Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nia Niasari
"ABSTRAK
Semua anak dengan keterlambatan atau gangguan bicara hares dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran. Ada tiga tipe gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran konduktif dan sensorineural. Gangguan pendengaran tipe sensorineural (8,4%), dan gangguan pendengaran tipe konduktif (4,9%) terjadi pada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sensorineural merupakan masalah yang series, karena mempengaruhi perkembangan bicara, kemampuan berbahasa, serta menentukan prestasi di sekolah.
Tes pendengaran tetap dilakukan walaupun tidak ada keluhan gangguan pendengaran dari orangtua. Bila terdapat gangguan pendengaran, perlu segera diberikan intervensi dini berupa terapi bicara dan penggunaan alat bantu dengar. Dukungan keluarga sangat berperan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara.
The Early Language Milestone Scale (ELMS) adalah prosedur skrining perkembangan bahasa dan bicara yang dapat membantu menilai perkembangan tersebut sejak usia yang sangat muda. Dengan ELMS deteksi dini keterlambatan bicara dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat merujuk dengan cepat untuk diagnosis dan penatalaksaan selanjutnya. Pemeriksaan pendengaran dapat dengan cara pengukuran yang bersifat fisiologis, atau dengan menggunakan tes terhadap perilaku. Pemerilcsaan fisiologis yang biasa dilakukan adalah metode otoacoustic-emissions (OAE), atau brainstem evoked response audiometry (BERA).
Pemeriksaan BERA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran, namun alat dan biaya pemeriksaannya cukup mahal dan tidak tersedia di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer atau di daerah terpencil. Tes Daya Dengar (TDD) adalah salah satu uji Lapis perkembangan yang dikembangkan oleh Direktorat }endral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1997. Fatmawati menggunakan TDD yang dibandingkan dengan SERA dan/atau OAE untuk mendeteksi gangguan pendengaran sebagai penyebab keterlambatan bicara, mendapatkan basil sensitivitas yang tinggi (92,9%) tetapi spesifisitas yang rendah (27,7%). ELMS diharapkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang Iebih baik, karena mengandung unsur auditory
receptive dan auditory expressive.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai validasi ELMS dalam mendeteksi kemungkinan adanya gangguan pendengaran sensorineural yang merupakan penyebab keterlambatan bicara.
RUMUSAN MASALAH
Berapakah sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ELMS pada anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran sensorineural, dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan pendengaran BERA ?
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Ekayusnita
"Latar belakang : Teknisi pesawat terbang militer merupakan salah satu profesi yang berisiko terpajan bising saat bertugas. Aktivitas penerbangan militer dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran akibat bising (GPAB). GPAB awalnya tidak dikeluhkan oleh teknisi, namun pada pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan penurunan nilai ambang pendengaran dan bersifat sensorineural. Deteksi dini gangguan pendengaran sebelum terjadi gangguan pendengaran meluas ke frekuensi percakapan sangat penting karena GPAB bersifat permanen namun hal tersebut dapat dicegah. Audiometri nada murni tidak menyertakan frekuensi yang lebih tinggi (>8KHz) dan pemeriksaan ini tidak peka terhadap kerusakan akibat bising yang terjadi pada koklea. High Frequency Audiometry (HFA) dan Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE) dapat digunakan untuk deteksi dini GPAB. HFA mengevaluasi ambang pendengaran pada frekuensi yang lebih tinggi dari 8000 Hz. DPOAE dapat menilai sel-sel rambut luar koklea yang sensitif terhadap pajanan bising yang berlebihan dan dapat digunakan untuk deteksi dini GPAB. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran DPOAE, audiometri nada murni, HFA dan faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran DPOAE dan HFA. Penelitian ini juga untuk mengetahui kesesuaian antar gambaran audiometri dengan DPOAE pada teknisi yang terpajan bising mesin pesawat di Skadron Udara 2. Metode: Penelitian dilakukan 27 Desember 2021- 14 Januari 2022 di Skadron Udara 2 dan RSAU dr. Esnawan Antariksa. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan subjek penelitian adalah teknisi mesin pesawat terbang di Skadron Udara 2 yang berusia 20-58 tahun, semuanya pria, dengan masa dinas minimal lima tahun dan bebas bising 12 jam sebelum pemeriksaan. Subjek penelitian didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan menggunakan audiometri nada murni, HFA dan DPOAE Hasil: Berdasarkan DPOAE, terdapat 23 subjek (46%) dengan SNR<6 pada telinga kanan dan 25 subjek (50%) dengan SNR <6 pada telinga kiri. Berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan 18 subjek (36%) terdapat peningkatan intensitas pada telinga kanan dan 15 subjek (30%) dengan peningkatan intensitas pada telinga kiri. Berdasarkan hasil hasil pemeriksaan HFA, menunjukkan 14 subjek (28%) terdapat peningkatan intensitas pada telinga kanan dan 13 subjek (26%) dengan peningkatan intensitas pada telinga kiri. Faktor risiko yang paling berpengaruh pada hasil DPOAE dan HFA adalah pemakaian alat pelindung pendengaran. Pada pemeriksaan audiometri dan DPOAE pada frekuensi 3 kHz dan 10 kHz menunjukkan hubungan bermakna dengan kesesuaian yang moderate (cukup), frekuensi 4 kHz dan 6 kHz terdapat hubungan bermakna dengan kesesuaian yang kuat sedangkan pada frekuensi 8000 terdapat hubungan bermakna dengan kesesuaian yang lumayan (fair) Kesimpulan: Audiometri nada murni, HFA dan DPOAE dapat digunakan saling melengkapi dalam mendeteksi dini GPAB

Background: Military aircraft technician is one of the professions with risk of being exposed to noise. Military aviation activities can cause noise-induced hearing loss (NIHL). NIHL ​​was not initially complained by workers, but on pure tone audiometry examination showed a decreased hearing threshold value and was sensorineural. Early detection of hearing loss before hearing loss extends to the frequency of conversation is very important because NIHL is permanent but can be prevented. Pure tone audiometry excludes higher frequencies (>8KHz) and is insensitive to noise-induced damage to the cochlea. High Frequency Audiometry (HFA) and Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE) can be used for early detection of NIHL. HFA evaluates hearing thresholds at frequencies higher than 8KHz. DPOAE can assess cochlear outer hair cells that are sensitive to excessive noise exposure and can be used for early detection of NIHL. Objective: This study was conducted to determine DPOAE, pure tone audiometry, HFA and the factors that affect DPOAE and HFA images on technicians exposed to aircraft noise in Air Squadron 2. This research also determine the compatibility of audiometric images with DPOAE on technicians exposed to noise. Methods: The study was conducted December 27th ,2021 until January 14th ,2022 at the Squadron 2 and Esnawan Antariksa Air Force Hospital. This research use cross sectional design with the subjects are aircraft engine technicians in Air Squadron 2 aged 20-58 years, all men, with a minimum service period of five years and noise-free 12 hours before the examination. The subjects of this study were 50 subjects who met the inclusion criteria. Examination using pure tone audiometry, HFA and DPOAE. Results: Based on the DPOAE, there were 23 subjects (46%) with SNR <6 in the right ear and 25 subjects (50%) with SNR <6 in the left ear. Based on pure tone audiometry examination, there were 18 subjects (36%) with an increased intensity in the right ear and 15 subjects (30%) with an increased intensity in the left ear. Based on the HFA examination, there were 14 subjects (28%) with an increased intensity in the right ear and 13 subjects (26%) with an increased intensity in the left ear. The use of hearing protection equipment is the most influenced risk factor which affected the results of DPOAE and HFA. On audiometric and DPOAE examination at a frequency of 3 kHz and 10 kHz showed a significant relationship with moderate (adequate), frequencies of 4 kHz and 6 kHz there was a significant relationship with conformity, while at a frequency of 8000 there was a significant relationship with fair compliance. Conclusion: Pure tone audiometry, HFA and DPOAE can be used complementary in early detection of NIHL"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Seskonita S.I.
"Latar belakang dan lingkup penelitian : Adanya pergeseran ekonomi dari basis manufaktur ke industri jasa telah menumbuhkan perhatian bahwa Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) ditempat kerja dapat juga terjadi pada pekerja di stasiun televisi, yang mendapat pajanan bising terutama dari alat-alat pengeras suara dan alat-alat komunikasi (headphone/headset). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Peningkatan Ambang Dengar Sementara (PADS) yang merupakan prediktor teijadinya GPAB di masa mendatang, pada pekerja di stasiun TV dan faktor-faktor yang berhubungan serta untuk mengetahui rerata intensitas bising di lingkungan kerja stasiun TV.
Metode Penelitian: Penelitian dilakukan pada bulan November 2009 sampai Februari 2010 dengan metode potong lintang, non komparatif, melibatkan 78 pekeija dari 882 populasi (50 pekelja administrasi yang beketja statis, tidak memakai headphone dan mendapat pajanan bising dari alat-alat kantor dengan intensitas < 85 dB, serta 28 pekeija produksi yang bekezja mobile, sebagian besar menggunakan headphone/headset dan mendapat pajanan bising 2 85 dB. Subyek dipilih secara acak sederhana, data didapat dari wawancara, pemeriksaan telinga, dan audiometri yang dilakukan sebelum dan segera sesudah bel-cezja serta 16 jam kemudian sesudah bebas pajanan bising. Data Lingkungan diukur dengan sound level meter, intensitas bising personal dibagian produksi diukur dengan noise dosimeter. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 17.
Hasil : Didapatkan prevalensi PADS sebesar 423% (33 orang) dimana 23 orang (82,1%) adalah pekerja bagian produksi dan 10 orang (20,0%) adalah pekeija administrasi. Urutan keterlibatan PADS terbanyak terdapat pada iiekuensi 4000 (93,9%), 8000(36,4%) dan 2000(27,3%) Hz. Median peningkatan pada nlasing-masing trekuensi adalah 10 dB. Rerata intensitas bising di bagian produksi 92,61 dB(ruang studio), 84,1dB(ruang audiovideo) dan 85,4 dB(ruang kontrol operator). Rerata intensitas di ruang administrasi sebesar 63,75 dB. Faktor-faktor yang berpengaruh seeara bermakna terhadap terjadinya PADS adalah dosis pajanan (0R=8,8; IK95%= 0,9-83,1), umur peke1ja(OR=7,5; IK95%=1,9-29,7) dan durasi pajanan (OR=-1,827; IK95% = 0,03-0,9).
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan bahwa dosis pajanan, umur pekerja dan durasi pajanan bising berhubungan secara bermakna dengan risiko teijadinya PADS pada pekeija stasiun TV. Pencegahan merupakan hal terpenting untuk meneegah PADS menjadi GPAB.

Background : With the economy shift from a manufacturing base to service industry in recent years, there has been growing concern that noiced-induced hearing loss (NIHL) may also effect workers employed at the television station who got noise exposure from amplifiers and communication devices (headphones/headsets). The aim of this study is to determine the temporary threshold shifts (TTS) which is regarded as the predictor of fixture development of NIHL, among the TV Station worker and its related factors. And also to identify the mean of noise intensity level in TV Station working environment. The data was analyzed using the l7"? version of SPSS.
Methods : This study was carried out in Jakarta on November 2009 until February 2010. This was a non comparative cross - sectional study involving 78 workers of 882 population(50 of them were administrative worker, working static, not using headphone and had noise exposure from office equipment below 85 dB, and 28 were production worker who worked mobile, used headphone and had noise exposure above 85 dB from amplifiers and communication devices. Subjects were selected randomly. The data were obtained from interview using a special questionnaire, otoscopy, and an audiometric test for pre-work, post-work hearing threshold and 16 hours later, after free of noise exposure. Ambient noise levels were measured using sound level meter, personal noise intensity were measured using noise dosimeter.
Results : The prevalence of TTS was 42,3%, consist of 23 subject (82,l%) from production worker and 10 subjects (20,0%) from an administrative worker. The most involved lrequence were 4000 Hz (3lsubject), 8000 Hz (12 subjects) and 2000 Hz (9 subjects), respectively. The median increase of the threshod at all iiequencies was 10 dB. The mean of noise intensity at the production room was 92,61 dBA (studio room), 84,1 dBA (audiovideo room) and 85,4 dBA (operator control room). The mean of noise intensity at the administrative room was 63,75 dB. Factors which were statistically significant were dose of exposure (OR = 8,8; IK95% = 0,9-83,l), age of worker (OR = 7,5; lK9S% = 1,9-29,7) and duration of exposure (OR=0,2; lK95%=0,03-0,9).
Conclution : This study showed that dose of exposure, age of worker and duration of exposure were significantly correlated to Temporary Threshold Shift among the Television Station worker. The primary prevention is the most important thing to prevent 'ITS develops to Noise Induced Hearing Loss."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T33068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Ukhrowiyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran gelombang P300 auditorik pada pengguna amfetamin di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan Rumah Tahanan Pondok Bambu dan bukan pengguna NAPZA di poliklinik THT RSUPN-CM. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode potong lintang untuk melihat perbedaan nilai rerata masa laten dan amplitudo gelombang P300 pada subjek pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA. Hasil penelitian mendapatkan tidak terdapat perbedaan nilai rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA dengan nilai p=0,411 (>0,05), nilai rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin sebesar 319,49 milidetik, kelompok bukan pengguna NAPZA yaitu 308,70 milidetik yang masih termasuk dalam rentang normal. Tidak terdapat perbedaan nilai rerata amplitudo gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA dengan nilai p=0,41 (>0,05). Nilai amplitudo P300 auditorik pada kedua kelompok termasuk dalam rentang normal yaitu 6,58 μvolt pada pengguna amfetamin dan 8,11 μvolt pada bukan pengguna NAPZA. Serta diperoleh hasil 62,5% pengguna amfetamin mengalami gangguan fungsi kognitif.

ABSTRACT
This thesis discuss the overview of auditory P300 wave on amphetamine users in the Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Rumah Tahanan Pondok Bambu and non-NAPZA users in the Otolaryngology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo hospital. This research is a descriptive study by using cross sectional methode to identifiy differences between average latency value of auditory P300 wave among the group of amphetamine users and non-NAPZA users. This research shows no differences in latency average value of P300 wave among the group amphetamine users and non-NAPZA users with p value of 0,411 (>0,05), average latency value of P300 auditory wave among group of amphetamine users is 319,49 milisecond, group of non NAPZA users is 308,70 milisecond which is still in normal band. There is no difference in average amplitude value of auditory P300 wave within group of amphetamine users and non-NAPZA users with p value of 0,41 (>0,05). The amplitude value of auditory P300 wave from both group are within the normal band which is 6,58 μvolt on amphetamine users and 8,11 μvolt on non-NAPZA users. It was obsreved that 62,5% of amphetamine users having a cognitive function disorder."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aryanti
"Latar belakang. Proses mendengar sangat mempengaruhi proses berbahasa dan berkomunikasi. Gangguan pendengaran memberikan efek negatif pada perkembangan kognitif anak. Perlunya penilaian fungsi kognitif pada anak dengan gangguan pendengaran adalah untuk mengevaluasi fungsi kognitif normal atau abnormal, dan memberikan informasi untuk menentukan intervensi dan target yang sesuai. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh gangguan pendengaran sensorineural terhadap fungsi kognitif anak usia 7-15 tahun yang dinilai dengan gelombang P300. Metode. Studi potong lintang ini terdiri dari 15 subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dan 15 subjek dengan pendengaran normal yang memenuhi kriteria inklusi. Masa laten dan amplitudo gelombang P300 yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil. Rerata masa laten gelombang P300 tidak didapatkan berbeda bermakna antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p=0,578). Selain itu, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada nilai amplitudo gelombang P300 antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p = 0,885). Selain itu tidak didapatkan hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan kejadian gangguan pendengaran sensorineural (p = 0,403). Kesimpulan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak berhubungan dengan kelainan fungsi kognitif yang dinilai dengan gelombang P300. Penggunaan alat bantu dengar yang lebih awal pada subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dapat mempengaruhi hasil pada studi ini.

Background. Hearing disorder negatively impacts cognitive development. Cognitive assessment in children with sensorineural hearing loss is necessary to administer appropriate intervention. P300 is one of the auditory event-related potentials commonly used in neurophysiological examination to objectively assess cognitive function. Aim. To identify the effect of sensorineural hearing loss on cognitive function in children aged 7 to 15 years old by evaluating P300 waveform. Methods. This cross-sectional study consisted of 15 subjects with sensorineural hearing loss and 15 subjects with normal hearing function who met the inclusion criteria. P300 latency and amplitudes were recorded and analyzed. Results. The mean P300 latency between the study group and the control group was not statistically significant (p = 0.578). There was no significant difference in the amplitude of the P300 wave between the study group and the control group (p = 0.885). In addition, there were no significant association between P300 amplitude and sensorineural hearing loss (p = 0.403). Conclusion. In this study, sensorineural hearing loss is not associated with cognitive disorders as measured by P300. Early diagnosis and early hearing aid use were thought to mediate the association between sensorineural hearing loss and cognitive disorder in this study."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahri Reza
"Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan tidak terhindar dari bahaya bising. Efek yang ditimbulkan bising dapat berupa efek auditori dan efek non auditori. Salah satu efek non auditori yang ditimbulkan bising adalah burnout syndrome. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk mencari prevalensi risiko tinggi burnout syndromepekerja RSUPNCM dan hubungannya dengan kebisingan ruangan yang ditentukan peneliti. Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan antara faktorjenis kelamin, usia, status pernikahan, serta pengalaman kerja dengan risiko tinggi burnout syndrome. Peneliti melakukanaudiometri nada murni, timpanometri, dan pemeriksaan emisi otoakustik untuk kemudian dicari hubungannya antara hasil pemeriksaan dengan risiko tinggi burnout syndrome. Pekerja diminta mengisi kuesioner Maslach Burnout Inventoryuntuk skrining risiko tinggi burnout syndrome. Satu dari 77 subyek penelitian ditemukan memiliki risiko tinggi burnout syndrome. Prevalensi risiko tinggi burnout syndrome pada pekerja RSUPNCM adalah 1,3%. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia, status pernikahan, pengalaman kerja, audiometri nada murni, timpanometri, serta otoakustik emisi dengan risiko tinggi burnout syndrome.

Hospital as public health service can not avoid noise hazard. Effect of hospital noise including auditory effect and non auditory effect. One of the non auditory effect is burnout syndrome. This research is a cross sectional study in order to find the prevalence of high burnout syndrome risk on CMCGH workers and its relation with certain noise room which have determined by researcher. Statistic analysis have conducted in order to find relationship between several factors including gender, age, marital status,working history with high burnout syndrome risk. Researcher examine workers including pure tone audiometry, tympanometry, otoaccoustic emission. Relationship analysis between those examination and high burnout syndrome risk haveconducted. Researcher instruct workers to fill the Maslach Burnout Inventory questionnaire as screening for high burnout syndrome risk. One of 77 workers have been revealed having high risk.The prevalence of high burnout syndrome risk is 1,3 %. There is no relationship between gender, age, marital status, working history, pure tone audiometry, tympanometry, acoustic emission with high burnout syndrome risk due to statistic analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
"ABSTRAK
Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini.
Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta.
Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI.
Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.

ABSTRACT
Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy.
Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta.
Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding.
Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustav Syukrinto
"Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.

Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Dora Auliataria
"ABSTRAK
Latar belakang: Mikrotia merupakan kelainan perkembangan telinga luar dengan variasi kelainan struktur anatomi daun telinga. Variasi kelainan anatomi telinga tengah pada mikrotia dan angka kejadian kelainan anatomi telinga tengah pada pasien mikrotia telah banyak dilaporkan. Data penelitian variasi anatomi pasien mikrotia tersebut diperlukan untuk memprediksi kelainan anatomi telinga tengah berdasarkan derajat klinis kelainan telinga.
Tujuan: Mengetahui hubungan kelainan subunit telinga luar dengan skor Jahrsdoerfer pada pasien mikrotia Metode: Dilakukan penelitian cross sectional menggunakan data retrospektif derajat mikrotia, gambaran CT Scan dan pemeriksaan audiologi (BERA dan audiometri nada murni) di Departemen THT FKUI/RSCM sebanyak 38 pasien mikrotia.
Hasil: Subjek penelitian mikrotia didapatkan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (65,8%) dengan rerata usia 12,3 ± 8,1 tahun. Kelainan telinga tengah berdasarkan skor Jahrsdoerfer terbanyak adalah kelainan kompleks maleus inkus (72,3%). Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif (63,1%). Berdasarkan uji korelasi jika jumlah subunit telinga semakin besar maka skor Jahrsdoerfer akan konsisten meningkat menyesuaikan dengan jumlah subunitnya.
Kesimpulan: Evaluasi subunit telinga sangat penting dalam evaluasi dan tatalaksana pasien mikrotia.

ABSTRACT
Background: Microtia is a developmental disorder with a variety of abnormalities of the outer ear anatomical structures. Variations of anatomical abnormalities of the middle ear in microtia and the incidence of middle ear anatomical abnormalities in microtia patients have been reported. The research data is needed to predict the variations in the anatomy of the middle ear abnormalities which are based on the degree of clinical disorders.
Objective: To determine the relationship of auricle subunit with Jahrsdoerfer score on microtia patients Methods: Cross-sectional study using retrospective data of microtia patients, CT Scan and audiological examination (BERA and pure tone audiometry) in the Department of Otolaryngology Faculty of Medicine / RSCM on 38 microtia patients.
Results: Study found male patients more frequent than female (65.8%) with a mean age of 12.3 ± 8.1 years. Most frequent middle ear abnormalities based on Jahrsdoerfer is malleus incus complex disorder (72.3%). Most frequent hearing loss is conductive hearing loss (63.1%). Based on correlation test if the greater auricle subunit value consistently increased with Jahrsdoerfer score.
Conclusion: Evaluation of ear subunit is essential in the evaluation and management of patients with microtia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>