Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christopher Surya Suwita
"Latar Belakang: Salah satu modalitas yang dapat memprediksi aritmia ventrikel pasca-infark miokardium (MI), terutama MI anterior, adalah signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), melalui deteksi late potentials (LP) yang merupakan substrat aritmia ventrikel. Faktor-faktor ekstrakardiak yang sekaligus menjadi faktor risiko MI, misalnya hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan obesitas, dipikirkan berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca-MI melalui berbagai patomekanisme, yang kemungkinan berkaitan erat dengan timbulnya LP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekstrakardiak terhadap timbulnya LP saat awal perawatan pada pasien MI anterior yang dirawat di intensive cardiac care unit (ICCU).
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan pemeriksaan SA-ECG sewaktu terhadap 80 subjek penelitian yang mengalami MI anterior di ICCU selama periode Desember 2018-2019. Riwayat medis dan faktor risiko ekstrakardiak direkapitulasi, sedangkan data SA-ECG diambil dari pemeriksaan langsung maupun data SA-ECG pasien MI anterior ICCU dalam periode tersebut. Studi ini menggunakan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil: Faktor yang paling umum ditemukan adalah hipertensi (70,00%), diikuti dislipidemia (56,25%), diabetes (46,25%), dan obesitas (38,75%). Obesitas dan dislipidemia merupakan faktor ekstrakardiak yang berperan paling besar terhadap prevalensi LP. Namun, dari analisis tambahan, kami menemukan bahwa diabetes dengan hiperglikemia akut juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya LP. Besar OR untuk diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia masing-masing adalah sebesar 4,806 (IK95% 0,522-44,232), 4,291 (IK95% 0,469-39,299), dan 3,237 (IK95% 0,560-18,707). Hubungan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Pasien MI anterior yang menderita diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia cenderung memiliki prevalensi LP yang lebih tinggi, namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna. Untuk meningkatkan nilai prognostik SA-ECG, diperlukan pemeriksaan serial selama perawatan.

Introduction: One modality that can predict ventricular arrhythmias after myocardial infarction (MI), particularly anterior MI, is signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), through the detection of late potentials (LP) which is a substrate for ventricular arrhythmias. Extracardiac factors, which are also risk factors for MI, such as hypertension, diabetes, dyslipidemia, and obesity, are apparently associated with post-MI ventricular arrhythmias, which in turn may be correlated with LP.
Aim: This study aims to determine the effect of extracardiac risk factors on LP incidence in anterior MI patients treated in the intensive cardiac care unit (ICCU).
Methods: This was a cross-sectional study in which 80 subjects with anterior MI during December 2018-2019 underwent SA-ECG examination. The medical history and extracardiac risk factors were recapitulated, then the SA-ECG data was taken from either direct examination or ICCU patients database in that period. This study used multivariate analysis with logistic regression test.
Result: The most common factors found were hypertension (70.00%), followed by dyslipidemia (56.25%), diabetes (46.25%), and obesity (38.75%). Obesity and dyslipidemia are extracardiac factors with biggest role in the prevalence of LP. However, from subgroup analysis, we found that diabetes with acute hyperglycemia also had immense influence on the occurrence of LP. The OR for diabetes with acute hyperglycemia, obesity, and dyslipidemia were 4.806 (IK95% 0.522-44.232), 4.291 (IK95% 0.469-39.299), and 3.237 (IK95% 0.560-18.707). However, the association is not statistically significant.
Conclusion: Patients with anterior MI who suffer from diabetes with hyperglycemia in admission, obesity, and dyslipidemia potentially have a higher LP prevalence, despite statistically insignificance. To increase the prognostic value of SA-ECG, serial examinations are needed during hospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Surya Suwita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu modalitas yang dapat memprediksi aritmia ventrikel pasca-infark miokardium (MI), terutama MI anterior, adalah signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), melalui deteksi late potentials (LP) yang merupakan substrat aritmia ventrikel. Faktor-faktor ekstrakardiak yang sekaligus menjadi faktor risiko MI, misalnya hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan obesitas, dipikirkan berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca-MI melalui berbagai patomekanisme, yang kemungkinan berkaitan erat dengan timbulnya LP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekstrakardiak terhadap timbulnya LP saat awal perawatan pada pasien MI anterior yang dirawat di intensive cardiac care unit (ICCU).
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan pemeriksaan SA-ECG sewaktu terhadap 80 subjek penelitian yang mengalami MI anterior di ICCU selama periode Desember 2018-2019. Riwayat medis dan faktor risiko ekstrakardiak direkapitulasi, sedangkan data SA-ECG diambil dari pemeriksaan langsung maupun data SA-ECG pasien MI anterior ICCU dalam periode tersebut. Studi ini menggunakan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil: Faktor yang paling umum ditemukan adalah hipertensi (70,00%), diikuti dislipidemia (56,25%), diabetes (46,25%), dan obesitas (38,75%). Obesitas dan dislipidemia merupakan faktor ekstrakardiak yang berperan paling besar terhadap prevalensi LP. Namun, dari analisis tambahan, kami menemukan bahwa diabetes dengan hiperglikemia akut juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya LP. Besar OR untuk diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia masing-masing adalah sebesar 4,806 (IK95% 0,522-44,232), 4,291 (IK95% 0,469-39,299), dan 3,237 (IK95% 0,560-18,707). Hubungan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Pasien MI anterior yang menderita diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia cenderung memiliki prevalensi LP yang lebih tinggi, namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna. Untuk meningkatkan nilai prognostik SA-ECG, diperlukan pemeriksaan serial selama perawatan.

ABSTRACT
Introduction: One modality that can predict ventricular arrhythmias after myocardial infarction (MI), particularly anterior MI, is signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), through the detection of late potentials (LP) which is a substrate for ventricular arrhythmias. Extracardiac factors, which are also risk factors for MI, such as hypertension, diabetes, dyslipidemia, and obesity, are apparently associated with post-MI ventricular arrhythmias, which in turn may be correlated with LP.
Aim: This study aims to determine the effect of extracardiac risk factors on LP incidence in anterior MI patients treated in the intensive cardiac care unit (ICCU).
Methods: This was a cross-sectional study in which 80 subjects with anterior MI during December 2018-2019 underwent SA-ECG examination. The medical history and extracardiac risk factors were recapitulated, then the SA-ECG data was taken from either direct examination or ICCU patients database in that period. This study used multivariate analysis with logistic regression test.
Results: The most common factors found were hypertension (70.00%), followed by dyslipidemia (56.25%), diabetes (46.25%), and obesity (38.75%). Obesity and dyslipidemia are extracardiac factors with biggest role in the prevalence of LP. However, from subgroup analysis, we found that diabetes with acute hyperglycemia also had immense influence on the occurrence of LP. The OR for diabetes with acute hyperglycemia, obesity, and dyslipidemia were 4.806 (IK95% 0.522-44.232), 4.291 (IK95% 0.469-39.299), and 3.237 (IK95% 0.560-18.707). However, the association is not statistically significant.
Conclusion: Patients with anterior MI who suffer from diabetes with hyperglycemia in admission, obesity, and dyslipidemia potentially have a higher LP prevalence, despite statistically insignificance. To increase the prognostic value of SA-ECG, serial examinations are needed during hospitalization."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Gemiana
"Latar Belakang : Efusi pleura merupakan salah satu komplikasi dari kanker atau penyakit keganasan yang sering terjadi. Efusi pleura maligna termasuk dalam 15% sampai dengan 35% dari seluruh kejadian efusi pleura dan angka kejadiannya mencapai 660 orang per 1 juta populasi secara global. Beberapa model prediksi telah dievaluasi untuk memprediksi mortalitas pada pasien efusi pleura maligna. Skor PROMISE merupakan sebuah model prediksi mortalitas 3 bulan pada pasien dengan efusi pleura maligna. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna. Metode : Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif yang melibatkan pasien efusi pleura maligna yang terdaftar tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian mortalitas tiga bulan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor Clinical PROMISE terhadap luaran mortalitas tiga bulan. Hasil : Diperoleh 120 subjek yang disertakan dalam penelitian dengan proporsi mortalitas 60,8%. Mayoritas subjek adalah perempuan (73,3%), rerata usia 55 tahun, kanker tipe lain (78,3%). Skor Clinical PROMISE memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,230, koefisien korelasi r = 0,945). Performa diskriminasi skor Clinical PROMISE baik dengan AUC 0,849 (IK95% 0,776 –0,922). Kesimpulan : Performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna adalah baik.

Background : Pleural effusion is a frequent complication of cancer or malignant disease. Malignant pleural effusion accounts for 15% to 35% of all pleural effusion cases and the incidence rate reaches 660 people per 1 million population globally. Several prediction models have been evaluated to predict mortality in malignant pleural effusion patients. The PROMISE score is a prediction model for 3-month mortality in patients with malignant pleural effusion. Aim : This study aims to evaluate the calibration and discrimination performance of the Clinical PROMISE score to predict three-month mortality in malignant pleural effusion patients. Methods : This study used a retrospective cohort method involving malignant pleural effusion patients registered in 2015-2022 at Dokter Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. A three-month mortality assessment was carried out. The collected data was analyzed using the Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit test to determine the calibration performance and creation of a Receiver Operating Curve (ROC) curve to determine the discrimination performance of the Clinical PROMISE score on three-month mortality outcomes. Results : There were 120 included in the study with the proportion of mortality as high as 60.8%. The majority of subjects were women (73.3%), mean age 55 years, other types of cancer (78.3%). The Clinical PROMISE score had good calibration performance (p = 0.230, coefficient of correlation r = 0.945). The discrimination performance of the Clinical PROMISE score was good with an AUC of 0.849 (95% CI 0.776 –0.922). Conclusion : The calibration and discrimination performance of Clinical PROMISE score ini prediction 3-month mortality of malignant pleural effusion is good."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bellinda Magdalena
"Latar belakang: Efusi pleura merupakan salah satu penyebab utama distres pernapasan di seluruh dunia. Pasien dengan efusi pleura memiliki mortalitas 30 hari 15% – 21% dan mortalitas 1 tahun 25% - 57%. Keterlambatan diagnosis dapat mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Torakoskopi medik merupakan prosedur diagnostik yang dapat ditoleransi dengan baik. Kesintasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dengan efusi pleura tanpa etiologi yang jelas belum diketahui. Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, distribusi efusi pleura, adanya keganasan, kadar serum albumin, efusi pleura eksudat, dan mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Metode: Penelitian berupa kohort prospektif pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas yang berusia > 18 dan menjalani tindakan torakoskopi medik. Penelitian dilakukan selama bulan Januari 2023 hingga Mei 2024 di ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemantauan akan dilakukan pada hari ke-30, dan 90. Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 57 pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dengan rerata kesintasan 30 hari 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 90 hari 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak mendapatkan terapi definitif meningkatkan risiko mortalitas 30 hari [HR 4,066 (IK 0,508-32,532), p=0,077] dan ECOG PS yang buruk [HR 3,928 (IK 0,887-17,391), p=0,077] meningkatkan risiko mortalitas 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita Khairan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pneumonia menimbulkan mortalitas yang cukup tinggi, karenanya diperlukan model prediksi yang akurat untuk membantu prediksi kematian pasien pneumonia. Sistem skor CURB-65 mudah digunakan namun beberapa penelitian mengindikasikan performa skor CURB-65 kurang baik sehingga diperlukan penambahan faktor prognostik baru. Faktor prognostik yang diperkirakan dapat meningkatkan performa skor CURB-65 adalah kadar albumin darah. Tujuan: Menilai kemampuan kadar albumin serta nilai tambahnya pada skor CURB-65 dalam memprediksi mortalitas pasien penumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien pneumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap melalui IGD di RSCM. Outcome penelitian ini yaitu mortalitas selama perawatan. Performa skor CURB-65 dinilai sebelum dan sesudah ditambahkan albumin. Performa kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve AUC . Hasil: 250 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 42,6 . Performa kalibrasi skor CURB-65 dengan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,990 . Performa diskriminasi skor CURB-65 ditunjukkan dengan nilai AUC0,677 IK 95 0,61-0,74 . Setelah ditambahkan kadar albumin dengan titik potong 3,125, didapatkan peningkatan nilai AUC skor CURB-65 menjadi 0,727 IK95 0,66-0,79 . Simpulan: Kadar albumin darah memiliki nilai tambah pada skor CURB-65 sebagai prediktor mortalitas pada pasien pneumonia yang masuk rawat inap. Kata Kunci: pasien pneumonia, mortalitas, CURB-65, kadar albumin darah

ABSTRACT
Background Pneumonia is an infection disease with high mortality. An accurate prediction rule is needed to help clinician in predicting mortality of pneumonia patients. CURB 65 score is a simple and well known scoring system to asses the severity of community pneumonia, but several research indicated that the performance is not really good. Added value of albumin serum in CURB 65 score should be evaluated. Aim To evaluate added value of albumin serum in CURB 65 score as mortality predictor in pneumonia patients. Methode This is a prospective cohort study of pneumonia with commorbidity patients who admitted to emergency instalation of Cipto Mangunkusumo Hospital. Mortality is the outcome that assessed during hospitalization. Performance of CURB 65 score was evaluated before and after addition of albumin in scoring system. Calibration was evaluated with Hosmer Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve AUC . Prediction performance of CURB 65 score and albumin were evaluated with ROC curve. Results 250 patients was submitted to this study with mortality rate 42,6 . Calibration plot of CURB 65 score of Hosmer Lemeshow test showed p 0,990. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,677 IK 95 0,61 0,74 . AUC of CURB 65 score added by albumin improved to 0,727 IK95 0,66 0,79 . Conclusion Serum albumin has added value to CURB 65 score in predicting mortality of pneumonia patients. Key Words pneumonia patients, mortality, CURB 65 score, serum albumin"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Trisno Murti
"Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular dan merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di dunia. Selain paru, TB dapat juga menyerang ekstraparu. Tanpa terapi, mortalitas TB sangat tinggi. Data mengenai TB ekstraparu masih sedikit di Indonesia. Tatalaksana TB ekstraparu serta hasil pengobatannya juga masih jarang diteliti.
Tujuan. Mengetahui hasil pengobatan TB ekstraparu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang sudah menggunakan standar pengobatan TB ekstaparu di Indonesia
Desain Penelitian. Penelitian berdesain kohort retrospektif ini dilakukan menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien tuberkulosis ekstraparu pada 1 Januari 2014 - 31 Desember 2017 di RSCM.
Hasil Penelitian. Dari 78 subjek penelitian yang menderita TB ekstraparu, prevalensi terbanyak adalah TB kelenjar getah bening yakni 27 subjek (34,6%). Sebanyak 62 (79,5%) subjek dinyatakan mengalami keberhasilan pengobatan dan 58 (74,4%) subjek diantaranya diobati sesuai dengan panduan. Pada analisis multivariat terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan keberhasilan pengobatan TB ekstra paru.
Simpulan. Keberhasilan pengobatan TB ekstraparu di RSCM 79,5%. Pengobatan TB ekstraparu di RSCM sudah sesuai dengan panduan terapi TB ekstraparu di Indonesia 74,4%. Keberhasilan pengobatan TB Ekstraparu pada wanita lebih besar dibandingkan pria.
Background. Tuberculosis (TB) is an infectious disease and also one of 10 prevalent causes of death worldwide. Apart from lungs, TB also affects extra-pumonar organs. Without treatment, TB mortality is very high. There are only limited data on extrapulmonary TB in Indonesia. Extrapulmonary TB treatment and the outcomes are also rarely studied.
Objective. To evaluate the results of standardized extrapulmonary TB treatment in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) according to extrapulmonary TB standard treatment used in Indonesia.
Methods. This is a retrospective cohort was carried out with secondary data from medical records of extrapulmonary tuberculosis patients in between January 1st 2014 - December 31st 2017 at RSCM.
Results. Of the 78 subjects who suffered from extrapulmonary, the highest prevalence extrapumonary TB was lymphadenitis TB in 27 subjects (34,6%). A total of 62 subjects (79,5%) were declared cured and 58 (74,4%) subject treated according to the guidelines. There is related between gender to recovery.
Conclusion. The success of extrapulmonary TB therapy at RSCM was 79,%. Extrapulmonary TB treatments at RSCM were in accordance with guidelines for extrapulmonary TB therapy in Indonesia 74,4%. The success of extrapulmonary TB treatment in women is greater than men"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Hero Wantara
"

Latar Belakang : Pasien kanker paru sering mengalami pneumonia, hal ini terjadi karena penurunan daya tahan tubuh. Pneumonia menyulitkan penanganan, memperburuk kualitas hidup, mengurangi survival  dan seringkali merupakan penyebab  langsung kematian pasien kanker paru. Penangananan pneumonia pada pasien NSCLC(non small cell lung cancer) dengan antimikroba yang terus menerus tanpa memperhatikan kultur sensisitivitas akan menyebabkan resistensi dari kuman penyebab pneumonia tersebut.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien NSCLC, pola kuman penyebab pneumonia pada pasien NSCLC, dan membandingkan kesintasan pasien NSCLC yang menderita pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR (multidrug resistance) dengan yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.

Metode : Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan subjek penelitian adalah pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR dan non-MDR yang dirawat di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo bulan Januari 2013–Desember 2017. Analisis dilakukan dengan analisis multivariat regressi cox.

Hasil: Setelah dilakukan pemeriksaan kultur BAL(Bronchoalveolar lavage), cairan pleura dan sputum, diperoleh 32 subjek hasil  kulturnya hanya bakteri MDR, 14 subjek  tumbuh bakteri MDR dan non-MDR, dan 23 subjek hanya tumbuh bakteri non-MDR.  Bakteri non- MDR terbanyak penyebab pneumonia pada pasien NSCLC adalah Klebsiella pneumoniae sebanyak 37,3%, sedangkan bakteri MDR yang terbanyak menyebabkan pneumonia pada pasien NSCLC adalah  Acinetobacter baumannii  sebanyak 23,2%. Median survival Pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri MDR adalah 57 hari(43,707-70,293) sedangkan yang oleh bakteri non-MDR 92 hari(58,772-125,228). 

Simpulan : kesintasan pasien NSCLC dengan pneumonia yang disebabkan  oleh bakteri MDR lebih singkat daripada yang disebabkan oleh bakteri non-MDR.

 


Back Ground: Lung cancer patients often experience pneumonia. This is due to the decrease in body endurance of the patients. Pneumonia complicates treatment, worsens the quality of life, reduces survival and is often a direct cause of death for lung cancer patients. Dealing with pneumonia in non-small cell lung cancer (NSCLC) patients with continuous antimicrobials treatment without regard to culture sensitivity will cause resistance of germs that cause pneumonia.

Objectives: This study aims to study the characteristics of NSCLC patients, the pattern of germs that cause pneumonia in NSCLC patients, and to compare the survival of NSCLC patients suffering from pneumonia caused by MDR (multidrug resistance) bacteria with those caused by non-MDR bacteria.

Methods: This study was a retrospective cohort with research subjects was NSCLC patients with pneumonia caused by MDR and non-MDR bacteria who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to December 2017. Analysis was performed with multivariate cox regression analysis.

Results: The results of the culture examination of BAL(Bronchoalveolar lavage), pleural fluid and sputum showed that 32 subjects were infected only from MDR bacteria, 14 subjects infected by both MDR and non MDR bacteria, and 23 subjects were infected by only non MDR bacteria. The most non-MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Klebsiella pneumoniae as much as 37,3%, while the most MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Acinetobacter baumannii as much as 23,2%. Median survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria was 57 days(43,707-70,293) while those by non-MDR bacteria was 92 days (58,772-125,228).

Conclusions: The survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria is shorter than that caused by non-MDR bacteria.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Firhat Idrus
"Latar Belakang: Kanker pankreas merupakan penyakit dengan kesintasan rendah dan kesulitan untuk melakukan diagnosis. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)-Scan abdomen dan Ca 19-9 merupakan modalitas yang murah, mudah, dan terjangkau dalam diagnosis kanker pankreas. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis kanker pankreas tetapi belum banyak tersedia di fasilitas kesehatan di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan diagnostik CT-Scan abdomen dan Ca 19-9 dibandingkan dengan EUS-FNA dalam diagnosis kanker pankreas.
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan melihat rekam medis 62 pasien dengan kecurigaan kanker pankreas di RSCM pada tahun 2015-2019. Diambil pasien-pasien yang memiliki data Ca 19-9 dan CT-Scan abdomen yang kemudian dilakukan EUS-FNA untuk penegakan diagnosis kanker pankreas.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas CT-Scan abdomen masing-masing 76,27% dan 100%, sedangkan Ca 19-9 masing-masing 67,8% dan 33,33%. Nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), rasio kemungkinan negatif (RKN), dan akurasi CT-Scan abdomen masing-masing adalah 100%, 17.65%, tidak dapat dinilai, 0,24 , dan 77,42%. Nilai duga positif, NDN, RKP, RKN, dan akurasi untuk Ca 19-9 masing-masing adalah 95.24%, 5%, 1,02, 0,97, dan 66,13%.
Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan CT-Scan Abdomen dan Ca 19-9 memiliki sensitivitas yang tinggi untuk kanker pankreas. Computed Tomography abdomen dapat digunakan untuk diagnosis kanker pankreas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Introduction: Pancreatic cancer is a disease with low survival rate and difficult to diagnose. Abdominal computed tomography (CT) and Ca 19-9 are diagnostic modalities which are easy, simple, and non-invasive in diagnosis of pancreatic cancer. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) is the gold standard for diagnosis of pancreatic cancer but it is not available in many health care facilities in Indonesia.
Purpose: This study aims to know the diagnostic accuracy of abdominal CT and Ca 19-9 compared to EUS-FNA for diagnosis of pancreatic cancer.
Methods: The design of this study is cross-sectional by searching medical record of 62 patients with clinical suspicion of pancreatic cancer in Cipto Mangunkusumo hospital from year 2015-2019. Patients who undergo EUS-FNA with clinical suspicion of pancreatic cancer and have abdominal CT and Ca 19-9 data is included.
Results: The sensitivity and specificity of abdominal CT are 76.27% and 100%, respectively, and Ca 19-9 are 67.8% and 33.33%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of abdominal CT are 100%, 17.65%, unmeasurable, 0.24 , and 77.42%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of Ca 19-9 are 95.24%, 5%, 1.02, 0.97, and 66.13%, respectively.
Conclusion: The combined sensitivity of abdominal CT and Ca 19-9 has high sensitivity to diagnose pancreatic cancer. Abdominal CT can be used to diagnose pancreatic cancer with good sensitivity and specificity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>