Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imam Ciptadi Putra
"Pendahuluan dan tujuan: Inkontinensia urin merupakan masalah umum pada anak-anak, dengan prevalensi berkisar antara 6-20%. Pediatric Incontinence Questionnaire (PINQ) telah dikembangkan untuk menilai kualitas hidup anak-anak dengan inkontinensia urin dan telah diadaptasi dan divalidasi ke dalam 20 bahasa. Namun, belum diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai realibilitas dan validitas PINQ.
Metode: PINQ diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh 2 orang dokter (1 ahli urologi anak dan 1 ahli urologi fungsional) dan 1 penerjemah tersertifikasi. 110 subjek berusia 6 hingga 18 tahun mengisi PINQ-ID dua kali, pada kunjungan awal dan dua minggu setelahnya. Reliabilitas konsistensi internal dinilai dengan menghitung Cronbach. Reliabilitas tes-tes ulang diukur dengan menggunakan koefisien Intra Class Correlation (ICC) untuk ukuran tunggal. Validitas kuesioner dihitung dengan mengukur koefisien korelasi Pearson terhadap total skor PINQ-ID. Variabel sosiodemografi (jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis inkontinensia) dan skor PINQ-ID dievaluasi korelasinya menggunakan ANOVA univariat, uji t independen, dan koefisien korelasi Spearman. Semua tes dilakukan dengan nilai p standar 2-tailed 0,05.
Hasil: Kuesioner PINQ terdiri dari 20 pertanyaan, masing-masing meminta subjek untuk memilih skor dari 1 hingga 5 sesuai dengan keluhannya. Skor minimal yang dapat dilaporkan adalah 20, sedangkan skor maksimum adalah 100. Pada subjek kami, skor total rata-rata untuk PINQ-ID masing-masing adalah 33,78 dan 32,32 di T0 dan T1. Perbedaan antara rata-rata ini tidak signifikan secara statistik (Tabel 1). Tidak ada perbedaan skor rata-rata antara subjek pria dan wanita pada kedua titik waktu (nilai p > 0,05). Tingkat pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan skor PINQ-ID (p 0,014). Koefisien korelasi Pearson antara 0,284 dan 0,778 dengan korelasi yang signifikan.
Kesimpulan: Studi kami mengungkapkan kelayakan, validitas, dan reliabilitas PINQ-ID yang sangat baik secara keseluruhan. Namun, beberapa item pada PINQ-ID, terutama yang berkaitan dengan relevansi klinisnya dengan budaya Indonesia, dapat memerlukan studi yang lebih lanjut.

Introduction and Objectives: Urinary incontinence is a common problem in children, with prevalences range between 6-20%. Pediatric incontinence questionnaire (PINQ) has been developed to assess quality of life children with urinary incontinence and has been adapted and validated into 20 languages. However, it has not been adapted into Bahasa Indonesia. This study aims to asses realibility and validity of PINQ.
Method: PINQ was adapted and translated into Bahasa Indonesia by 2 physicians (1 paediatric urologist and 1 functional urologist) and 1 sworn translator. 110 subjects aged 6 to 18 years old filled PINQ-ID twice, at initial visit and two weeks after. Internal consistency reliability was assessed by calculating Cronbach’s 𝛼. Test-retest reliability was measured using intra class correlation coefficient (ICC) for single measure. Validity of questionnaire was calculated by measuring Pearson correlation coefficient to total PINQ-ID score. Sociodemographic variables (gender, level of education, and type of incontinence) and PINQ-ID score were evaluated for correlation using univariate ANOVA, independent t-test, and Spearman correlation coefficient. All tests were performed with 2-tailed predefined p-value 0.05.
Results: The PINQ questionnnaire consists of 20 questions, each requiring the subject to choose a score from 1 to 5 according to their complaints. The minimal score that could be reported is 20, whilst the maximum score was 100. In our subjects, the mean total score for PINQ-ID were 33,78 and 32,32 at T0 and T1 respectively. The difference between these means was not statistically significant. There was no difference in the mean score between male and female subjects at both time points (p value > 0.05). Level of education had significant correlation with PINQ-ID score (p 0.014). Pearson correlation coefficient was between 0,284 and 0,778 with significant correlation.
Conclusion: Our study revealed overall excellent PINQ-ID feasibility, validity, and reliability. However, several items on the PINQ-ID, especially in relation to their clinical relevance to the Indonesian culture and setting, may require further exploration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adistra Imam Tri Wahyu Hadi
"Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan uretroplasti satu tahap dan fakto-faktor yang berhubungan dengan kejadian fistel urethrokutan pada institusi kami.
Metode: Semua pasien hipospadia denga riwayat belum pernah dioperasi sebelumnya dan dilakukan tindakan rekonstruksi uretroplasti satu tahap. Data diambil dari Juli 2010 sampai dengan Januari 2018. Terdapat 179 pasien yang diikutkan dan di observasi minimal selama 1 tahun pasca operasi. Data-data yang dikumpulkan berupa tipe hipospadia, teknik operasi, derajat chordee, pre-operatif piuria (sel darah putih urin > 5/HPF), panjang defek dari urethra, dan kejadian fistel urethrokutan.
Hasil: Penelitian berhasil mengumpulkan sejumlah kasus hipospadia yang terdiri dari 103 posterior (57.5%), tengah (57 kasus), dan anterior (19 kasus) yang mana dilakukan onlay preputial island flad (71 kasus), Snodgrass’ tubular incised plate (46 kasus), dan Duckket transverse preputial island flap (35 kasus). Setelah observasi selama 47.1 ± 25.8 bulan, fistel urethrokutan ditemukan pada 23 pasien (12.8%), yang diasosiasikan dengan hipospadia posterior (p = 0.025), defek urethral yang lebih panjang (p = 0.007), dan preoperative piuria (p < 0.001). Sementara derajat chordee (p = 0.886) dan usia (p = 0.187) bukanlah faktor resiko yang signifikan dalam kejadian fistel urethrokutan.
Kesimpulan: Uretroplasti satu tahap adalah sebuah prosedur yang serba guna yang dapat digunakan pada berbagai macam kasus hipospadia dengan dengan angka kejadian fistel urethrokutan 12.8%. Hipospadia posterior, pre-operatif piuria, dan defek uretral yang lebih panjang di asosiasikan dengan kejadian fistel urethrokutan

Introduction: This study aims to describe single-stage urethroplasty and determine factors associated with urethrocutaneous fistula after the procedure in our institution.
Methods: All hypospadias patients without any prior surgery undergone single stage urethroplasty from July 2010 until January 2018 were included. In total, 179 patients were followed for at least 1 year post-operatively. Types of hypospadias, operation techniques, chordee degree, preoperative pyuria (urine white blood cell >5/HPF), urethral length defect, and urethrocutaneous fistula formation were collected.
Results: We obtained 103 cases of posterior (57.5%), middle (57 cases), and anterior (19 cases) hypospadias on whom onlay preputial island flap (71 cases), Snodgrass’ Tubular Incised Plate (46 cases), and Duckett’s transverse preputial island flap (35 cases) were conducted. After 47.1 ± 25.8 months follow up, urethrocutaneous fistula were found in 23 patients (12.8%) associated with posterior hypospadias occurrence (p = 0.025), longer urethral defect (p = 0.007), and preoperative pyuria (p < 0.001). Whilst chordee degree (p = 0.886) and age (p = 0.187) was not significant factor associated with urethrocutaneous fistula formation.
Conclusion: Single-stage urethroplasty is a versatile procedure for various hypospadias cases with urethrocutaneous fistula rate 12,8%. Posterior hypospadias, preoperative pyuria, and longer urethral defect were associated with urethrocutaneous fistula formation
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Angga Risky Raharja
"Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi ureter adalah salah satu komplikasi urologi yang paling sering dari transplantasi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor independen yang berkontribusi terhadap obstruksi ureter setelah transplantasi ginjal dan mengembangkan model prediksi dari faktor-faktor tersebut.
Metode: Sebanyak 545 transplantasi ginjal dianalisis. Pasien menjalani transplantasi antara Januari 2014 dan Desember 2018. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengembangkan model prediksi. Kedua karakteristik demografis donor dan resipien serta parameter operasi dianalisis dan disajikan.
Hasil: Terdapat 37 (6,8%) subjek yang mengalami obstruksi ureter. Faktor risiko independen untuk obstruksi ureter adalah arteri ginjal allograft multipel, usia donor yang lebih tua (>38 tahun), dan usia resipien yang lebih tua (>60 tahun). Dari analisis kurva receiver operating characteristic (ROC), area di bawah kurva ROC model prediktif adalah 0,843 (P < 0,001). Subyek dengan >2 arteri ginjal allograft, usia resipien >60 tahun, dan usia donor >38 tahun memiliki kemungkinan 83,8% untuk mengalami stenosis ureter setelah transplantasi ginjal.
Kesimpulan: Usia donor, usia resipien, dan arteri multipel merupakan faktor risiko independen dari obstruksi ureter graft. Probabilitas berkembangnya obstruksi ureter harus dipertimbangkan sebelum operasi pada populasi kami, menggunakan model prediksi yang diusulkan

Introduction: Ureteral obstruction is one of the most frequent urologic complications of kidney transplantation. This study aimed to analyze independent factors that contribute to ureteral obstruction following kidney transplantation and develop predictive models form those factors.
Methods: As many as 545 kidney transplantations were analyzed. Patients underwent transplantation between January 2014 and December 2018. Logistic regression analysis was used to develop the predictive model. Both donor and recipient demographic characteristics and operative parameters were analyzed and presented.
Results: There were 37 (6.8%) subjects who developed ureteral obstruction. The independent risk factors for ureteral obstruction were multiple allograft renal arteries, older donor ages (>38 years), and older recipient age (>60 years). From the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis, the area under the ROC curve of the predictive model was 0.843 (P < .001). Subjects with >2 renal allograft arteries, recipient age >60 years, and donor age >38 years had 83.8% probability of developing ureteral stenosis after kidney transplantation.
Conclusion: Donor age, recipient age, and multiple renal arteries were independent risk factors of graft ureteral obstruction. Probability of developing ureteral obstruction should be considered pre-operatively in our population, using the proposed predictive model.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fekhaza Alfarissi
"Background: End-stage renal disease (ESRD) is a major public health concern worldwide, with peritoneal dialysis (PD) offering a key alternative to hemodialysis. However, flow restriction due to catheter migration is a common complication, affecting 7-26% of patients with PD. This study aimed to reduce complications in pediatric patients by examining a novel laparoscopic Tenckhoff catheter insertion technique using an Alken telescopic metal dilator.
Methods: In a prospective observational study conducted from September 2018 to October 2022, 33 pediatric patients with ESRD underwent laparoscopic Tenckhoff catheter insertion using a combined laparoscopic and Seldinger technique with alken dilators. This approach involves rectus sheath tunneling using a nephrostomy puncture needle, wire insertion, and dilatation of up to 15 Fr using Alken telescopic metal dilators under laparoscopic guidance. Survival analysis was used to assess catheter survival and complication rates.
Results: The mean age of the patients was 12.0 ± 3.7 years, with a median follow-up of 21.3 months. The catheter survival was 84.8% with five catheter withdrawals because of infections (4 cases) or obstruction (1 case). Early and late complications, including exit-site infection, peritonitis, and catheter obstruction, occurred at rates of 0.10, 0.03, and 0.02 episodes/patient-year, respectively. No pericatheter leakage occurred.
Conclusions: Our novel laparoscopic Tenckhoff catheter insertion technique using an Alken telescopic metal dilator is simple, minimally invasive, and is associated with high catheter survival and low complication rates. Therefore, further comparative studies are warranted.

Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global, dengan dialisis peritoneal menjadi alternatif utama hemodialisis. Namun, migrasi kateter yang menyebabkan hambatan aliran merupakan komplikasi yang sering terjadi, dengan presentase sekitar 7-26% pasien dialisis peritoneal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi teknik baru pemasangan kateter Tenckhoff secara laparoskopi menggunakan Alken telescopic metal dilator untuk mengurangi komplikasi pada pasien pediatrik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif yang dilakukan dari September 2018 hingga Oktober 2022. Sebanyak 33 pasien pediatrik dengan penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani pemasangan kateter Tenckhoff laparoskopi menggunakan teknik kombinasi laparoskopi dan Seldinger dengan dilator Alken masuk dalam penelitian ini. Pendekatan teknik operasi melibatkan pembuatan saluran melalui rectus sheath menggunakan jarum pungsi nefrostomi, pemasangan guidewire, serta dilatasi hingga 15 Fr menggunakan Alken telescopic metal dilators di bawah panduan laparoskopi. Analisis kesintasan digunakan untuk menilai catheter survival dan tingkat komplikasi.
Hasil: Rerata usia pasien adalah 12,0 ± 3,7 tahun, dengan median follow-up selama 21,3 bulan. Catheter survival mencapai 84,8%, dengan lima pencabutan kateter akibat infeksi (4 kasus) atau obstruksi (1 kasus). Komplikasi dini dan lanjut, termasuk infeksi pada lokasi keluarnya kateter, peritonitis, dan obstruksi kateter, terjadi dengan tingkat masing-masing 0,10, 0,03, dan 0,02 episode/pasien-tahun. Tidak ditemukan kebocoran di sekitar kateter.
Kesimpulan: Teknik pemasangan kateter Tenckhoff secara laparoskopi menggunakan Alken telescopic metal dilator ini sederhana, minim invasif, serta menunjukkan tingkat kelangsungan hidup kateter yang tinggi dan tingkat komplikasi yang rendah. Oleh karena itu, studi perbandingan lebih lanjut diperlukan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
William Tendi
"Background: Undescended testes (UDT) is a condition where one or both testes is absent in the scrotum. The general age recommendation in which the treatment should be performed is before 18 months old due to the infertility risk and malignancy in later life. In post-pubertal UDT, the current guideline recommends orchiectomy; however, the strength rating of this recommendation is weak. Therefore, this study aimed to provide a systematic review of post-pubertal UDT treatment, focusing on the malignancy risk point of view.
Methods: A systematic search was performed using PubMed, Wiley Online Library and the Cochrane Library up to 5 March 2023. Any study with either post-pubertal orchiectomy or orchidopexy in patients with UDT and reporting the testicular malignancy was included. The exclusion criteria were studies with lack of information of UDT correction time, no history of correction and the full text wasn’t available. The data collected were the occurrence of testicular malignancy in post-pubertal UDT patients corrected with any method. Quality and bias assessment was assessed with Newcastle-Ottawa scale and Joanna Briggs Institute tools.
Results: Seven articles (three case reports and four observational studies) were reviewed with a total of 42 patients who underwent post-pubertal correction of either unilateral or bilateral UDT. The correction age ranged from 13 to 34 years old, with follow-up of 48.7–252 months. Among those who developed malignancies, the most common were seminoma, teratoma and carcinoma in situ of the testes. In addition, this study was able to propose an algorithm for post-pubertal UDT treatment strategy.
Conclusion: The scarce resource was the main limitation of this study. Nevertheless, this review showed that post-pubertal UDT management should be tailored individually. Several factors that should be considered include the condition of the contralateral descended testis, UDT location, serum testosterone level, patient’s age, comorbidities, and interest in fertility.

Latar Belakang: Testis tidak turun adalah kondisi dimana salah satu atau kedua testis tidak ditemukan di skrotum. Secara umum, rekomendasi waktu untuk dilakukan terapi adalah sebelum usia 18 bulan karena adanya risiko infertilitas dan keganasan di masa depan. Pada kondisi pasca pubertas, terapi yang disarankan adalah orkidektomi. Akan tetapi, rekomendasi ini termasuk tingkat rekomendasi lemah. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk memberikan tinjauan sistematis untuk tatalaksana testis tidak turun, ditinjau dari sisi risiko keganasan.
Metode: Pencarian sistematis dilakukan pada tanggal 5 Maret 2023 di PubMed, Wiley Online Library, dan Cochrane Library. Semua studi mengenai orkidektomi atau orkidopeksi yang dilakukan pasca pubertas pada pasien dengan testis tidak turun dan memberikan data terkait keganasan testis dimasukkan dalam analisis. Kriteria eksklusi termasuk studi yang tidak memiliki data terkait waktu penanganan testis tidak turun, tidak ada riwayat tatalaksana dan tidak adanya manuskrip lengkap. Data yang diambil meliputi terjadinya keganasan testis pada pasien dengan testis tidak turun yang menjalani tatalaksana surgikal apapun pasca pubertas. Tinjauan kualitas dan bias artikel dilakukan dengan skala Newcastle-Ottawa dan Joanna Briggs Institute.
Hasil: Terdapat tujuh artikel (tiga laporan kasus dan empat studi observasional) yang dimasukkan ke dalam tinjauan ini dengan total pasien sebanyak 42 pasien yang mengalami testis tidak turun baik unilateral atau bilateral dan menjalani terapi surgikal pasca pubertas. Rentang usia dilakukannya tatalaksana adalah 13 hingga 34 tahun, dengan rentang waktu follow-up yaitu 48,7 hingga 252 bulan. Diantara semua pasien yang mengalami keganasan testis, jenis yang tersering adalah seminoma, teratoma dan karsinoma in situ. Selain itu, studi ini juga memberikan rekomendasi algoritma tatalaksana testis tidak turun pada pasien pasca pubertas.
Kesimpulan: Sumber pustaka yang terbatas merupakan kekurangan dari studi ini. Akan tetapi, studi ini menunjukkan bahwa pilihan tatalaksana testis tidak turun pada pasien pasca pubertas harus dibuat berdasarkan penilaian terhadap pasien secara individual. Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan pertimbangan termasuk kondisi testis kontralateral yang telah turun, lokasi testis yang tidak turun, kadar testosteron serum, usia pasien, komorbiditas, dan keinginan untuk memiliki keturunan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library