanpa
disfungsi tiroid 10,27±1,4 (p <0,184).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar seng serum pada
kelompok melasma dan nonmelasma dengan dan tanpa disfungsi tiroid.

Background: Melasma is an acquired hyperpigmentation disorder, clinically as
asymmetrical blackish brown macules, especially on the facial area. Several factors are
thought to play a role, including thyroid dysfunction and zinc deficiency.
Objective: To determine serum zinc levels in melasma and non-melasma patients with
and without thyroid dysfunction.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta in September-December
2019. There were 60 melasma patients and 60 non-melasma patients. The two groups
were matched for age and sex. Atomic absorption spectrophotometry was used to
measure serum zinc levels. Blood laboratory was used to check thyroid function (TSH
and FT4). Statistical analysis was done by SPSS software.
Results: The mean serum zinc level in the melasma group was 10.25 ± 1.89 μmol / L
and non-melasma was 10.29 ± 1.46 μmol / L (p <0.901). The mean serum zinc level in
melasma patients with thyroid dysfunction was 8.77 ± 0.69, melasma without thyroid
dysfunction 10.33 ± 1.89, non-melasma with thyroid dysfunction 10.48 ± 2.4, and nonmelasma
without thyroid dysfunction 10.27 ± 1.4 (p <0.184).
Conclusions: There was no significant difference between serum zinc levels in the
melasma and non-melasma groups with and without thyroid dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam
"Latar Belakang: Obesitas merupakan masalah global yang prevalensinya terus meningkat, terutama pada individu sedenter.  Peningkatan lemak viseral pada obesitas berperan penting dalam terjadinya kelainan metabolik, seperti hiperurisemia. Hiperurisemia dapat mengakibatkan disfungsi endotel yang menyebabkan aterosklerosis. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara lemak viseral dan asam urat pada pekerja kantor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada 92 pekerja kantor dengan obesitas (IMT ≥25 kg/m2) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengukuran lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, dengan lemak viseral ≥2,3 L pada laki-laki; ≥1,7 L pada perempuan menunjukkan peningkatan lemak viseral. Faktor komorbiditas juga diobservasi pada studi ini.
Hasil: 29% subjek dengan hiperurisemia dan 86% subjek dengan lemak viseral yang tinggi. Median lemak viseral 2,8 L dan rerata asam urat serum 5,7 mg/dL. Komorbid tertinggi, yaitu dislipidemia, disusul dengan hipertensi, merokok, dan DM. Terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum (r=0,363; p<0,001).
Kesimpulan: Ditemukan korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum pada pekerja kantor dengan obesitas

Background: Obesity is an increasing, global public health issue, largely in sedentary lifestyle. Increased visceral fat in obesity has an important role in metabolic disorders, including hyperuricemia. Hyperuricemia can result in endothelial dysfunction that causes atherosclerosis. This study examined correlation between visceral fat and uric acid in obese office workers at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This cross sectional study involving 92 office workers with obesity (BMI ≥25 kg/m2) at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Visceral fat (VF) was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, and VF ≥2,3 L in men; ≥1,7 L in women was defined as increased VF. The frequencies of comorbidity were also investigated.
Results: 29% of subjects with hyperuricemia and 86% of subjects with increased VF. Median VF was 2.8 L and mean serum uric acid was 5.7 mg/dL. The highest comorbidity is dyslipidemia, followed by hypertension, smoking, and DM. There is a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid (r=0.363; p<0.001).
Conclusion: This study shows a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid in office workers with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Nelson
"Latar Belakang: Melasma adalah kelainan hiperpigmentasi yang umum ditemukan pada sebagian besar populasi manusia di dunia. Etiopatogenesis melasma masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan. Beberapa hormon diduga berperan pada terjadinya melasma, salah satunya hormon tiroid. Melasma tidak mengancam nyawa, meskipun demikian mampu menimbulkan dampak buruk pada kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid dan menilai perubahan mMASI pada pasien hipertiroid sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain studi intervensi (before dan after) dilakukan di Jakarta pada Agustus 2019–Februari 2020. Sebanyak 23 pasien hipertiroid baru ataupun dalam pengobatan hipertiroid dalam 3 bulan terakhir disertai dengan melasma direkrut dan diukur derajat keparahannya menggunakan mMASI dan dermoskopi. Pengukuran derajat keparahan diulang kembali setelah pasien menjalani pengobatan hipertiroid tiga bulan dan dibandingkan saat awal penelitian. Analisis statistik menggunakan software Stata versi 15.0
Hasil: Sebanyak 45 dari 69 pasien hipertiroid yang berobat ke Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik-Endokrin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mengalami melasma. Nilai rerata skor mMASI pada awal penelitian adalah 7,08 (SB 3,88). Nilai rerata skor mMASI pada akhir penelitian adalah 5,59 (SB 3,11). Nilai rerata perbedaan mMASI sebelum dan sesudah pengobatan adalah 0,49 (p>0,05). Gambaran dermoskopi tidak menunjukkan adanya perbedaan antara awal dan akhir penelitian
Kesimpulan: Proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 65,22%. Tidak terdapat penurunan mMASI pada pasien hipertiroid dengan melasma sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.

Background: Melasma is an acquired and chronic disorder of hyperpigmentation characterized by symmetrical hypermelanoses of the face. The exact pathogenesis of melasma is still unknown. Several hormones are thought to play a role, including thyroid hormone. Although melasma is not life-threatening, it affects greatly on the quality of life of patients.
Objectives: To determine proportion of melasma cases in hyperthyroid patients and to compare severity of melasma before and after medications of three months hyperthyroid therapy using mMASI score.
Methods: An experimental (before and after) study was conducted in Jakarta in August 2019–February 2020. Twenty three newly-diagnosed hyperthryoid patients or had taken hyperthyroid medications of maximum 3 months with melasma were recruited. The severity of melasma were scored with mMASI and dermoscopy of the lesions were collected. The same procedures were done after 3 months of hyperthyroid therapy. The data collected was statistically analyzed using Stata version 15.0
Results: There were 45 out of 69 hyperthyroid patients, who went to the Internal Medicine Polyclinic of the Endocrine-Metabolic Division dr. Cipto Mangunkusumo hospital had melasma. The mean difference in mMASI before and after treatment was 0.49 (p> 0.05). Dermoscopy features didn’t show any difference between the start and end of the study.
Conclusion: The proportion of melasma patients in hyperthyroid patients in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital is 65.22%. There was no significant decrease in mMASI in hyperthyroid patients with melasma after three months of hyperthyroid treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Nurjannah
"Latar Belakang : Mortalitas akibat kondisi hipertiroid sebesar 20% dan peningkatan kematian sebesar 1,13x. Mortalitas akibat penyakit pada kelenjar tiroid dihubungkan dengan kejadian kardiovaskuler, salah satunya infark miokard yang diperantarai oleh mekanisme aterosklerosis. Pemeriksaan ketebalan tunika intima-media arteri karotis (CIMT) direkomendasikan untuk menilai risiko kejadian KV. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketebalan tunika intima-media pada pasien Graves kondisi hipertiroid dengan kondisi remisi.
Metode : Penelitian ini bersifat cross-sectional dengan populasi terjangkau adalah pasien Graves yang berobat ke poliklinik metabolik endokrinologi RSCM yang dilakukan pada bulan Desember 2019 hingga April 2020. Kondisi overt hipertiroid didefinisikan dengan pasien Graves yang masih memiliki gejala toksik dengan laboratorium TSH rendah dan FT4 tinggi, belum mendapat pengobatan atau belum eutiroid dalam pengobatan minimal 3 bulan. Kondisi remisi didefinisikan dengan kondisi eutiroid setelah berhenti pengobatan selama minimal 6 bulan. Pasien kemudian diambil data dan dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi TSH, fT4, profil lipid, gula darah dan pemeriksaan EKG. Setelahnya dilakukan pemeriksaan CIMT menggunakan USG doppler dengan software yang secara otomatis mengukur CIMT sebanyak 3x pada sisi kanan dan kiri arteri karotis, kemudian diambil nilai rata rata pemeriksaan tersebut.
Hasil Penelitian : Didapatkan 32 pasien kondisi overt hipertiroid dan 17 kondisi remisi. Median tebal tunika intima-media arteri karotis (CCA-IMT) pada subjek overt hipertiroid adalah 0,473 mm dengan rentang 0,384-0,639 mm. Median CCA-IMT pada subjek remisi adalah 0,488 mm dengan rentang 0,388-629 mm. Tidak didapatkan perbedaan rerata CIMT pada kondisi hipertiroid dan kondisi remisi (p :0,109). Dalam analisis tambahan didapatkan bahwa didapatkan adanya pengaruh usia dalam ketebalan tunika intima media pada pasien graves baik kondisi overt hipertiroid dan kondisi remisi.
Background : Mortality caused by hyperthyroid estimated around 20% and increasing risk of date 1,13 times than all-caused mortalitu. Hyperthyroid associated with cardiovascular event, such as atherosclerosis mediated myocardial infarction. Carotid intima media thickness recommended to evaluate risk of cardiovascular event. Aim of this study to compare CIMT between overt hyperthyroid and remission in Graves disease.
Method : This is cross-sectional study with targeted population was Graves patient who came in metabolic endocrinology policlinic in Cipto Mangunkusumo hospital. This study being done within December 2019 until April 2020. Overt hyperthyroid was defined as clinically toxic as well as laboratorium supported for thyrotoxicosis, treatment naïve or havent reached euthyroid within 3 month of treatment. While remission defined as clinical and laboratorium euthyroid after minimal 6 month stopping anti thyroid drugs. History, physical examination, laboratorium examination (included TSH, fT4, lipid profile, fasting blood glucose) as well as electrocardiogram obtained. CIMT evaluated in right and left artery carotid with ultrasonography that automatically count for thickness intima media then calculated means after 3 times examination. Data then collected and being analysed.
Result : we collect 32 patient in overt hyperthyroid and 17 in remission state. Median CIMT in overt hyperthyroid and in remission state was 0,473 mm and 0,488 mm, consecutively, p : 0,109. Additional multivariate analysis stated aged had correlation with carotid intima media in Graves disease.
Conclusion : there are no significant differences in carotid intima media thickness between overt hyperthyroid and remission state in Graves disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Louise Kartika Indah
"Asupan serat pada penyandang DM tipe 2 maupun orang sehat di Indonesia rendah, meskipun berbagai penelitian membuktikan bahwa serat bermanfaat dalam memperbaiki profil lipid. Uji klinis acak menyilang ini bertujuan mengetahui pengaruh penambahan serat makanan terhadap profil lipid penyandang DM tipe 2 usia 20−64 tahun, dengan kadar serum kolesterol total >150 mg/dL, atau kolesterol LDL >100 mg/dL, atau kadar HDL < 45 mg/dL, atau trigliserida >150 mg/dL.
Setiap subyek penelitian menjalani dua macam perlakuan diet selama 3 minggu, dengan wash out selama 1 minggu: diet DM sesuai rekomendasi PERKENI dengan makanan selingan berserat 5,88 g/hari. Dilakukan wawancara karakteristik demografi, pengukuran tinggi dan berat badan, penilaian asupan zat gizi dengan metode food record 3 x 24 jam serta pemeriksaan profil lipid sebelum dan setelah perlakuan.
Rentang usia subyek penelitian 47-61 tahun, sebagian besar subyek adalah perempuan, dan tingkat pendidikan rendah, serta tingkat aktivitas fisik ringan, dengan status gizi obes I sebanyak 66%. Subyek dapat mengonsumsi makanan selingan berserat sebanyak 90% dari anjuran. Makanan selingan berserat dapat ditoleransi dengan baik, tanpa ada keluhan yang berarti. Sebagian besar subyek penelitian tidak dapat mengikuti anjuran diet DM nya, terutama dalam hal asupan protein, lemak, dan serat. Terlihat penurunan yang bermakna pada kadar serum kolesterol total (p=0,03) dan trigliserida (p=0,04) setelah konsumsi makanan selingan berserat.
Kesimpulan: diet DM dengan konsumsi serat sebagai makanan selingan sebesar 5,88 g/hari menurunkan kadar serum kolesterol total dan trigliserida serum dibandingkan dengan diet DM pada penyandang DM tipe 2. Penelitian lanjutan dianjurkan dengan menambah serat dalam makanan selingan.

Dietary fiber intake of type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) patients and general Indonesian population were lower than recommendation, despite proven beneficial effect of dietary fiber on serum lipid profile. This randomized cross-over clinical trial aims to investigate the effect of 5,88 g/day fiber snack supplementation for 3 weeks on serum lipid profile among 20−64 years old T2DM patients with either serum concentration cholesterol total >150 mg/dL, cholesterol LDL >100 mg/dL, cholesterol HDL <45 mg/dL, or triglyceride >150 mg/dL.
Every subject underwent two treatments for 3 weeks with 1 week wash out: 5.88 g/day dietary fiber in snack bars integrated in diabetic diet recommended by Indonesian Diabetic Association (PERKENI). Assessments of sociodemographic, body height and weight, dietary intake using food record 3x24 hours method during study period, and lipid profile before and after intervention were performed.
Subjects age ranged 47-61 years, majority was female, low educational level, sedentary physical activity, and 66% obese. Subjects managed to consume 90% of the dietary fiber snack bars, without experiencing any side effects. Majority of subjects could not follow their diabetic dietary regimen, especially consumption of protein, fat and fiber. There were significant decreases total cholesterol (p=0.03) and triglyceride (p=0.04) serum concentrations after consumption of dietary fiber in snack bars.
Conclusion : diabetic diet with 5.88 g/day fiber snack decreases total cholesterol and triglyceride serum concentrations compared to diabetic diet alone in patients with T2DM. Further study to increase the amount of fiber in snack is proposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Bima Prasetya
"Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD meningkat pada pasien dengan diabetes melitus DM tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa tubuh IMT , lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square atau Fischer's-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien 45,2 terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien 25,0 terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT PR=1,878; 95 CI= 1,296-2,721.

Background: Risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD is increased in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non Alcoholic Fatty Liver Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.
Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index BMI, waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data were analyzed in univariate and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84 patients 45,2. Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced fibrosis were found in 17 patients 25,0. Univariate analysis showed significant differences between BMI PR 1,878 95 CI 1,296 2,721 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55667
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Evyana
"Lesi psoriasis pada kulit kepala, wajah, lipatan, kelamin, telapak tangan/kaki, dan kuku sering terlambat terdiagnosis, sulit diterapi, dan menyebabkan disabilitas. Predileksi ini disebut sebagai area yang sulit diobati (hard-to-treat /HTT). Meski lesi pada area HTT umumnya kecil, namun berisiko komorbiditas. Sindrom metabolik (SM) merupakan komorbiditas utama psoriasis. Keparahan psoriasis dinilai dengan Psoriasis Area Severity Index(PASI). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara derajat keparahan psoriasis yang memiliki lesi HTT dengan kejadian SM. Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan disain potong lintang secara multicenter. Dari 84 SP, sebanyak 42 orang memiliki skor PASI<10 (derajat ringan-sedang) dan 42 orang dengan skor PASI >10 (derajat berat). Prevalensi SM ditemukan sebesar 64,3%. Pasien psoriasis HTT derajat berat berisiko 3,6 kali lebih besar untuk mengalami SM dibandingkan dengan derajat ringan-sedang (78,6% vs 50%, OR 3,667; IK 95% 1,413-9,514; p=0,006). Terdapat perbedaan kejadian hipertensi (p=0,028), penurunan kadar high density lipoprotein/HDL (p=0,01), rerata kadar gula darah puasa (p=0,018), dan trigliserida (p=0,044) antara kedua kelompok. Prevalensi SM pada psoriasis HTT derajat berat lebih besar dan secara statistik bermakna dibandingkan dengan derajat ringan-sedang. Proporsi kriteria SM dari yang terbesar secara berturutan adalah obesitas sentral, penurunan kadar HDL, hipertensi, hiperglikemia, dan hipertrigliseridemia. 

Psoriatic lesions on the scalp, face, intertriginous, genitals, palms, soles, and nails (hard-to-treat/HTT areas) are often delay diagnosed, hard to treat, and cause disability. Despite the small surface of HTT areas, it has risks of comorbidities. Metabolic syndrome (MS) is one of the main comorbidities of psoriasis. The severity of psoriasis was measured by Psoriasis Area Severity Index (PASI). This study aims to assess the association of psoriasis severity that has HTT lesions with the prevalence of SM. It is an analytic observational, multicenter study with a cross-sectional design. From 84 patients, 42 had a PASI score <10 (mild-moderate) and 42 had a PASI score >10 (severe). The prevalence of SM is 64.3%. Patients with severe HTT psoriasis were 3,6 times more likely to have SM compare to mild-moderate group (78.6% vs 50%, OR 3.667; 95% CI 1.413-9.514; p=0.006). The incidence of hypertension (p=0.028), decreased in high density lipoprotein/HDL (p=0.01), mean fasting blood sugar (p=0.018), and triglycerides levels (p=0.044) between two groups were significantly different. Severe HTT psoriasis has higher prevalence of MS and statistically significant compared to mild-moderate group. The highest proportion of SM criteria respectively are central obesity, low levels of HDL, hypertension, hyperglycemia, and hypertriglyceridemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
"

Pendahuluan. Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular dengan peningkatan low density lipoprotein sebagai mekanisme utama terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama sehingga kaitannya dengan aterosklerosis saat ini sedang banyak diteliti. Beberapa studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten.

Metode. Penelitian ini berbentuk telaah sistematis yang telah didaftarkan di PROSPERO. Penelusuran pustaka sesuai panduan PRISMA dilakukan pada tanggal 18 Juli – 02 September 2020. Setelah dilakukan penilaian risiko bias dengan Newcastle Ottawa Scale kemudian dilakukan telaah naratif pada pustaka yang didapatkan oleh dua penilai independen.

Hasil. Didapatkan 4 studi yang relevan dengan total subjek 430. Tiga studi memiliki kategori kualitas tinggi sementara satu studi dengan kualitas sedang. Hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 didapatkan pada studi oleh Guo dkk. dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041 – 1,204), p: 0,002 dan studi oleh Ma, dkk. dengan p: <0,05. Sementara dua studi lainnya melaporkan tidak ada hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2, Cheng, dkk. Melaporkan nilai β: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75) dan Xie, dkk melaporkan nilai p: 0,334 (IK 95% -18 – 10).

Simpulan. Belum ada bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 sehingga penelitian primer yang bersifat longitudinal dibutuhkan.

 


Introduction. Type 2 diabetes melitus is the leading cause of cardiovascular event with high level of low density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 is playing a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis had been investigated but the result is inconsistent. The aim of this study is to see an association of PCSK9 level with atherosclerosis in people with type 2 diabetes.

Methods. Literature searching was done in July 18 – September 02, 2020 and registered in PROSPERO. Risk of bias of each study was analyzed with Newcastle Ottawa Scale tools. The studies that involved in this study then narratively analyzed by two independent reviewers.

Results. There are 430 subjects involved from 4 studies. Guo, et al. reported that there is a significant association between PCSK9 level with atherosclerosis in type 2 diabetes melitus (OR: 1,12 (CI 95% 1.041 – 1.204), p: 0.002), those association was also reported by Ma et al. with p value <0,05. While a different result came from Xie et al. (p: 0,334 (CI 95% -18 – 10)

And Cheng, et al. (𝛽: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75).

Conclusions. There is still insufficient evidence that show the association between PCSK9 level and atherosclerosis in type 2 DM. Longitudinal primary research is needed to see the association.

Keywords: Atherosclerosis, PCKS9, Type 2 diabetes mellitus

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tersering diseluruh dunia dengan diabetes mellitus tipe 2 sebagai penyebab tersering, mekanisme yang mendasari adalah adanya peningkatan kolesterol LDL pada keadaan diabetes melitus tipe 2 sehingga menyebabkan terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama dan prediktor kuat aterosklerosis. Studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten sehingga perlu dilakukan sebuah telaah sistematis. Penelusuran literatur dilakukan melalui Pubmed, Scopus, CINAHL, Proquest, Global index mediscus, perpustakaan Universitas Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, studi tambahan didapatkan melalui penulusuran daftar pustaka pada studi yang tersaring. Telaah sistematis dilakukan oleh dua penilai secara independen pada studi observasional dengan terminologi pencarian: PCSK9, type 2 diabetes mellitus. Didapatkan 4 studi yang memenuhi kriteria. Berdasarkan penilaian risiko bias, 3 studi memiliki kualitas tinggi sementara 1 studi memiliki kualitas sedang. Dari 4 studi yang digunakan, didapatkan 1 studi dengan desain kohort dan 3 studi dengan desain potong lintang. Dilakukan telaah naratif pada ke-empat studi tersebut. Dua studi menunjukan adanya hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada DM tipe 2, dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041-1,204), p: 0,002 pada penelitian oleh Guo, dkk serta p <0,05 oleh penelitian dari Ma, dkk. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan PCSK9 dengan aterosklerosis namun pada pasien DM tipe 2 berdasarkan penilaian subanalisa tidak ditemukan hubungan. Berdasarkan telaah sistematis ini, belum didapatkan adanya bukti yang kuat untuk menggambarkan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada DM tipe 2.

Type 2 diabetes melitus is one of the leading causes of cardiovascular event with high level of low density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 is playing a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis in type 2 DM had been investigated but the result is inconsistent. The aim of this study is to see an association of PCSK9 level with atherosclerosis in Type 2 diabetes patient. Literature searching was made through Pubmed, Scopus, CINAHL, Proquest, Global index mediscus, Universitas Indonesia library and national library of Republic of Indonesia, and several national digital libraries with search terms: PCSK9 and Type 2 Diabetes Mellitus. There are 3 cross-sectional studies and 1 cohort study found through literature searching. According to risk of bias assessment that reviewed by two reviewers independently, 3 of the studies found were classified as a high quality study while 1 study was classified as a moderate study. All the studies narratively reviewed. Two studies showed that there is an association between PCSK9 and atherosclerosis in Type 2 DM with OR: 1.12 (IK 95% 1,041-1,204), p: 0,002 (Guo, et al) and p < 0,05 (Ma, et al), while two others showed that PCSK9 is associated with atherosclerosis but not in type 2 DM by subanalytic analysis. There’s still insufficient evidence that show the association between PCSK9 level and atherosclerosis in type 2 DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library