Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhesti Handayani
Abstrak :
Bagi dokter anak, demam adalah temuan obyektif yang berguna untuk menunjukkan adanya onset suatu penyakit infeksi. Oleh karena sebagian besar penyebab demam adalah infeksi terutama virus, bakteri, atau penyakit kolagen. Walaupun demikian, pada umumnya demam pada anak akan berlangsung singkat dan tanpa konsekuensi serius. Kenaikan suhu tubuh pada anak saat awal perjalanan penyakit sering menyebabkan ketidaknyamanan, anak menjadi rewel dan iritabel sehingga merisaukan orangtua. Namun apakah suhu tubuh pada saat demam perlu diturunkan segera memerlukan pertimbangan antara keuntungan dan kerugiannya. Demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas variasi normal harian akibat induksi dari pirogen endogen yang merangsang setting point (pusat pengatur suhu) di hipotalamus melalui pelepasan senyawa prostaglandin. Di lain pihak, pembentukan prostaglandin dapat dihambat oleh antipiretik non steroid dengan Cara menghambat enzim siklooksigenase . Antipiretik ideal adalah antipiretik yang efektif menurunkan demam dengan kejadian toksisitas rendah yang dapat diterima pasien. Oleh karena pada umumnya antipiretik digunakan sebagai obat di rumah, maka jenis antipiretik yang ideal juga harus memiliki keamanan yang tinggi atau risiko rendah terhadap overdosis terutama apabila digunakan untuk anak. Instruksi penggunaan harus jelas dan mudah diikuti oleh orangtua/pengasuh.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Handy
Abstrak :
Anak jalanan adalah sebuah fenomena yang biasa dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah anak jalanan sulit untuk dipastikan, tapi diperkirakan di seluruh dunia terdapat tidak kurang dan 10.000.000 anak. Pada tahun 1999, Irwanto dkk mencatat sebanyak 10.000 anak di Jakarta masuk dalam kategori anak jalanan. Jumlah anak jalanan tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi, urbanisasi dan kesulitan ekonomi masyarakat. Anak jalanan secara umum menghadapi lingkungan dan risiko yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan dan tumbuh kembang mereka. Secara umum mereka menghadapi risiko kecelakaan atau penyakit akibat bekerja dan berada di jalanan. Mereka juga berisiko kehilangan hak pendidikan, hak untuk bermain, mengalami perlakuan salah serta mengalami paparan terhadap berbagai perilaku sosial yang tidak baik. Perilaku ini di antaranya adalah kebiasaan merokok, penggunaan zat psikoaktif, melakukan hubungan seks dan sikap antisosial. Semua hal tersebut merupakan ancaman terhadap pencapaian tumbuh kembang optimal termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi anak dengan lingkungannya. Salah satu risiko anak jalanan yang paling banyak dibahas adalah tingginya kemungkinan mendapatkan perlakuan salah baik secara fisik, emosi maupun seksual. Friedrich dkk mengemukakan bahwa aktivitas seksual lebih banyak dilaporkan pada anak yang memiliki riwayat perlakuan salah secara seksual. Faktor biologis dan lingkungan adalah dua faktor yang berperan pada perkembangan dan perilaku seksual seorang anak yang dapat membawa dampak sampai usia dewasa. Lingkungan hidup di jalan bersifat kondusif bagi anak-anak untuk melakukan hubungan seksual di usia yang amat muda karena tidak ada hambatan normatif yang berarti dalam komunitas mereka untuk melakukan hubungan seksual. Kebiasaan lain seperti penggunaan zat psikoaktif dan merokok, yang juga banyak terdapat di kehidupan jalanan, dapat mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan perkembangan sosial anak yang akhimya dapat mendorong mereka pada perilaku seksual berisiko tinggi. Latar belakang keluarga yang bermasalah dan kehidupan jalanan yang keras juga merupakan faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosi dan perilaku yang mengarahkan mereka pada perilaku seksual risiko tinggi atau bahkan membuat mereka memilih untuk menjadi pekerja seks anak. Perilaku seksual risiko tinggi (PSRT) adalah aktivitas seksual yang berisiko mengancam kesehatan seseorang akibat paparan terhadap berbagai penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Perilaku seksual risiko tinggi ini adalah hubungan seksual, baik genito-genital, oro-genital maupun ano-genital, yang dilakukan tanpa perlindungan (kondom) dan atau dilakukan dengan banyak pasangan (promiskuitas). Perilaku seksual risiko tinggi di antara anak dan remaja telah menjadi perhatian dunia dalam dekade terakhir karena makin maraknya penularan virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis C (VHC), human immunodeficiency virus (HIV) dan berbagai penyakit menular seksual (PMS) Iainnya. Penyakit menular seksual dapat menyebabkan transmisi vertikal dan gangguan pada kehamilan di kemudian hari, infertilitas, penyakit keganasan serta dapat mempermudah terjadinya transmisi HIV." Kehamilan usia dini merupakan hal yang penting dan satu masalah tersendiri akibat adanya PSRT dengan dampak biopsikososial yang amat besar. lbu dengan usia yang terlalu muda berisiko tinggi terhadap rendahnya status kesehatan fisik dan jiwa, gagal dalam pencapaian pendidikan yang memadai dan ketergantungan hidup yang besar terhadap pihak lain; belum terhitung akibat yang terjadi jika ia melakukan aborsi yang tidak aman. Jika ia melahirkan, anak yang dilahirkan berisiko tinggi terhadap gagalnya pencapaian potensi tumbuh kembang yang optimal. Pada akhirnya hal ini akan memperburuk kemiskinan dan keterbelakangan yang telah ada dalam masyarakat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Amalia
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam upaya memelihara kebersihan tubuh bayi dan anak, pemakaian popok merupakan cara yang telah lama dikenal karena praktis, efektif, dan higienis untuk menampung urin dan feses agar tidak mengotori kulit sekitarnya. Namun sesungguhnya kulit bayi dan anak kurang siap untuk mengatasi keadaan yang dapat timbal akibat kontak lama antara kulit dengan urin dan feses karena pemakaian popok tersebut. Pemakaian popok dapat menyebabkan perubahan kelembaban kulit akibat peningkatan hidrasi kulit dan pH yang secara fisik menurunkan integritas kulit. Hal tersebut menyebabkan kulit rentan terhadap kerusakan akibat pengaruh mekanik, kimia, iritasi, enzim, serta infeksi bakteri dan jamur. Suatu studi pada tahun 1986 menunjukkan sekitar lima puluh persen bayi pernah terjangkit kelainan dermatitis popok dalam berbagai tingkat keparahan; insiderisnya berkisar antara 7-35% dan prevalensi tertinggi didapatkan pada usia 8-12 bulan.3 Prevalensi yang bervariasi ini disebabkan tidak semua kasus dermatitis popok dikonsultasikan ke dokter. Sebagian besar kasus ditemukan bersamaan dengan penyakit lain yang diderita bayi tersebut. Dermatitis popok adalah salah satu jenis dermatitis pads bayi yang merupakan akibat langsung dan pemakaian popok. Banyak faktor yang berperan sebagai etiologi maupun pencetus dermatitis popok. Mengingat adanya berbagai penyebab dan pencetus maka pengobatan standar untuk dermatitis popok adalah pemberian emolien contohnya lanolin. Kegunaanemolien dalam pengobatan dermatitis popok adalah untuk menjaga kulit dari gesekan dan kontak langsung dengan urin serta menjaga kebersihan kulit. Untuk menjaga kebersihan kulit secara optimal digunakan sabun. Sabun dikenal sebagai salah satu zat yang memiliki daya kerja antibakteri melalui aktivitas tegangan permukaannya. Sebagian besar sabun umumnya mempunyai pH tinggi (pH 75), sedangkan untuk dermatitis popok diperlukan sabun yang mempunyai pH lebih rendah. Formula sabun dengan pH rendah umumnya terdiri dari asam laktat dan laktoserum. Selain sebagai emolien, asam laktat juga berfungsi untuk mempertahankan keasaman kulit sehingga mempunyai daya proteksi terhadap infeksi, sehingga disebut sebagai antimikroba alaaiiah. Sedangkan laktoserum merupakan ekstrak susu alami yang dapat meningkatkan kapasitas buffer asam laktat, mempertahankan keseimbangan keratogenesis secara alarm, dan memperkuat kerja asam laktat. Fernando (1985) menggunakan asam laktat dan laktoserum sebagai terapi ajuvan dalam perawatan infeksi dermatosis. Sedangkan Daniel (1984) meneliti asam laktat dan laktoserum untuk pengobatan dermatitis popok selama 15 hari dengan hasil yang memuaskan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifan Fauzie
Abstrak :
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, jumlah pekerja di Indonesia mencapai 100.316.007 jiwa, dengan komposisi 64,63% adalah pekerja laki-laki dan sebanyak 35,37% wanita yang bekerja. Permasalahan yang timbul adalah perlakuan yang sama dalam segi kesehatan bagi wanita yang bekerja sedangkan mereka memiliki perbedaan sesuai kodratnya. Diantaranya adalah wanita yang bekerja akan mengalami haid, kehamilan, melahirkan dan menyusui bayinya. Kenyataan yang ada saat ini adanya suatu kontradiksi antara keadaan tersebut dengan program pemberian ASI secara eksklusif pada bayi Indonesia seperti yang telah ditetapkan melalui Kepmenkes RI No. 450/MENKFS/IV/2004. Pihak wanita yang bekerja di Indonesia saat ini hanya mendapatkan cuti resmi berdasarkan peraturan pemerintah yaitu 6 rninggu sebelum melahirkan dan 6 minggu setelah melahirkan. Dengan masa cuti itu sulit untuk mencapai cakupan ASI eksklusif seperti yang telah ditargetkan. Keberhasilan menyusui secara eksklusif pada wanita yang bekerja (ibu pekerja) relatif lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja di luar rumah. Meskipun pada beberapa tahun terakhir didapatkan adanya kecenderungan peningkatan angka caku pan wanita yang menyusui bavinva segera setelah melahirkan, namun angka cakupan ASI eksklusif itu sendiri masih rendah. Faktor cuti melahirkan, dukungan dari pihak keluarga maupun tempat kerja, tingkat pemahaman tentang keunggulan ASI, dan persepsi yang salah tentang menyusui dapat merupakan faktor yang mempengaruhi rendahnya angka cakupan ASI eksklusif pada wanita yang bekerja. Faktor lain adalah pengaruh media rnassa dan lama waktu meninggalkan rumah. Hingga saat ini belum didapatkan data-data yang pasti mengenai pola menyusui dan cakupan ASI eksklusif pada wanita yang bekerja (ibu pekerja) di Indonesia serta faktor-faktor yang cenderung dapat mempengaruhinya sehingga diperlukan suatu pengkajian lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa masalah pada pelaksanaan program pemberian ASI eksklusif pada ibu pekerja, yaitu : 1. Berapa besar proporsi ibu pekerja di beberapa tempat di Jakarta yang menyusui sendiri bayinya ? 2. Faktor-faktor apa yang memiliki kecenderungan untuk dapat mempengaruhi pemberian AS1 eksklusif pada ibu bekerja di Jakarta? 3. Bagaimana pengetahuan ibu pekerja mengenai fisiologi laktasi ?
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Citraresmi
Abstrak :
Pada kejadian luar biasa tahun 2004 dilaporkan bahwa pasien-pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan. Hal serupa tidak tampak di RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM); meskipun terjadi peningkatan jumlah pasien DBD namun tidak sampai memerlukan penambahan tempat tidur yang berarti. Di seluruh wilayah DKI Jakarta terdapat 70 RS umum yang terdiri dari 8 RS pemerintah dan 62 RS swasta. RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita, RSUD Pasar Rebo, dan RSUP Fatmawati adalah RS pemerintah yang masing-masing mewakili kelima wilayah di DKI Jakarta. RSU Sumber Wares yang berada di wilayah Jakarta Barat adalah sebuah RS swasta yang telah Iama melakukan penelitian mengenai DBD. Adanya kejadian luar biasa akan menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi overdiagnosis. Sorotan media massa yang berlebihan mengenai kejadian luar biasa DBD, di samping kebijakan pemerintah membebaskan biaya pemeriksaan, berperan dalam peningkatan jumlah pasien di berbagai rumah sakit. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan laboratorium dengan menggunakan kritena WHO tahun 1997. Tujuan penggunaan kriteria WHO adalah untuk mengidentifikasi dengan tepat pasien yang memiliki risiko timbal komplikasi akibat dengue berat (DBD dan DSS), dan juga untuk memfasilitasi triase dan penggunaan swnber daya yang terbatas secara tepat. Kriteria ini juga dapat digunakan sebagai alat epidemiologi untuk mengumpulkan data kesehatan masyarakat mengenai insiders infeksi dengue simtomatik, beratnya penyakit, dan lain-lain, yang dapat dirnanfaatkan untuk mengevaluasi program pemberantasan dan tata laksana kasus dengue. Kriteria WHO digunakan untuk menentukan kasus DBD dan tidak meliputi kasus DD, sehingga kriteria ini dapat membantu dalam menentukan CFR secara tepat dengan hanya meniasukkan kasus DBD dalam perhitungannya. Dikhawatirkan CFR yang dilaporkan saat ini meliputi pula kasus-kasus DD sehingga tampaknya terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Dalam menghadapi KLB DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari segenap petugas kesehatan balk di tingkat puskesmas, dokter praktek perseorangan sampai rumah sakit. Maka perlu dipahami panduan yang telah ada dalam menghadapi KLB DBD agar penanganan pasien bisa dilakukan secara cepat, tepat dan efisien. Untuk itu perlu diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD di masa datang. Rumusan masalah Bagaimana karakteristik pasien, tata laksana dan ketepatan diagnosis demam berdarah dengue di Jakarta pada kejadian luar biasa tahun 2004?
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patria Vittarina Sarisetyaningtyas
Abstrak :
Varisela atau cacar air merupakan penyakit menular yang biasanya mengenai anak, namun dapat pula terjadi pada dewasa muda yang rentan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Varisela merupakan penyakit yang bersifat universal, diperkirakan 60 juta kasus terjadi di dunia setiap tahunnya. Sebuah survai di jepang menunjukkan angka kejadian terbanyak terjadi pada anak usia kurang dari 6 tahun. Di Eropa dan Amerika, 90% kasus terjadi pada anak di bawah usia 10 tahun, kurang dari 5% pada usia lebih dari 15 tahun, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Di Indonesia, angka kejadian varisela di rumah sakit yang ada tidak mencernunkan keadaan sebenamya karena pada umumnya pasien berobat jalan ke Puskesmas, praktek swasta dokter umum, spesialis anak, atau spesialis kulit. Data rumah sakit menunjukkan kelompok umur terbesar yang menderita varisela adalah pada kelompok usia 5 sampai 14 tahun. Secara khas varisela ditandai dengan gejala demam, nyeri kepala, malaise, anoreksi, batuk pilek, radang tenggorok dan pruritus. Gejala sistemik tersebut menetap 2-3 hari dan pruritus 3-5 hari. Setelah awitan lesi kulit, papul baru berubah menjadi krusta, dalam 3-4 hari (rata-rata 1-7 hari). Rata-rata waktu untuk terjadinya krusta adalah 6 hari (2-12 hari) dan penyembuhan total 16 hari (7-34 hari). Anak sehat (imunokompeten), apabila menderita varisela secara konvensional hanya mendapat terapi simtomatik. Asildovir oral tidak direkomendasi secara rutin untuk pengobatan varisela tanpa komplikasi pada anak imunokompeten Keuntungan klinis dari pemberian terapi antivirus masih merupakan kontroversi. Pertimbangan lain, berkaitan dengan masalah biaya pengobatan, terbatasnya data efikasi terapi antivirus bila terapi dimulai setelah 24 jam timbulnya lesi kulit dan kemungkinan timbulnya resistensi virus. Pada umumnya infeksi virus menurunkan sistem kekebalan tubuh yang dapat bersifat sementara. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh misalnya dengan menggunakan obat imunomodulator. Obat imunomodulator dapat bersifat irnunostimulan atau imunosupresor 9 Pada umumnya imunostimulan digunakan sebagai obat tambahan atau ajuvan dalam upaya menyembuhkan infeksi sehingga apabila terdapat indikasi penggunaan antibiotik maka pemberian antibiotik tetap diberikan. Ajuvan yang dimaksud adalah substansi yang dapat membantu kerja substansi Iainnya, dalam hal ini substansi tersebut mempunyai kesanggupan untuk memodifikasi respons imun.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan
Abstrak :
[Latar belakang. Penelitian sebelumnya menjumpai kasus campak sebelum usia imunisasi yang semestinya masih terlindungi karena memiliki maternal antibodi campak yang diperoleh selama dalam kandungan. Besarnya titer yang diterima bayi dipengaruhi faktor ibu dan janin yang nantinya memengaruhi lamanya perlindungan. Tujuan. Mengetahui kadar maternal antibodi campak bayi baru lahir dan menganalisis faktor yang memengaruhinya. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan sejak Maret – April 2015 pada bayi baru lahir di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Bayi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih secara consecutive nonprobabality sampling. Dilakukan wawancara terhadap orangtua, pemeriksaan New Ballard Score, dan pengambilan darah tali pusat bayi baru lahir. Uji t digunakan untuk mengetahui rerata titer berdasarkan jenis kelamin, berat badan lahir, usia gestasi, usia ibu, paritas, dan penyakit ibu. Analisis regresi logistik dipakai untuk mencari faktor yang memengaruhi kadar titer antibodi campak. Hasil. Dari 68 bayi dijumpai 64 diantaranya memiliki maternal antibodi campak positif. Rerata titer total adalah (2277,7 ± 1830,7) IU/l, bayi kurang bulan (2061,94 ± 1554,44) IU/l dan (3006,83 ± 1613,79) IU/l untuk bayi cukup bulan. Bayi laki-laki, lahir kurang bulan, berat badan lahir tidak sesuai masa kehamilan, dan ibu dengan penyakit penyerta mempunyai titer lebih rendah namun tidak bermakna secara statistik. Simpulan. Mayoritas bayi memiliki maternal antibodi campak positif dengan rerata titer keseluruhan adalah (2277,7 ± 1830,7) IU/l. Tidak dijumpai variabel yang bermakna memengaruhi titer maternal antibodi campak pada bayi baru lahir.;Background. Prior field studies showed cases of measles before the age of immunization when newborn should still be protected by their maternal measles antibody acquired during pregnancy. The amount of titre received by newborn is influenced by maternal and fetal factors which will affect the length of protection. Objective. To know the level of maternal measles antibody in newborn and to analyze the influencing factors. Method. A cross sectional study was conducted from March to April 2015 at RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Newborns who met the inclusion and exclusion criteria were selected through consecutive nonprobability sampling. The parents were interviewed, the New Ballard Score were examined, and the umbilical cord blood was retrieved. T-test was performed to determine the mean titre by sex, birth weight for gestational age, gestational age, maternal age, parity, and mother with comorbidity. Logistic regression analysis was used to find the factors influenced measles antibody titer. Results. Sixty four of 68 newborns were found to have positive maternal measles antibodies. The mean total titre was 2277.7 ± 1830.7 IU/l, 2061.94 ± 1554.44 IU/l for preterm and 3006.83 ± 1613.79 IU/l for term babies. Baby boys, preterm, birth weight inappropriate for gestational age, babies whose mother had comorbidity had lower titre, however these findings were not statistically significant. Conclusion. The majority of newborns had positive maternal measles antibodies with the mean total titre of 2277,7 ± 1830,7 IU/l. There were no significant variables that influenced maternal measles antibody titre in newborns., Background. Prior field studies showed cases of measles before the age of immunization when newborn should still be protected by their maternal measles antibody acquired during pregnancy. The amount of titre received by newborn is influenced by maternal and fetal factors which will affect the length of protection. Objective. To know the level of maternal measles antibody in newborn and to analyze the influencing factors. Method. A cross sectional study was conducted from March to April 2015 at RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Newborns who met the inclusion and exclusion criteria were selected through consecutive nonprobability sampling. The parents were interviewed, the New Ballard Score were examined, and the umbilical cord blood was retrieved. T-test was performed to determine the mean titre by sex, birth weight for gestational age, gestational age, maternal age, parity, and mother with comorbidity. Logistic regression analysis was used to find the factors influenced measles antibody titer. Results. Sixty four of 68 newborns were found to have positive maternal measles antibodies. The mean total titre was 2277.7 ± 1830.7 IU/l, 2061.94 ± 1554.44 IU/l for preterm and 3006.83 ± 1613.79 IU/l for term babies. Baby boys, preterm, birth weight inappropriate for gestational age, babies whose mother had comorbidity had lower titre, however these findings were not statistically significant. Conclusion. The majority of newborns had positive maternal measles antibodies with the mean total titre of 2277,7 ± 1830,7 IU/l. There were no significant variables that influenced maternal measles antibody titre in newborns.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rampengan, Novie Homenta
Abstrak :
[Latar belakang. Infeksi virus hepatitis B (VHB) di Indonesia masih tinggi dengan rerata prevalensi 9,4%. Tingginya prevalensi HB ini terkait dengan terjadinya infeksi VHB pada masa dini kehidupan, terutama melalui transmisi vertikal. Di Indonesia proporsi transmisi vertikal 45,9% dan 5,2% ibu hamil HBsAgnya positif. Cara paling efektif mengontrol infeksi VHB adalah dengan imunisasi, namun terdapat perbedaan seroproteksi titer anti-HBs pada usia lebih dari 10 tahun di berbagai tempat. Selain itu terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi titer anti-HBs, namun penelitian ini masih jarang dan belum pernah dilakukan di Manado. Tujuan. Mengetahui seroproteksi titer anti-HBs dan faktor-faktor yang dapat memengaruhi titer anti- HBs tersebut. Metode. Penelitian analitik observational dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan dengan stratified random sampling pada usia 10-15 tahun di Kecamatan Tuminting, Kota Manado sejak Oktober sampai November 2014. Data dianalisis dengan SPSS 22. Hasil. Dari 48 sekolah terpilih 10 sekolah dengan 105 anak sebagai subyek penelitian, namun hanya 23 anak yang mempunyai seroprotektif (21,9%). Sebanyak 76 (72,4%) subyek adalah perempuan, 78 (74,3%) subyek berstatus gizi baik dan 98 (93,3%) subyek memiliki berat badan lahir ≥ 2.500 gram. Dari buku imunisasi didapatkan 26 (24,8%) subyek dengan vaksinasi HB-1 ≤ 7 hari dan 45 (42,9%) subyek dengan jarak HB-2 dan HB-3 ≥ 2 bulan. Didapatkan 86 (81,9%) ibu subyek berusia 20-35 tahun, 64 (60,9%) ibu subyek berpendidikan SMA dan 79 (75,2%) orangtua subyek berpenghasilan ≥ 2 juta per bulan. Analisis multivariat didapatkan faktor pemberian HB-1 < 7 hari atau ≥ 7 hari (p=0,02) dan jarak pemberian HB-2 dengan HB-3< 2 bulan atau ≥ 2 bulan (p<0,001) berperan terhadap seroproteksi HB pada anak. Simpulan. Penelitian ini mendapatkan angka seroproteksi HB yang rendah (21,9%) serta faktor pemberian HB-1 ≤ 7 hari atau > 7 hari dan jarak pemberian HB-2 dengan HB-3 < 2 bulan atau ≥ 2 bulan berperan terhadap seroproteksi HB pada anak usia 10-15 tahun.;Background. Hepatitis B viral (HBV) infection in Indonesia is still high with average prevalence of 9.4%. The high prevalence of hepatitis B (HB) is related to the occurence of HBV infection during the early life, especially through vertical transmission. In Indonesia proportion of vertical transmission 45.9% and 5.2% pregnant women have HBsAg positive. The most effective way to control HBV infection is with immunization HB, but there is differential in anti-HBs seroprotection titer at the age more than ten years in many locations. In addition there are factors that can affect anti-HBs titer, but these studies are rare and have ever been done in Manado. Objective. Knowing anti-HBs seroprotection titer and factors that can affect the anti-HBs titer. Method. Analitic observational study with cross sectional design. Research was done with stratified random sampling in children age 10-15 years old at Tuminting district, Manado city since October until November 2014. Analise data with SPSS 22. Results. From 48 schools, selected 10 schools with 105 children as subject of research, but only 23 (21.9%) children who were having seroprotective (21,9%). A total of 76 (72.4%) subjects were female, 78 (74.3%) subjects with good nutrition status and 98 (93.3%) subjects had ≥2,500 grams birth weight. From the immunization record book 26 (24.8%) subjects were obtained with HB-1 vaccination done at ≤7 days of age and 45 (42.9%) subjects with the distance between HB-2 and HB-3 were ≥2 months. Mother’s age was found 86 (81.9%) were 20-35 years old, 64 (60.9%) mothers’s education were high school graduated and 79 (75.2%) parents subjects had income ≥2 million per month. From multivariate analysis obtained that administration of HB-1 ≤7 days or >7 days (p=0.02) and distance between administration of HB-2 and HB-3 <2 months or ≥2 months (p<0.001) had important role in HB seroprotection in children. Conclusion. This study obtained a number of low HB seroptotection (21.9%) as well as administration of HB-1 ≤7 days or >7 days and distance between administration of HB-2 and HB-3 <2 months or ≥2 months had important role in HB seroprotection in children age 10-15 years old., Background. Hepatitis B viral (HBV) infection in Indonesia is still high with average prevalence of 9.4%. The high prevalence of hepatitis B (HB) is related to the occurence of HBV infection during the early life, especially through vertical transmission. In Indonesia proportion of vertical transmission 45.9% and 5.2% pregnant women have HBsAg positive. The most effective way to control HBV infection is with immunization HB, but there is differential in anti-HBs seroprotection titer at the age more than ten years in many locations. In addition there are factors that can affect anti-HBs titer, but these studies are rare and have ever been done in Manado. Objective. Knowing anti-HBs seroprotection titer and factors that can affect the anti-HBs titer. Method. Analitic observational study with cross sectional design. Research was done with stratified random sampling in children age 10-15 years old at Tuminting district, Manado city since October until November 2014. Analise data with SPSS 22. Results. From 48 schools, selected 10 schools with 105 children as subject of research, but only 23 (21.9%) children who were having seroprotective (21,9%). A total of 76 (72.4%) subjects were female, 78 (74.3%) subjects with good nutrition status and 98 (93.3%) subjects had ≥2,500 grams birth weight. From the immunization record book 26 (24.8%) subjects were obtained with HB-1 vaccination done at ≤7 days of age and 45 (42.9%) subjects with the distance between HB-2 and HB-3 were ≥2 months. Mother’s age was found 86 (81.9%) were 20-35 years old, 64 (60.9%) mothers’s education were high school graduated and 79 (75.2%) parents subjects had income ≥2 million per month. From multivariate analysis obtained that administration of HB-1 ≤7 days or >7 days (p=0.02) and distance between administration of HB-2 and HB-3 <2 months or ≥2 months (p<0.001) had important role in HB seroprotection in children. Conclusion. This study obtained a number of low HB seroptotection (21.9%) as well as administration of HB-1 ≤7 days or >7 days and distance between administration of HB-2 and HB-3 <2 months or ≥2 months had important role in HB seroprotection in children age 10-15 years old.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia , 2020
614.5 COV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vinia Rusli
Abstrak :
Latar Belakang. Infeksi jamur invasif (IJI) merupakan salah satu penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan keganasan. Penelitian di beberapa negara mengenai kejadian IJI pada anak dengan populasi beragam mendapatkan hasil yang bervariasi, antara 5%-14%. Sampai saat ini belum ditemukan publikasi di Indonesia mengenai prevalens, karakteristik pasien anak dengan leukemia akut yang menderita IJI, spesies jamur penyebab maupun angka kematian akibat IJI. Tujuan. Mengetahui prevalens, manifestasi klinis, spesies jamur penyebab, dan mortalitas infeksi jamur invasif pada anak usia 1 bulan -18 tahun dengan leukemia akut yang mendapat kemoterapi dan mengalami neutropenia. Metode. Penelitian retrospektif deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis Januari 2010 sampai Desember 2011 dilakukan pada pasien anak dengan leukemia akut yang mendapat kemoterapi dan mengalami neutropenia, dan dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM). Infeksi jamur invasif ditetapkan berdasarkan kriteria European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) 2002. Hasil. Besar sampel diperoleh 218 episode perawatan dari 102 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Prevalens IJI pada perawatan anak dengan leukemia akut dan neutropenia yang mendapat kemoterapi adalah 12 (5,5%) dari 218 perawatan. Kejadian IJI lebih sering pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki, usia di atas 6 tahun, leukemia myeloid akut (LMA), dan kemoterapi fase induksi. Faktor pejamu yang paling banyak ditemukan adalah neutropenia>10 hari dengan manifestasi klinis tersering berupa infeksi saluran napas bawah dan lesi kulit. Spesies jamur penyebab IJI yang ditemukan adalah Candida sp. Mortalitas IJI sebesar 8/12 dengan penyebab kematian terbanyak syok sepsis. Kematian yang disebabkan infeksi jamur tidak dilaporkan. Simpulan. Prevalens IJI pada perawatan anak dengan leukemia akut dan neutropenia yang mendapat kemoterapi 5,5%. Spesies jamur penyebab IJI yang ditemukan adalah Candida sp. Tidak semua pasien dengan demam neutropenia dilakukan pemeriksaan biakan jamur. Hal ini dapat mempengaruhi angka kejadian IJI yang sebenarnya sehingga perlu penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara prospektif untuk mendapatkan gambaran IJI yang lebih pasti. ...... Background. Invasive fungal infections (IFIs) are a major cause of morbidity and mortality in patients with malignancies. Prevalence of IFIs in children in different countries varies between 5%-14%. There has been no published data of prevalence, characteristics, causative fungi, and mortality rate in children with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia in Indonesia. Objectives. To find the prevalence, clinical manifestations, fungal cause, and mortality rate of IFIs in children aged 1 month-18 years with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia in Indonesia. Methods. This was a retrospective descriptive study using medical records of children with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Pediatric Department from January 2010-December 2011. Invasive fungal infection was diagnosed according to European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) 2002 criteria. Results. A total of 218 admissions from 102 patients met the inclusion criteria. Prevalence of IFIs in acute leukemia children with chemotherapy-induced neutropenia was 12 (5.5%) from 218 admissions. IFIs were more prevalent in boys, age >6 years old, acute myeloid leukemia (AML), and induction phase of chemotherapy. The most common host factor was neutropenia >10 days, with lower repiratory tract infections and skin lesions as the most common clinical manifestations. Fungal pathogen found was Candida sp. Mortality rate was 8/12 with septic shock as the most common cause of death. IFI related mortality was not reported. Conclusion. Prevalence of IFIs in children admitted with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia was 5.5%. Fungal pathogen found was Candida sp. Fungal culture was not done in all patients with febrile neutropenia and this factor could influence the prevalence of IFIs. Further prospective research is needed to find more accurate IFIs characteristics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>