Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Mianti
"Penelitian ini berangkat dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana film sebagai salah satu produk kesenian dapat juga digunakan untuk merepresentasikan realita sosial yang ada di masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengulas konten film Tanda Tanya sebagai salah satu film yang merepresentasikan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Dalam konteks penelitian ini, aspek utama yang dinilai adalah konten film secara struktural yaitu aktor-aktor membentuk suatu relasi yang digambarkan melalui dialog, adegan, dan alur cerita dalam film. Relasi yang terjalin antar aktor menciptkan struktur sosial yang mendefinisikan diri mereka pada kelompok-kelompok tertentu. Misalnya dalam film Tanda Tanya ada kelompokkelompok agama yang sifatnya puritan maupun sinkretis. Struktur sosial yang terbentuk dalam film mencerminkan realita yang ada di masyarakat.
Selain aspek diatas beberapa aspek penting lainnya yang dianggap berpengaruh terhadap film sebagai representasi sosial adalah aspek kultural. Aspek kultural yang ditunjukan ke dalam bentuk penanaman nilai-nilai atau ideologi Sutradara ke dalam kreasi film. Penanaman nilai-nilai tersebut mempunyai motivasi untuk menggambarkan situasi ideal di masyarakat atau dapat juga digunakan sebagai ekspektasi Sutradara terhadap suatu konteks sosial masyarakat tertentu.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa film Tanda Tanya berhasil mengubah suatu produk seni menjadi karya ilmiah melalui kacamata sosiologi dengan memotret kehidupan keberagamaan yang ada di Indonesia. Kehidupan keberagamaan tersebut dicerminkan melalui sikap pluralisme antar anggota kelompok agama tertentu terhadap kelompok agama lainnya. Adegan interaksi antar anggota kelompok agama satu dengan yang lainnya diambil melalui beberapa kasus yang terjadi dalam realita sosial di masyarakat sehingga dengan begitu film Tanda Tanya adalah salah satu dari sedikit film di Indonesia yang menggambarkan proses kehidupan keberagamaan yang sebelumnya toleran namun karena adanya factor-faktor eksternal menciptkan konflik-konflik sesuai dengan realita sosial di masyarakat.

This study aims to learn how far a movie, as an artistic product, is used to represent reality in the social world. This study employs qualitative approach to cover contents in ?Tanda Tanya? as a movie representing religious life of the Indonesian people. In the context of this study, the main aspect considered is the structural contents, which is relations shaped by the actors through dialogues, scenes, and story plots of the movie. Bonded relations among actors create social structures that define themselves into certain groups. For instance, in the movie, there were several religious groups of puritan and syncretism. Social structures formed in the movie reflect reality in the society.
Besides the aspects above, another relevant aspect also influenced the social representation in the movie, which is the cultural aspect. Culture is represented by the director's values and ideologies incorporated into his creation. Such values motivated to illustrate the ideal situation in the society or could be used as the director?s expectations on a certain social context.
The results to this study shows that the movie ?Tanda Tanya? succeeded in shifting an artistic product into a scientific product, using sociological view to snap the religious life in Indonesia. The religious life is reflected through the state of pluralism between members of a certain religious group and other religious groups. The scene where interactions between one religious group to another was taken from many cases which happened in the social reality. Thus, the movie is one of many Indonesian movie illustrating the process of religious lives, which was previously tolerant but then various external factors created conflicts, just as in the social reality.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fikriyah Khuriyati
"Tesis ini membicarakan mengenai operasi kekuasaan melalui symbol-symbol oleh kelompok yang dianggap berada pada posisi pemegang kekuasaan yaitu para politisi parlemen, anggota DPR RI. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif, melalui wawancara mendalam dengan open ended question, observasi partisipatif dan pengumpulan data sekunder lainnya.
Hasil penelitian menyatakan bahwa anggota DPR secara aktif memproduksi srrnbol-simbol estetika mereka sebagai anggota DPR yang terhormat itu melalui atribut-atribut simbolik penanda status anggota DPR didukung design setting fisik yang berimplikasi pada tindakan kultural yang memperbesar pembedaan sosial antara dua kategorisasi besar, ariggota DPR dan bukan anggota DPR. Pembedaan dipertontonkan secara terbuka. Pembedaan juga disampaikan melalui tutur kata dan dominasi wacana dari penutur yang memiliki otoritas berdasar statusnya sebagai anggota DPR. Dominasi tersebut sedemikian halus sehingga mendapat penerimaan, bahkan diinternalisasi dan direproduksi oleh mereka yang disubordinasi. Dominasi ini bekerja melalui modus kekerasan simbolik yang halus dan nyaris talc kasat mata, bertujuan untuk memantapkan posisi dan standar estetika anggota DPR, sekaligus menyatakan pembedaannya dengan masyarakat pada umumnya.
Simbol secara aktif diproduksi untuk mewakilkan kenyataan penguasaan modal-modal. Di sini pembahasan simbol didekati melalui pendekatan isu kekuasaan. Melalui pendekatan kekuasaan, sistem simbol tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengetahuan dan komunikasi, melainkan lebih jauh dari itu simbol juga berperan sangat panting sebagai instrumen dominasi guna menyatakan suatu kekuasaan.
Simbol (termasuk juga Bahasa) bukanlah suatu alat pemahaman subjek terhadap gagasan maupun realitas saja. Melainkan suatu instrumen yang digunakan para subjek untuk menyatakan relasi kekuasaannya dengan subjek lainnya di dalam lingkungan struktur. Sebagai instrumen is merupakan alat bantu untuk menunjukkan pembedaan sosial dan sekaligus membangun ketidaksetaraan posisi antar subjek.
Simbol-simbol dengan demikian mengalami pembobotan menjadi suatu modal yang diperlukan dalam membangun daya tawar dalam menentukan posisi setiap subjek di dalam ranah. Simbol-simbol itu terklasifikasi secara sederhana dalam modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, serta modal simbolik. Setiap modal mengalami pertumbuhan, konversi, dan akumulasi.
Kemampuan setiap subjek melakukan pertumbuhan, konversi, dan akumulasi modal-modal tersebut, menentukan posisi setiap subjek tersebut di dalam suatu medan pertarungan daya-daya simbolik. Medan daya-daya tersebut adalah medan daya yang tidak pernah tetap dan diam, melainkan terus-menerus bergerak dinamik. Setiap subjek berusaha untuk struggle dalam mempertahankan dirinya serta memantapkan posisinya dalam medan daya yang terns bergerak tersebut.
Ini seperti metode menjelaskan bagaimana pola suatu struktur terbentuk dan bekerja membangun ketidaksetaraan dengan cara-cara yang sangat kultural. Kontestasi, konflik, dan ketidaksetaraan adalah karakter dad struktur yang terbentuk. Bukan suatu kemapanan, melainkan suatu struktur yang senantiasa longgar dan terns bergerak.

This thesis is about power operation through symbols of groups recognized holding power, i.e., parliament members. This is explorative research undergoing deeper interviews with open ended question, participative observation and other secondary data.
The result of the research states that members of parliament actively reproduce their own esthetic symbols as parliament members through symbolic attributes marking status as parliament member. This design carries cultural measures enhancing social distinction between two main categories: member or not member. This social distinction is openly exhibited. This social distinction is also submitted through language and domination of discourse. Domination is softly working that accepted, internalized and reproduced by subordinates. Domination is working through modes of soft symbolic violence and is almost not visible. The purpose of domination is to strengthen position and esthetic standard as parliament member, all together states their distinct from ordinary people.
Symbols actively reproduce to represent domination of capitals. Here, discussion of symbols is approached by issues of power point of view. Trough power approach, the system of symbols does not have function as knowledge and communication instruments, but symbols also have roles as instruments of domination stating a power.
Symbols (including language) is not only a means of understanding of ideas and realities. Symbols is also a means manipulated by subjects to declare the relation of power to other subjects.
Therefore, symbols is to be capital needed to build bargaining position that ensure position of the subjects, Symbols is simply clarified in economic, social, and cultural, as well as symbolic capitals. Each is growing, conversing and accumulating.
The subject's capability to grow, converse and accumulates those capitals decides position of the subject in the battle field of the force of symbols. The field is not static, instead of move and dynamic. Subjects attempt to struggle to maintain and to strengthen their own position in the moving field.
This is a method of explanation of how the pattern of a structure built and how to build distinction with the cultural modes. Constellation, conflicts, distinctions are character of the structure. They are not established, instead of Ioosing and keep moving."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24291
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Khabiba
"Skripsi ini membahas proses transfer nilai yang terdapat di lembaga pendidikan anak usia dini dalam kajian sosiologi organisasi. Proses transfer nilai tersebut dilihat dari proses yang terjadi di lembaga pendidikan biMBA-AIUEO, sebuah lembaga pendidikan anak usia dini yang didirikan oleh Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPAI) yang bertujuan untuk menumbuhkan minat baca dan belajar anak usia dini. Dengan menggunakan teori institusionalisasi, hasil dari penelitian ini adalah proses transformasi yang terjadi dalam proses transfer nilai di lembaga pendidikan anak usia dini, yang dikaji melalui tahap-tahap di Soft Systems Methodology.

This final paper discusses the process of value transfer in early-childhood institution, in the study of organizational sociology. This value transfer process is viewed from the processes that occur in biMBA-AIUEO, an early-childhood education insititution from Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPAI) which aims to foster interest in reading and learning the early-childhood. By using institutionalization theory, the result of this study is a transformation process that occurs in the value transfer in the early-childhood education insititution, being studied by using of Soft Systems Methodology."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henrek Lokra
"Studi-studi tentang kemiskinan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Berbagai model dan pendekatan untuk merumuskan dan mencari solusi untuk mengatasi persoalan ini tidak terhitung lagi. Namun satu hal yang patut dipertanyakan dan merupakan bagian inti pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah: apa yang dipahami oleh masyarakat miskin sendiri tentang dirinya? Jika mereka diberi ruang untuk berbicara, apa yang akan mereka katakan tentang diri dan eksistensinya? Secara sadar maupun tidak, sebetulnya melalui studi-studi tersebut, kita telah banyak terlibat dalam mendefinisikan dan mengkonstruksikan realitas sebuah masyarakat yang kita sebut masyarakat miskin. Berbagai indikator di pakai untuk mengkategorikan masyarakat berdasarkan kepentingan sang peneliti. Di sini terjadi distorsi terhadap eksistensi masyarakat secara substansial. Pada sisi ini, dengan menggunakan logika Spivak 'can the subaltern speak',' maka jelas sekali terlihat kesenjangan dalam konstruksi berpikir kalangan peneliti dan objek yang ditelitinya yakni masyarakat miskin itu sendiri. Dengan memasukan variabel agama dalam memotret realitas kebudayaan kemiskinan pada suatu komunitas masyarkat, studi ini sebetulnya mencoba menjawab pertanyaan, pengaruh ide protestantisme Weber dalam konteks Maluku yang notabene menganut paham Calvinisme dalam ajaran kegerejaannya. Kebudayaan kemiskinan sebagai pendekatan teori akan juga dikaji dengan menperhatikan secara khusus konteks geografis masyarkat kepulauan di Tanimbar Utara yang menjadi fokus atau lokasi penelitian ini. Pendekatan teori kebudayaan kemiskinan tidak dimaksudkan untuk memperdebatkan secara sejajar teori atau pendekatan lainnya terhadap kemikinan (strukturl). Kebudayaan kemiskinan sebagaimana yang dimaksudkan Lewis adalah sebuah upaya yang lebih dari pada sekedar memperbaiki status sosial kalangan miskin. Menurut Lewis, dalam kebudayaan kemikinan justru lebih mudah membuat orang miskin menjadi tidak miskin, daripada menghapuskan kebudayaan kemiskinan dari realitas orang kaya sekalipun. Kebudayaan kemiskinan merupakan penerusan nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi di kalangan masyarkat miskin tersebut. Jika kebudayaan kemiskinan sebagai sebuah problematika sosial mesti mendapat penanganan secara serius dan sistematis, maka studi ini menganggap pentingnya posisi dan peran agama dalam mentrasformasikan sistem nilai tersebut dalam masyarakat berkebudayaan kemiskinan. Agama memiliki peran yang strategis dan fundamental dalam sebuah sistem masyarakat. Di kepulauan Tanimbar Utara, peran agama sangat menentukan berbagai hal dalam peradaban masyarakat setempat. Agama yang dimaksudkan dalam studi ini adalah Protestantisme di Maluku, yang dalam catatan sejarah masuknya bersamaan dengan misi dagang Belanda (VOC). Masuknya protestantisme di Maluku, telah merubah secara signifikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Sumbangan yang paling nyata dari protestantisme di Maluku adalah ekspansi keagamaan yang menyebar secara merata di seluruh negeri di Maluku tanpa terkecuali. Selain itu di bidang pendidikan, sumbangan paling besar juga diberikan oleh Belanda selama masa pendudukannya di bumi Cengkih dan Pala ini. Namun tidak dapat disangkal bahwa, dengan terbukannya fasilitas yang disediakan oleh kolonialisme Belanda, juga terjadi pergeseran yang substansial dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Maluku. Di Ambon-Lease misalnya, rasionalisme dan filsafat Barat telah mereduksi hakekat kebudayaan masyarakat setempat dengan struktur institusi 'tiga batu tungkunya' (selanjutnya disingkat TBT). Artevak-artevak kebudayaan asli masyarakat Ambon-Lease (seperti bahasa daerahnya) telah hilang tanpa bekas. Segala sesuatu yang berkaitan dengan adat kepercayaan masyarkat setempat (termasuk cara penyembahannya kepada Tuhan/Upu) yang diyakini sebagai Penguasa Langit dan Bumi, diganti dan dianggap sebagai penyembahan berhala oleh logika dan rasionalitas Barat tersebut. Di Tanimbar Utara, meskipun tidak terjadi pereduksian terhadap artevak kebudayaan masyarakat setempat, namun pemaknaan struktur TBT yang diganti dengan peran strategis dari gereja untuk kepentingan misi dagang Belanda telah mendominasi konstruk masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah lagi jika dilihat dari fakta keterisolasian dan marginalisasi yang sudah lama menjadi realitas sosial masyarakat di kepulauan Tanimbar Utara tersebut. Konteks geografis yang lebih luas wilayah laut daripada wilayah daratnya ini, telah menjadi kondisi di mana stigma masyarakat tertinggal, menjadi fakta kehidupan mereka. Pada level kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, sangat terasa dampak diskriminasi yang sangat kuat. Namun masyarakat itu hidup terus dan mengalami kondisi keterpurukan ini sebagai bagian dari sejarah panjang mereka. Muncul sikap apatis dan pasrah terhadap nasib, dengan sendirinya melegitimasi fakta bahwa masyarakat ini 'mapan dalam keterpurukan'. Pemaknaan kontekstual terhadap pendekatan teori kebudayaan kemiskinan (Lewis) dan The Protestant Ethic (Weber) dalam konteks dan sejarah perkembangannya tentu akan berbeda dengan konteks di mana studi ini dilakukan. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa kebudayaan kemiskinan justru menjadi persoalan yang serius di masyarakat. Persoalan kontekstual adalah gereja dan stakeholders lainnya dalam masyarakat tidak memiliki pengetahuan cukup tentang fenomena kebudayaan kemiskinan. Ini berakibat pada model intervensi yang sering keliru dan salah sasaran. Etika protestan sebagai 'baju hangat' dalam konteks masyarakat materialisme ini cenderung dilepaskan, dan karena itu etika protestantisme kemudian menjadi apa yang disebut Weber sebagai 'sangkar besi' peradaban masyarakat agama-agama dewasa ini.

The studies of poverty have been done by many scholars in Indonesia. Diverse theoretical perspectives and schemes to formulate and to find solutions to overcome this problem are unaccountable. Be that as it may, the intriguing questions remains: what are the perceptions of poor people about themselves? If they have been given space to speak, what are they going to say about themselves and their existence? Consciously or unconsciously, actually through these studies, we have been involved in defining and constructing realities about society of the poor. Various indicators have been used to categorize society according to the interests of researchers. On one hand, distortions of the existence of society has taken place substantially. On the other hand, by using Spivak's terms, 'can the subaltern speak', it is obvious that there are gaps in the structure of mind between researchers and the object of their study which is society of the poor themselves. By inserting religion as variable in potraying the reality of the culture of poverty in one society, this study actually addresses a specific research problem as to how Weber's Protestant Ethic's influence in the context of Moluccans who are the follower of Calvinism. The culture of poverty as a theoretical perspective will be examined by focusing specifically the context of insular society in North Tanimbar which is the focus of this study.The theoretical model of the culture of poverty in this study is not meant to discuss equally another theoretical perspectives to poverty (structural). The culture of poverty as proposed by Lewis is more than an attempt improve the social status of the poor. According to Lewis, it is easier for one to use the culture of poverty to make the poor less poor, than to eliminate the culture of poverty from the rich. The culture of poverty is the reproduction of values from one generation to another among the poor. If the culture of poverty as a social problem has to be considered seriously and sistematically, this study emphasizes the importance of the position and the role of religion in transforming these values among the poor. Religion has strategic and fundamental role in society. In North Tanimbar, the role of religion is very decisive. The religion discussed in this study is Protestantism, which came to Maluku along with the Dutch colonialism. The arrival of Protestantism in Maluku has changed significantly the social and cultural life of its people. The most important contribution of Protestantism in Maluku is the religious propagation across the region. However, it can not be denied that with the various facilities provided by the Dutch colonialism, substantial changes in the social and cultural life of Moluccans has taken place. In Ambon-Lease for example, rationalism and western philosophy have been reducing the essence of culture in local society with its 'tiga batu tungku' sructural institutions. The artefacts of the original culture of Ambon-Lease (local language, for instance) has dissapeared. All the things related to local beliefs (including the God worship/Upu) has been replaced because it is considered as idoltry by the logic and western rationality. In North tanimbar, although the reduction to the local cultural artefacts has not been occurred, the structure of 'tiga batu tungku' has been replaced by the strategic role played by the church, and it has come to dominate the structure of the people's mind. This condition actually has been worsened by the geographical situation of North Tanimbar which is structurally marginalized by the central government. The geographical context of this area has becoming their stigma as underdeveloped society. Above all, North Tanimbar has been discriminated for years in trems of central government's policy. Be that as it may, the people has been living in this situation and consider it as a part of their long history as the poor.Contextual meaning of the theoretical perspective of the culture of poverty by Lewis and the Protestant Ethic by Weber in their context and developmental history will be different with the context discussed in this study. Be that as it may, the empirical data show that the culture of poverty has become the major social problem in society. Above all, the church and the other stakeholders do not have adequate knowledge about this phenomenon. As a consequences, the mode of interventions made by government or non government organizations have often been wrong. The Protestant Ethic as 'warm cloth' in the context of materialism society tends to ignore, and because of that, the Protestant Ethic has become what Weber called 'iron cage' to the civilization of the society of religion in contemporary era."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 22750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivandy Ramlan
"ABSTRAK
Pelayanan Hukum merupakan salah jenis jasa pelayanan publik yang
ditawarkan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Propinsi Jawa Barat. Diwakilkan Divisi pelayanan Hukum dan HAM, semua
jenis pelayanan publik yang ada pada seluruh direktorat pusat di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dijalankan pada tingkat propinsi terkecuali
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Kantor Wilayah Jawa Barat sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas melaksanakan semua tugas dan
fungsi Kementerian termasuk dalam hal pelayanan Hukum dan HAM, luasnya
wilayah dan terbatasnya jumlah Sumber Daya manusia yang berkompeten
merupakan beberapa dari pokok permasalahan yang dihadapi saat ini. Diperlukan
solusi dalam mememecahkan persoalan diatas dengan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia aparatur Kementerian dan pembentukan unit pelaksana
teknis di daerah untuk direktorat pelayanan hukum sehingga pelayanan dapat
dirasakan tiap lapisan di dalam masyarakat.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai pelayanan yang ideal di dalam
masyarakat maka dilakukan suatu penelitian kualitatif tentang pelayanan hukum
pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mana
mengambil sampel pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Provinsi Jawa Barat yang dianggap mewakili gambaran secara utuh
tentang pelayanan hukum pada propinsi dengan skala yang luas dan tingkat
permintaan yang bervariasi.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui apa yang menjadi faktor
terhambatnya pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan seperti apa
pelayanan yang ideal dan dibutuhkan masyarakat umum khususnya pada Provinsi
Jawa Barat.

ABSTRACT
Public Law service is one of the public service that provide by The
Ministry Of Law and Human Rights in West Java Province Office. Law service
division delegate every services was given by Directorate Generals under the
Ministry Of Law and Human Rights Republic Indonesia beside Directorate
General of Imigrastion and Directoraste General of Corecctions.
Ministry Of Law and Human Rights West Java Province Office as the
delegetion from The Ministry Of Law and Human Rights Republic Indonesia held
the responsible of the Ministry duty , including Public Law and Human Rights
services. The increasing of the territory and high demand for services are some of
the constrains which has been facing nowadays.
The Solution for the problem is needed. Maximizing the Public Law Service by
increasing the quality Of Human Resources apparatus and also providing the
existence of technical execution unit for Public Law and Human Rights services
directorate, both in central and region. In general, society will be able to take
advantage of the services.
In order to get ideal description about The Law and Human Rights
service, the quatitative research is execute to define Law service which given by
Ministry Of Law and Human Rights at West Java Province Office that reperesent
the big picture of Law service in the province area with a larger scale and
variative demands level.
The objective aim of the research is to ensure what factors that become the
obstacle for the Law Service to be delivered in the society and also the ideal form
of services that supposed to be provide and needed in general sepecificly in west
Java area."
Lengkap +
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anuri Furqon
"Tesis ini menjelaskan tentang bagaimana masyarakat muslim Jakarta memaknai tentang ulama di Jakarta. Fokus penelitiannya adalah bagaimana komunikasi sosial memungkinkan sirkulasi pengetahuan sosial Lentang keulamaan dalam Ruang Jakarta. Ulama bagi masyarakat Islam merupakan poros kegiatan religiusitasnya dengan memotret ulama kita bisa melihat baaimana masyarakat muslim Jakarta berkembang. Teori yang digunakan adalah teori representasi sosial, teori yang melihat bagaimana pengetahuan sosial terbentuk dan berkcmbang. Teori ini mclihat bagaimana masyarakat merupakan organisme yang otonom dalam memahami hal yang masuk dalam sistem ide, nilai dan praktiknya yang tampak pada pengetahuan sosial. Pengetahuan ini dibentuk melalui konsensus yang tampak hasil dari praktek kehidupan keseharian masyarakat Jakarta.
Dari hasil penelitian ditcmukan bagaimana masyarakat Jakarta membentuk pengctahuan sosial lentang ulama. Dari pengetahuan sosial itu tampak bahhwa konscp tentang ulama bagi masyarakat jakarta berkembang, dari konsep yang baku yang berasal dari kitab suci menjadi konsep yang bcrsifat sosial. Pembentukan pengetahuan sosial merupakan interaksi manusia dengan ruang, memori sosial, norma sosial, nilai budaya yang diungkapkan dalam bahasa yang digunakan dalam kehidupan keseharian, dan konteks sosialnya sehingga pemaknaan ulamanya lebih Iuas daripada makna bakunya.

This thesis describes how muslim society in Jakarta representing of ulama in Jakarta, how ulama to be understood. The focus of the research is how social communication facilitate circulation of social knowledge of ulama in Jakarta spasial. Ulama for muslim society is a central to their religiousity, by portraying how people of Jakarta understanding ulama we can sec how development of muslim society in Jakarta. This thesis use theory of social representation to see how the genesis of social knowledge and its development. For the theory, society has his autonomous in creating social knowledge by understanding new salient thing through system of idea, value and practice in everyday life practice formed by social consensus.
The result of research fotmd how muslim society of Jakarta constructs social knowledge of ulama. Social knowledge show true meaning of ulama originated fiom Alquran becoming socially concept. Construction of social knowledge made by interaction between man with geographical space, social memory, social nomts, culture values, they are expressed through everyday life languange and its social context. Hence, the meaning of ulama for muslim society of Jakarta is larger than true meaning.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33842
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maki Mizuno
"Penelitian ini menyoroti masalah ketenagakerjaan pada sektor industri di perkotaan. Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang industrialisasi dikatakan belum berpengaruh positif terhadap situasi kesempatan kerja di pedesaan dan belum berhasil mengatasi masalah ke sempatan kerja di perkotaan. Untuk mengatasi masalah ini telah diper hatikan peranan sektor informal maupun industri kecil sebagai katup pengaman dalam penciptaan kesempatan kerja maupun dan segi perkembang an ekonomi secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini justru untuk mem pelajari masalah ketenagakerjaan pada usaha kecil pada sektor informal di bidang industri kecil.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep "pattern variabels" yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Pada khusus nya pola "universalism" dan "particularism" serta pola "specifity" dan "diffuseness" yang digunakan. Pola "universalism" dan "particulatism" menyangkut jenis tenaga kerja, dengan kata lain pola "universalism" berciri tidak adanya ikatan daerah, atau ikatan daerah sebagai standar penerimaan tenaga kerja, dan pola "particularism" berciri adanya ikatan darah atau ikatan daerah. Sedangkan pola "specifity" dan "diffuseness" menyangkut hubungan sosial antara pengusaha dan pekerja di perusahaan nya, dengan kata lain pola "specifity" berciri adanya keterbatasan hu bungan pengusaha dan pekerja di luar kewajiban pekerjaan, dan pola "diffuseness" berdiri tidak adanya keterbatasan semacam itu.
Di sini perhatian disoroti pada perusahaan di bidang usaha tempe dan usaha tahu, karena kedua usaha tersebut ada di mana-mana di pulau Jawa dan termasuk dalam usaha kecil. Sementara itu metodologi yang digunakan adalah i) pengumpnlan data kuantitatif, dengan disusun daftar populasi, dipilih sampel dengan Simple Random Sampling Techni que, dilakukan wawancara sistematis, dan dianalisis berdasarkan sta tistik non-parametrik, dan ii) pengumpulan data kualitatif melalui pengumpulan data sekunder, pengamatan, dan wawancara non-sistematis.
Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini adalah skala unit usaha berhubungan dengan jenis tenaga kerja, tetapi tidak berhubungan dengan hubungan sosial antara pengusaha dan pekerja. Pada usaha tahu, unit usaha berskala besar cenderung berpola "universalista" dan unit usaha berskala kecil cenderung berpola "particularism". Sebaliknya pada usaha tempe unit usaha berskala kecil cenderung berpola "universalista" dan unit usaha berskala besar cenderung berpola "particularism". Per bedaan ini mungkin disebabkan kecilnya perbedaan skala unit usaha pada usaha tempe dan adanya sistem setoran yang dapat mengerjakan pekerja tanpa membayar upah pada usaba tempe. Sedangkan huhungan sosial antara pengusaha dan pekerja ternyata berhuhungan dengan tingkat pendidikan pengusaha. Pengusaha yang relatif berpendidikan tinggi cenderung membantu pekerja dan melakukan banyak kegiatan yang tidak menyangkut pekerjaan. Sehiugga mungkin pengusaha yang relatif berpendidikan tinggi menyadari hak dan kewajiban pekerja dan memperhatikan keadaan pekerja.
Selain itu terdapat beberapa penemuan yang menarik, yaitu: i) terdapat pengelompokan menurut daerah asal, dan pengusaha yang ber asal dari luar Jakarta cenderung menganggap kehidupan di Jakarta hanya sementara dan ingin kembali lagi ke desa. ii) pengusaha tempe maupun pengusaha tahu pada umumnya mendapat keterampilan melalui pengalaman kerja di Jakarta. Kebanyakan mereka mempunyai pengalaman kerja sebagai pekerja selama beberapa tahun di Jakarta sambil belajar keterampilan, dan akhirnya mandiri dan memiliki usaha sendiri. iii) pekerja pada usaha tempe dan pada usaha tahu secara keseluruhan 45 % pekerja keluarga, 13 % pekerja yang berasal dari satu daerah dengan pengusaha, dan 42 % pekerja yang tidak ada ikatan darah maupun ikatan daerah dengan pengusaha. Pada umumnya proporsi pekerja yang berasal dari satu daerah dengan pengusaha lebih tinggi pada usaha tempe, dan proporsi pekerja yang tidak ada ikatan darah maupun ikatan daerah lebih tinggi pada usaha tahu. iv) keadaan ekonomi cukup berbeda antara usaha tempe dan usaha tahu karena ciri-ciri hasil produk yang dimilikinya. Diferensiasi skala unit usaba dan segi tenaga kerja, jumlah produksi, jumlah keuntungan, dan modal lebih besar pacto usaha tahu. v) sebagian besar pengusaha tempe maupun pengusaha tahu mempunyai rasa puas yang positif terhadap usahanya, meskipun tidak menginginkan anak-anak mereka melanjutkan usaha bapaknya dan mengharapkan anak-anak mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik dan lebih terhormat, seperti ABRI, pegawai negeri dan guru."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzik Lendriyono
"Keterlibatan anak-anak dalam dunia pekerjaan selain
merampas dan mengingkari hak-haknya, juga sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun psikisnya. Data dan SAKERNAS (Survey Angkatan Kerja Nasioflal) 1996-1997 yang juga didukung beberapa peneliti dari IPEC (International Programe on the Elimination of Child Labour) melalui BPS (Biro Pusat Statistik) menunjukkan bahwa, di Indonesia terdapat 2,5 juta anak yang aktif di bidang ekonomi. Diperkirakan jumlah tersebut semakin bertambah seiiring dengan krisis ekonomi yang semakin tidak jelas berakhirnya. Masuknya pekerja anak perempuan dalam pasar kerja,
telah melahirkan beberapa persoalan baru yang diantaranya adalah kecenderungan untuk dilecehkan secara seksual. Perlakuan tersebut dalam perkembangannya berpeluang untuk terjadinya pelacuran. Berdasarkan berbagai data yang ada, sedikitnya 30% dari pekerja seks di Indonesia adalah anak anak di bawah usia 18 tahun.
Di Taman Piaduk Prumpung-Jatinegara, juga terdapat
pekerja anak perempuan yang jumlahnya antara 100 - 200
anak. Mereka bekerja sebagai pelayan minuman. Sebagian di antara mereka teryata berprofesi sebagai pelacur yang berkedok sebagai pelayan minuman pula. Diperkirakan profesi tersebut muncul sebagai akibat dari pelecehan seksual dan tuntutan dalam lingkungan pekerjaannya selama ini. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan melakukan observasi secara langsung serta wawancara mendalam terhadap para informan, dapat diketahui bahwa sebagian besar dari mereka pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan yang seringkali dialami dapat diketahui mulai dari bentuk pelecehannya, pelaku dan tempat serta kisah beberapa pelayan minuman, berkaitan dengan profesi
yang dijalaninya selama ini. Selain itu terdapat pula
faktor-faktor yang berpengaruh kuat sebagai penyebab mereka memasuki dunia prostitusi.
Analisa Teori Pertukaran Sosial yang digunakan untuk
membahas permasalahan di atas menyatakan bahwa, keberadaan para pelayan minuman hingga mereka mengalami pelecehan seksual, berkaitan dengan posisi Subordinasi yang terjadi dalam interaksinya. Meskipun reward yang didapatkan dan perlakuan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhannya, namun keberadaan mereka tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi ini kemudian memunculkan Perilaku Alternatif yang diharapkan dapat membantu menambah penghasilan dan yang diperolehnya selama ini.
Namun dalam perkembangannya, perilaku tersebut justru
menempatkan mereka dalam posisi yang lebih memprihatinkan. Mereka menjadi semakin sulit keluar dari dunianya Bermacam perlakuan dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan tersebut telah menjadi
kehidupannya. Padahal risiko dan pekerjaan lebih besar dari penghasilan yang diperolehnya selama inì.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luddin, Muchlis Rantoni
"ABSTRAK
Dimensi persoalan pekerja anak di perkebunan teh tidak hanya berkaitan dengan persoalan pendidikan, kemiskinan, ekonomi keluarga dan budaya lokal, melainkan pula berhimpitan dengan aspek lain di balik fenomena pekerja anak itu yakni perhatian perusahaan dan pemerintah daerah yang kurang, tempat tinggalnya yang di isolir dari pusat kegiatan ekonomi dan tidak ada program aksi oleh institusi yang berkompeten dalam membina kehidupan masyarakat.
Pekerja anak di perkebunan teh Ciliwung perlu diteliti karena dianggap mengalami perlakuan eksploitasi. Eksploitasi dilakukan karena pekerja anak dianggap produktif, bekerja tanpa menimbulkan masalah, menerima sedikit upah tanpa protes. mudah diatur dan penurut. Karena itu, di balik fenomena pekerja anak ada masalah eksploitasi. Pertanyaannya adalah bagaimana eksploitasi itu dilakukan?; mengapa eksploitasi dilakukan pada anak yang masih belia?; siapa saja yang melakukan tindakan eksploitasi?; apa yang menyebabkan anak-anak itu terjerumus dalam tindakan eksploitatif orang tua dan majikannya?; bagaimana pola eksploitasi dilakukan kepada anak-anak yang bekerja?; bagaimana peta, struktur dan hirarki eksploitasi pekerja anak itu?; bagaimana motif kemiskinan dijadikan sebagai alat melakukan eksploitasi pekerja anak?; bagaimana dampak tindakan eksploitasi itu terhadap perkembangan jiwa dan Fisik pekerja anak.
Bagi kaum Marxis, eksploitasi dianggap sebagai upaya menarik keuntungan yang tidak adil oleh hak-hak istimewa dari pemilikan pribadi. Menurut Wright konsep eksploitasi terkait dengan analisis kelas yakni kelas kapitalis sebagai pemilik sarana produksi dan kelas pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Dalam terminologi libetarian, eksploitasi sering diikuti pemaksaan. Karena itu, Best memandang eksploitasi sebagai pengambilan keuntungan secara tidak adil oleh satu pihak kepada pihak lain. Eksploitasi memiliki ciri, al.: (a) berlangsung dalam relasi antar manusia, (b) setidaknya ada dua pihak yang terlibat yakni pihak yang mengeksploitisir dan pihak yang dieksploitisir, (c) ukurannya adalah keadilan, (d) terdapat distribusi yang tidak wajar dalam hubungan itu. Ukuran ketidakadilan dalam eksploitasi juga dinyatakan oleh Calvert dan Calvert bahwa ketidakadilan sering muncul dalam pekerjaan sehingga menimbulkan masalah, termasuk masalah pekerja anak yang dieksploitasi.
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif-analitis. Data dikumpulkan melalui berbagai sumber yaitu dari informan kunci yakni pekerja anak itu sendiri, teman sebaya dan keluarganya dan sumber tertulis. Penelitian diawali dengan pengenalan lapangan dan observasi guna beradaptasi dengan kehidupan pekerja anak. Kemudian, peneliti menggunakan teknik observasi, "quasi-partisipasi", interview mendalam dan focus group discussion agar peneliti dapat berinteraksi secara optimal dengan pekerja anak dan menyelami perangainya di tempat kerja, di rumah dan di lingkungannya. Peneliti juga menerapkan teknik dokumentasi untuk rnemperoleh data sekunder dan tertier.
Berdasarkan studi yang dilakukan, diperoleh beberapa temuan penelitian. Derajat eksploitasi yang terjadi sifatnya berjenjang. Semakin ke bawah tingkat eksploitasi akan semakin besar implikasinya, sebaliknya, semakin ke atas tingkat eksploitasi akan semakin rendah implikasinya. Eksploitasi yang dilakukan oleh majikan menghujam ke bawah kepada para pekerja, di mana dilakukan secara sistimatis, lebih terbuka dan dibarengi dengan penekanan. Pada kenyataannya, anak bekerja karena "dipaksa" oleh orang tuanya dan menjadi agen penyetor yang memberi konstribusi bagi kelangsungan hidup keluarganya dan menghidupi dirinya sendiri. Bahkan, prinsip no work, no pay dijadikan sebagai analogi bahwa jika anak mau jajan maka harus mencari uang sendiri. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi selama ini mengenai anak-anak bekerja karena ingin membantu orang tuanya, tidak sepenuhnya benar. Anak yang tidak bekerja akan diberi sanksi, yakni sanksi kehilangan haknya sebagai anak untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya yang elementer dan sanksi moral karena dianggap tidak bertanggung jawab terhadap orang tua dan keluarganya. Eksploitasi oleh pihak yang memiliki otoritas di perkebunan terhadap pekerja anak juga dibarengi dengan tindakan pelecehan, termasuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh mandor terhadap wanita pekerja anak. Derivasi bentuk eksploitasi ini dianggap masih relatif jarang dalam kajian teoritis tentang eksploitasi. Selain itu, tindakan eksploitasi berlangsung secara formal dan informal. Bagi masyarakat miskin di perkebunan teh, ikatan sosial semakin kuat dalam kerangka membangun relasi sosial-kemasyarakatan, namun sebaliknya semakin rendah dalam relasi ekonomi, guna mempertahankan aset-aset ekonomi keluarga. Perusahaan perkebunan teh Ciliwung menempuh kebijakan bahwa setiap penduduk yang berdomisili di areal perkebunan teh wajib menjadi pekerja sehingga anak-anak yang sudah tidak bersekolah 'diminta' menjadi pekerja. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah disuruh menjadi pekerja.
Namun demikian, asumsi bahwa bekerja di perusahaan merupakan simbol kesejahteraan keluarga besar perusahaan, tidak sepenuhnya benar sebab ternyata pekerja anak dan keluarganya di Perkebunan Teh Ciliwung senantiasa dieksploitasi dan hidup dalam batas subsistensi.
Seorang pekerja anak yang datang dari keluarga miskin cenderung selalu miskin atau dimiskinkan oleh kondisi yang mendera kehidupannya. Kepentingan pekerja anak dan keluarganya untuk mempertahankan eksistensinya juga diliputi konflik, meskipun masih bersifat latent kecuali kasus Entin dengan mandor Ali, karena posisi para pekerja, terutama pekerja anak selalu diletakkan dalam relasi yang eksploitatif, di mana majikan akan selalu memperoleh keuntungan dari para pekerja anak.
Gaya hidup majikan selalu identik dengan prestise dan pola konsumsi yang merefleksikan tingkat kekayaannya. PeneIitian juga menemukan bahwa pekerja anak yang memberikan kontribusi yang cukup besar kepada perusahaan, justru tidak mempunyai akses terhadap pemanfaatan aset perusahaan. Pekerja tidak diberi kesempatan mengontrol jalannya perusahaan, termasuk mengontrol besarnya perolehan perusahaan dari hasil kerjanya. Pekerja dibatasi haknya untuk memperoleh informasi tentang perusahaan, bahkan birokrasi perusahaan sengaja dibuat berjenjang agar dapat membatasi akses pekerja kepada pimpinan perusahaan, sehingga pekerja hanya dapat berhubungan dengan petugas atau penanggungjawab lapangan. Pekerja anak juga tidak berhak untuk memiliki aset produktif. Nilai seorang pekerja di hadapan majikan ditentukan oleh seberapa banyak penghasilan yang diperoleh dan biaya transaksi upah yang disepakati. Lebih banyak nilai perolehan upah dan hasil kerja yang bisa dipotong atau dieksploitasi oleh majikan, maka pekerja akan semakin merasa dieksploitasi.

ABSTRACT
The Exploitation Of The Child Worker On The Tea Plantation In Cisarua BogorThe dimensions of child worker issue at the plantation not only deals with the education, poverty, family economic life, and local culture but also other aspects like less attention of the company and local government (PEMDA), isolated setting away from business centers, no implementation program by institutions competent in developing and sustaining the economic and social life of community.
The child worker case at Ciliwung tea plantation assumed have been exploited needs to be researched. The exploitation happens because child workers are considered productive, relatively no-causing work problem. accepting little wage without complaint easily managed, and obedient. Thus, behind this child worker phenomenon lies exploitation issue. The question is how this exploitation is carried out?: why this exploitation makes use of very young children?; what make these children arc exploited by their parents and employers?; what the exploitation pattern applied on these children are?; what the exploitation structure and hierarchy of these child workers are?; how this poverty motive is made use to exploit these child workers?; what is the impact of this exploitation on the physical and psychological development of child workers?.
For Marxists, exploitation is defined as an effort to make profit in such an unfair way by using privileged right of the private ownership. According to Wright, the exploitation concept is related to the class analysis, that is the capitalist class as the owner of the means of production and the worker class with no means of production. In Libertarian terminology, exploitation is usually followed by force. That is why, Best views exploitation as the unfair profit taking from one party by the other one. Exploitation has the following characteristics: (a) it takes place in the relationship among humans, (b) there are as least two parties involved; the exploiting and the exploited ones, (c) the parameter is justice, (d) there is an unequal-distribution in the relationship. The injustice parameter in exploitation is also stated by Calvert and Calvert that injustice often anises in work world and brings problems, including the problem of exploited child workers.
This research use qualitative-analytic approach. Data were collected from various sources. They are the key informant; the child workers themselves, their colleagues and families and also the written information. The research was initiated with the field observation in order to adapt with the child worker life. Than by using the observation technique, "quation-participation", in depth interview, and focus group discussion, the researcher interacted optimally with the child workers and learned their behavior at the work site, home, and neighbourhood. The researcher also applied the documentation technique in other to gain secondary and tertiary data.
On the basis of the study conducted, it was gained several research findings. It was found that degrees of exploitation was gradual. The lower the exploitation degrees is, the bigger its implication will be, on the contrary, the higher the degree of exploitation is the smaller its implication will be. Exploitation done by the employer is directed straight to the workers. In which it is carried out systematically, more open and with pressure. As a matter of fact, this children work because they are "forced" by they parents and economically become the contributors to the sustainability of their family and their own lives_ Even, the principle of "no work no pay" is used as an analogy that if a child needs to buy something, be alone has to earn money for that. This finding shows that the assumption that children work for helping their parents is not completely right. A child who does not work will be sanctioned, that is the loss of his right to full his elementary need and morally considered irresponsible for his parents and family. The exploitation of these child workers at the plantation by the authorized employers is also signed with the harassment, including the sexual harassment by the male supervisors to the female child workers. The derivation of the exploitation form is relatively are in the theoretical study of the exploitation. Besides, exploitation occurs formal and informal ways. For poor community at tea plantation, social cohesion is getting stronger in building their social relation, but it's getting weaker in building their economic relation in order to keep the family economic assets. The company of Ciliwung tea plantation implements the policy that at people living in the plantation are must work at the plantation including their children who no longer go to school. This finding is in line with the former research finding that children are who no longer go to school are 'asked' to work at the plantation. However, the assumption that working at the plantation is the prosperity symbol of the company big family is not completely right, because in fact the child workers and their parents are exploited and live in substantial limit.
A child worker from poor family tend to always be poor or to be 'pored' {made poor) by such life condition. The need of the child workers and their parents to survive and keep their existence is also covered with latent conflict, except the case of Entin and Supervisor that happens because the workers position, especially child workers is always placed in an exploitative relation in which the employer always take advantage from them.
The employer's life style is always identical with the prestige and consumption pattern reflecting his wealth. Research also found that even a child worker giving a significant contribution to the company, does not have access to use company asset. Workers are not given opportunity to control the operation of the company, including to control the amount of profit that they contribute. Workers' right of getting information on the company is restricted, even the company bureaucracy is composed in such a gradual way that higher the workers to have direct access to the top leader, that the workers just have the access to the supervisor or field officer. A child worker has no right to own productive asset. The value of a worker for the employer is determined by the amount of gain he earns and the cost of the wage transaction having been agreed. The more the amount of wage and the work gain that can be reduced or exploited that more exploited the worker is"
Lengkap +
2002
D199
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Siswono
"Disertasi ini adalah mengenai hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah kota dengan pelaku sektor informal. Lebih spesifik, disertasi ini mengenai kalangan pedagang kaki-lima (PKL) di Kota Depok, Jawa Barat dalam memahami, menginterpretasi dan menanggapi kenyataan yang mereka hadapi akibat pemberlakuan peraturan daerah (Perda). Kehidupan mereka teracam oleh tindakan operasi penertiban petugas Satpol PP sebagai salah satu aparat. Disertasi ini memusatkan perhatian pada strategis-strategis yang sengaja dikembangkan oleh PKL, Preman dan Aparat setempat untuk menguasi trotoar dengan melakukan negosiasi dan akomodasi.
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam konteks penguasaan ruang publik tersebut, seolah menjadi perebutan antara pihak PKL dengan Preman dan Aparat yang ingin melaksanakan aktivitas sehari-hari serta tugasnya, dipandang sebagai sebuah perspektif, pengetahuan, dan kekuasaan yang bebas diinterpretasikan oleh seorang peneliti Antropologi. Sikap negosiasi dan akomodasi yang dilakukan para PKL yang terjadi di trotoar bekerja terkait satu sama lain dan saling membutuhkan, menyebabkan posisi mereka semakin menunjukkan penguasaannya. Para pelaku seperti preman dan aparat yang terlibat dalam melakukan strategi negosisasi dan akomodasi merupakan praktikpraktik sosial yang menandai bekerjanya kekuasaan, karena adanya hubungan antara struktur dan agensi (Giddens, 1979). Trotoar sebagai tempat aktivitas mereka sehari hari, juga sebagai objek tarik menarik antara PKL, Preman dengan Aparat setempat merupakan reproduksi aktivitas-aktivitas yang telah terorganisasi melalui kontekstualitas ruang dan waktu. Oleh karena itu, kontekstualitas merupakan interaksi yang disituasikan dalam ruang dan waktu (Giddens, 1984). Sikap resistensi yang ditunjukkan para PKL itu, meskipun terkadang tidak tampak ke permukaan merupakan sebuah aspek politik yang mengimplikasikan interpretasi yang berbeda beda (Foucault, 1978). Lebih jauh Foucault (1978) menyatakan, bahwa resistensi selalu hadir bersama kekuasaan, dan, "dimana ada kekuasaan, di sana ada resistensi", sehingga adanya kekuasaan selalu dihadapi dengan perlawanan. Hal ini oleh para antropolog seringkali dikaitkan dengan sifat hegemoni yang melekat pada kekuasaan tersebut (Gramsci dalam During, 2001). Di samping itu, Foucault (1978) menyatakan, bahwa kekuasaan selalu hadir di seluruh ruang sosial (social sphere) dimana pun dan memasuki ruang publik, sehingga kekuasaan bukanlah suatu kepemilikan monolitik suatu kelas atau kelompok tertentu.
Temuan penelitian, dapat dikemukan seperti sebagai berikut :
Pertama, bahwa trotoar dimaknai sebagai salah satu ruang publik yang peruntukannya diatur oleh pemerintah kota melalui peraturan daerah (Perda). Pemberlakukan Perda selama ini sejak 2006), sering mengundang kontroversi dari masing-masing pihak yang berkepentingan, terutama kalangan PKL. Para PKL yang sering melakukan perlawanan bertujuan untuk mengimbangi petugas Satpol PP. Akan tetapi pada saat yang lain PKL melakukan negosiasi, dan akomodasi untuk mempertahankan trotoar sebagai tempat berusaha mereka. Oleh karena itu, trotoar dalam konteks penggunaannya bukanlah sesuatu yang statis, tetapi konsep yang dinamis dan selanjutnya dijadikan objek perebutan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Proses "tarik menarik" antara berbagai kepentingan, proses makna-memaknai dan tafsir-menafsirkan merupakan proses yang menandai bekerjanya kekuasaan yang terus berkembang sesuai kepentingan masingmasing pihak yang terlibat.
Kedua, proses negosiasi, dan akomodasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak tersebut demi melanggengkan kepentingannya untuk menguasai trotoar. Oleh karena itu untuk menguasai trotoar para PKL pada awalnya bersikap resistensi dalam menghadapi Aparat. Tetapi kemudian mereka melakukan negosiasi dan akomodasi karena dianggap lebih efektif. Tindakan negosiasi dan akomodasi yang dilakukan di antara pihak-pihak yang terlibat tersebut merupakan sikap yang berkembang selama ini, sehingga semakin memperkuat penguasaan ruang publik.
Ketiga, tindakan resistensi, negosiasi dan akomodasi yang berkembang dalam hubungan-hubungan kekuasaan antara PKL, Preman dan Aparat merupakan konstelasi yang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, tetapi memerlukan tindakan-tindakan yang arif, sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan yang selama ini cenderung adanya kekerasan.

This Doctoral Thesis is about relations of authority between central government and informal sector. More specific, this doctoral thesis about impact of community of traditional trader in City of Depok, West Java in term of understanding, interpretation and responding reality life of them on local government legality - (Perda). Traditional trader life in danger by action and operation of Government Police (Satpol PP) to curb as government institution. This doctoral thesis focused on strategies which is absolutely developed by Traditional Trader (PKL), civilian freeman and government institution in that area to get control of pedestrian way with negotiation and accommodation. Relations between authority in context domination on public area, as through become battle for power between Traditional Trader (PKL) with civilian freeman and Government Institution which is they are want to do daily duties, viewed as perspective, knowledge, and authority which is to interpretation by Anthropologists. Attitude of negotiation and accommodation which is traditional trader doing on pedestrian way relate each other and need each other, impacting position of them more refer to get power. Civilian freeman and Government Institution in term to do strategy of negotiation and accommodation that is social practices which is mark sense authority works, because as it is relationship between structure and agency (Giddens, 1979).
Pedestrian Way as place of daily activities of them, as well as object battle for power between traditional trader, civilian freeman and local government institution which is reproduction of activities of organized by mean of contextual area and time. On that cause, contextuality which is situationed interaction on area and time (Giddens, 1984). Attitude of resistantion to pointed from that traditional trader, although sometimes not really definitely explisit which is one of politic aspect to implicate different interpretations (Foucault, 1978). Farther Foucault (1978) suggest that resistantion always come up with authority, and "where as it is autority, there as it is resistantion", so it will always authority responded with oppotition. This thing by anthropologists many times related with hegemony which is stick to that authority (Gramsci on During, 2001). Otherwise, Foucault (1978) suggest that authority always come up on whole social area(social sphere) anywhere and entering public area, so it will authority not an monolitic ownership a class or certain group.
Research result has fouded as like as :
First, that pedestrian way has meaned as one of public sphere which is role of conduct from local government by mean local government legality (Perda). Authorized Perda since 2006, often exciting controversion from each be concerned side, especially traditional trader side. Traditional traders which is who often to opposite purpose for balancing Government Police (Satpol PP).However once a time other side traditional trader doing negotiation, and accomodation for maintain pedestrian way as place as work for them. On that cause, pedestrian in context its use not statical things, but conceptual which is dinamic and next as well as object to battle for authority by sides be concerned. Process "pull-pulling" between various interest, meaningful process and interpretatively which is process indicated development authority works relate with authority each sides.
Second, hopefully to have authority for authorizing pedestrian way. On that cause to authorized pedestrian way traditional traders at first time being resistantion when confront to the Government Institution. But then have a deal and negotiation and accomodation because they feel more effectively. Actions of negotiation and accomodation that does between sides which is who joined with that situation there is as long as development attitude. So it will strengthen domination public sphere.
Third, resistantion action, negotiation and accomodation which is developed in term relations authority between traditional traders, civilian freeman and government institution which is not easy constelation to removed, but must have wise actions, so it wont create rush actions."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D956
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>