Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julius Hanafi Pertamana
"Latar Belakang Penelitian
Kapasitas kerja fisik (KKF, physical working capacity) yaitu derajat metabolisme (kerja) yang dapat dicapai oleh seseorang. KKF menilai kesanggupan seseorang untuk melakukan kerja fisik dinamis berat yang berlangsung dalam waktu relatif cukup lama (1).
WHO (1969) merumuskan bahwa physical performance capacity atau potensi untuk mencapai prestasi dari segi fisik, ditentukan oleh daya aerobik maksimum dan kapasitasnya, daya anaerobik maksimum dan kapasitasnya, kekuatan otot maksimum serta ketahanannya, koordinasi sistem neuromuskuler dan toleansi subjektif terhadap kerja (2).
Di laboratorium Ilmu Faal, KKF diukur dari daya tangkap oksigen maksimum atau daya aerobik maksimum yang disingkat sebagai V02 max. Tetapi hingga saat ini belum ada indikator kuantitatif baku yang dapat digunakan secara pasti sebagai prasyarat tercapainya optimasi latihan berupa peningkatan KKF yang nyata (1).
Mengingat dalam setiap kerja fisik tubuh memperoleh energi dari hasil metabolisme aerob dan anaerob (3,4), maka selain pengukuran V02 max. yang mengukur sistem kardiorespirasi (aerobik), perlu pula dilakukan pengukuran kadar asam laktat (AL) darah yang menilai kemampuan anaerobik tubuh.
Kemampuan anaerobik ini menjadi lebih penting setelah diketahui bahwa endurance performance mempunyai korelasi lebih baik terhadap AL daripada V02 max. (5).
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagyo Witjaksono
"ABSTRAK
Untuk menekan laju pertambahan penduduk Indonesia yang cepat yaitu 2,32 pertahun diperlukan usaha menurunkan angka kelahiran melalui Program Nasional Keluarga Berencana (PHKB). Dalam pelaksanaannya PHKB mengalami banyak hambatan karena belum ditemukannya kontrasepsi ideal yang bebas dari efek samping dan kegagalan. Beberapa peneliti melaporkan adanya perubahan-perubahan faktor pembekuan darah karena efek estrogen yang ada dalam kontrasepsi pil. Sedangkan efek progesteron lebih sedikit dibandingkan estrogen.
Penelitian ini bertujuan menyelidiki pengaruh pemakaian kontrasepsi Norplant yang berisi hormon progesteron terhadap parameter pembekuan darah, disamping itu untuk bahan perbandingan dilakukan penelitian pada kelompok pemakai kontrasepsi pil kombinasi.
Penelitian dilakukan pada 6 kelompok individu. Kelompok 1 (kontrol) terdiri dari 25 orang diambil dari donor darah PHI dan paramedis RSCH. Kelompok 2 sampai dengan 5 adalah pemakai kontrasepsi Horplant 2th,3th,4th dan 5 th dari Klinik Raden Saleh. Kelompok 2 dan 3 masing-masing 25 orang sedangkan kelompok 4 dan 5 masing-musing 20 orang. Kelompok 6 terdiri dari 25 orang pemakai kontrasepsi pil kombinasi Noriday 5 th dari Rumah Sakit AURI Halim. Terhadap masing-masing kelompok diperiksa masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, kadar fibrinogen, aktivitas AT III, aktivitas F VII dan X. Perbandingan antara masing-masing kelompok dilakukan dengan uji statistik anova dan Scheffe 5 test. Pemeriksaan dilakukan antara bulan Februari sampai dengan bulan Oktober 1987 di Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCH Jakarta.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa pada pemakaian Norplant selama 5 tahun semua parameter pembekuan darah yang diperiksa tidak berbeda bermakna dengan kontrol walaupun ada kecenderungan pemendekan masa protrombin plasma dan masa tromboplastin parsial teraktivasi, peningkatan kadar fibrinogen dan penurunan aktivitas AT III. Selain itu pada pemakaian kontrasepsi pil kombinasi semua parameter pembekuan darah yang diperiksa berbeda bermakna bila dibandingkan kelompok kontrol.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemakaian Horplant aman sampai dengan 5 tahun. Setelah 5 tahun dianjurkan pemeriksaan masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, kadar fibrinogen dan aktivitas AT III secara berkala tiap tahun sekali.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Norplant lebih aman daripada kontrasepsi pil kombinasi.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosakawati
"Tujuan Pemeriksaan: Membuktikan bahwa KSB tipe agresif menunjukkan ekspresi Ki-67 lebih tinggi dibandingkan dengan yang non-agresifi.
Material dan Metode: Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 46 blok parafin jaringan KSB tipe agresif dan non-agresif di Insta1asi Patologi Anatomi RS Kanker ?Dharmais? yang memenuhi kritcria inklusi mulai tahun 1995 - 2008 serta dapat dilacak rekam mcdiknya untuk dapat diperiksakan ekspresi Ki-67 secara imunohistokimiau Analisa data karakteristik pasien dari sampel tersebut dilakukan secara bivariat berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, jenis histopatologi.
Hasil: Rerata umur 61.30 i 11,97 tahun dengan median 61.50 tahun, pasien termuda berumur 24 tahun dan tertua 84 tahun. Berdasarkan kelompok umur didapatkan hasil sebanyak 16 pasien ( 34,8%) berumur kurang dari 60 tahun dan 30 pasien ( 65,2%) bcmmur lebih atau sama dengan 60 tahun. Pembagian berdasarkan jenis kelamin dari 46 pasiqn, laki-laki berjumlah 14 (30,4%) dan perempuan 32 (69,6%)Ekspresi Ki-67 positif pada KSB sebanyak 29 (63%) dari 46 pasien dan ekspresi negatif 17 (37%) dari 46 pasien, dengan pcmbagian pada tipe agresif terdapat 23 (50%) dari 46 pasien dan tipe non agresif 12 (26%) dari 46. Ekspresi Ki-67 negatif pada tipe agresif scbanyak 6 (13%) dari 46 pasien dan 5 (11%) dari 46 pasien tipe non-agresif. KSB tipe agresif menunjukkan ekspresi Ki-67 Iebih tinggi 79,31% dibandingkan dengan KSB tipe non agresif 70,59%.
Kesimpulan: KSB tipe agresif menunjukkan ekspresi Ki-67 lebih tinggi 79,31% dibandingkan dengan KSB tipe non agresif 70,59%. Hasil uji statistik diperoleh p value 0.097. Ada perbedaan proporsi kejadian KSB antara yang negatif dengan posititf Dari hasil analisis diperoleh OR l.597, artinya KSB agrcsif mempunyai peluang 1.597 kali dibanding dengan KSB non agresif.

Purposed: To prove that aggressive type basal cel carcinoma shows Ki-67 expression higher than non aggressive type.
Method: In this study obtained samples of 46 paraffin blocks of Dharmais Cancer Center that the criteria of inclusion from the year 1995-2008 to be assessed Ki-67 expression in histochemistry. Patient characteristics of the data analysis was performed by bivariate sample based on age groups, types of sex, type of histopathology.
Result: Rcrata age ot`61 .30 += 11.97 years with a median of 61.50 years, Patient 24 years old the youngest and the oldest 84 years. Based on the results obtained ages of 16 Patient (34.8%) aged less than 60 years and 30 Patient (65.2%) aged more than or equal to 60 years. Distribution based on the type of sex from 46 Patient, 14 men (30.4%) and 32 women (69.6%). The results of expression of Ki-67 negative on aggressive type of 6 (13%) of 46 patients and 5 (11%) of 46 patients with non-aggressive type. Aggressive type of BCC, Ki-67 expression is higher by 79.31% compared to non-aggressive type of BCC 70.59%.
Conclusion: Aggressive type of BCC, Ki-67 expression is higher by 79.31% compared to non-aggressive type of BCC 70.59%. Results obtained by statistical test p value of 0097. There is a difference between the proportion of negative events with BCC positive. The results of analysis OR 1597, that means aggressive BCC has chance BCC 1.597 times compared with non-aggressive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32294
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shelley Laksman
"ABSTRAK
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama dan sering terjadi tanpa gejala-gejala sebelumnya, sehingga diperlukan upaya pencegahan dan penangan PJK lebih dini, antara lain dengan intervensi terhadap faktor risiko PJK. Salah satu faktor risiko PJK yang penting dan dapat dipengaruhi ialah keadaan lipoprotein darah.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data profil lipoprotein pada penderita PJK, mengetahui variabel lipoprotein yang merupakan petanda PJK terbaik dan di samping itu juga bertujuan mendapatkan data mengenai pengaruh rehabilitasi terhadap keadaan lipoprotein darah penderita PJK.
Penelitian dilakukan terhadap 27 orang penderita PJK yang ditangani di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita sebagai kelompok kasus, 25 orang normal bukan penderita PJK sebagai kelompok kontrol dan 24 orang penderita yang telah mengikuti program rehabilitasi di Klub Jantung Sehat dan di Klub Jantung Koroner selama 3 tahun atau lebih secara teratur sebagai kelompok Jantung Koroner selama 3 tahun atau lebih secara teratur sebagai kelompok rehabilitas. Jenis kelamin dan usia ketiga kelompok tersebut adalah sebanding. Terhadap ketiga kelompok ini dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total, trifliserida, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL, dan apoB serum. Pemeriksaan kolesterol dan trigliserida dilakukan secara ez-zimatik, sedangkan untuk pemeriksaan apoB digunakan metode imunodifusi radial. Dilakukan pula untuk pemeriksaan apoB digunakan metode imunodifusi radial. Dilakukan pula penghitungan rasio kolesterol total/kolesterol-HDL dan kolesterol-LDL/kolesterol-HDL. Pemeriksaan dilakukan antara bulan Maret-Oktober 1987 di bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia & Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kadar variabel-variabel yang bersifat aterogenik seperti kolesterol total, trigliserida, kolesterol-LDL, apob, rasio kolesterol total.kolesterol-HDL, diikuti oleh variabel kolesterol-HDL. Program rehabilitasi pada penderita PJK ternyata cenderung menyebabkan perubahan keadaan lipoprotein darah sehingga mendekati keadaan pada kelompok kontrol. Perubahan bermakna pada kelompok ini tampak sebagai penurunan kadar trigliserida, peningkatan nilai kolesterol-HDL, penurunan nilai rasio kolesterol total/kolesterol-HDL dan rasio kolesterol-LDL/kolesterol-HDL.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Winardi
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sundari
"Penyakit autoimun adalah sindroma ldinik yang disebabkan oleh respon autoimun akibat aktivasi dari sel T maupun sel B atau keduanya terhadap antigen selfl). Penyakit ini merupakan kelainan yang cukup sering ditemukan di ldinik, dapat bersifat ringan maupun berat, terjadi akibat gangguan keseimbangan kerja sistem imun. 1 Penyebab penyakit dan patogenesisnya belum jelas. Gejala dan keparahan dari penyakit autoimun berbeda beda pad a tiap p~ien. Pemeriksaan laboratorium ANA mempunyai tingkat sensitivitas ' dan spesifisitas yang berbeda beda pada tiap penyakit autoimun; pada penyakit LES yang paling sensitif (:::; 95%). Pol a ANA yang ditemukan pada pasien penyakit autoimun dapat berupa speckled, homogen, nuldeoli, perifer, sentromer dan sitoplasma. ' Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data tentang profil ANA pada pasien autoimun yang berobat ke polildinik Alergi dan Imunologi, departemen Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi kepada ldinisi tentang pola dominan yang ditemukan pada penyakit autoimun tertentu dan membantu memperkirakan penyakitnya. Subjek diambil dari pasien dewasa (usia> 15 tahun) rawat jalan yang berobat di polildinik Alergi Imunologi (Juni 2010-Agustus 2010) dan menggunakan penelitian deskriptif. Pasien dengan stadium pengobatan stadium pengobatan : maintenance 21(52,5%), tappering offl2 (30%), dan induk~i 7 pasien (17,5%). Pemeriksaan ANA dilakukan pada 40 sampel dan 10 subjek sehat. Subjek penelitian terdiri dari 38 wanita (95%) dan 2 pria (5%) sedangkan subjek sehat terdiri dari 8 wanita (80%) dim 2 pria (20%). Usia median untuk subjek adalah 20-29 tahun sedangkan subjek sehat median umur 30-39 tahun. Kami mendapatkan 6 kontrol denga.'1 hasil negatif dan 4 hasil positif pola speckled halus dengan titer rendah 11100. Pada subjek penelitian didapatkan diagnosis LES 38 pasien (95%) dan 2 slderoderma (5%). Pada pasein LES, didapatkan hasil ANA positif 33 (87%) dan negatif 5 (13%). Pada kedua pasien slderoderma, pemeriksaan ANA nya positif. Pada pasien LES 'dengan ANA positif, karni menemukan pola speckled 26 (65%), terdiri dari speckled kasar 23 (57,5%) dan speckled halus 3 (7,5%), nuldeolar 4 (10%), homogen 2 (5%), dan anti sitoplasma antibodi 1 (2,5%). Modus titer ANA sebelum pengobatan 1110.000 dan setelah pengobatan 11100.

Autoimmune disease is an inflammatory ,disorder charactherized by autoantibodies among others to nuclear antigen.Severity and symptoms of autoimmune disease differ in each' patient. 'A laboratory test of antinuclear antibo4y (ANA) is different in every autoimmune dis~e; but in SLE, is the most sensitivetest,(:::: 95%). Patterris of ANA were' found in ~utoimmune disease , patients 'are speckled, homogen, nucleoli, peripheral, centrQmere and cytoplasmic pattern. The aim of this study was to found the pattern of ANA iIi patients that 'di~gno~d as 'autoimmune disease in Allergy and Immunology clinic, department" of internal medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital. The value of this study was to give infonnation to clinician the most frequent pattern of ANA founded in autoimmune patient and to estimate type of autoimmune disease. ' Subjects were taken in out patient in' Allergy Immunology clinic (June 2010 - Augustus 201 0) in adult autoimmune pa~ents (age:> 15 years). , ' ANA test was applied to 40 autoiininune subjects, and 10 healthy subjects. Thirty eight of subjects were wom~ (95%) and 2 of them were men (5%). The median age is 20-29 years old. (45%). Healthy 'subjects are 8 women and 2 men and median age is 30-40 years old. We found 6 healthy subjects were negative ANA test and 4 were positive fine speckled pattern and titer were low 11100. We found SLE 38 patient (95%) 'and 2 Schlerodenna (5%). From 38 SLE patient ,positive of ANA test '33 (87%) and 5 negative of ANA test (13%), and from 2 schlerodenna 100%' ANA test positive. From positive ANA test of SLE we found 26 speckled pattern (65%), devide in coarse speckled 23 (57,5%) and fine speckled 3 (7,5%),4 nucleolar (10%), 2 homogen pattern (5%), and antlcytoplasmic antib<;>dy pattern 1 (2,5%). In this study founded that the most ANA pattern and spesific for SLE patients in department internal medicine, Cipto Manglmkusumumo Hospital was speckled pattern. The stage of therapy are maintenance ' 21 ' (52,5.%), "tapering off stag~12(30%)and induction stage 7 (17,'5%) is maintenance stage and 7 patient (17,5%) in tapering off stage. , " ' Modus titer ANA Defore therapy ,1/1 0.000 and after therapy 11100."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widowati Soebaryo
"ABSTRAK
TUJUAN (1) Menentukan peningkatan risiko terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K; (2) Menetapkan gejala Minis DA-K tertentu yang berperan pada perkembangan DA-K menjadi DK-T dan dipengaruhi oleh faktor imunogenetik HLA kelas I; (3) Menetapkan efek imunitas selular disertai dengan peningkatan kadar IgE yang mempengaruhi perkembangan DA-K menjadi DK-T; (4) Menetapkan jenis HLA kelas I tertentu yang menentukan peningkatan derajat risiko terjadinya DK-T; (5) Menentukan derajat sakit DK-T pada individu dengan DA-K sebagai akibat pajanan oleh deterjen.
TEMPAT PENELITIAN Berbagai lokasi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo; Makmal Terpadu RSCM-FKUI; Labotratorium Transplantasi Makmal Terpadu RSCM-FKUI.
SUBJEK PENELITIAN Pekerja kebersihan lantai (PKL)
RANCANGAN PENELITIAN Merupakan penelitian analitik dengan (A) membandingkan pengaruh faktor intrinsik yang terdiri atas faktor individu, faktor imunogenetis, dan faktor imunologis pada responden dengan (DA-K(+)) terhadap responden (DA-K(-)) yang terpajan deterjen untuk terjadinya DK-T. Desain yang diterapkan ialah studi kasus kontrol; (B) melakukan pengamatan selama 5 bulan terhadap sejumlah responden (yang bekerja kurang dari 2 bulan) terhadap perkembangan patogenesis DA-K menjadi DK-T akibat pajanan dengan deterjen. Desain yang diterapkan ialah studi longitudinal prospektif (terbatas).
HASIL Diantara 220 PKL yang memenuhi syarat, sebanyak 136 menderita DK-T. (1)
Pada lingkup gejala klinis didapatkan DA-K merupakan faktor risiko intrinsik terjadinya DK-T, peningkatan skor DA-K diikuti oleh peningkatan skor DK-T dengan korelasi cenderung linear. Ditemukannya riwayat atopi pada diri maupun keluarga berupa asma bronkial dan rinitis alergik merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T, sedangkan adanya riwayat dermatitis atopik meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Keratosis pilaris, hiperlinearitas palmaris, dan xerosis merupakan gejala Minis primer DA-K yang meningkatkan risiko terjadinya DK-T. (2) Pada lingkup faktor imunologis didapatkan peningkatan kadar IgE dalam serum pada kadar yang lebih rendah sebagai akibat pajanan dengan antigen lingkungan pada kelompok kasus. Sel Th CD3+CD4+ dan rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ CD3+CD8+), serta sel NK (CDI6+CD56+) berperan pada derajat sakit DK-T. Se! MC (CD 16+CD56+) teraktivasi oleh sitokin yang dikeluarkan keratinosit sebagai akibat kerusakan sawar kulit oleh deterjen, (3) Pada lingkup faktor imunogenetis didapatkan temuan HLA-B15 lebih banyak pada kontrol dengan nilai p < 0.05 dan RR < 1; terlihat kecenderungan bersifat protektif dengan fraksi etiologik sebesar 60 %. HLAB53 didapatkan pada derajat sakit berat sehingga diperkirakan merupakan petanda untuk derajat sakit berat pada DK-T.
(4) Lingkup faktor risiko ekstrinsik mendapatkan waktu pajanan ? 2jam/hari meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Perbedaan derajat sakit DK-T lebih terlihat pada pH < 10, dan peningkatan pH menaikkan risiko terjadinya DK-T. (5) Analisis studi diagnostik menggunakan uji McNemar menunjukkan xerosis merupakan prediksi Minis terjadinya DK-T dengan sensitivitas 40 % dan spesifisitas 70 %, dan HLA-B15 berperan sebagai faktor proteksi. (6) Pengamatan longitudinal prospektif terbatas yang dilaksanakan selama 5 bulan terhadap responden baru yang bekerja < 2 bulan menemukan bahwa seluruh responden menderita DK-T pada akhir pengamatan. Responden DA-K(+) mempunyai kecendrungan menderita DK-T lebih awal dibandingkan dengan responden DA-K(-).
KESIMPULAN (I) Sesuai dengan peningkatan skor atopi yang diikuti dengan peningkatan skor DK-T, maka dapat disimpulkan bahwa DA-K merupakan risiko intrinsik untuk terjadinya DK-T (2) beberapa gejala klinis primer meningkatkan risiko terjadinya DK-T, terutama riwayat pemah menderita dermatitis atopik pada diri atau keluarga dan ditemukannya xerosis kutis karena xerosis akan menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga mempermudah masuknya bahan iritan ke dalam kulit (3) sel Th CD4+, rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ 1 CD3+CD8+), dan sel NK (CD16+CD56+) meningkatkan risiko terjadinya DK-T derajat berat. Kerusakan sawar kulit akan mengaktifkan sel NK(CD16+CD56+) sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi akibat kerusakan keratinosit (4) HLA-B15 merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T dan HLA-B53 cenderung merupakan petanda untuk menderita DK-T berat (5) xerosis kutis dapat berperan sebagai prediktor Minis untuk terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K (6) pajanan deterjen bersifat basa yang terjadi ? 2 jam/hari dalam waktu 5 bulan menyebabkan DK-T pada seluruh responden yang bekerja tanpa alat pelindung dengan kecenderungan menderita DK-T lebih awal pada responden DA-K(+) dibandinglcan dengan responden DA-K(-).

ABSTRACT
TITLE Clinical prediction of hand dermatitis in person with atopic skin diathesis
PURPOSE To identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors of the pathogenesis of hand dermatitis
SETTING Several different parts of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Makmal and Tranplantation Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta.
STUDY SUBJECTS Cleaning service workers
METHODS An analytical study comprises of two parts have been conducted as follows : (1) Case-control study to identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors in the pathogenesis of hand dermatitis (2) Limited longitudinal (prospective) study was performed among workers who have done the work less than 2 month, to find out the immunopathogenesis of hand dermatitis in persons with atopic skin diathesis.
The clinical sign of atopic skin diathesis consisted of the history of atopic diseases in oneself or history in the family, pityriasis alba, Dennie-Morgan line, Hertoghe sign, kheilitis, keratosis pilaris, food intolerance, palmar hyperlinearity, white dermographism, xerosis, and reduce itch threshold were evaluated to found out the clinical risk factors.
Immunological factors such as IgE in the blood was examined by Micro particle Enzyme Immunoassay (META) and cellular immunity by flow-cytometry was preformed at the Makmal Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta. Immunogenetic factors such as HLA type I was examined by microlymphocytotoxicity at the Makmal Transplantation Laboratory, Medical Faculty of the University of Indonesia, Jakarta. Statistical analysis was performed mostly with the chi-square method.
RESULTS Two hundred twenty out of 241 cleaning service workers were involved in this study. Ninety four out of 136 who suffered from hand dermatitis were recruited as the case and 84 workers who were normal (without hand dermatitis) served as the control group. (1) Atopic skin diathesis was proved as an intrinsic risk factor for hand dermatitis in the case-control study conducted. Keratosis pilaris, kheilitis, hiperkeratosis palmaris, and xerosis were found significantly as the intrinsic risk factors for hand dermatitis by using the multivariate analysis. (2) Statistical analysis of the immunological factors stated that T lymphocyte CD3+ and Natural Killer cell were proven to be the immunological risk factors for hand dermatitis. Keratinosit, after exposed to irritant, produced and released different kinds of cytokine, - included epidermal derived natural killer cell activating factor, which could activate Natural Killer cells. Increasing value of the blood IgE was observed with the mean value higher in the case group than in the control group (by using the one-sided t test) with the p value < 0.05 after the logarithmic transformation. (3) Statistical analysis of the immunogenetic factor revealed HLA-B 15 was found higher in the control group than in the case group with p value 0.022 assuming a protective factor (OR < 1) for hand dermatitis with a high (60%) etiologic fraction.
(4) Exposure time ? 2 hours/day was statistically significant as an extrinsic risk factor for hand dermatitis. Low pH (< 10) clearly showed the difference between the severe and the mild form of hand dermatitis. (5) Longitudinal study with 5 month observation period consisted of 18 cleaning service workers entering the job less than 2 month, resulted in hand dermatitis for all workers by the end of the observation period. (6) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis.
CONCLUSION: (1) Atopic skin diathesis was found to be an intrinsic risk factor for hand dermatitis (2) Kheilitis, keratosis pilaris, hiperlinearis palmans, and xerosis were clinical risk factors for hand dermatitis (3) T cell CD3+ and NK cell CD16+CD56+ were the immunological risk factors for hand dermatitis (4) the immunogenetic risk factors showed that HLA-B 15 was considered having a protective role and HLA-B53 was considered as the sign of the severe from of hand dermatitis (5) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis (6) longitudinal prospective study revealed that all the newly-working workers (less then 2 month starting the work) by the end of 5 month observation period suffered from hand dermatitis with the tendency that hand dermatitis appeared earlier in person with atopic skin diathesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D382
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amin
"Masalah Penelitian
1. Apakah penggunaan kapsul Ekstrak Phylianthus Niruri L sebagai tambahan kepada obat anti TB standar untuk pengobatan TB paru (kasus baru) mampu mempercepat waktu konversi basil tahan asam, memperbaiki
keadaan klinis dan radioiogis '?
2. Apakah pemberian per-oral kapsul ekstrak Phyllanthus niruri L kepada
OAT standar mampu meningkatkan respon sistem imun penderita TB paru,
terutama komponen sistem imun yang erat hubungannya dengan proses
penyembuhan infeksi bakteri intraseluler ?
3. Bagaimana keamanan ekstrak Phyllanthus niruri L ini terhadap pasien TB
paru bila ditambahkan ke obat anti TB standar.
Tujuan Penelitian
1. Melihat kecepatan konversi sputum, perbaikan radiologis, indeks massa
tubuh, status klinis (demam, keringat malam, berat badan, batuk,
hemoptisis), hasil laboratorium (LED, hemoglobin) pada penderita TB paru
(kasus baru) sebelum pengobatan, serta 2 bulan dan 15 bulan sesudah
pemberian obat anti TB standar + EPN adjuvan.
2. Melihat pola respon imun seluler yang diwakili oleh IFN-y, TNF-on, dan IL-6
pasien TB paru, sebelum pengobatan, sesudah 2 bulan dan Sesudah 6
bulan pengobatan dengan obat standar anti TB + EPN.
3. Melihat angka kekambuhan / gagal terapi yang terjadi sampai 1 tahun
kemudian (sesudah 6 bulan selesai pengobatan).
Hipotesis Penelitian
1. Penambahan ekstrak Phyliantus niruri L pada OAT standar pasien TB paru
pasca primer (T BPPP) kasus baru akan menghasilkan konversi BTA lebih
cepat berbeda bermakna, keadaan klinis, laboratoris Iain dan radiologis Iebih
baik berbeda bermakna dibanding pemberian OAT standar + plasebo.
2. Penambahan ekstrak Phyllanthus niruri L pada OAT standar pasien TPPP
(kasus baru) akan menghasilkan peningkatan IFN-y disertai penurunan TNF-
on dan iL-6 yang berbeda bermakna dibanding pemberian OAT + plasebo.
3. Penambahan ekstrak Phyifanthus niruri L pada OAT standar pasien TBPPP
(kasus baru) tidak akan mengakibatkan efek samping berbeda bermakna
dibandingkan dengan pemberian OAT + plasebo.
Manfaat Penelitian
Manfaat klinis
1. Apabila penelitian ini berhasil sesuai dengan yang dihipotesiskan maka
penambahan ekstrak Phyinthus niruni L bisa dipertimbangkan sebagai
terapi tambahan untuk memperbaiki keberhasilan pengobatan minimal
mengurangi kemungkinan penularan oleh kasus-kasus drop-out yang sering
terjadi
2. Diketahui keamanan ekstrak Phyflanthus niruri L bila digabung dengan
obat anti TB pada pemakaian jangka panjang.
Manfaat metodologis
1. Penelitian ini adalah suatu uji klinik, tersamar ganda, plasebo-kontrol. Suatu
metode terbaik untuk menilai secara objektif manfaat dan kekurangan suatu
obat baru, sehingga hasilnya memiliki nilai kepercayaan yang cukup tinggi.
Bisa dikembangkan sebagai model penelitian uii klinis berbagai obat
tradisional Iainnya.
Manfaat ilmu pengetahuan
1. Memberi gambaran hubungan klainan lesi TB paru pasca primer tingkat
minimal dan moderately- advance dengan sitokin proinflamasi, yang
mungkin bisa menambah data untuk menerangkan berbagai hal kontroversi
pada patofisioIogi TBPPP.
2. Membuka jalan bagi pengembangan penelitian klinis imunomodulator Iain."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D619
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>