Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desy Januarrifianto
"Latar Belakang: Anestesia spinal pada wanita hamil sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pendant position merupakan posisi yang baru diperkenalkan pada laporan kasus. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama antara pendant position dengan traditional sitting position untuk pasien yang menjalani pembedahan Sesar.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik Randomized Controlled Trial (RCT), dilakukan secara terbuka (tidak tersamar). Subjek dilakukan randomisasi untuk menentukan perlakuan pendant position atau traditional sitting position. Keberhasilan penempatan jarum spinal dinilai dari jumlah usaha, jumlah kontak tulang dan lama waktu penempatan jarum spinal.
Hasil: Sebanyak 308 subjek penelitian, tidak ada yang termasuk kriteria penolakan dan pengeluaran. Keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama untuk pendant position lebih baik (142 subjek (92%) vs 121 subjek (78%), p 0,001), total jumlah kontak tulang lebih sedikit (185 vs 421, p<0,001) dan median lama waktu yang dibutuhkan untuk penempatan jarum spinal lebih cepat ( 9 (4-350) vs 12 (5-486) detik, p<0,001) jika dibandingkan dengan traditional sitting position.
Simpulan: Pendant position lebih baik dalam hal keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama untuk pasien yang menjalani pembedahan Sesar jika dibandingkan traditional sitting position.

Background: Spinal anesthesia in pregnant women is strongly influenced by the position of the patient. Pendant position is a new position introduced in the case report. This study aimed to compare the successful placement of spinal needle on the first attempt between pendant position and traditional sitting position for patients who underwent sectio Caesarean.
Methods: The study was a randomized controlled trial (RCT), conducted openly (not blind). Subject randomization to determine treatment pendant position or traditional sitting position. The successful placement of spinal needle judged from the number of first attempt, the amount of bone contact and the duration of the placement of spinal needle.
Results: A total of 308 subjects, none of which include criteria for exclusion and drop out. The successful placement of spinal needle on the first attempt of pendant position is better (142 subjects (92%) vs. 121 subjects (78%), p 0.001), the total amount of bone contact is less (185 vs. 421, p <0.001) and the median length of time required for placement of spinal needle is faster (9 (4-350) vs. 12 (5-486) seconds, p <0.001) when compared to the traditional sitting position.
Conclusion: Pendant position is better in terms of the successful placement of spinal needle on the first attempt for a patient who underwent sectio Caesarean compared to traditional sitting position.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Limen, Ronal Yosua
"Latar belakang: Nyeri pasca bedah merupakan fenomena yang subyektif. Penelitian ini untuk membandingkan efek analgetik NSAID dan PCA dengan Elektroakupunktur dan PCA pada nyeri pasca bedah Caesar.
Metodologi: 38 wanita yang mendapatkan anestesi spinal selama menjalani bedah Caesar di Departemen Obstetrik dan Ginekologi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, dibagi secara acak menjadi kelompok NSAID dan PCA serta kelompok Elektroakupunktur dan PCA. Setelah selesai menjalani pembedahan subyek diberikan NSAID atau mendapat stimulasi Elektroakupunktur dan kemudian dipasang PCA. Waktu pertama kali membutuhkan morfin dan dosis PCA yang digunakan dicatat.
Hasil: Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok Elekroakupuntur dan PCA (205 menit) menunda waktu kebutuhan untuk morfin 25 menit lebih lama dibandingkan dengan kelompok NSAID dan PCA (180 menit). Dosis total PCA pada 24 jam pertama berkurang 25 % pada kelompok Elektroakupunktur dan PCA (4,5 mg) dibanding kelompok NSAID dan PCA (6 mg), sehingga tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada kelompok NSAID dan PCA maupun kelompok Elektroakupunktur dan PCA tidak didapatkan efek samping yang berhubungan dengan opioid seperti pusing.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan dalam waktu kebutuhan analgetik tambahan pasca bedah Caesar dan dosis PCA 24 jam pada kelompok NSAID dan PCA dengan Elektroakupunktur dan PCA.

Background: Post-operation pain is a very subjective phenomenon. The aim of this study was to compare the analgesic effects of NSAID and PCA or Electro-acupunture and PCA on post-cesarean pain.
Methods: 38 women, who had had spinal anesthesia during cesarean section at the Department of Obstetrics of Cipto Mangunkusumo Hospital, were randomly assigned to the NSAID and PCA group and the electro-acupuncture and PCA group. After the operation, we applied subjects with NSAID or Electro-acupuncture, and the patient controlled analgesia (PCA). The first time of requesting morphine and the doses of PCA used were recorded.
Results: The results showed that the Electro-acupuncture and PCA group (205 minutes) could delay the time of requesting morphine up to 25 minutes when compared with the NSAID and PCA group (180 minutes). The total dose of PCA used within the first 24 hours was 25 % less in the Electro-acupuncture and PCA group (4,5 mg) when compared with the NSAID and PCA group (6 mg), which no significant difference between the NSAID and PCA group and the Electro-acupuncture and PCA group. Finally, the incidence of opioid-related side effects, such as dizziness, was not record in the NSAID and PCA group or Electro-acupuncture and PCA group.
Conclusion: There was no different in the time of requesting pain relief medication after cesarean section and the PCA doses used within the first 24 hours in NSAID and PCA group or Electro-acupuncture and PCA group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Evelin Margaretha
"Latar belakang : Blok perifer yang digunakan saat pasien teranestesi akan mengurangi kebutuhan anestesia dan analgesia selama pembedahan, dan mengurangi kebutuhan opioid sebagai analgetik pasca operatif. Berkurangnya pemakaian opioid intraoperatif akan mengurangi morbiditas pasca operatif yang berkaitan dengan opioid. Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran BPSS menggunakan bupivakain 0,5% dalam mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, stabilitas hemodinamik intraoperatif, dan kecepatan waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 32 pasien usia 19-65 tahun, ASA I-III dengan berat badan 35-80 kg, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok BPSS dan kelompok kontrol. Pada kelompok BPSS dilakukan BPSS sebelum induksi menggunakan bupivakain 0,5%. Pada kelompok kontrol dilakukan anestesia umum tanpa BPSS. Anestesia dipertahankan dengan FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 (konsentrasi O2 40%); isofluran ± 1 MAC dan atrakurium 0,25 mg/kgBB setiap 30 menit untuk menjaga nilai BIS 45-60. Fentanil diberikan setiap ada peningkatan tekanan darah sistolik atau frekuensi nadi ≥ 20% dari nilai 5 menit sebelumnya. 30 menit sebelum operasi selesai diberikan parasetamol 1 gram iv dan ondansetron 4 mg iv.
Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan median konsumsi fentanil intraoperatif kelompok BPSS lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}. Perbedaan median TDS antara kelompok BPSS dan kelompok kontrol bermakna secara statistik psaat insisi { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001}, dan median frekuensi nadi kelompok BPSS lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}.
Simpulan : BPSS menggunakan bupivakain 0,5% sebelum induksi mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menekan respon hemodinamik terhadap insisi kulit, dan mempercepat waktu pulih.

Background : The peripheral nerve block which is used in combination with general anesthesia will reduce anesthesia and analgesia requirement intraoperatively. The reduction in opioid consumption will reduce pasca operative morbidity which is related to opioid. The aim of this study was to assess the role of superficial cervical plexus block (SCPB) using bupivakain 0,5% before induction in reducing fentanyl consumption, stabilized intraoperative hemodynamic, and reach early emergence in tympanomastoidectomy under general anesthesia.
Methods : The design of this study is single blind randomized clinical trial. The study was done to 32 consenting ASA I-III patients, 13-65 years old, with body weight 35-85 kg which were randomized to be SCPB group and control group. SCPB was done in block SCPB before induction using bupivacaine 0,5%. General anesthesia without SCPB was done in control group. Anesthesia was maintained with FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 with O2 consentration 40%, isoflurane ± 1 MAC, and atracurium 0,5 mg/kgBW every 30 minutes to keep BIS level 45-60. Fentanyl intermittent was given intraoperative due to 20% increased in SBP or heart rate from the data 5 minutes earlier. Paracetamol 1 g iv and ondansetron 4 mg iv were given 30 minutes before the end of the surgery.
Results : During surgery the median fentanyl consumption were significantly reduced in SCPB group compared with control group {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}, and during skin incision, the median SBP and the median heart rate were significantly reduced in SCPB group compared with control group { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001} and {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}. The median emergence time were also significantly reduced in SCPB group compared with control group {(10 minutes vs 20 minutes), p<0,001)}.
Conclusion : SCBP using bupivacaine 0,5% before induction reduced the fentanyl consumption intraoperative, more stabilized hemodynamic in response to skin incision and provided more rapid awakening.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandhi Prabowo
"LATAR BELAKANG: Anestesia umum yang merupakan teknik standar pembiusan pada timpanomastoidektomi memiliki beberapa kelemahan. Nyeri post operatif dan efek samping mual-muntah (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) yang kerap terjadi pada operasi ini dapat meningkatkan morbiditas pasca operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penambahan blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif pada timpanomastoidektomi.
METODE : Tiga puluh dua pasien yang akan menjalani timpanomastoidektomi dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Kelompok pertama (Grup BPSS+IV-PCT, n=16) menerima blok pleksus servikal superfisialis sebelum induksi. Kelompok kedua (Grup IV-PCT, n=16) tidak menerima blok pleksus servikal superfisialis. Sebelum operasi berakhir, kedua grup diberikan paracetamol 1 gram intravena (IV). Setelah ekstubasi, di ruang pemulihan dipasang Patient Controlled Analgesia (PCA) yang dipertahankan selama 24 jam di ruang perawatan dihitung sejak operasi dimulai. PCA berisi fentanil, dengan pengaturan demand dose (bolus) 1mcg/kgBB. Waktu pertama kali pasien menekan tombol PCA (T1), total fentanil PCA yang digunakan (mcg/kgBB), dan insidens PONV dicatat.
HASIL: Permintaan analgesia pertama pada Grup BPSS+IV-PCT lebih lama (1437.5 ± 10 minutes) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Pemakaian fentanil total pada Grup BPSS+IV-PCT lebih sedikit (0.06 ± 0.25mcg/kg) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). Namun dari perhitungan statistik menunjukkan hampir tetapi tidak berhasil mencapai nilai p yang dianggap signifikan (p=0.056 and p=0.086). Di lain pihak insidens PONV menurun secara signifikan pada Grup BPSS+IV-PCT (P<0.001).
KESIMPULAN : Blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif tidak lebih efektif bila dibandingkan dengan anestesia umum tanpa penambahan blok pada timpanomastoidektomi. Anestesia umum yang dikombinasi dengan blok pleksus servikal superfisialis secara signifikan berhasil menurunkan insidens PONV pada timpanomastoidektomi.

BACKGROUND: General anesthesia as a standard technique of anesthesia on tympanomastoidectomy has some disadvantages. Postoperative pain and side effects of nausea-vomiting (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) that often occurs in this operation may increase postoperative morbidity and length of treatment in the ward. This study aims to determine the effectiveness of the addition of the superficial cervical plexus block with 0.5% bupivacaine as post operative analgesia in tympanomastoidectomy.
METHOD: Thirty two randomly selected patients presenting for elective tympanomastoidectomy were divided equally into two groups to receive either a cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% (Group BPSS+IV-PCT, n=16) or general anesthesia alone without block (Group IV-PCT, n=16) as a control. Before surgery was ended, both group received paracetamol 1 gram intravenous (IV). After extubation in the recovery room, Patient Controlled Analgesia (PCA) was installed for 24 hours counted since the surgery was started. PCA was contained with fentanyl, with setting of demand dose (bolus) 1mcg/kgBW. First time analgesia request (T1), total fentanyl PCA consumption (mcg/kgBW), and PONV incidence were recorded.
RESULTS: First time analgesia request was longer (1437.5 ± 10 minutes) in Group BPSS+IV-PCT compared with Group IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Total fentanyl PCA consumption was lower in Group BPSS+IV-PCT (0.06 ± 0.25mcg/kg) compared with Group IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). However, they approaches but fails to achieve a customary level of statistical significance (p=0.056 and p=0.086). In the other hand PONV incidence decreased significantly (P<0.01) in group BPSS+IV-PCT.
CONCLUSION: Cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% as post operative analgesia was not more effective than general anesthesia alone without block in tympanomastoidectomy. General anesthesia combined with cervical superficial plexus block significantly resulted in less PONV compared with general anesthesia alone for tympanomastoidectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanny Adhitya
"LATAR BELAKANG : Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) adalah salah satu terapi batu ginjal dan batu ureter yang minimal-invasif. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo anestesia spinal merupakan pilihan anestesia utama untuk PCNL, namun regimen anestesia spinal yang digunakan masih bervariasi, dan kejadian hipotensi masih cukup besar. Penelitian ini membandingkan angka kejadian hipotensi pada PCNL dengan anestesia spinal antara dua regimen, yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg.
METODOLOGI: Dua puluh dua pasien PCNL dewasa, ASA I-III, tanpa kelainan kardiovaskuler, dirandomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg. Anestesia spinal dilakukan dalam posisi duduk, pungsi di L3-4/L4-5, kemudian pasien telentang lalu derajat blok sensorik dan motorik dinilai. Sebelum pasien pasien diposisikan prone, derajat blok sensorik dan motorik dinilai lagi. Tekanan darah diperiksa pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 setelah injeksi obat spinal.
HASIL: Angka kejadian hipotensi pada kelompok I adalah 33% sedangkan pada kelompok II 60% (p=0,391). Tidak terdapat perbedaan profil blok sensorik dan motorik pada kedua kelompok. Satu pasien di kelompok II memerlukan tambahan fentanil intravena 100 mcg pada menit ke-70.
SIMPULAN : Angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian tidak berbeda bermakna.

BACKGROUND: Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) is a minimally-invasive therapy for treatment of upper ureteral and renal stones. In Cipto Mangunkusumo Hospital, spinal anesthesia is the major option of anesthesia for PCNL, but spinal anesthesia regimens used are still varied, and the incidence of hypotension is still quite large. This study compared the incidence of hypotension in the PCNL with spinal anesthesia between the two regimens, 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg versus 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg.
METHODOLOGY: Twenty-two adult PCNL patients, ASA I-III, without cardiovascular abnormalities, were randomized into group I, which received 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II received 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg. Spinal anesthesia performed in sitting position, puncture in L3-4/L4-5, then the patient were positioned supine and the degree of sensory and motor block were assessed. Before the patient were positioned prone, the degree of sensory and motor block were assessed again. Blood pressure checked at minute 3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, and 60 after injection of spinal regiments.
RESULTS: The incidence of hypotension in group I was 33% and in group II was 60% (p = 0.391). There were no differences in sensory and motor block profiles in both groups. One patient in group II requires additional intravenous fentanyl 100 mcg in the 70th minute.
CONCLUSION: The incidence of hypotension in both groups of study subjects did not differ significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Nuha Nabilah
"Latar Belakang Nyeri adalah kondisi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker. Pemberian analgesik merupakan pengobatan andalan untuk kasus ini. Penggunaan analgesik sesuai dengan pedoman manajemen nyeri kanker dari the World Health Organization (WHO) adalah yang paling sering dilakukan karena cukup terbukti efektif. Studi ini bertujuan untuk mengobservasi jumlah pasien dewasa dengan nyeri kanker yang ditangani sesuai dengan pedoman yang disebutkan. Metode Desain penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah cross-sectional dan observasional. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan diambil melalui kuesioner yang diisi oleh pasien dewasa dengan nyeri kanker di Klinik Rawat-Jalan Hemato-Onkologi Medik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di antara tanggal 1 November 2023 dan 10 Februari 2024. Hasil Sebanyak 79 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Mayoritas dari subjek adalah perempuan (54,4%) dan berusia lebih dari 50 tahun (57%) dengan nyeri kanker yang parah (NRS 8-10) sebelum mengonsumsi analgesik (64,6%). Sebanyak 40,5% subjek sepenuhnya mengikuti pedoman manajemen nyeri kanker WHO, sedangkan 59% lainnya hanya patuh pada sebagian pedoman. Ketidakpatuhan paling umum terlihat pada prinsip "By The Clock”. Di antara semua subjek, 10 orang (12,6%) melaporkan tidak merasakan nyeri yang reda secara signifikan. Faktor seperti nyeri yang reda secara signifikan terlepas dari ketidakpatuhan terhadap panduan, dan edukasi dan komunikasi kepada pasien adalah beberapa alasan yang mendasari ketidaksesuaian manajemen nyeri di penelitian ini. Kesimpulan Ketidakpatuhan terhadap seluruh pedoman manajemen nyeri kanker WHO banyak ditemukan pada pasien di studi ini. Untuk memastikan pasien mendapatkan manajemen nyeri yang terbaik, menangani masalah yang mendasari ketidakpatuhan terhadap pedoman dari WHO dapat dilakukan.

Introduction
Pain is the most common complaint in cancer patients. Analgesics is the mainstay treatment for the condition. The most used guidance for analgesics use is the World Health Organization (WHO) cancer pain management guideline as it is proven to be effective. This study aims to observe the number of cancer patients whose pain complaint is managed according to the said guideline.
Method
The design of this study is cross-sectional and observational. The data used is collected from questionnaire forms filled by interviewing adult cancer patients with pain in Medical Hemato-Oncology Outpatient Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital Between November 1st 2023 and February 10th 2024.
Results
Seventy nine subjects were obtained for this study. The majority were women (54,4%) and older than 50 years old (57%) with severe cancer pain (NRS 8-10) before consuming analgesics (64,6%). This study found that 40,5% of the subjects followed the WHO cancer pain management guideline thoroughly, while the other 59% partially, with the most common noncompliance was seen in “By The Clock” principle. Among all the subjects, 10 of them (12,6%) did not get significant pain relief. Factors such as significant pain relief despite the non-compliance to the principles, and patient education and communication contributed to the inconsistency to the guideline.
Conclusion
Partial adherence to the WHO cancer pain management guideline was common and cases of insufficient pain relief were also found. To ensure the patients got the best pain management, addressing patients reason or problem underlying the noncompliance to the WHO cancer pain management guideline could be beneficial.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kambey, Barry Immanuel
"ABSTRAK
Latar belakang : Pemasangan kateter vena sentral (CVC) merupakan suatu
tindakan yang cukup rutin dilakukan dalam lingkungan perawatan intensif
maupun peri-operatif. Diperlukan suatu metode atau rumus sederhana dan akurat
untuk memperkirakan kedalaman kateter CVC yang tepat.
Tujuan : Mengevaluasi posisi dan kedalaman kateter vena sentral dengan
menggunakan rumus Peres ([tinggi badan/10]-2) dan pengukuran topografi
anatomi, serta menilai insiden malposisi pada pemasangan CVC.
Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional analitik. Lima puluh
pasien yang menjalani pemasangan kateter vena sentral (CVC) dengan pendekatan
vena subklavia kanan dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Rumus Peres
([tinggi badan/10]-2) dan kelompok Pengukuran Topografi Anatomi. Hasil
perhitungan prediksi dipakai untuk menentukan batas fiksasi kulit. Kedalaman
CVC dievaluasi dengan mengukur jarak antara ujung distal kateter CVC dengan
karina pada radiografi dada. Hasil pengukuran tersebut dianalisis dengan uji
statistik Bland Altman.
Hasil : Karakteristik pada kedua kelompok adalah sama. Dari uji statistik
didapatkan pada kelompok Rumus Peres rerata jarak antara karina dengan ujung
distal kateter CVC adalah sebesar 1,5 cm dibawah karina (IC 95% 1,2 sampai 1,9
cm) limit agreement 0,0 sampai 3,0 cm, sedangkan rerata jarak pada kelompok
pengukuran topografi anatomi sebesar 0,85 cm (IC 95% 0,5 sampai 1,1 cm) limit
of agreement -0,5 sampai 2,2 cm. Pada penelitian ini insiden malposisi ditemukan
sama pada kedua kelompok (masing-masing 3 insiden).
Simpulan : Rumus Peres dan Pengukuran Topografi Anatomi tidak tepat dalam
memprediksi kedalaman kateter CVC pada orang Indonesia.
Kata kunci. Kateter vena sentral (CVC), subklavia kanan, metode prediksi,
rumus Peres, topografi anatomi.

ABSTRACT
Background: The central venous catheter (CVC) insertion is a routine in either
intensive care or perioperatively circumstances. Simple and accuracy method or
rule are needed to predict the optimum depth of Aim : Evaluating the position and depth of central venous catheters by using the
formula Peres ([height / 10] -2) and Landmark measurement, as well as assessing
the incidence of malposition of the installation of CVC
Method: This research is an analytic observational study. Fifty patients
undergoing central venous catheter (CVC) with the right subclavian vein
approach is divided into two groups: Formula Peres ([height / 10] -2) and
Anatomy Topography Measurement group. The results of the calculations used to
determine the boundary prediction skin fixation. CVC depth was evaluated by
measuring the distance between the distal end of the catheter CVC with karina on
chest radiographs. The measurement results were analyzed by statistical tests
Bland Altman.
Result: The patients characteristic are equal in both groups. In Peres Group we
found that the mean of the distal CVC is 1,5 (0,82) cm under carina (IC 95% 1,2
to 1,9 cm), with the limit of agreement 0,0 cm to 3,0 cm, and the means of
landmark groups is 0,85 (0,73) cm (IC 95% 0,5 to 1,1 cm) with limit of agreement -
0.5 cm to 2,2 cm. The incidence of malposition was found similar in both groups.
Conclusion: The result shows that both prediction methods are not accurate to
predict the depth of CVC insertion in Indonesian people.
Keywords: Central venous catheter (CVC), right subclavian, prediction methods,
Pere?s formula, landmarks."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marshelli Orlanda
"Latar Belakang: Mual dan muntah adalah salah satu keluhan pascaoperasi yang paling sering ditemukan selain nyeri pada pasien yang menjalani operasi dalam pembiusan umum. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan, sebesar 20-30% pasien pascaoperasi mengalami mual muntah dalam waktu 24 jam setelah operasi, dan keluhan ini merupakan salah satu penyebab ketidakpuasan pasien dalam menjalani tindakan pembiusan. PONV (postoperative nausea and vomiting) memiliki faktor-faktor risiko yang multifaktorial seperti jenis kelamin, usia, riwayat PONV sebelumnya, riwayat merokok, penggunaan neostigmin, lama anestesi, anestesi inhalasi, dan penggunaan opioid. Di RSCM belum ada data mengenai gambaran insiden PONV dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui insiden PONV pada pasien bedah elektif di IBP RSCM, dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional, dilakukan pada 256 pasien yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Data pasien kemudian dicatat, berupa data umum pasien, data mengenai teknik anestesi, obat-obatan yang digunakan serta jenis pembedahan. Pasien diamati dua kali dalam 24 jam yaitu dalam dua jam dan dalam 24 jam pascaoperasi tentang apakah pasien mengalami mual dan atau muntah. Data kemudian dianalisis menggunakan perhitungan regresi logistik multivariat untuk menentukan faktor-faktor risiko apa saja yang berpengaruh.
Hasil: insiden PONV dalam 24 jam pertama adalah 21,5%. Faktor risiko yang dapat diidentifikasi dari penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, usia di bawah 50 tahun, teknik anestesi umum inhalasi, penggunaan fentanyl di atas 100 mcg, dan riwayat PONV sebelumnya. Faktor risiko yang tidak dapat disimpulkan sebagai faktor risiko PONV dalam penelitian ini adalah status merokok, penggunaan neostigmin, lama anestesi, penggunaan N2O, dan penggunaan morfin pascaoperasi.

Background:PONV is one of the most frequently found complaints postoperatively beside pain after elective surgery. From many studies it found that 20-30% patients will have PONV in 24 hours after surgery, dan this complain is one of the cause of patient’s discontent after undergoing anesthesia. PONV have multifactorial risk factors, such as sex, age, history of PONV, smoking history, neostigmin usage, duration of anesthesia, inhalational anesthesia technique, and opioid usage.At RSCM there is still no data depicting the incidence and risk factors of PONV. The purpose of this study is to find the PONV incidence at central operating theathre of RSCM and to determine the PONV risk factors that may contribute.
Methods: This study is a cross-sectional study, involving 256 patients undergoing elective surgery at central operating room of RSCM by consecutive sampling technique. Data obtained are patient’s general characteristics, anesthesia techniques, drugs used, and types of surgery. Patients were observed two times in 24 hours after surgery, the first observation is within 2 hours and the second is in 24 hours after surgery. Data are then analyzed using mutivariate logistic regression analysis to determine which risk factors that may contribute to PONV.
Results: PONV incidence in the first 24 hours is 21,5%. Indentified PONV risk factors are female sex, age under 50 years, inhalational anesthetic technique, usage of fentanyl above 100 mcg, and history of previous PONV. Factors that cannot be concluded as the PONV risk factors are smoking status, neostigmin usage, length of anesthesia, N2O usage, and postoperative morphine usage
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>