Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jessica Purwanti Wonohutomo
"Pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan pemeriksaan penyaring dan diagnostik hepatitis B. Pemeriksaan HBsAg konfirmasi merupakan salah satu cara membedakan hasil HBsAg reaktif lemah dengan positif palsu. Salah satu metode pemeriksaan HBsAg ialah chemiluminescence microparticle immunoassay (CMIA), namun belum terdapat panduan batas sample/cut-off (S/CO) HBsAg yang perlu dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui S/CO HBsAg yang perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi pada metode CMIA, proporsi diskrepansi hasil HBsAg dengan HBsAg konfirmasi, serta profil klinis pasien dengan diskrepansi hasil. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang. Total sampel HBsAg ialah 19.645 sampel yang dilakukan pemeriksaan HBsAg Qualitative II® pada Abbott Architect i2000. Sampel dengan S/CO 0,90 – 100,00 sesudah sentrifugasi kecepatan tinggi yang dilanjutkan pemeriksaan HBsAg Qualitative II Confirmatory® ialah 132 sampel, dengan persentase diskrepansi hasil 22,7%. Sampel terdiri dari 102 sampel konfirmasi reaktif dan 30 sampel tidak terkonfirmasi. Nilai S/CO yang perlu dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi ialah 0,98 (sensitivitas 100%, spesifisitas 3,3%) hingga 9,32 (sensitivitas 47,1%; spesifisitas 100%). Kurva ROC S/CO pemeriksaan HBsAg setelah sentrifugasi kecepatan tinggi memiliki luas area under the curve 83,3%. Profil klinis terbanyak pada pasien dengan diskrepansi hasil ialah hipertensi, diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, dan pneumonia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kaitan diskrepansi hasil HBsAg dengan komorbiditas yang telah disebutkan.

Hepatitis B surface antigen (HBsAg) is a serological marker used in hepatitis B screening and diagnosis. Confirmatory HBsAg is an assay to distinguish weak reactive from false positive results. Chemiluminescence microparticle immunoassay (CMIA) is one of HBsAg assay method widely used, however at present no approved guideline for HBsAg sample/cut-off (S/CO) value which needs to be followed by confirmatory HBsAg. The aims of the study were to determine S/CO value of HBsAg assay using CMIA method which needs to be followed by confirmatory HBsAg, to know the discrepancy proportion between HBsAg and confirmatory HBsAg results, and to identify the clinical profile of patients with results discrepancies. Of total 19645 samples analyzed using HBsAg Qualitative II® in Architect i2000, 132 had S/CO between 0.90 – 100.00 after high speed centrifugation, thus followed by confirmatory HBsAg using HBsAg Qualitative II Confirmatory®. Proportion of the discrepancy was 22.7% (102 confirmed reactive samples and 30 not confirmed samples). The S/CO value of HBsAg samples needs to be followed by confirmatory HBsAg is 0.98 (100% sensitivity, 3.3% specificity) to 9.32 (47.1% sensitivity, 100% specificity). The ROC curve was made using HBsAg S/CO values after high speed centrifugation, with area under the curve of 83.3%. Most common clinical profile found in discrepancies were hypertension, diabetes mellitus, chronic kidney disease, and pneumonia. Further studies are needed to determine the association of HBsAg results discrepancy with the mentioned comorbidities."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jufitriani Ismy
"Latar Belakang: Epilepsi resisten terhadap obat adalah salah satu permasalahan pada epilepsi sehingga terjadi kejang berulang dan diperlukan pengobatan polifarmasi obat anti epilepsi. Kedua kondisi ini menyebabkan semakin meningkatkan stres oksidatif yang merugikan bagi otak dalam menjalankan fungsi fisiologis, terutama pada penderita epilepsi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui peran pemberian vitamin C dan E dalam menurunkan stres oksidatif dan frekuensi kejang pada pasien epilepsi resisten obat.
Metode: Penelitian dengan uji klinis acak tersamar ganda dengan plasebo, desain paralel dan dilakukan randomisasi blok. Subjek penelitan adalah pasien epilepsi resisten obat usia 1-18 tahun yang mendapat pengobatan rutin di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Randomisasi dilakukan pada 100 subjek yang terbagi menjadi kelompok perlakuan dan plasebo. Subjek mendapatkan vitamin C dosis 100 mg/hari , vitamin E dosis <5 tahun 200 IU/hari, ≥5 tahun 400 IU/hari dan plasebo yang diberikan selama 8 minggu. Pemeriksaan malondialdehida dan penilaian frekuensi kejang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.
Hasil penelitian: Sebanyak 100 orang subjek pasien epilepsi resisten obat berpartisipasi dalam penelitian ini. Pemantauan sampai akhir penelitian pada kelompok perlakuan 42 subjek dan kelompok plasebo 46 subjek. Kadar MDA sebelum diberikan intervensi tidak berbeda bermakna pada kelompok perlakuan dan plasebo (p=0,920). Kadar MDA sesudah intervensi tidak berbeda bermakna antara kelompok perlakuan dan plasebo (p=0,880). Kadar MDA sebelum dan sesudah perlakuan terdapat perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan (p= <0,001) dan plasebo (p= 0,028). Perubahan kadar sebelum dan sesudah intervensi pada kedua kelompok tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p=0,181). Tidak terdapat hubungan yang bermakna perubahan kadar MDA dengan frekuensi kejang baik di kelompok perlakuan (p=0,967) dan plasebo (0,065). Penurunan frekuensi kejang didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001).
Simpulan: Pemberian vitamin C dan E dapat menurunkan frekuensi kejang pada pasien epilepsi resisten obat.

Background: Drug-resistant epilepsy is one of the problems in epilepsy resulting in recurrent seizures and polypharmacy treatment of anti-epileptic drugs is needed. Both of these conditions lead to further increase in oxidative stress which is detrimental to the brain in carrying out its physiological functions, especially in people with epilepsy.
The purpose of this study was to determine the role of vitamins C and E in reducing oxidative stress and seizure frequency in drug-resistant epilepsy patients.
Methods: This study was a double-blind randomized clinical trial with a placebo, parallel design and block randomization. The research subjects were drug-resistant epilepsy patients aged 1-18 years who received routine treatment at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Randomization was performed on 100 subjects which were divided into treatment and placebo groups. Subjects received a vitamin C dose of 100 mg/day, a vitamin E dose of <5 years 200 IU/day, ≥5 years 400 IU/day and a placebo given for 8 weeks. Examination of malondialdehyde and assessment of seizure frequency was carried out before and after the intervention.
Results: A total of 100 subjects of drug-resistant epilepsy patients participated in this study. Monitoring until the end of the study in the treatment group of 42 subjects and the placebo group of 46 subjects. MDA levels before being given the intervention were not significantly different in the treatment and placebo groups (p=0.920). MDA levels after the intervention did not differ significantly between the treatment and placebo groups (p=0.880). There were significant differences in MDA levels before and after treatment in the treatment (p=<0.001) and placebo (p=0.028) groups. There was no
significant difference in the changes in levels before and after the intervention in the two groups (p=0.181). There was no significant relationship between changes in MDA levels and seizure frequency in both.
Conclusion: Administration of vitamins C and E can reduce the frequency of seizures in drug-resistant epilepsy patients.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti Pranoto
"Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik (infark miokard) merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tindakan reperfusi miokardium merupakan tatalaksana utama PJK. Cedera iskemia-reperfusi (IRI) merupakan cedera lanjutan otot jantung akibat disfungsi seluler yang dapat terjadi setelah reperfusi. Transforming growth factor-beta (TGF-β) merupakan sitokin anti-inflamasi yang berperan dalam resolusi inflamasi dan inisiasi perbaikan infark, namun TGF-β juga mengaktivasi jalur fibrogenik yang menyebabkan fibrosis, hipertrofi dan percepatan gagal jantung. Kolkisin dosis rendah diketahui menurunkan ekspresi TGF-β. Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap perubahan kadar TGF-β pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi. Penelitian dilakukan menggunakan desain uji klinik tersamar ganda (double blinded randomized clinical trial) yang melibatkan 64 subjek. Pada hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar TGF-β yang lebih tinggi pada 48 jam pasca reperfusi, terutama pada kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada analisis perubahan (delta) kadar TGF-β sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi antara kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap kadar TGF-β pada pasien IMA-EST pasca reperfusi. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lanjutan untuk menilai perubahan kadar TGF-β dengan pemberian kolkisin dalam jangka panjang.

Coronary heart disease or ischemic heart disease (myocardial infarction) is one of the leading causes of death worldwide. The primary management for CHD is myocardial reperfusion. Ischemia-reperfusion injury is a type of secondary cardiac muscle injury induced by cellular dysfunction following reperfusion. Transforming growth factor-beta (TGF-β) is an anti-inflammatory cytokine that aids in inflammatory resolution and initiation of infarct healing, but it also stimulates fibrogenic pathways that promote fibrosis, hypertrophy and accelerated heart failure. Low doses of colchicine have been shown to inhibit TGF-β expression. The purpose of this study is to see how colchicine affects TGF-β serum levels in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction (IMA-EST) before and 48 hours after reperfusion. This study used a double blinded randomized clinical trial design involving 64 subjects. This study’s findings revealed a larger increase in TGF-β levels 48 hours after reperfusion, particularly in the study group. There was no significant difference in TGF-β level changes before and 48 hours after reperfusion between the two groups. This is the first study to evaluate the effect of colchicine on TGF-β levels in IMA-EST patients and can be used to guide future research into the effects of long-term colchicine administration on TGF-β levels

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Wirya Atmaja
"Penyakit kardiovaskular menjadi masalah kesehatan global dan menempati urutan pertama penyebab kematian. Prevalensinya semakin meningkat seiring peningkatan faktor risiko diabetes melitus (DM), hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Infark miokard akut (IMA) merupakan iskemia miokard yang disebabkan oleh ruptur plak arteri koroner yang menyebabkan trombosis dan oklusi. Upaya penanganan IMA dapat dilakukan dengan tindakan revaskularisasi, namun tindakan tersebut berpotensi menyebabkan cedera miokard ireversibel dan kematian kardiomiosit yang dikenal sebagai cedera iskemia reperfusi miokard. Mekanisme cedera iskemia reperfusi miokard menginduksi respons inflamasi yang memicu pembentukan inflamasom NLRP3 sehingga terjadi aktivasi kaspase-1 yang berperan pada maturasi dan pelepasan interleukin (IL)-18. Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang sederhana, murah, dengan masa kerja cepat yang dapat menghambat inflamasom, sehingga tidak terjadi aktivasi dan pelepasan IL-18. Penelitian mengenai efektivitas kolkisin terhadap penyakit kardiovaskular telah banyak dilakukan, namun penelitian mengenai perubahan kadar IL-18 pada pasien IMA belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST (EST) dengan pemberian kolkisin. Desain penelitian uji klinik tersamar ganda,  dengan total 60 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdiri dari 30 subjek kelompok kolkisin dan 30 subjek kelompok plasebo. Penurunan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada kelompok kolkisin lebih besar daripada kelompok plasebo, namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara keduanya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai rentang waktu untuk menilai penurunannya. 

Kata Kunci : IMA-EST, cedera iskemia reperfusi miokard, IL-18, kolkisin, penurunan kadar


Cardiovascular diseases have become a global health problem and are the leading cause of death. The prevalence is increasing due to the rise in risk factors such as diabetes mellitus (DM), hypertension, dyslipidemia, and smoking. Acute myocardial infarction (AMI) is myocardial ischemia caused by the rupture of a coronary artery plaque, leading to thrombosis and occlusion. The management of AMI can be done through revascularization procedures, but these interventions have the potential to cause irreversible myocardial injury and cardiomyocyte death, known as ischemia-reperfusion myocardial injury. The mechanism of ischemia-reperfusion myocardial injury induces an inflammatory response that triggers the formation of the NLRP3 inflammasome, leading to caspase-1 activation involved in interleukin (IL)-18 maturation and release. Colchicine is a simple, inexpensive, fast-acting anti-inflammatory drug that can inhibit the inflammasome, thus preventing the activation and release of IL-18. Studies on the effectiveness of colchicine in cardiovascular diseases have been conducted extensively, but research on changes in IL-18 levels in AMI patients is limited. This study aims to assess the changes in IL-18 levels within 48 hours post-primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) patients treated with colchicine. The study design is a double-blinded, randomized clinical trial, involving a total of 60 STEMI patients undergoing PPCI, with 30 subjects in the colchicine group and 30 subjects in the placebo group. The reduction in IL-18 levels at 48 hours post-PPCI in the colchicine group was greater than in the placebo group, although no significant difference was observed between the two groups. Further research with different time intervals is needed to assess the extent of IL-18 reduction.

Keyword : STEMI, ischemia-reperfusion myocardial injury, IL-18, colchicine, reduction levels"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charlie Windri
"Penyakit jantung koroner (PJK) atau infark miokard (IMA) adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tindakan reperfusi miokardial merupakan pendekatan utama dalam penanganan PJK. Cedera iskemia-reperfusi (IRI) mewakili cedera tambahan pada otot jantung yang terjadi akibat disfungsi seluler setelah proses reperfusi. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan protein yang berperan dalam induksi angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. VEGF penting dalam pembentukan pembuluh darah kolateral pasca IMA, namun kadar VEGF yang terlalu tinggi diketahui mengakibatkan restenosis pasca tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kolkisin dosis rendah diketahui menurunkan kadar VEGF. Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap penurunan kadar VEGF pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi. Penelitian dilakukan menggunakan desain uji klinik tersamar ganda (double blinded randomized clinical trial) yang melibatkan 63 subjek. Pada hasil penelitian didapatkan penurunan kadar VEGF pada 48 jam pasca reperfusi namun tidak didapatkan perbedaan bermakna pada analisis perubahan (delta) kadar VEGF sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi antara kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap kadar VEGF pada pasien IMA-EST pasca reperfusi. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lanjutan untuk menilai penurunan kadar VEGF dengan pemberian kolkisin dalam jangka panjang.

Coronary heart disease (CHD) or acute myocardial infarction (AMI) is one of the major causes of death throughout the world. Myocardial reperfusion is the main approach in treating CHD. Ischemia-reperfusion injury (IRI) represents additional injury to the heart muscle that occurs due to cellular dysfunction following the reperfusion process. Vascular endothelial growth factor (VEGF) is a protein that plays a role in inducing angiogenesis and increasing vascular permeability. VEGF is important in the formation of collateral blood vessels after MI, but higher levels of VEGF are known to result in restenosis after primary percutaneous coronary intervention (IKPP). Low-dose colchicine is known to reduce VEGF levels. This study aims to assess the effect of colchicine administration on reducing VEGF levels in the serum of patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction (IMA-EST) before and 48 hours after reperfusion. The research was conducted using a double-blinded randomized clinical trial design involving 63 subjects. The study result showed the decrease in VEGF levels at 48 hours after reperfusion, but there was no significant difference in the analysis of changes (delta) in VEGF levels before and at 48 hours after reperfusion between the two groups. This study is the first study to assess the effect of colchicine administration on VEGF levels in post-reperfusion IMA-EST patients. This research can be used as a basis for further research to assess the reduction in VEGF levels with long-term administration of colchicine."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita
"RSCM merupakan rumah sakit terbesar di Indonesia yang menangani penyakit COVID-19. Ditemukan banyak faktor yang mempengaruhi morbiditas, lama perawatan dan perubahan parameter laboratorium. Prevalensi obesitas semakin meningkat di Indonesia. Saat ini belum ada penelitian mengenai pengaruh IMT terhadap derajat keparahan COVID-19 di Indonesia. Masalah penelitian ini adalah belum adanya informasi mengenai pengaruh indeks massa tubuh (IMT) terhadap derajat keparahan COVID-19 di Indonesia dan adanya perbedaan temuan hasil laboratorium (leukosit, trombosit, rasio neutrofil limfosit (RNL), PT, APTT, D-dimer dan CRP) pada pasien COVID-19 sehingga dapat memberikan informasi derajat keparahan COVID-19 pada pasien rawat inap di RSUPNCM. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 378 data subjek yang memuat data demografi, data klinis, IMT, jumlah leukosit, RNL, trombosit, PT, APTT, D-dimer, dan CRP. Analisis statistik hasil laboratorium dilakukan dengan membandingkan antar kelompok berdasarkan IMT dan derajat penyakit. Selain itu, analisis statistik juga dilakukan antara IMT dengan derajat penyakit. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan bermakna nilai CRP pada kelompok overweight dan obese (53,6 mg/L dan 63,35 mg/L) dibandingkan dengan kelompok normal (22,65 mg/L). Selain itu, terdapat perbedaan bermakna jumlah leukosit, RNL, PT, APTT, D-dimer dan CRP antara kelompok severe vs non-severe pada hari pertama perawatan. Obesitas 1,88 kali lebih tinggi untuk mengalami COVID-19 derajat penyakit severe dibandingkan kelompok normal. Berdasarkan hasil penelitian ini maka obesitas merupakan faktor risiko terjadinya COVID-19 severe dimana pada kelompok obesitas didapatkan kadar CRP yang tinggi sejak hari pertama perawatan dan hanya kadar D-dimer dan CRP yang meningkat secara bermakna pada kelompok severe

RSCM is the largest designated hospital in Indonesia for managing COVID-19 cases. Many factors have been found which affect morbidity, length of treatment and changes in laboratory parameters. The prevalence of obesity is increasing in Indonesia. Currently, there is no research on the effect of BMI on the severity of COVID-19 in Indonesia. The problem of this research is that there is no information regarding the effect of body mass index (BMI) on the severity of COVID-19 in Indonesia and the differences in laboratory findings (leukocytes count, platelets count, neutrophil to lymphocyte ratio (NLR), PT, APTT, D-dimer and CRP) in COVID-19 patients to provide information on the severity of COVID-19 in hospitalized patients at the RSUPNCM. This study is a cross-sectional study involving 378 subject data containing demographic data, clinical data, BMI, leukocyte count, NLR, platelets, PT, APTT, D-dimer, and CRP. Statistical analysis of laboratory results was performed by comparing groups based on BMI and disease severity. In addition, statistical analysis was done between BMI and disease severity. This study showed a significant increase in CRP values ​​in the overweight and obese groups (53.6 mg/L and 63.35 mg/L) compared to the normal group (22.65 mg/L). In addition, there were significant differences in the leukocytes count, NLR, PT, APTT, D-dimer and CRP between the severe vs non-severe groups on the first admission day. Obesity was 1.88 times more likely to develop severe COVID-19. Based on the results of this study, obesity is a risk factor for severe COVID-19 where in the obese group there was high CRP level since the first admission day and only D-dimer and CRP level ​increase significantly in the severe group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Pamujumadi
"Tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) adalah salah satu sitokin proinflamasi yang berperan pada timbulnya cedera iskemia-reperfusi pasien infark miokard akut yang menjalani tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kolkisin merupakan salah satu obat antiinflamasi yang diduga memiliki pengaruh terhadap TNF-alpha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kolkisin terhadap kadar TNF-alpha serum pasien infark miokard akut dengan tindakan intervensi koroner perkutan primer. Desain penelitian uji klinis acak tersamar ganda menggunakan sampel sisa serum penelitian dari subjek pasien infark miokard akut Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok studi diberikan loading dose kolkisin 2 mg, kemudian dilanjutkan 2 x 0,5 mg per hari secara oral selama 48 jam, sementara kelompok kontrol diberikan plasebo. Analisis kadar TNF-alpha menggunakan metode ELISA yang diperiksa sebelum dan 48 jam pasca-IKPP untuk mendapatkan delta perubahan kadar TNF-alpha. Terdapat 64 subjek yang dianalisis terdiri dari 30 kelompok kontrol dan 34 kelompok studi. Delta kadar TNF-alpha pasca-IKPP kelompok kontrol (2,2) terhadap delta kadar TNF-alpha kelompok studi (0,7). Penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang pengaruh kolkisin terhadap kadar TNF-alpha pada pasien infark miokard akut dengan tindakan intervensi koroner perkutan primer di Indonesia. Pengukuran TNF-alpha perlu dilakukan lebih dari dua kali untuk melihat dinamika kadar TNF-alpha pada pasien infark miokard akut yang menjalani tindakan intervensi koroner perkutan primer dan penelitian lanjutan diperlukan untuk menilai peran kolkisin sebagai obat antiinflamasi dengan pemeriksaan menggunakan metoda ELISA dengan reagen high-sensitive.

Tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) is a proinflammatory cytokine that plays a role in the emergence of ischemia-reperfusion injury in patients with acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous coronary intervention (PCI). Colchicine is an anti-inflammatory drug believed to affect TNF-alpha. This study aimed to determine the role of colchicine on serum TNF-alpha levels in acute myocardial infarct patients undergoing primary percutaneous coronary intervention. The research design was a double-blind, randomized clinical trial using residual research serum samples from patients with acute myocardial infarction at Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo. The research subjects were divided into two groups. The study group was given a loading dose of 2 mg colchicine and then continued at 2 x 0.5 mg per day orally for 48 hours, whereas the control group was given a placebo. Analysis of TNF-alpha levels using the ELISA method was performed before and 48 hours after primary percutaneous coronary intervention to obtain the delta of changes in TNF-alpha levels. There were 64 subjects analyzed, comprising 30 control groups and 34 study groups. The delta of TNF-alpha levels post-PCI in the control group (2.2) compared with the delta of TNF-alpha levels in the study group (0.7). This is the first study on the effect of colchicine on TNF-alpha levels in acute myocardial infarction patients with primary percutaneous coronary intervention in Indonesia. TNF-alpha measurements need to be carried out more than twice to determine the dynamics of TNF-alpha levels in patients with acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous coronary intervention, and further research is needed to assess the role of colchicine as an anti-inflammatory drug by ELISA with high-sensitive reagents."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Fonny Roosmyaty Wadudi
"Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu penyebab kematian global. Tindakan reperfusi dengan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) adalah tatalaksana untuk revaskularisasi, namun tindakan ini memiliki efek paradoks berupa cedera iskemik pasca reperfusi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitias. Mekanisme patogenesis cedera reperfusi yaitu respon inflamasi melalui pelepasan sitokin proinflamasi salah satunya IL-1b. Penelitian ini bertujuan mengkaji perubahan IL-1b pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen- ST (IMA-EST) yang menjalani IKPP sebelum dan pasca 48 jam tindakan reperfusi dengan pemberian kolkisin. Penelitian melibatkan 64 subjek terdiri dari 30 subjek kelompok kolkisin dan 34 subjek kelompok plasebo. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar IL-1b pasca 48 jam IKPP pada kedua kelompok  dengan delta perubahan pada kelompok kolkisin 0,4 pg/mL (-0,2 – 11,3 pg/mL) dan kelompok kontrol 0,3 pg/mL (-1,2 – 14,0 pg/mL), namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antar kedua kelompok (p=0,136). Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai efek kolkisin terhadap perubahan kadar IL-1b pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.

Cardiovascular disease is one of the leading causes of death globally. Reperfusion with Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a management for revascularisation, but it has a paradoxical effect of post-reperfusion ischaemic injury that increases morbidity and mortality. Pathogenesis of reperfusion injury is an inflammatory response through release of proinflammatory cytokines, including IL-1b. This study aims to assess levels of IL-1b changes in serum of ST-elevation acute myocardial infarction (STEMI) patients who underwent PCI before and after 48 hours of reperfusion action with colchicine administration. The study involved 64 subjects consisting of 30 subjects in colchicine group and 34 subjects in placebo group. Study results showed an increase in IL-1b levels after 48 hours of PCI in both groups with delta changes in colchicine group of 0.4 pg/mL (-0.2 – 11.3 pg/mL) and control group of 0.3 pg/mL (-1.2 – 14.0 pg/mL), but there was no significant difference between the two groups (p=0.136). This is the first study to assess the effect of colchicine on levels of IL-1b changes in STEMI patients undergoing PCI, so it can be used as a reference for future studies."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library