Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Metrys Ndama
"Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta kualitas kehidupan yang dilakukan sejak dini dan sangat tergantung pada kualitas kesehatan ibu hamil. Saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995). Kematian ini umumnya dapat dicegah bila komplikasi kehamilan dan keadaan resiko tinggi lainnya dapat dideteksi secara dini melalui pelayanan antenatal yang baik. Manurut Green perilaku pemanfaatan antenatal dipengaruhi oleh faktor predisposisi, pemungkin, pendukung. Dalam penelitian ini difokuskan pada faktor predisposisi yaitu karakteristik sosiodemografi dan pengetahuan ibu.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan yang dibagi 2 wilayah yaitu wilayah yang cakupan antenatalnya tinggi (Kl > 90% dan K4 > 80%) dan wilayah cakupan antenatalnya rendah (Kl <90% dan K4 <80%). Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 192 ibu hamil yang terdiri dari 94 ibu hamil di wilayah ANC tinggi dan 98 ibu hamil di wilayah ANC rendah. Cara pengambilannya simple random sampling. Pengumpulan data untuk variabel bebas: umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, dan pengetahuan ibu dilakukan dengan wawancara langsung, sedangkan untuk variabel antenatal dilakukan wawancara dan studi dokumentasi melalui KMS ibu hamil.
Hasil penelitian melaporkan proporsi ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan antenatal baik adalah 29,7% dan yang pemanfaatan antenatal kurang adalah 70,3%. Sedangkan proporsi pemanfaatan ANC berdasarkan wilayah adalah untuk wilayah ANC tinggi yang memanfaatkan antenatal baik adalah 29,6% dan untuk wilayah ANC rendah adalah 29,8%. Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p >0,05) antara pemanfaatan pelayanan antenatal dengan umur, pendidikan, paritas. Akan tetapi ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara pemanfaatan pelayanan antenatal dengan status pekerjaan dan pengetahuan ibu (baik secara umum maupun secara terpisah berdasarkan wilayah). Hasil analisis multivariat regresi logistik juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan antenatal untuk wilayah ANC tinggi adalah pengetahuan (OR 3,3161) sedangkan untuk wilayah ANC rendah adalah pekerjaan ibu (OR 21,6495).
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan pelayanan antenatal di wilayah Kabupaten Donggala masih sangat rendah baik itu secara umum maupun terpisah berdasarkan wilayah cakupan. Untuk itu perlu ditingkatkan penyuluhan-penyuluhan kepada ibu hamil dalam rangka meningkatkan pengetahuan mereka terhadap manfaat pemeriksaan kehamilan.

Analysis on Relationship between Socio-demographic Characteristics and Pregnant Mother's Knowledge with Utilization of Antenatal Care in Two Areas of Donggala District, Central Sulawesi Province 2001The objective of National Health Development is to improve the quality of human resources and to improve the quality of life. Those improvements are to be started early at life and heavily depend on the quality of pregnant and maternal health. At the present time, Maternal Mortality Rate in Indonesia is 373 per 100.000 life births (SKRT, 1995). In general, these deaths could be prevented if the maternal complication and other high risk situations could be detected early through good antenatal care. According to Green, predisposing, enabling, and reinforcing factors influence the behavior of antenatal care utilization. This study focused on predisposing factors, which is socio-demographic characteristics and mother's knowledge.
This study was conducted in working area of Donggala Health Office, which is divided into two areas, that is area with high antenatal coverage (K1 > 90% and K4 > 80%) and area with low antenatal coverage (K1 < 90% and K4 < 80%). Design of the study is non-experimental with cross-sectional approach. Subjects were 192 pregnant mothers comprised of 94 pregnant mothers in "high ANC area" and 98 pregnant mothers in "low ANC area". Subjects were chosen in a simple random sampling way. Data on independent variables (age, education, current employment, parity, marital status, and mother's knowledge) were collected by face-to-face interview, while data on antenatal variable was collected through both interview and document study on pregnant mother's KMS (health record card).
The study found that in general, the proportion of pregnant mother who utilize antenatal care well was 29.7%, while those who utilize antenatal care poorly was 70.3%. In "high ANC area", pregnant mothers who utilize antenatal care well were 29.6% and those who utilize antenatal care well in "low ANC area" were 29.8%. The Chi-square results exhibited no significant association (p > 0.05) between ANC utilization with age, education, and parity. However, significant association was found between ANC utilization with employment status and mother's knowledge (both in general or partial based on area). The logistic regression showed that the most dominating factor that influences ANC utilization in "high ANC area" is knowledge (OR = 3.3161), while in "low ANC area" it is mother's employment status (OR = 21.6495).
The study came into conclusion that the utilization of antenatal care in Donggala District was still very low in both general and partial (based on different ANC coverage). Therefore, there is need to improve extension and promotion to pregnant mothers in order to improve their knowledge on the usefulness of antenatal care.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Karmanto
"Dari laporan Rumah Sakit di kota Cirebon diperoleh data mengenai jumlah BBLR tahun 2000 sebesar 333 bayi dari 3388 bayi yang lahir hidup (11,55 %). Data tersebut memang belum menggambarkan keadaan BBLR di kota Cirebon yang sesungguhnya oleh karena data yang ada dan terkumpul hanya berasal dari rumah sakit saja, belum mencakup semua Puskesmas di kota Cirebon. Sedangkan dan pola kematian bayi umur 0 - 28 hari yang rawat inap di rumah sakit kota Cirebon tahun 2000 menunjukkan bahwa BBLR merupakan penyebab kematian nomor 3 dari penyebab kematian bayi umur 0 - 28 hari yang rawat inap di rumah sakit kota Cirebon.
Kegiatan pelayanan antenatal tingkat kota Cirebon dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan karena masih di bawah target angka cakupan pelayanan antenatal nasional dan selisih antara K1 dan K4 masih besar yaitu diatas 10%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas pemanfaatan pelayanan antenatal dengan kejadian BBLR di kota Cirebon dengan mengendalikan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Rancangan penelitian ini adalah kasus kontrol tidak. berpadanan. Responden pada penelitian ini berjumlah 250 orang yang terdiri dari 125 orang ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR (kasus) dan 125 orang ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan normal (kontrol) selama periode .fanuari 2001 ski Juni 2002. Data diolah dengan analisis statistik univariat, bivariat dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik.
Penelitian menunjukkan bahwa kejadian BBLR pada ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan antenatal dengan kualitas rendah mempunyai peluang 2,92 (1,40 - 6,06) kali lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan antenatal dengan kualitas baik setelah dikontrol variabel jarak kelahiran.
Perlu diadakan kunjungan rumah terutama pada kelompok ibu hamil yang mempunyai riwayat pemanfaatan pelayanan antenatal yang jelek dan jarak kelahiran yang kurang dari 24 bulan untuk memotivasi agar pada kehamilan berikutnya mau memanfaatkan pelayanan antenatal dengan baik, demikian juga dalam perencanaan maupun kebijakan Dinas Kesehatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pemanfaatan pelayanan antenatal sebaiknya mengalokasikan anggaran Puskesmas lebih memprioritaskan pada ibu hamil yang mempunyai riwayat pemanfaatan pelayanan antenatal yang jelek dan jarak kelahiran yang kurang dari 24 bulan.
Selain itu perlu juga diadakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan kualitas pemanfaatan pelayanan antenatal dan kejadian BBLR dengan menggunakan rancangan penelitian kohort prospektif.

The Relationship between the Quality of Antenatal Care Utilization and the Prevalence of Low Birth Weight at Health Centers in Cirebon City, 2001-2002Based on hospital reports in Cirebon City, the number of Low Birth Weight (LBW) in the year 2000 is. 333 out of 3,388 live birth infants (11.55%). The data could not describe the real situation of Low Birth Weight in Cirebon City, since the data is only collected from hospitals, not from the entire Health Centers in Cirebon City. Based on the hospital data in Cirebon City in the year 2000, Low Birth Weight was the third highest caused of inpatient neonatal (infant's age 0-28 days) death.
Data between 1999 - 2001 showed that Antenatal Care (ANC) in Cirebon City was not satisfactory. The percentage was still below the national target of ANC and the gap between K1 and K4 was still high (more than 10%), The objective of this study is determine the relationship between the quality of Antenatal Care utilization and the prevalence of Low Birth Weight at Health Centers in Cirebon City by controlling its confounding factors.
The design of this study is non-matching case control with. The number of respondents in this study was 250 that consisted of 125 mothers who gave birth with LBW as a case group birth and 125 mothers who gave birth normal weight infant during the period of January 2001 - June 2002. Bivariate and univariate analysis was conducted as well as multivariate analysis by using logistic regression analysis.
The result of this study showed that mothers who utilized bad (low) quality of ANC had the tendency to have LBW 2.92 times higher (L40-6.06) compared to mothers who utilized good (high) quality ANC, controlled by distance of birth variable.
The study recommended to provide neonatal visit especially to mothers with bad quality of ANC history and the distance of birth less than 24 months. The activities aimed to motivate mothers to conduct good ANC in the next pregnancy. It is also suggested that in term of the improvement of quality of ANC utilization, the Local Health Service plan and policy will allocate health services budget, and should give priority to those mothers who is having bad ANC.
In addition, it is also needed to conduct a further study related to quality of ANC utilization and prevalence of LBW by using cohort perspective design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 11662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmaniar Brahim
"ABSTRAK
Penyalahguna alkohol sering menimbulkan masalah berupa perkelahian, perampokan dan perbuatan lain yang merugikan dirinya dan orang lain, yang pada akhirnya mereka dapat menjadi pemuda putus sekolah, dan dapat berakibat menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.
Alkohol merupakan minuman legal yang dapat dibeli dimana saja tanpa ada pembatasan umur pembeli maupun jumlah minuman yang dapat dibeli, karena itu penting sekali diteliti tentang faktor - faktor yang berhubungan penyalahgunaan alkohol pada pemuda.
Faktor yang diteliti meliputi faktor karakteristik individu yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan, umur pertama kali minum alkohol, faktor lingkungan keluarga yaitu komunikasi keluarga dan kerukunan keluarga dan faktor lingkungan di luar keluarga yaitu adanya pergaulan dengan teman sebaya penyalahguna alkohol.
Metode yang digunakan adalah dengan cara kasus kontrol, dengan ?daerah penelitian" Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli 1997.
Penelitian dilakukan pada laki-laki umur 15 - 25 tahun yang diambil dari pasien penyalahguna alkohol di Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Jakarta, yang berjumlah 165 responden sebagai kasus dan kontrol yang berjumlah 165 responden adalah saudara kandungnya yang tinggal serumah dan bukan penyalahguna alkohol dengan beda umur dua - tiga tahun lebih muda atau lebih tua.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang dilakukan dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah.
Faktor resiko yang ditemukan pada penelitian ini adalah faktor pergaulan dengan penyalahguna alkohol dan pendapatan dan keeratan hubungannya didapat odds ratio sebesar 186 artinya resiko terjadinya penyalahguna alkohol adalah 186 kali bila pemuda bergaul dengan penyalahguna alkohol dibanding dengan pemuda yang tidak bergaul dengan penyalahguna alkohol setelah dikontrol dengan pendapatannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan pada penelitian selanjutnya sebaiknya tidak digunakan saudara kandung sebagai kontrol agar faktor kerukunan keluarga yang buruk, komunikasi keluarga yang buruk dan ditambahkan faktor tidak taat beragama dapat terbukti sebagai faktor resiko terjadinya penyalahguna alkohol.
Daftar Pustaka 44 : (1966 -1997)

ABSTRACT
Some Factors Related to Alcohol Abuse Amongst Youngsters in Jakarta, Bogor, Tangerang and BekasiBy Abusing alcohol often, it can rise the problem amongst them self, such as fighting, robbery and anything than can do harm to others, eventually for those who become the abuser (especially the youngsters) leave their schools and they feel hopeless about their future (pessimist) which then, it becomes their family and country's responsibility to solve it.
In other side, alcohol can be easily consume in many shops without any specific regulation to give allowance to certain people, the aim of this study is necessary to develop some study about factors that related to alcohol abuse among the youngsters.
Some of those factors that had been examined include the factor of individual characteristics, ie. Education, employment, income, at what age they started drink, environment within the family and their neighbourhood, is there any friendship with peer group based on this interest (alcohol abuse) among them.
The method used in here was case control study, within area in Jakarta, Bogor, Tangerang and Bekasi which had been conducted in June and July 1997.
Observation had been conducted to men with the age vary between 15 - 25 years old, taken from Rumah Sakit Ketergantungan Obat (alcohol abuse patients) about 165 patients. As the control, were 1 65 relatives of those patients who lives in the same place and non-alcohol abuser. They had different age 2-3 years older I younger than the alcohol abuser.
Instruments used was the questionnaires conducted by visiting their homes.
From the examination, the impact from social relationship with the alcohol abuse and income is very closely related, where the result indicates that odds ratio is 186 after ajusted with income, means the risk / impact for the person who has relationship with the alcohol abuser will have a chance 186 times than the person who has not.
Based on the examination, it's suggested for the following examination I study would be much better not to use the same sample (relatives as a case control), in order to find more factors such as "inharmony relationship" in the family, or poor communication between members of the family and unreligious belief as risk factors for alcohol abuse.
Bibliography : 44 (1966 -1997 )
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Anwar Musadad
"Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, terutama di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Sejak 1968, DBD cenderung meningkat baik daerah yang terjangkit maupun insidensnya, sejalan dengan meningkatnya arus transportasi dan kepadatan penduduk.
DKI Jakarta merupakan daerah yang mempunyai insidens DBD tertinggi di Indonesia. Sedangkan wilayah Kotamadya Jakarta Timur termasuk wilayah yang rawan penyakit DBD, dimana menurut data tahun 1993 dan 1994 wilayah Jakarta Timur merupakan wilayah yang jumlah kasus DBD-nya tertinggi di DKI Jakarta. Hasil analisis data sekunder selama 5 tahun terakhir menunjukkan angka insidens kasar DBD berkisar antara 29,3-73,0 per 100.000 penduduk dengan tingkat kematian antara 0,29%-1,90%. Walaupun demikian angka insidens DBD di wilayah Jakarta Timur bervariasi, di beberapa wilayah (kelurahan) diketahui angka insidensnya rendah dan di sebagian kelurahan lainnya angka insidens DBD-nya tetap tinggi walaupun sudah dilakukan berbagai upaya pemberantasan.
Belum diketahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan insidens DBD di tingkat kelurahan. Untuk itu dirasakan perlu dilakukan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan insidens DBD di tingkat kelurahan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum, angka bebas jentik, dan program pemberantasan DBD dengan insidens DBD di tingkat kelurahan.
Penelitian kroseksional ini dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Sebagai unit analisis adalah wilayah kelurahan, yang jumlah seluruhnya 65 kelurahan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan lingkungan dan wawancara terhadap lurah, kepala puskesmas, dan masyarakat. Khusus untuk pengambilan angka bebas jentik dilakukan pengamatan ke rumah-rumah, masing-masing 100 rumah di setiap kelurahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka insidens rata-rata kelurahan adalah 37 per 100.000 penduduk dan angka bebas jentik 89%. Diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum dan angka bebas jentik dengan angka insiden DBD, serta faktor penyuluhan DBD dan peran serta masyarakat dalam PSN berhubungan dengan angka bebas jentik. Secara bersama-sama, faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum, dan angka bebas jentik dapat menerangkan 24,2% terhadap variasi perubahan angka insidens DBD di tingkat kelurahan.
Penelitian ini menyarankan agar dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit DBD memperhatikan aspek kepadatan penduduk dan keberadaan fasilitas umum sebagai salah satu aspek dalam mewaspadai terjadinya wabah DBD, disarnping peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan program.

The Factors which are Related with the Incidence of Dengue Haemorrhagic Fever at the Village Level of East JakartaThe Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still a serious health problem, especially in large cities such as Jakarta. Since 1968, DHF tends to increase in both the epidemic area and in the incidence area, in line with the increase in transportation and population density.
Jakarta is belongs the highest DHF incidence in Indonesia, While East Jakarta municipality included the region which is susceptible to the DHF case in Jakarta. The results of secondary data analysis for the fast 5 years indicate that the rough DHF incidence rate range from 29.3 to 73.0 per 100,000 population with the CFR of 0.29% to 1.90%. However, the DI-1F incidence rate in East Jakarta varied, in the some villages the incidence rate is low and in some other the DHF incidence rate remain high even though various eradication efforts have been done.
The factors which are related with the DHF incidence are not known at the village level. Therefore, a further research is needed regarding the factors which are related with the DHF incidence rate at the village level.
The purpose of the research is to study the relationship of factors such as population density, avilability of public places, A. aegypti index, and the DHF eradication program with DHF incidence at the village level.
The cross sectional study is done in East Jakarta municipality. The unit of analysis are the villages, the number of which is 65. The data collection was done by observation of the environment and interviews were conducted with the head of villages, head of health centers, and community. Especially for the A. aegypti index it was done by observation to people's houses, 100 houses in each village.
The results of the study indicate that the average incidence rate of the village is 37 per 100,000 population and the A. aegypti larval free rate (1-house index) is 89%. The findings indicate that there is a significant relationship between population density factor, the availability of public places and A. aegypti index with the incidence of the DHF, and health education factor and the community participation in the reduction of breeding containers related with A. aegypti index. Collectively, the population density factor, the availability of the public places, and the A. aegypti index are able to explain 24.2% of the variation of the DHF incidence rate of the village level.
The research suggest that the implementation of the DHF eradication program should consider the population density and the availability of the public places as one aspect of prevention of the epidemie of DHF, in addition to increase the coverage and quality of the program services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Tri Yulia Herawati
"The cases of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia tends to increase and widespread around. Those conditions has tight relation to the high mobility of the populations parallel to the betterment of transportations, and the wide-spread of virus and the mosquitoes vector. To lower and depress the incidence rate of DHF, so many efforts done through the involvement of the health centers, sub centers, first and second level of health services, central government, and intersectoral collaboration. All of the activities should be supported by the sufficient Health Information Systems (HIS), especially reporting, while the report should fulfill the quality of report conditions.
The quality of report in Kotif Depok is not so good. This study tend to know the relations of knowledge, attitude, and practice of health personnel to the quality of report of the DHF which held in Kotif Depok for the year of 1993, by developing cross-sectional design and statistically analyzed with the Spearman's rank statistic.
From the study we could infer that there's relations between knowledge and quality of report of the personnels with rs =0.8667 and p=0.005; attitude and quality of report with rs =0.70Q0 and p=0.005; and work-load and practice to make DHF report, with rs =0.8156 and O.Ol
We suggested that there's need (badly needed) to improve the knowledge of the health centers personnels in the reporting of DHF through the regular training, and improved the attitude of the personnel by kin supervision and motivation, and the job descriptions.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia cenderung menyebar dan meningkat jumlah penderitanya. Keadaan ini, erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi, dan tersebar luasnya virus dengue serta nyamuk penularnya diberbagai wilayah. Untuk menurunkan insidens DBD berbagai upaya telah dilakukan dengan melibatkan Puskesmas, Puskesmas pembantu, Dinas Kesehatan daerah tingkat I dan daerah tingkat II, pusat, instansi lain yang terkait serta peran serta masyarakat. Semua kegiatan ini harus ditunjang oleh sistem informasi kesehatan yaitu mengenai pelaporan, dimana laporan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kualitas laporan.
Kualitas laporan di wilayah Kotip Depok masih kurang baik. Pada penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktek petugas pelaporan, dengan kualitas laporan penyakit DBD yang dilakukan di wilayah Kotip Depok tahun 1993 dengan menggunakan rancangan cross sectional serta analisis statistiknya menggunakan koefisien korelasi rank Spearman.
Dari hasil penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara pengetahuan petugas dengan kualitas laporan penyakit DBD (r5 = 0.8667, p = 0.005); ada hubungan antara sikap petu gas dengan kualitas laporan penyakit DBD (r5 = 0.7000, p = 0.05) serta ada hubungan antara beban kerja petugas dengan praktek dalam pelaporan penyakit DBD (rs = 0.8156, p = 0.02 - 0.01). Kesimpulan : Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap petugas dengan kualitas laporan penyakit DBD serta ada hubungan yang bermakna antara beban kerja petugas dengan praktek dalam pelaporan penyakit DBD.
Saran : Perlu adanya peningkatan pengetahuan petugas Puskesmas dalam hal pelaporan penyakit DBD melalui pelatihan dan perlu peningkatan sikap petugas melalui supervisi dan motivasi serta ada pembagian kerja yang merata pada petugas Puskesmas."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novemi
"Angka kematian ibu (AKD di Indonesia masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yaitu sebesar 3901100000 kelahiran hidup (SDKL,1994). Hasil Assesment Safe Matherhood di Indonesia menyebutkan bahwa yang mempengamhi AKI antara lain kualitas pelayanan antenatal masih rendah. Upaya untuk menurunkan AKI sampai ke tingkat paling rendah telah dilakukan dengan penempatan bidan di desa, tujuannya lebih menel-cankan pada pelayanan kesehatan dasar dan meningkatkan cakupan program kesehatan ibu dan anak, antara lain pelayanan antenatal yang indikator pemantauannya adalah K1 dan K4. Cakupan pelayauan antenatal di Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah mulai meningkat, narnun bila dilihat pada Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Barat, merupakan urutan keclua terendah dari 11 Kabupaten yang ada, yaitu K1 77.04% dan K4 66.68 % bila dibandingkan dengan target Nasional K1 90 % dan K4 85%. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk memperoleh informasi tentang gambaran pencapaian cakupan K4 oleh bidan di desa yang dilihat dari faktor internal dan faktor ekstemal bidan di desa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional, pengumpulan data dilakukan di Kabupaten Aceh Barat dengan jumlah sampel 123 responden dari 26 Puskesmas, yang dilaksanalcan mulai tanggal 5 - 28 Februari 2001 dengan cara Systimatic Random Sampling.
Untuk mengetahui distribusi frekwensi dilakukan analisis_univariat, proporsi pencapaian cakupan K4 yang baik 17.9 % dan perkiraan di popdlasi dengan CI 95% adalah antara 11.9 sampai 23.9. Untuk mengetahui hubungan antara variabel dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan P = 0.05. Hasil menunjukkan ada hubungan bem1ak:na antara lain sikap, pelatihan, sarana dengan penoapaian cakupan K4 dengan masing-masing nilai P = 0033, P = 0.01, P = 0.O13. Kemudian dilal-cukan analisis multivariat dengan uji Regresi Logistik, yang masuk dalam model lcandidat yang nilai P = < 0.25 yaitu pengetahuan, sikap, pelatihan, sarana, prasarana, tempat tugas, dau dukungan masyaralcat. Hasil akhir uji Regresi Logistik didapat 3 variabel yang masuk dalam model yaitu sikap pelatihan, sarana, kemudian dilakukan uji intraksi dan akhimya ketiga variabel ini tidak masuk dalam model (P>0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan perkiraan kemungldnan pencapaian cakupan K4 oleh bidan di desa berkisar antara 50 % sampai 99 %.
Memperhatikan hasil penelitian yang diperoleh, penulis menyarankan agar dapat membuat reuoana perbaikan dan peningkatan cakupan K4 melalui upaya- upaya khusus terhadap bidan di desa.

The Martenal Mortality Rate (MMR) in Indonesia is relatively still high compare to other ASEAN countries that is 3901100000 life births (SDKI, 1994). The result of Assesment Safe Motherhood in Indonesia mentioned thad one factor which affects MMR is the poor quality of antenatal care. Efforts to decrease MMR up to the lowest level have been done such as by providing the midwives in the villages. The aim was emphasized on the basic health care and increasing the coverage of mothers and children health program such as antenatal care with K1 and K4 as the controlling indicator. Antenatal care coverage in D.I Aceh Province has been increased recently, but if we see from the case in Aceh Barat District which is the second lowest from 11 Districts that are K1 77.04 % and_K4 % 66.68 % from the national target of 90 % and K4 85 %. Due to the fact in the field the researcher is interested in gaining information about the description of K4 coverage by the midwifes in the villages from the internal and external factors point of view. This research is a descriptive research with Cross Sectional approach. Data survey was done in Aceh Barat District to 123 sample from 26 Public Health Centre. This was done from 5 up to 28 February 2001 by Systimatic Random Sampling Method.
Univariat analysis was done in order to End out the frequency distribution with coverage of the best K4 17.9 %, in population estimated for a 95 % confined interval is between 11.9 % up to 23.9 %. Bivariat analysis figure out the relationship among the variables by the Chi Square test with P = 0.05. The outcome shows a significant relationship between attitude, training and fasility in one side and the achievement of K4 coverage in the other side with each of their P = 0.033, P = 0.013 and P = 0.0l3. After those multivariat analysis and logistic regression were done with the result that knowledge, attitude, training, facility, infrastructure, workplace, and public support have P < 0.25, so they can be considered as candidate model. Final result of logistic regression test indicates that 3 variables (attitude, training and facility) considered as model, alter that interaction test shows that cannot be considered as model (P > 0.05). Result of the research indicates that Estimated Probabilities coverage of K4 by the midwife village about 50 % up to 99 %.
Based on this result, researcher suggests that institution in charge of this matter in Aceh Barat District shall make planning to increase the coverage of K4 through the breakthrough and special effort for the midwife village.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Damayanti
"Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya rata-rata umur menarche dan hubungan antara faktor sosial ekonomi, tempat tinggal, IMT, dan rangsangan psikis dengan umur menarche. Disain penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional dengan jumlah sampel 401 orang, Populasi dan sampel penelitian ini adalah mahasiswi baru Ul, perempuan, berumur 16-20 tahun yang masuk ke UI melalui jalur UMPTN/ PMDK.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur menarche mahasiswi baru UI adalah 12,25 + 0,12 tahun dan median umur menarche adalah 12 tahun. Umur menarche termuda 9 tahun dan tertua 16 tahun. 26,7% responden mengalami menarche sebelum berumur 12 tahun dan 73,3% responden mengalami menarche pada umur 12 tahun atau lebih. Jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan umur menarche (p=0,021 a=0,05). Sedangkan variabel sosial ekonomi lainnya yakni tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan umur menarche. Variabel tempat tinggal, IMT dan rangsangan psikis sebelum menarche juga tidak berhubungan dengan umur menarche.
Dalam penelitian ini diperoleh juga rata-rata umur menarche ibu dari 57 responden. Rata-rata umur menarche ibu dan anaknya berbeda 2 tahun (14,6 + 0,52 tahun dan 12,6 + 0,35 tahun). Umur menarche termuda ibu sama dengan anak, yakni 10 tahun, namun umur menarche tertua ibu (19 tahun) Iebih tua 3 tahun daripada umur menarche anak (16 tahun). Sayangnya, tidak terbukti adanya hubungan antara umur menarche ibu dengan umur menarche anak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka untuk penelitian yang akan datang disarankan untuk menggunakan disain penelitian yang lebih baik dan mengadakan penelitian yang menganalisis umur menarche di Indonesia menurut waktu sehingga dapat membuktikan ada/ tidaknya secular trend terhadap umur menarche di Indonesia, Dengan adanya percepatan umur menarche, diharapkan dapat dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi pada umur yang Iebih muda, yaitu pada usia sekolah SD dan SMP untuk mengantisipasi masalah kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan umur menarche.

The objectives of this research are to know the rate of menarcheal age and the relationship among social-economic factors, residence, 1MT, psicological stimulus and menarcheal age. The design of research is cross sectional study with 401 people for samples. Population and samples are new students of UI, female, 16-20 year old, which came to UI by UMPTN/ PMDK.
This research shows that rate of menarcheal age of samples is 12,25 + 0,12 year and median of menarcheal age is 12 years. The youngest age is 9 year old and the oldest is 16 year old. 26,7% respondent got menarche before 12 year and 73,3% among them got menarche in 12 year old or more. Family members had a significant relationship with menarcheal age (p=0,021, a=0,05). But, others social-economic factors such as parent's education parent's occupation, and parent's income had not a significant relationship with menarcheal age.
This research also got menarcheal age of mothers from 57 respondents. The rate of menarchel age of mother is older than her daughter (mother = 14 + 0,52 year and daughter = 12,6 + 0,35 year). The youngest age of mother is similar to the age of daughter but the oldest age of mother is 19 year, older 3 years than daughter. Unfortunately, we have no evidence about relatioship between mother and daughter menarcheal age.
Base on the result of the study, for next research was suggested to use a better research design and to analyzed menarcheal age by time in Indonesia so we can proof the secular trend of menarcheal age in Indonesia. By menarcheal age accelaration, we espect to have a reproduction health education in younger female, such as female in elementary and junior high school to anticipate the reproduction health problem that related to menarcheal age.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T1465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandipinta
"Keberhasilan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) tidak hanya tergantung pada mutu pelayanan, tetapi juga tergantung pada faktor manusianya terutama perilaku pencegahan dan perilaku pencarian pengobatan. Salah satu faktor yang panting diperhatikan adalah perilaku pencarian pengobatan, karena kegiatan penanggulangan PMS terutama adalah penemuan penderita secara dini dan segera diobati. Hal ini disebabkan karena PMS dapat bersifat merusak kesehatan dan dapat berakibat fatal serta komplikasi. Selain itu PMS mempermudah penularan virus HIV dari seorang ke orang lain. Sebaliknya infeksi HIV menyebabkan seseorang lebih mudah` terserang PMS dan lebih sukar diobati.
Dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa banyak penderita PMS yang tidak mencari pengobatan sehingga meinungkinkan terjadinya penularan kepada orang lain atau kepada pasangan mereka. Selain itu penderita yang tidak berobat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus HIV. Penderita PMS yang mencari pengobatan sendiri memungkinkan terjadinya resistensi penyakit tersebut terhadap obat antibiotik yang digunakan secara tidak teratur, atau obat yang digunakan hanya antiseptik dan jamu diragukan kesembuhannya.
Tujuan penelitian untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pada penderita PMS di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan jenis desain potong lintang (cross sectional), dengan sampel adalah sebagian dari pria/klien yang menderita penyakit menular seksual dalam 1 (sate) tahun. terakhir yang berkunjung ke lokalisasi/tempat prostitusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu.
Dari basil penelitian diperoleh bahwa dari 384 responden yang pernah mengalami PMS dalam 1 (satu) tabu' terakhir sewaktu dilaksanakan penelitian, sebanyak 22 responden (5,7%) tidak mencari pengobatan dan 362 responden (94,3%) mencari pengobatan. Dari 362 responden tersebut pengobatan pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan pengobatan sendiri 121 responden (33,4%) dan yang ke pelayanan kesehatan 241 responden (66,6%).
Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang tidak mencari pengobatan dan yang mencari pengobatan adalah variabel persepsi sakit (OR 14,40; 95%CI 3,77-55,01) dan biaya pengobatan (OR 19,71; 95% CI 6,17-62,95). Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang mengobati sendiri dan yang ke pelayananan kesehatan adalah variabel-variabel status perkawinan (OR 2,27; 95 CI 1,11-4,64), persepsi sakit (OR 6,24; 95% CI 3,30 - 11,79), dan anjuran berobat (OR 2,11 ; 95% CI 1,30 -3,41).
Disarankan untuk meningkatkan pengetahuan penderita PMS dengan memberikan penyuluhan, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahwa pengobatan dengan antiseptik dan jamu bukanlah obat yang tepat untuk pengobatan PMS. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan tentang bahaya PMS dan upaya-upaya pencegahan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko penularan PMS. Melalui upaya pencegahan seperti menggunakan kondom, diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan.

Related Factors to Health Seeking Behavior on Sexual Transmitted Disease Clients That Visited to Prostitution Area in Indramayu District in Year 2000The successful prevention of sexual transmitted disease (STD) does not only depend on quality of services but also depends an human factors in particular health seeking behavior and prevention. One of the most important factors is health seeking behavior, because the most important STD prevention activity is to find patients and to cure them immediately. This is because STD could damage person health and could be fatal and complicated. Beside that, STD facilitate HIV including complication and fatal outcome. In contrary, HIV infection easily contracted to infected STD but difficult to cure.
Several surveys, show that many STD patients do not seek for treatment, and will infect to other person including their spouses. Beside that, untreated STD patients will increase the number of HIV cases. Patients who is seek self treatment will cause resistance STD drugs due to irregular intake. The patients only use antiseptic drugs and traditional medicine of which the efficacy is questionable.
The objective of this research is to analysis related factors to health seeking behavior in STD patients in Indramayu District. This research is based on cross sectional design method of patients with sexual transmitted disease that visited existing prostitution area in Indramayu District during one year.
In the study was found that 384 respondents has suffered from STD during the year 362 respondents (94.3%) did seek treatment and 22 did not (5.7%). 121 respondents (33.4%) preferred self-treatment initially and, 241 respondents (66.6%) went to health facilities.
Factors that significantly influence health seeking behavior (treatment or non treatment) are disease perception variable (OR 14.40; 95%CI 3.77-55.01) and treatment cost (OR 19.81; 95%CI 6.17-62.95). Related factors influencing the choice between and seeking treatment at health facilities are marital status variables (OR 2.27; 95%CI 1.11-4.64), disease perception (OR 6.24; 95%CI 3.30-11.79), and advice by others to take treatment (OR 2.11; 95%CI 1.30-3.41).
In conclusion, it is recommended to increase knowledge to STD patients by giving health education in particular to increase their understanding that antiseptic treatment and traditional medicine is not an appropriate method for STD treatment. Beside that it is necessary to increase knowledge on dangers of STD and intensify efforts to decrease the risk of STD infection (by condom use). These efforts will lower treatment costs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rozali Namursa
"ABSTRAK
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Para) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kunci utama dalam pemberantasan penyakit ini adalah keteraturan berobat penderita. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita TB Paru.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli tahun 2000. Disain penelitian adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah penderita yang mulai berobat di BP4 kota Palembang selama bulan Januari - Desember 2000 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru. Sample diambil secara purposif berjumlah 221 orang, merupakan seluruh penderita yang berobat di BP4 kola Palembang pada bulan Januari - Desember 1999 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru.
Dari 221 responden dalam penelitian, 35% diantarannya tidak teratur minum obat. Hasil analisis bivariat terhadap 14 variabel bebas dengan variabel terikat, menghasilkan 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat, yaitu : sikap pengobat Odds Rasio = 1,987 (95% CI 1.112 - 3.549), jarak ke tempat pengobatan Odds Rasio = 2,171 (95% CI 1.173 - 4.017), persepsi tentang TB Paru Odds Rasio = 3,125 (95% CI 1.138 -- 8.581), manfaat berobat teratur Odds Rasio = 3,648 (95% CI 1.870 - 7.115) dan biaya pengobatan Odds Rasio = 2,754 (95% CI 1.542 - 4.919).
Hasil analisis multivariate dengan menggunakan regresi logistik metode Backward Stepwise dari 5 variabel bebas yang berhubungan bermakna pada analisis bivariat, ternyata hanya 2 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat,yaitu" biaya pengobatan Odds Rasio 2,2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) dan manfaat berobat teratur Odds Rasio = 2,9716 (95% CI 1.4900 - 5.9267).
Disarankan perlu penyuluhan tentang manfaat berobat teratur bagi penderita TB Paru dan penelitian lebih lanjut mengenai pembiayaan pengobatan TB Paru.
Daftar Pustaka 44 : (1974 - 2000).
abstract
Pulmonary Tuberculosis has been a serious public health problem among people in the developing countries as well as Indonesia. The primary key to eliminating this disease is the regularity of taking medicine (compliance).
This research aimed to discover the factors related to the regularity of taking medicine among Pulmonary Tuberculosis patients who were undergoing treatment at Lung Clinic or BP4 Palembang from January through December 1999. The research was done in June and July 2000 with cross sectional method. The population was all patients under treatment of Pulmonary Tuberculosis in January through December 2000. The sample was taken purposively as many as 221 people.
Multivariate analysis shows that patients (33.5%) are irregularity taking medicine. Bivariate analysis towards 14 independent variables with dependent variables indicates 5 variables which have significantly relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, that is : the attitude of provider Odds ratio = 1.987 (95% CI 1.112 - 3.549), the distance to the medical facility Odds ratio = 2.171 (95% CI 1.173 - 4.017), the perception about Pulmonary Tuberculosis Odds ratio = 3.125 (95% CI 1.138 - 8.581), the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio = 3.648 (95% CI 1.870 - 7.115) and medical cost Odds ratio = 2.754 (95% CI 1.542 - 4.919).
The multivariate analysis, using logistic regression of Backward Stepwise method, towards 5 independent variables having significant relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, both are the medical treatment cost Odds ratio = 2.2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) and the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio .- 2.9716 (95% CI 1.4900 -5.9267).
The conclusion is that the factor of the regularity of taking medicine among patients of Pulmonary Tuberculosis is strongly influenced by the factor of the effectiveness of the regularity of taking medicine.
It is necessary to recommend more information about the effectiveness of the regularity of taking medicine to the patients of Pulmonary Tuberculosis as well as further research action, to get more knowledge about how strong the influence of medical cost is.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>