Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tugiyo
Abstrak :
Pengaruh pemaparan pestisida terhadap pemakai pestisida dapat diketahui secara dini dengan cara mengukur aktivitas kolinesterase darah pemakai pestisida tersebut. Penurunan aktivitas kolinesterase darah seseorang berkurang karena adanya pestisida dalam darah yang membentuk senyawa kolinesterase fosfor sehingga enzim tersebut tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan aktivitasnya akan berkurang. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut (1998-1999) diperoleh data sebagai berikut : tahun 1998, dan 1213 orang yang diperiksa, 100 orang (8,2%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal dan pada tahun 1999, dari 1001 orang yang diperiksa, 57 orang (5,7%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal. Masalah yang diteliti dibatasi hanya pada faktor-faktor penyebab terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja penyemprot di perusahaan pengendalian hama di wilayah DK Jakarta. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya hubungan antara penggunaan alat pelindung diri secara baik dan benar, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi (Body Mass Index = BMI) pekerja dengan risiko terjadinya keracunan pestisida, seta mengetahui faktor manakah yang paling dominan terhadap terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Penelitian menggunakan metode Cross sectional study, analisis data menggunakan Chi-Square dan Regresi Logistik. Penelitian dilakukan di 18 perusahaan pengendalian hama dengan 44 orang responden (penyemprot). Data diperoleh melalui wawancara, peninjauan lapangan, dan penelusuran data hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase darah pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi dengan terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Artinya bahwa tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri tidak lengkap mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar dibanding dengan tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri secara lengkap; tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja (terpapar) lebih dari 5 jam mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dan 5 jam; tenaga keja yang mempunyai status gizi (BMI) kurang dan 21 mempunyai risiko keracunan lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai status gizi (BMI) lebih dari 21. Faktor paling dominan di antara ketiga penyebab keracunan pestisida pada penyemprot adalah penggunaan alat pelindung diri, artinya penggunaan alat pelindung diri secara lengkap dapat melindungi tenaga penyemprot terhadap keracunan pestisida. Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pestisida karena menggunakan alat pelindung diri (APD) tidak lengkap (70,8%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang menggunakan APD secara lengkap (20,0%), dengan odds rasio 9,71; (2) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pesitisida karena jam kerja lebih dari 5 jam per hari (73,3%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dari 5 jam per hari (34,5%), dengan odds rasio 5,22; (3) Tenagapenyemprot dengan BMI kurang dari 21 mengalami keracunan pestisida (66,7%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai BMI kurang dari 21 (34,6%), dengan odds rasio 3,36. Saran yang diajukan : (1) Perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan kepada para tenaga penyemprot, khususnya mengenai penggunaan alat pelindung diri, baik oleh pihak perusahaan pengendalian hama maupun Dinas Kesehatan DKI Jakarta; (2) Bagi perusahaan pengendalian hama yang mempekerjakan tenaga penyemprotnya lebih dari 5 jam per hari, disarankan agar mematuhi peraturan jam kerja yang berlaku; (3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas kolinesterase untuk penetapan standar keracunan pestisida dalam suatu peraturan perundang-undangan. SUMMARY Program of Study in Environmental Science Postgraduate Program University of Indonesia Thesis, August 2003 xv + 52; Illustration: 1 picture, 8 tables, and 8 appendices.
Pesticide Intoxication of Workers Employed in the Pest Control Companies in JakartaPesticide intoxication of workers can be identified by measuring of the blood cholinesterase activity. Blood cholinesterase activity of workers as an indicator of the indicator showed in this study. The results of cholinesterase examined by the Jakarta Health Laboratory on the two consecutive years shown as: in 1998, 100 were out of 1213 workers (8,2%) showed the results of blood cholinesterase value were lower than normal (value 2,3-7,4). In 1999, 57 workers (5,7%) out of 1001, showed the results were lower than normal. This study was carried out to identify the relationship between those with protective clothing, duration of exposure and nutritional status of workers employed in the 18 pest control companies. Using a cross section study method and chi-square, logistic regression analysis with selected sample of 44 workers and questionnaire admitted from the field. The results showed that there is a significant relationship between those whose use protective devices (such as clothing, mask, glove, safety shoes), duration of exposure, nutritional of status with who are not used. Its mean workers who are not used those mentioned above will have more risk. Workers, who work more than 5 hours per day and those who have body mass index of 21 scales, will have high risk. The most dominant factor causing intoxication of this study was the use of protective devices. The conclusion is : (1) The workers who have of workers pesticide intoxication and not using completely protective devices is (70,8%), more than on those who used it (20,0%); (2) Workers who have more than 5 hours every day duration of exposure is (73,3%); (3) Nutritional of status less than 21 scale of Body Mass Index with intoxication of (66,7%).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Dewanto
Abstrak :
ABSTRAK Agroekosistem adalah suatu lingkungan binaan dan menjadi bagian dari ekosistem alam yang didominasi oleh manusia dan tanaman pertanian. Keanekaragaman hayati yang rendah dan ekosistemnya yang tidak stabil, menyebabkan terjadi eksplosi hama atau organisme pengganggu tanaman (OPT). Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi lingkungan produksi sayuran di Kabupaten Dati II Banjamegara Jawa Tengah. Pada sistem konvensional, penggunaan pestisida yang intensif dianggap sebagai cara pengendalian OPT yang efektif, Namun demikian, cara tersebut memiliki dampak negatif seperti: tercernarnya tanah dan air, ancaman bagi kesehatan manusia, dan tidak efisiennya usaha tani. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, di Indonesia telah diterapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) untuk tanaman padi pada tahun 1989 dan untuk tanaman sayuran pada tahun 1992. Sistem PHT adalah suatu konsep atau filosofi untuk menanggulangi masalah hama melalui pendekatan ekologi dan ekonomi. Ada tiga konsepsi dasar PHT yaitu: pengamatan agroekosistem, konsepsi ambang ekonomi (AE), dan konsepsi pelestarian lingkungan. Dalam program PHT, petani dilatih memahami konsepsi dasar itu melalui sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang berlokasi di lahan milik petani, dengan proses belajar berdasarkan pengalaman, agar petani dapat menerapkan teknologi PHT di lahannya sendiri. Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui dampak implemetasi sistem PHT dibandingkan dengan sistem Konvensional pada komponen lingkungan yang meliputi: pendapatan usaha tani kentang dan kubis, keanekaragaman spesies serangga di pertanaman kentang/kubis, serta kadar residu pestisida di dalam hasil panen, tanah dan air larian yang berasal dari pertanaman kentang/kubis yang menerapkan sistem PHT dan sistem konvensional. Metode penelitian yang digunakan adalah Ex Post Facto atau kausal komparatif dengan metode penetapan sampel Purposive Sampling dan Simple Random Sampling. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Dieng Kabupaten Dati II Banjarnegara mulai bulan November 1998 sampai dengan Januari 1999. Wilayah penelitian meliputi kecamatan Batur, Pejawaran dan Wanayasa. Dipilih dua sampel desa dari tiap kecamatan, yang terdiri atas satu desa yang mewakili sistem PHT dan satu desa mewakili sistem konvensional (non PHT). Sebagai responden ditentukan 20 petani kentang dan 20 petani kubis dari setiap desa. Jumlah responden di enam desa sampel tersebut ialah 240 petani, yang terdiri atas 120 petani PHT dan 120 petani non PHT. Untuk mengamati residu pestisida dan keanekaragaman serangga, ditentukan empat petak pertanaman kentang dan empat petak pertanaman kubis di setiap desa. Pengaruh implementasi PHT pada nisbah manfaat dan biaya (BIC Ratio) usahatani kentang dan kubis berbeda sangat nyata dibandingkan dengan sistem konvensional. Demikian pula keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran pada pertanaman sistem PHT berbeda sangat nyata. Secara umum pengaruh sistem PHT pada kandungan residu pestisida (insektisida) di dalam hasil panen dan tanah berbeda nyata sampai sangat nyata dengan sistem konvensional, sedangkan residu di dalam air larian pada umumnya tidak berbeda nyata. Berdasarkan batas maksimum residu (BMR) menurut SKB MENKES dan MENTAN No, 8811MENKESISKBIVIII11 996-7 1 11Kpts/ TP.27018196, kadar residu dalam hasil panen di wilayah studi masih rendah, Rata-rata kadar residu yang terdeteksi di dalam umbi kentang ialah 0,0026 ppm dan di dalam krop kubis 0,0024 ppm, sedangkan BMR untuk kartaphidroklorida untuk umbi kentang adalah 0,1000 ppm dan untuk krop kubis adalah 0,2000 ppm. Hasil peneiitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pendapatan usaha tani kentang/kubis pada sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional. Nisbah manfaat dan biaya pada kentang sistem PHT ialah 1,04 dan sistem konvensional 0,85, sedangkan pada kubis sistem PHT ialah 1,18 dan sistem konvensional sebesar 0,82; (2) Keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran di pertanaman kubis dan kentang yang menerapkan sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional, Rata-rata nilai keanekaragaman pertanaman sistem PHT adalah 2,01 dan sistem konvensional 1,10; dan (3) Kadar residu senyawa insektisida di dalam hasil panen (kentang dan kubis), di dalam tanah dan dalam air larian yang berasal dari pertanaman yang menerapkan sistem PHT lebih rendah daripada sistem konvensional, dengan perincian sebagai berikut: (a) residu insektisida pada basil panen pada sistem PHT adalah 0,0042 ppm, sedangkan pada sistem konvensional 0,0113 ppm, (b) Residu insektisida dalam tanah pada pertanaman sistem PHT ialah 0,0496 ppm dan pada sistem konvensional sebesar 0,06'70 ppm, dan (c) residu insektisida pada air larian di pertanaman sistem PHT adalah 0,0027 ppm dan pada sistem konvensional adalah 0,0054 ppm.
ABSTRACT Impact of Integrated Pest Management on the Environment of Vegetable Crop (A Case Study on the Environment of Potato and Cabbage Planting in the Distric of Banjarnegara, Central Java Province)Agroecosystem is an artificial environment and as a part of the natural ecosystem in where dominated by human and crops. Due to low biological diversity and unstable ecosystem, pest outbreak always occur in a certain agroecosystem. This condition becomes major constraint for the environment of vegetable planting in the distric of Banjarnegara, Central Java Province. In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this system has negative impacts such as soil and water pollution, threat to human health, and inefficient farming system. To overcome this problem, integrated pest management (IPM) has been adopted and implemented in Indonesia since 1989 in rice and in vegetable crops since 1992. IPM system is a concept or philosophy to overcome pest problem through ecological and economical approach. There are three basic concepts of IPM namely observation of the agroecosystem, establishment of economic treshold and environmental conservation. In IPM program, farmers were trained to understand these basic concepts through Farmer's Field School (FFS) located at farmer's field, using experience learning processes, in order they can implement 1PM technology at their own fields. This objective of this study was to investigate the impact of the IPM implementation versus the Conventional system on the environment components, includes the income gained by farmers from the potato and cabbage farming, diversity of non-target insect species in potato and cabbage field, and the level of pesticide residues in yield, soil and run off originated from the fields which were subjected to IPM system versus Coventional system. Wanayasa, located at Dieng plateau area district of Banjarnegara, Central Java-Two sample villages were chosen from each sub-districts. One village represented IPM system while the other one represented conventional system (non IPM). Respondents in each village comprised 20 potato farmers and 20 cabbage farmers; the total number of respondents involved in this study were 240 farmers (120 farmers for IPM system and 120 farmers for non IPM system). To observe the pesticide residues and the diversity of insects, four blocks of potato field and four blocks of cabbage field were chosen in each sample village. It was found that the impact of 1PM implementation on the net profit of potato and cabbage farming was significantly higher than that of conventional system. It was also found that the diversity of non-target species in the potato and cabbage field for IPM system was significantly higher than that of conventional system. In general, the effect of IPM system on the level of pesticide (insecticide) residues in the potato tubers and cabbage crops and in the soil was significantly lower than that of conventional system while the level of insecticide residues in run off was generally not significantly different in both systems. Compared with the maximum residue limit (MRL) defined by joint decree of Ministry of Health and Ministry of Agriculture No. 881IMENKES/SKBIVIIII1996-71 liKpts/TP.27018/96, the levels of pesticide residue in the study area was relatively low because the average residue levels detected in potato tubers was 0.0026 ppm and in cabbage crops was 0.0024 ppm. According to this decree, the maximum levels for cartaphydrochioride residue in potato tuber is 0.1000 ppm and in cabbage crop is 0.2000 ppm. In conclusion, results of this study are: (I) the net profit obtained by the farmer from potato/cabbage fanning with 1PM system was higher versus conventional system. The BIC ratios for potato with 1PM system and conventional system were 1.04 and 0.85 respectively while for cabbage with IPM system and conventional system were 1.18 and 0.82 respectively; (2) the diversity of non target insect species in cabbage and potato fields with IPM system was higher than that of conventional system. The average of diversity of crop field with IPM system was 2.01 while in conventional system was 1.10; and (3) in IPM system, the insecticide residue levels in the potato tubers and cabbage crops, in the soil and m the water run off were lower than that of conventional system; as follows: (a) the insecticide residues in the potato tubers and cabbage crops practicing IPM system was 0.0042 ppm while from conventional system was 0,0113 ppm, (b) the insecticide residues in the soil samples from the crop field with IPM system was 0.496 ppm while in conventional system was 0.0670 ppm, and (c) the insecticide residue in water run off in the field with IPM system was 0.0027 ppm and in conventional system was 0.0054 ppm.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Eliya Nova
Abstrak :
Tanaman kubis yang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting, umumnya memerlukan pemeliharaan yang intensif. Berbagai jenis oganisme pengganggu tumbuhan (OPT) menyerang tanaman kubis sehingga sering kali menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Kehilangan hasil panen sayuran akibat serangan organisme penganggu tumbuhan dapat mencapai 30-100%. Bahkan pada tingkat serangan OPT yang rendah pun dapat mengurangi kualitas produk sayuran sehingga mengakibatkan menurunnya harga jual (Sastrosiswojo, 1992a). Hal inilah yang mendorong petani untuk menggunakan pestisida. Pada umumnya penggunaan pestisida pada tanaman kubis sangat intensif. Keadaan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya dampak negatif penggunaan pestisida terhadap unsur-unsur lingkungan yang ada pada ekosistem pertanian. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dapat mengakibatkan penurunan populasi musuh alami harus dan serargga berguna lainnya, serta makhluk bukan sasaran (Oka, 1995). Akibatnya apabila keadaan lingkungan mendukung, dapat terjadi ledakan populasi hama karena terjadinya resurgensi hama. Demikian juga residu pestisida di lingkungan dapat terbawa oleh gerakan air dan udara sehingga residu pestisida dapat berada di berbagai unsur Iingkungan di permukaan bumi (Untung, 1992). Hal ini dapat mengakibatkan penurunan keragaman jenis (diversitas species) dalam ekosistem pertanian tersebut yang mempengaruhi kestabilan ekosistem. Pada umumnya masyarakat telah memahami, bahwa pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Namun demikian, sesungguhnya pestisida juga dapat memberikan manfaat. Oleh karena itu pestisida digunakan dalam pembangunan di berbagai sektor termasuk sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultira. Untuk menghindari pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan perlu diupayakan agar penggunaan pestisida dilakukan dengan tepat dan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bahwa penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir, sesuai dengan konsep PHT. Apabila terpaksa menggunakan pestisida maka harus dilakukan dengan bijaksana, artinya : 1. Pestisida yang digunakan telah terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian (Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1973). 2. Memenuhi kriteria 5 tepat, yaitu tepat dosis, tepat waktu, alat, dan cara aplikasi, tepat mutu, tepat jenis, tepat komoditas dan tepat sasaran (Daryanto, 1999). Hal ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan tindakan petani dalam penggunaan pestisida serta pengawasan dari pihak pemerintah yang bertanggung jawab langsung terhadap pelaksanaan peraturan penggunaan pestisida tersebut. Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Apakah pengetahuan, sikap dan tindakan petani alumni SLPHT kubis terhadap pestisida lebih baik daripada petani Non-SLPHT kubis? 2. Apakah pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap pestisida mempengaruhi petani alumni SLPHT kubis dan Non-SLPHT kubis dalam mematuhi peraturan penggunaan pestisida? 3. Apakah petani alumni SLPHT kubis lebih mematuhi peraturan penggunaan pestisida daripada petani Non-SLPHT kubis? Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui bagaimanakah pengetahuan, sikap dan tindakan petani alumni SLPHT kubis dan petani Non-SLPHT kubis terhadap pestisida. 2. Mengetahui apakah pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap pestisida mempengaruhi petani alumni SLPHT kubis dan petani Non-SLPHT kubis dalam mematuhi peraturan penggunaan pestisida. 3. Mengetahui bagaimanakah kepatuhan petani alumni SLPHT kubis dan petani Non-SLPHT kubis terhadap peraturan penggunaan pestisida. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Pengetahuan, sikap dan tindakan petani alumni SLPHT kubis terhadap pestisida lebih balk daripada petani Non-SLPHT kubis. 2. Pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap pestisida mempengaruhi petani alumni SLPHT kubis dan petani Non﷓ SLPHT kubis dalam mematuhi peraturan penggunaan pestisida, 3. Petani alumni SLPHT kubis Iebih mematuhi peraturan penggunaan pestisida daripada petani yang belum pernah dilatih dalam SPLHT kubis. Penelitian ini dilaksanakanan dengan metode survei yaitu mewawancarai petani kubis yang terpilih sebagai sampel untuk memperoleh data primer. Teknik pengambilan sampel yang digunal:an adalah purposive, samplng : sampel dengan sengaja dipilih berdasarkan kriteria yang pernah mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan yang tidak pernah mengikuti SLPHT. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bandung dan Garut mulai bulan Oktober sampai Desember 2000. Wilayah penelitian ini meliputi Kecamatan Lembang, Pangalengan, Cikajang dan Cisurupan. Dipilih dua sampel desa dari tiap kecamatan, dan pada tiap desa terdiri atas petani alumni SLPHT kubis dan Non-SLPHT kubis. Ditentukan 10 petani alumni SLPHT kubis dan 10 petani Non-SLPHT kubis pada tiap desa sampel. Jumlah responden di delapan desa sampel tersebut ialah 160 petani yang terdiri atas 80 petani alumni SLPHT kubis dan 80 petani Non-SLPHT kubis. Hasil penelitian penting yang dapat disimpulkan adalah: 1. Pengetahuan dan sikap petani responden SLPHT kubis terhadap pestisida lebih baik daripada petani responden Non-SLPHT kubis di Kabupaten Bandung dan Garut. a. Di Kabupaten Bandung, 72,5% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan 45% jumlah petani responden Non-SLPHT kubis memiliki pengetahuan tinggi dan sedang terhadap pestisida. b.Di Kabupaten Garut, 62,5% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan 32,5% jumlah petani responden Non SLPHT Kubis memiliki pengetahuan tinggi terhadap pestisida. c. Di Kabupaten Bandung, 82,5% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan 25% jumlah petani Non-SLPHT kubis memiliki tingkat sikap tinggi (baik) dan sedang terhadap pestisida. d. Di Kabupaten Garut, 60% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan 7,5% jumlah petani responden Non SLPHT kubis memiliki tingkat sikap tinggi (baik) dan sedang terhadap pestisida. 2. Di Kabupaten Bandung dan Garut hanya tindakan petani responden alumni SLPHT kubis dan Non-SLPHT kubis terhadap pestisida yang mempengaruhi mereka dalam mematuhi peraturan penggunaan pestisida. a. Di Kabupaten Bandung dan Garut pengetahuan dan sikap petani responden alumni SLPHT kubis dan Non SLPHT kubis terhadap pestisida tidak mempengaruhi mereka dalam mematuhi peraturan penggunaan pestisida. 3. Petani responden alumni SLPHT kubis di Kabupaten Garut lebih mematuhi peraturan penggunaan pestisida daripada petani responden SLPHT kubis di Kabupaten Bandung. a. Di Kabupaten Bandung hanya 7,5% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan 6,3% jumlah petani responden Non-SLPHT kubis yang menggunakan pestisida sesuai dengan peraturan penggunaan pestisida. b. Di Kabupaten Garut, 52,5% jumlah petani responden alumni SLPHT kubis dan tidak ada (0%) petani responden Non-SLPHT kubis yang menggunakan pestisida sesuai dengan peraturan penggunaan pestisida.
Cabbage is an important vegetables crop, which needs intensification, including cultivation patterns, use of resistant varieties and intensive protection. Many harmful organisms attack cabbages that may cause great financial loss. The crop loss due to pests and diseases on major vegetable crops ranging from 30% to totally loss. Even the low pest attack can reduce vegetable yield and its quality, and reduce the price of vegetables (Sastrosiswojo, 1992a). This is the main reason why the farmers use pesticides as the commonly control measure. Generally, the use of pesticides by the cabbage farmer is very intensive. Since pesticides are used inappropriately, the population of natural enemies and other beneficial insects is reducing (Oka, 1995). Pesticide residues in the environment can be transported by water and air movements (Untung, 1992). This will effect and decrease diversity of species in agricultural ecosystem which will effect ecosystem stability. Pesticides are harmful (toxic) materials that may cause negative impact to human health and environment. However, proper use of pesticides may contribute advantageous in the development of agricultural sector, especially on food and vegetable crops. To avoid negative effects on man (human) and environment, the use of pesticides should be done as stated in the pesticide regulation. In Act Number 12, 1992 about Plant Cultivation Systems, it is stated that the use of pesticides should be the last alternative in line with the Integrated Pest Management (IPM) concept. The important considerations to use of pesticides are as follows: 1. The pesticides have been registered and permitted for their use by the Minister of Agriculture (stated in Government Regulation Number 7, 1973). 2. Based on five criteria, i.e. proper in dose, proper in time, and in tools for its application, good quality, good type, right commodity and target of pest or diseases (Daryanto, 1999). Proper use of pesticides is very much affected by knowledge, attitude, and practice (skill) of the farmers and government institution responsible for the implementation of pesticide regulation. The problems of this study are as follows : 1. What is knowledge, attitude, and practice by the graduated farmers from IPM FFS on cabbage are better than Non-IPM FFS against the use of pesticides? 2. What the use of pesticides by the graduated farmers from IPM FFS and Non-IPM FFS farmers are affected by their knowledge, attitude, and practice? 3. What the graduated from IPM FFS on cabbage follow the pesticide regulation better than Non-IPM FFS farmers? The objectives of this study are as follows: 1. To know whether knowledge, attitude, and practice of pesticides by the graduated farmers (alumni of) IPM, Farmers Field School (IPM FFS) are better than Non-FFS farmers. 2. To know whether the use of pesticides the graduated by farmers from IPM FFS on cabbage and Non-IPM FFS are affected by their knowledge, attitude, and practice. 3. To know whether the graduated farmers from IPM FFS on cabbage follow the pesticide regulation better than Non-IPM FFS farmers. The hypothesis of this study are as follows: 1. Knowledge, attitude, and practice by the graduated farmers from IPM FFS on cabbage are better than Non-IPM FFS against the use of pesticides. 2. The use of pesticides by the graduated farmers from IPM FFS and Non-IPM FFS farmers are affected by their knowledge, attitude, and practice. 3. The graduated from IPM FFS on cabbage follow the pesticide regulation better than Non-IPM FFS farmers. The gathering of data for the study was done by field surveys. Selected areas were surveyed throng the following techniques : (1) structure surveyed questioners, (2) interview of key informants, i.e. sampled farmers representing the alumni of IPM FFS and Non-IPM FFS on cabbage. The selected areas were sub districts of Lembang and Pangalengan (Bandung district or regency), Cikajang and Cisurupan sub districts (Garut district). The field surveys were conducted from October to December 2000. Two villages were selected from each sub districts. Purposive sampling was used to selected 10 farmers from the alumni of IPM FFS and 10 farmers from Non-IPM FFS on cabbage in each selected village. The number of respondents (sample farmers) in eight sampled village were 160 farmers, namely 80 graduated farmers from IPM FFS on cabbage and 80 Non-IPM FFS farmers. The important results of this study were as follows: 1. Knowledge, attitude, and practice against the use of pesticide by the graduated farmers from IPM FFS on cabbage were higher or better than Non-IPM FFS farmers. a. In Bandung, 72,5% out of the number of farmers graduated from IPM FFSs on cabbages and 45% Out of number of farmers from Non-IPM FFS showed high and moderately high levels of knowledge in using pesticides. b. In Garut district, 62,5% out of the number of farmers graduated from IPM FFSs cabbage and 32,5% out of number of farmers from Non-IPM FFS showed high and moderately levels of knowledge in using pesticides. c. In Bandung district, 82,5% out of the number of farmers from IPM FFS on cabbage and 25% out the number of farmers from Non-IPM FFS indicated high and moderately high levels of attitude against the use of pesticides. d. In Garut district, 60% out of number of farmers from graduated from 1PM FFSs cabbages and 7,5% out of number of farmers from Non-IPM FFS cabbages indicated high and moderately high levels of attitude against the use of pesticide. 2. In Bandung and Garut district, only practice of farmers in using pesticides affected graduated farmers from 1PM FFS and Non IPM FFS farmers in the implementation of pesticides regulation on the use of pesticide. a. In Bandung and Garut district, the obedience of farmers graduated from cabbage IPM FFS and Non-IPM FFS farmers to follow the pesticide in regulation on the use of pesticides were not affected by their knowledge and attitude. 3. The graduated farmers from cabbage IPM FFS in Garut district followed the pesticide regulation better than the alumni of cabbage IPM FFS in Bandung district. a. In Bandung district, only 7,5% out of the number of farmers graduated from cabbage IPM FFS and 6,3% out of number of farmers from Non-IPM FFS obeyed the pesticide regulation on the use of pesticide. b. In Garut district, 52,5% out of the number of farmers graduated from cabbage IPM FFS and no farmers from Non-IPM FFS obeyed the pesticide regulation on the use of pesticides.
2001
T4048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nonon Saribanon Rubyawan
Abstrak :
ABSTRAK
Pelaksanaan program intensifikasi di bidang pertanian sejalan dengan peningkatan permintaan produk pertanian berdampak pada tingginya pemakaian pupuk dan pestisida, khususnya pada tanaman hortikultura. Tanaman sayuran yang merupakan salah satu tanaman hortikultura penting, umumnya memerlukan pemeliharaan intensif, dan adanya tuntutan konsumen terhadap kualitas produk sehingga penggunaan pupuk dan pestisida pun sangat intensif. Dengan kata lain, konsumen sayuran umumnya menginginkan produk yang kualitasnya baik dan bebas dari serangan atau bekas serangan hama dan penyakit.

PRT merupakan suatu konsep yang berusaha untuk mendorong dan memadukan beberapa faktor pengendalian untuk menekan populasi hama serta memperkecil kerusakan tanaman dan hasil tanaman. Pada prinsipnya konsep PHT berbeda dengan konsep pengendalian hama pada sistem Konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Walaupun demikian, PHT bukanlah suatu konsep yang anti penggunaan pestisida (Reddy dalam Sastrosiswojo, 1994:5). Pada sistem PHT, pestisida yang digunakan adalah pestisida yang selektif dan aman, serta digunakan apabila benar-benar diperlukan dan sepanjang tidak mengganggu faktor pengendalian lainnya atau interaksinya (Untung dalam Sastrosiswojo, 1994:5).

Penggunaan pestisida yang tidak selektif dapat mengakibatkan penurunan populasi musuh alami hama serta serangga berguna dan makhluk bukan sasaran (Oka, 1993:6). Hal ini dapat mengakibatkan penurunan keragaman jenis (diversitas spesies) dalam ekosistem pertanian tersebut yang mempengaruhi kestabilan ekosistem dan berarti pula telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Penurunan atau babkan punahnya musuh alami hama akibat penggunaan pestisida yang tidak selektif, dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara populasi hama dengan musuh alaminya sehingga apabila keadaan lingkungan mendukung, dapat terjadi ledakan populasi hama (outbreak) yang disebut resurgensi hama.
Residu pestisida di lingkungan merupakan akibat penggunaan pestisida yang ditujukan pada sasaran tertentu seperti tanaman dan tanah. Selain itu, pestisida dapat terbawa oleh gerakan air dan udara sehingga residu pestisida dapat berada di berbagai unsur lingkungan di permukaan bumi (Untung, 1993:229).

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran dataran tinggi yang penting di Indonesia. Pemakaian pestisida pada tanaman kubis sangat intensif, demikian pula penggunaan lahan oleh petani. Hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya dampak negatif dari penggunaan pestisida terhadap unsur-unsur lingkungan yang ada pada ekosistem pertanian tersebut. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode percobaan berpasangan (Paired Treatment comparison) antara penerapan sistem PBT (P) dengan sistem Konvensional (K), tanpa ulangan sebab luas lahan yang diamati yaitu 500 m2 untuk setiap perlakuan dianggap cukup memadai sebagai suatu model ekosistem pertanaman kubis di lapangan.

Basil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem PHT lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan sistem Konvensional. Hal ini terlihat dari keragaman jenis (diversitas spesies} fauna di atas tanah pada ekosistem kubis dengan penerapan sistem PHT yang berkisar antara 1,664 sampai 2,021 lebih besar dibandingkan dengan sistem Konvensional yang berkisar antara 1,606 sampai2,000.

Dari penelitian ini juga terlihat adanya keseimbangan populasi hama dan musuh alami yang lebih baik pada penerapan sistem PBT dibandingkan dengan sistem Konvensional. Hal ini antara lain terlihat dari tingginya tingkat parasitasi larva P. Xylostella oleh D. semi-clausum dan besar populasi imago parasitoid D. Semiclausum dan inareolata sp.

Selain itu, koloni cendawan antagonis patogen tanaman Trichoderma spp. pada tanah dengan penerapan sistem PHT jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem Konvensional. Dari beberapa jenis insektisida yang digunakan dan dianalisis kadar residunya, hanya insektisida Asefat yang terdeteksi pada seluruh unsur lingkungan yang diteliti.

Kadar residu insektisida Asefat pada tanah dan air larian pada penerapan sistem PBT lebih rendah dibandingkan dengan sistem Konvensional, tetapi tidak terdapat perbedaan residu insektisida Asefat pada krop kubis.

Hasil penelitian juga menunjukkan adanya Bacillus tburingiensis Berliner pada tanah labnya lebih besar pada penerapan sistem populasi yang jumPHT akibat penggunaan insektisida mikroba B. tburingiensis jika dibandingkan dengan sistem Konvensional. E. Daftar Kepustakaan 44 (1971 - 1995)
ABSTRACT
Agriculture production should be increased due to the increasing of market demand. Beside quantity, the quality products is important, especially for vegetable crops. To meet this market demand, farmers usually use fertilizers and pesticides intensively.

One of the important objectives of Integrated Pest Management (IPM) implementation is to reduce the amount of pesticide usage. In line with this objective, the use of natural enemies and selective pesticides is very important.

The impact of IPM implementation on cabbage against the environmental aspects such as species diversity of fauna, insecticide residues on soil and water, insecticide residues on cabbage crop was studied.

The experiment used paired treatment comparison to compare IPM system with Conventional system and conducted at Lembang Experimental Garden of Lembang Horticultural Institute from August 1994 to December 1994. Some important results of this study are as follows: 1. Species diversity of fauna in the air (upper soil) at IPM plot (1. 66-2.02) was higher than Conventional plot (1.61 - 2.00). 2. The level of parasitism o f Plutella xylostella (L.) larvae by Diadegma semi clausum Hellen was higher in IPM system than in Conventional system. 3. The colonies of mycoparasite T.ricooderma spp. in the soil was higher in IPM system compared with 4.Conventional system. Insecticide residues run off showed (Acephate) in soil and lower in IPM system water than Conventional system. However, no difference of insecticide residue on cabbage crop was found in IPM system and Conventional system. 5. The colonies of Bacillus tburingiensis Berliner in the soil was higher in IPM system compared with Conventional system.

E. Number references : 44 (1971 - 1995).
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sentot Hari Wibowo
Abstrak :
Tomat merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat dan banyak diperdagangkan di Pasar Swalayan dan Pasar Tradisional. Kebutuhan tomat untuk konsumsi melebihi kebutuhan akan daging atau ikan. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tomat maka upaya yang dilakukan petani untuk meningkatkan hasil panennya adalah dengan menekan kerusakan buah tomat dari serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) secara kimiawi. Pada umumnya petani tomat mempunyai ketergantungan pada pestisida dalam pengendalian OPT. Aplikasi pestisida oleh petani meningkatkan residu pestisida pada tanaman tomat yang dapat membahayakan konsumen. Residu pestisida tersebut dapat masuk ke dalam jaringan tanaman dan melekat atau tertinggal di permukaan buah dan daun tanaman tomat. Permasalahan yang diangkatdalam penelitian ini adalah (1) apakah kadar residu pestisida pada tomat produksi petani PHT lebih rendah daripada petani Non-PHT1 (2) apakah penanganan pascapanen dapat menurunkan kadar residu pestisida pada buah tomat sebelum dijual ke pasar, (3) apakah kadar residu pestisida pada buah tomat yang dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan melampaui Batas maksimum residu (BMR) pestisida yang disyaratkan, (4) apakah ada hubungan antara latar belakang pendidikan dan pekerjaan konsumen dengan persepsi mereka tentang residu pestisida pada buah tomat yang dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan. Untuk menjawab pertanyaan itu, dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut: (1) tingkat kadar residu pestisida pada buah tomat yang dihasilkan oleh petani PHT !ebih rendah daripada oleh petani Non-PHT, (2) kegiatan penanganan pascapanen dapat menurunkan kadar residu pestisida pada buah tomat, (3) kadar residu pestisida pada buah tomat yang dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan melampaui BMR yang disyaratkan, (4) ada hubungan antara latar belakang pendidikan dan pekerjaan konsumen dengan persepsi mereka tentang residu pestisida pada buah tomat. Penelitian ini menggunakan metode survai di Kabupaten Bandung. Pengamatan dilakukan dengan teknik pengambilan sampel secara Purposive Sampling dari bulan September sampai dengan Desember 2003. Data primer diperoleh dari hasil pengujian laboratorium dan hasil wawancara dengan responden atau menggunakan kuisioner. Analisis uji statistik untuk hasil kuisioner menggunakan Koefrsien Korelasi bersyarat (coeficient of contingency) dengan terlebih dahulu mencari Khai Kuadrad. Hasil penelitian adalah sebagai berikut 1.Tingkat residu pestisida pada buah tomat yang diambil dari hasil panen PHT lebih rendah daripada yang berasal dari petani Non-PHT. Kadar Profenofos pada sistem PHT 0,1586 mg/kg, sedang Non-PHT 0,3338 mg/kg, sedang untuk Mankozeb pada PHT 0,0320 mg/kg, sedang pada Non-PHT 0,0673 mg/kg (Lembang). Kadar Profenos pada PHT 0,4288 mg/kg, sedang Non-PHT 0,9027 mg/kg. Untuk Mankozeb pada PHT 0,0305mg/kg, sedang Non-PHT 0,0643 mg/kg (Pangalengan). 2.Kegiatan penanganan pascapanen mulai tomat dipetik sampai tiba di Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan dapat menurunkan kadar residu pestisida pada buah tomat. 3.Kadar residu Profenofos dan Mankozeb pada buah tomat yang dijual di Pasar masih di bawah BMR yang ditetapkan oleh FAO, 4.Mayoritas responden (80%) mengetahui tentang residu pestisida . Meski demikian, hanya 23,33% responden menyatakan residu pestisida berdampak langsung pada kesehatan dan 56,67% responden mengatakan dampak buruk mengkonsumsi buah tomat yang mengandung residu pestisida bersifat jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah (1) Kadar residu pestisida pada buah tomat produksi petani PHT lebih rendah daripada dari petani Non-PHT, 2) Kegiatan penanganan pascapanen mulai buah dipetik sampai tiba di pasar dapat menurunkan kadar residu pestisida pada buah tomat. (3) Tingkat residu pestisida pada buah tomat yang dijual di pasar masih di bawah BMR, (4). ada hubungan antara Tatar belakang pendidikan dan pekerjaan konsumen dengan persepsi mereka tentang residu pestisida pada buah tomat, tetapi tingkat pendidikan konsumen yang tinggi tidak mencerminkan mereka mengetahui residu pestisida secara mendalam. Dari kesimpulan di atas maka disarankan bahwa; {1) perlu pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan untuk mencetak petani tomat yang handal dalam mengaplikasikan pestisida (2) untuk menjamin keamanan pangan dan kesehatan masyarakat maka pemerintah perlu menetapkan BMR Profenofos dan Mankozeb untuk buah tomat (3) perlu adanya sosiafsasi kepada masyarakat luas bagaimana Cara mengurangi kadar residu pestisida pada buah tomat sebelum dikonsumsi (4) perlu penelitian lebih lanjut oleh instansiliembaga terkait dan Perguruan Tinggi untuk mendapatkan informasi residu pestisida yang aman untuk manusia dan lingkungan.
Tomato is one of the fruit vegetables which is consumed by many people and sold in the Supermarket and Traditional Market The human need of tomatoes for consumption is higher than meat or fish. In line with the increase of demand of tomato consumers, one of the farmers' efforts to increase yield of tomatoes is by suppressing the damage (yield loss) caused by pests and diseases through the use of chemical pesticides. Generally, tomato farmers are completely relying on the use of pesticides to control pests and diseases. The application of pesticides done by the farmers leaves residue of chemical substances on tomato fruits, which is harmful to the consumers. The pesticide residues may enter the plant cells and attach or left on the surface of tomato leaves and fruits. The problems raised in this study are: (1) whether the level of pesticide residues in tomato fruits grown by Integrated Pest Management (IPM) farmers was lower than non-IPM farmers, (2) whether fresh handling activities can reduce the pesticide residue contents in tomato fruits before to be sold to the market, (3) whether the contents of pesticide residues in tomatoes sold in traditional market and supermarket surpasses the official maximum residue limits (MRL), (4) whether the background of education and job of consumers effect their perception on the pesticide residues in tomatoes sold in traditional market and supermarket. To get the answer of above mentioned questions, some hypothesis are drawn as follows: (1) level of pesticide residues in tomatoes harvested from IPM farmers' growing is lower than non-IPM farmers, (2) fresh handling activities can reduce the pesticide residues content in tomato fruits before to be sold to the market, (3) the pesticide residues level in tomatoes sold in traditional market and supermarket surpass the official MRL, (4) the background of education and job of consumers effect their perception on pesticide residues in tomatoes. This study was conducted using a formal survey in Bandung district from September to December 2003. Observation was made with the use of purposive sampling. The primary data were obtained from laboratory analysis and interview with the respondents or using a questionnaire. Statistical analysis for data obtained from the questionnaire was done with the use of coefficient of contingency and Chi Square. Results of the study are as follows: 1.Level of pesticide residues in tomato samples taken from IPM farmers at harvest time was lower than non-IPM farmers. The profenofos content in 1PM system was 0.1586 mg/kg, while in non-IPM system was 0.3338. mg/kg. In addition, the mancozeb content was 0.0320 mg/kg in IPM system, and 0.0673 mg/kg in non-IPM system (Lembang sub-district). The profenos content was 0.4288 mg/kg in IPM system, while in non-IPM system was 0.9027 mg/kg. As for mancozeb, in IPM system was 0.0305, mg/kg, while in non-IPM system was 0.0643 mg/kg (Pangalengan sub-district). 2.Fresh handling activities starting from picking tomato fruits at harvest time up to the markets can reduce the pesticide residues in tomatoes. 3.The residues of profenofos and mancozeb in tomatoes sold in traditional market and supermarket were still below MRL values recommended by FAO. 4.Most the respondents (80%) knew about pesticide residue. However only 23,33% out of the total respondents stated that pesticide residues in tomatoes would give direct negative side effects on human health. In addition, 56,67% out of the total respondents said that negative side effect will occur in a long term. Based on the results of study, following are some important conclusions: (1) pesticide residue contents in tomatoes harvested from 1PM farmers were lower than from non-IPM farmers, (2) fresh handling activities of tomatoes starting from harvest time up to consumers can reduce the pesticide residues in tomatoes, (3) the level of pesticide residues in tomatoes sold in market is still below MRL, (4) higher level of education background of the consumers do not reflects their profound knowledge on pesticide residues. Some important recommendation: (1) it is needed to train continuously the tomato farmers who can apply good agriculture practices (2) the maximum residue limit (MRL) of tomatoes should be established by the government to support the food safety and health of the consumers, (3) it is disseminated continuously so that the people know how to reduce the content of pesticide residues in tomatoes, (4) it is needed to conduct research continuously by related institutions to get information of pesticide residues which is safe for human and environment.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library