Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nusmirna Ulfa
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo.
Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.
Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD

Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs.
Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm.
Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI.
Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Syawaluddin Djamal
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) pada pasien diabetes melitus tipe-2 memiliki prevalensi yang meningkat setiap tahunnya. Diabetes merupakan penyebab utama PGK. Penurunan LFG pada populasai diabetes mungkin lebih besar dan lebih cepat dibandingkan populasi non-diabetes atau prediabetes. Saat ini belum terdapat penelitian mengenai penurunan eLFG pada kategori gangguan toleransi glukosa berbeda tetrsebut dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia.
Tujuan: Membandingkan penurunan eLFG pada kelompok diabetes, prediabetes, dan non-diabetes dan faktor-faktor yang berpengaruh.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada data Penelitian Kohort Penyakit Tidak Menular (PTM) Litbangkes Republik Indonesia Tahun 2011-2020. Pasien dikelompokkan berdasarkan status diabetes awal menjadi kelompok diabetes, prediabetes, dan non-diabetes. Penurunan eLFG berdasarkan rumus CKD-EPI Creatinine Equation. Analisis dilakukan dengan uji Kruskall Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney U.
Hasil: Didapatkan 1.245 subjek (877 non-diabetes, 274 prediabetes, dan 94 diabetes) yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan eLFG awal yang berbeda antar kelompok (non-diabetes 110 vs. prediabetes 107,3 vs. diabetes 106,1 ml/min/1,73m2, p < 0,001). Didapatkan eLFG akhir yang berbeda antar kelompok (non-diabetes 86,3 vs. prediabetes 79,8 vs. diabetes 59,3 ml/min/1.73m2, p < 0,001). Didapatkan penurunan eLFG yang berbeda antar kelompok (non-diabetes -23,1 vs. prediabetes -26,4 vs. diabetes -37,6 ml/min/1.73m2, p < 0,001). Faktor yang berhubungan dengan penurunan eLFG lebih tinggi adalah jenis kelamin perempuan, hipertensi, dan gula darah puasa tinggi.
Kesimpulan: Penurunan eLFG lebih besar ditemukan pada kelompok diabetes dibandingkan dengan kelompok non-diabetes dan pre-diabetes. Jenis kelamin perempuan, hipertensi, dan gula darah puasa tinggi berhubungan dengan penurunan eLFG lebih besar.

Introduction: Chronic kidney disease (CKD) in diabetic patients has an increasing prevalence every year. Diabetes is the main cause of CKD. Decline LFG in diabetes may be greater and faster than in non-diabetic or prediabetes populations. There has been no research on the decrease in GFR in each category and its influencing factors in Indonesia Aim: To compare the decline in eGFR in the diabetic, prediabetic, and non-diabetic groups and their influencing factors. Methods: A retrospective cohort study was conducted on Indonesian Research and Development Cohort of Non-Communicable Diseases (PTM) and Development in 2011- 2020. Patients were grouped based on initial diabetes status into diabetic, prediabetic, and non-diabetic groups. The decline in the glomerular filtration rate was carried out by creatinine assessment and calculations based on the 2021 CKD-EPI Creatinine Equation formula. The analysis was carried out with the Kruskall Wallis test, followed by the Mann Whitney U test. Results: A total of 1,245 subjects (877 non-diabetic, 274 prediabetic, and 94 diabetic) were included in the study. There were differences in baseline eGFR between groups (non-diabetic 110 vs. prediabetic 107.3 vs. diabetic 106.1 ml/min/1.73m2, p < 0.001). There were differences in final GFR between groups (non-diabetic 86.3 vs. prediabetic 79.8 vs. diabetes 59.3 ml/min/1.73m2, p < 0.001). Different eGFR decline was found between groups (non-diabetic -23.1 vs. prediabetes -26.4 vs. diabetes -37.6 ml/min/1.73m2, p < 0.001). Factors associated with rapid decline in GFR were female gender, hypertension, and high fasting blood sugar level. Conclusion: There was a more rapid decline in eGFR in the group with diabetes than non-diabetic and pre-diabetic. Factors associated with a higher decrease in eGFR were female gender, hypertension, and high fasting blood sugar level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lea Ratna Lestari
"Latar Belakang: Prevalensi obesitas, hipertensi dan penyakit ginjal kronis (PGK) pada pekerja kantor di Jakarta cukup tinggi. Meningkatnya volume lemak viseral pada obesitas, khususnya obesitas sentral,  memiliki kemaknaan klinis yang lebih besar dalam memprediksi kejadian hipertensi dan PGK. Studi ini bertujuan untuk meneliti korelasi nilai lemak viseral tubuh dengan tekanan darah (TD) dan fungsi ginjal pada populasi pekerja kantor dengan obesitas di Jakarta.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 101 pekerja kantor dengan obesitas di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pengukuran volume lemak viseral menggunakan alat bioelectrical impedance analysis multifrekuensi SECA mBCA 525. TD diukur dengan tensimeter digital, fungsi ginjal dari hasil perhitungan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG) berdasarkan nilai kreatinin serum.
Hasil: Subjek terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan kategori lemak viseral. Sebanyak 91% subjek berada di dalam kelompok lemak viseral tidak normal, dimana didominasi perempuan serta rerata usia dan indeks massa tubuh lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. Pada kelompok tersebut, 33,7% diantaranya memiliki TD sistolik ≥140 dan/ atau diastolik ≥90 mmHg, dan 18,5% memiliki eLFG <90 ml/menit/1,73 m2. Adanya korelasi positif antara nilai lemak viseral dengan tekanan darah sistolik (r =0,436, p =0,000) dan diastolik (r =0,306, p =0,002), serta korelasi negatif dengan eLFG (r =-0,284, p =0,004).
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara lemak viseral dengan tekanan darah dan fungsi ginjal pada pekerja kantor dengan obesitas.

Background: The prevalence of obesity, hypertension and chronic kidney disease (CKD) among office workers in Jakarta is relatively high. Increased visceral fat in obesity, especially central obesity, has greater clinical significance in predicting the incidence of hypertension and CKD. This study aims to examine the correlation of visceral fat values with blood pressure (BP) and kidney function in office workers in an obese population in Jakarta.
Methods: A cross-sectional study was conducted on 101 office workers with obesity at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Visceral fat volume was measured using a multi-frequency bioelectrical impedance analysis SECA mBCA 525. BP was measured with a digital tensimeter, and kidney function was taken from the estimated glomerular filtration rate (eGFR) calculation based on serum creatinine.
Results: Subjects were divided into two groups based on the category of visceral fat. About 91% of the subjects were in the abnormal visceral fat group, dominated by women, and the mean age and body mass index were higher than the normal group. In this group, 33.7% had systolic BP ≥140 and/or diastolic ≥90 mmHg, and 18.5% had an eGFR <90 ml/min/1.73 m2. There was a positive correlation between visceral fat values with systolic (r =0.436, p =0.000) and diastolic BP (r =0.306, p = 0.002) and a negative correlation with eGFR (r =-0.284, p =0.004).
Conclusion: There is a significant correlation between visceral fat and blood pressure and kidney function in office workers with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Rozzaqi Nurrafiani
"Latar Belakang : Malnutrisi energi protein sering terjadi pada penyakit ginjal kronik, terutama stadium lanjut (prevalensi 11-54% pada stadium 3 sampai 5). Phase angle (PA) pada BIA menggambarkan integritas membran sel yang nilai rendahnya dapat menjadi prediktor kuat malnutrisi di tingkat seluler.

Tujuan Mengetahui sebaran nilai phase angle pada masing-masing stadium lanjut PGK yaitu stadium 3-5 non-dialisis, mengetahui gambaran komposisi tubuh meliputi indeks massa lemak, indeks massa bebas lemak, cairan tubuh, dan indeks edema yang bermanfaat untuk deteksi dini malnutrisi dan kelebihan cairan.

Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RSUP Fatmawati, dan RSUP Persahabatan pada Maret sampai Juli 2023. Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling pada pasien PGK stadium 3-5 non-dialisis, usia 18-60 tahun, tanpa keganasan, sirosis hati, infeksi, maupun autoimun, dengan ADL normal. Kemudian dilakukan pemeriksaan BIA dan SGA pada seluruh subjek.

Hasil Didapatkan 138 sampel, dengan dominasi wanita (58%) kategori obesitas derajat 1, dengan median eLFG 23,2  ml/menit. Proporsi malnutrisi berdasarkan SGA sebesar 19,5%. Profil phase angle mengalami tren penurunan seiring dengan meningkatnya stadium tanpa kemaknaan statistik (p=0,072). Indeks massa lemak menurun dengan p=0,038. Sedangkan ECW dan TBW meningkat bermakna (p=0,001 dan 0,031).

Kesimpulan Profil phase angle pada PGK non-dialisis cenderung sedikit menurun seiring dengan peningkatan stadium PGK. Profil ECW dan TBW mengalami peningkatan signifikan seiring dengan meningkatnya stadium PGK, tanpa disertai perubahan indeks edema (ECW/TBW). Profil FM dan FM-I mengalami penurunan seiring peningkatan stadium PGK.


Background Chronic kidney disease, especially in its advanced stages, often coincide with protein and energy malnutrition with a prevalence of 11-54% in stages 3 to 5. The phase angle (PA) in BIA describes the integrity of cell membranes whose low values can be a strong predictor of malnutrition at the cellular level.

Objective Firstly, to determine the distribution of phase angle values in each advanced stage of CKD, namely the non-dialysis stages 3-5. Secondly, to identify the profile of body composition including fat mass index, fat-free mass index, body fluids, and oedema index which are useful for early detection of malnutrition and fluid excess.

Method This research is a cross sectional study. It was carried out at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Fatmawati Hospital, and Persahabatan Hospital between March and July 2023. Consecutive sampling method was used with non-dialysis stages 3-5 CKD patients, aged 18-60 years, without malignancy, liver cirrhosis, infection, nor autoimmune, with normal ADLs. Then BIA and SGA examinations were performed on all subjects.

Results 138 samples were collected, which dominated by women (58%) and stage 1 obesity with a median eGFR of 23.2 ml/minute. The proportion of malnutrition based on SGA is 19.5%. Phase angle profile shows a decreasing trend with increasing stage of CKD without a statistical significancy (p=0.072). Fat mass index decreased significantly (p=0.038). ECW and TBW increased significantly (p=0.001 and 0.031) as the increasing stage of CKD.

Conclusion The phase angle profile in non-dialysis CKD tends to decrease slightly with increasing CKD stage. ECW and TBW profiles increased as the CKD stage increased, but there was no change in oedema index (ECW/TBW). The FM and FM-I profiles decreased as the CKD stage increased."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triasti Khusfiani
"Pendahuluan: PGK merupakan penyakit yang sering memiliki beberapa komorbid sehingga perlu menggunakan berbagai terapi kombinasi obat. Oleh sebab itu, polifarmasi sering dilakukan dan salah satu konsekuensinya adalah terjadinya potensi interaksi obat (PIO). PIO dianggap sebagai masalah pengobatan yang dapat dicegah, namun dalam praktik klinis dapat mengakibatkan efek samping obat (ESO) atau reaksi obat yang merugikan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi klinis dan keberhasilan pengobatan serta keamanan penggunaan obat pada pasien PGK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan pasien PGK dan pengaruhnya terhadap potensi interaksi dan efek samping obat yang dicurigai akibat interaksi obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan pengambilan data dilakukan secara potong lintang pada pasien PGK rawat jalan stadium 3-5 pre-dialisis di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam periode Januari 2019 sampai dengan Desember 2020. Data diambil dari electronic health record dan pusat rekam medis RSCM. Rujukan potensi interaksi obat menggunakan software Micromedex.
Hasil: Terdapat 106 pasien yang memenuhi persyaratan dan diambil menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien PGK rawat jalan stadium 3- 5 pre-dialisis di RSCM tahun 2019-2020, terdapat 111 jenis obat yang diresepkan dan obat yang paling sering diresepkan adalah bisoprolol (36,5%). Proporsi pasien yang mendapatkan pengobatan dengan potensi interaksi obat adalah 76% (81 pasien), sedangkan proporsi pasien yang mengalami ESO yang dicurigai akibat interaksi obat adalah 28% (23 pasien) dari 81 pasien dengan PIO. ESO tersebut berupa hiperglikemi (17 pasien), hipertensi (1 pasien), hiperkalemi (1 pasien) dan hipotensi (1 pasien). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel perancu yaitu, jumlah obat > 10, komorbid jantung dan DM dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat (p<0.05). Hasil multivariat mendapatkan hanya komorbid jantung (gagal jantung dan penyakit jantung koroner) yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat (p = 0,03).
Kesimpulan: Pada penelitian ini, sebanyak 76% pasien mendapatkan pengobatan dengan PIO. Sedangkan 28% pasien dari 81 pasien dengan PIO mengalami ESO yang dicurigai akibat interaksi obat. ESO yang paling banyak dialami adalah hiperglikemi. Komorbid jantung merupakan faktor risiko terjadinya ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.

Introduction: CKD often has several comorbidities so it is necessary to use various drug combination therapies. Therefore, it can lead to polypharmacy and one of its consequences is the occurrence of potential drug-drug interactions (DDI). DDI is considered a problem that can be prevented, but in clinical practice it can result in adverse drug reactions (ADR). This will certainly affect the clinical and treatment success as well as the safety of the drug use in CKD patients. This study was aimed to determine the prescribing pattern and its effect on potential DDI and ADR that are suspected due to DDI.
Methods: This was a non-experimental cross-sectional study, conducted on CKD outpatients stage 3-5 pre-dialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2019 to December 2020. Data were taken from electronic health records and the hospital’s medical record. The Micromedex software was used as a reference for potential drug interactions.
Results: There were 106 patients who met the requirements and were taken as research subjects. The results showed that in CKD out-patients stage 3-5 pre-dialysis at RSCM in 2019-2020, there were 111 types of drugs prescribed and the most frequently prescribed drug was bisoprolol (36.5%). The proportion of patients who received treatment with a potential DDI was 76% (81 patients), while the proportion of patients who experienced ADR suspected due to DDI was 28% (23 patients) from 81 patients with suspected DDI. The ADRs were hyperglycemia (17 patients), hypertension (1 patient), hyperkalemia (1 patient) and hypotension (1 patient). There was a statistically significant association between the confounding variables, namely, number of drugs, cardiovascular disease and DM with ADR suspected due to DDI (p<0.05). Multivariate analysis found that only cardiovascular disease (congestive heart failure and coronary artery disease) had a statistically significant relationship with ADR suspected due to DDI (p = 0.03).
Conclusion: In this study, 76% of patients received treatment with potential DDI. Meanwhile, 23% from 81 patients patients with DDI experienced ADR suspected due to drug interactions. The most often occuring ADR is hyperglycemia. It was found that cardivascular comorbidity is a risk factor for having an ADR suspected cause by DDI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Shiddiq Al Hanif
"Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular masih merupakan masalah kesehatan utama global. Banyak penelitian menghubungkan kondisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pada pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) dengan luaran klinis yang lebih buruk. Mengetahui peran faktor-faktor yang mempengaruhi Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) pada pasien SKA dengan PGK penting dalam upaya pencegahan luaran yang buruk.
Tujuan. Mengetahui hubungan skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE), skor Gensini, Left Ventricular Hypertrophy (LVH), dan Rasio Netrofil Limfosit (RNL) terhadap kejadian MACE 30 hari pasien SKA yang mengalami PGK non-dialisis.
Metode. Desain penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis117 pasien SKA yang menjalani PCI di Rumah Sakit Umum Pemerintah Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2018 hingga Juni 2018. Pasien dibagi berdasarkan derajat PGK serta dinilai MACE 30 hari. Dilakukan pencatatan data skor GRACE, skor Gensini, LVH, dan RNL. Analisis hubungan faktor-faktor tersebut dilakukan menggunakan uji chi square.
Hasil. Dari 117 pasien 62,3% ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI), pada akhir perawatan 67,5% pasien termasuk dalam kelompok derajat 1-2 PGK, 17,1% dalam kelompok PGK derajat 3a-3b dan 15,4% dalam kelompok PGK derajat 4-5. MACE terjadi pada 47 (40,2%) pasien dengan 17 (14,5%) mengalami kematian.Terdapat hubungan bermakna antara skor GRACE dengan MACE (54,8% MACE pada skor GRACE tinggi vs 32% MACE pada
skor GRACE rendah-sedang ( p = 0,016) (OR : 2,57 IK95% : 1,18-5,59), sedangkan pada skor Gensini,LVH dan RNL walaupun terdapat peningkatan proporsi MACE namun tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan. Skor GRACE berhubungan dengan MACE 30 hari pasien SKA dengan PGK non dialisis.

Background. Cardiovascular disease is still a major global health problem. Many studies have linked Chronic Kidney Disease (CKD) in Acute Coronary Syndrome (ACS) patients with worse clinical outcomes. Knowing the role of factors that influence MACE in ACS with CKD patients is important in preventing poor outcomes.
Objective. To determine the relationship between GRACE scores, Gensini scores, LVH, and NLR to the 30-day MACE incidence in ACS patients with CKD.
Method. This study is a retrospective cohort study using secondary data from the medical records of 117 ACS patients who underwent PCI at the Cipto Mangunkusumo Government General Hospital from January 2018 to June 2018. Patients were divided based on the degree of CKD and assessed for 30-day MACE. Data were recorded on GRACE scores, Gensini
scores, LVH, and RNL. Analysis of the relationship between these factors was carried out using the Chi Square test.
Results. Of the 117 patients 62.3% were STEMI, at the end of hospital treatment 67.5% were in the normal-grade 2 CKD group, 17.1% in the CKD grade 3a-3b group and 15.4% in the CKD grade 4-5 group. MACE occurred in 47 (40.2%) patients with 17 (14.5%) dying. There was a significant relationship between GRACE scores and MACE (54.8% MACE at high GRACE scores vs. 32% MACE at low-moderate GRACE scores (p = 0.016) (OR : 2,57
CI95% : 1,18-5,59)), while the Gensini score, LVH and NLR scores even though there was an increase in the proportion of MACE but no significant relationship was found.
Conclusion. The GRACE score correlates with the 30-day MACE of ACS with non- dialysis
CKD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Katharina Setyawati Sutrisno
"Latar Belakang:  Penggunaan PD hanya 2-11% dari total terapi pengganti ginjal, dengan angka drop out PD sebesar 35% setiap tahun. Faktor-faktor yang ingin diteliti yaitu faktor yang berpengaruh dengan kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)  yaitu: usia, tingkat pendidikan, riwayat peritonitis, infeksi exit site dan/ tunnel, hipoalbumin, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, hiperkalemia, teknik pemasangan, fungsi ginjal sisa, dan besarnya unit CAPD.

Tujuan: Mempelajari pengaruh usia, tingkat pendidikan, peritonitis, infeksi exit site dan tunneling, hipoalbumin, hipokalemia, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, tehnik pemasangan, penurunan fungsi ginjal sisa dan besarnya unit CAPD terhadap kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD. Menghasilkan model prediksi kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan subjek penelitian pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati dan RSUD Syamsudin SH periode Januari 2017 hingga Mei 2023. Data diambil dari rekam medis, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Performa pengembangan model prediksi kejadian drop out dilakukan dengan menentukan nilai kalibrasi (uji Hosmer-Lameshow) dan diskriminasi.

Hasil Penelitian: Didapatkan 293 pasien yang telah memenuhi kriteria dan dapat dianalisis. Dari hasil multivariat didapatkan usia mulai CAPD  ≥ 55 tahun HR 1,687 (95% IK 1,095 – 2,598); p=0,018, diabetes melitus HR 1,497 (95% IK 1,005 – 2,229); p=0,047,  fungsi ginjal sisa ≤ 200 ml HR 1,960 (95% IK 1,349 – 2,846); p= <0,0001 dan hipoalbumin HR 1,510 (95% IK 1,046 – 2,180); p=0,028 bermakna mempengaruhi kejadian drop out pada pasien penyakit ginjal kronik dengan CAPD.

Simpulan: Usia mulai CAPD ≥ 55 tahun, diabetes melitus, fungsi ginjal sisa ≤ 200 ml dan hipoalbumin merupakan faktor yang berhubungan secara bermakna dengan drop out pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 yang menjalani CAPD. Model prediksi kejadian drop out pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 yang menjalani CAPD berdasarkan faktor prediktor diatas memiliki kualitas kalibrasi dan diskriminasi yang cukup.

Kata kunci: CAPD; drop out, model prediksi.

Latar Belakang:  Penggunaan PD hanya 2-11% dari total terapi pengganti ginjal, dengan angka drop out PD sebesar 35% setiap tahun. Faktor-faktor yang ingin diteliti yaitu faktor yang berpengaruh dengan kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)  yaitu: usia, tingkat pendidikan, riwayat peritonitis, infeksi exit site dan/ tunnel, hipoalbumin, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, hiperkalemia, teknik pemasangan, fungsi ginjal sisa, dan besarnya unit CAPD.

Tujuan: Mempelajari pengaruh usia, tingkat pendidikan, peritonitis, infeksi exit site dan tunneling, hipoalbumin, hipokalemia, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, tehnik pemasangan, penurunan fungsi ginjal sisa dan besarnya unit CAPD terhadap kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD. Menghasilkan model prediksi kejadian drop out pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan subjek penelitian pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 5 dengan CAPD di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati dan RSUD Syamsudin SH periode Januari 2017 hingga Mei 2023. Data diambil dari rekam medis, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Performa pengembangan model prediksi kejadian drop out dilakukan dengan menentukan nilai kalibrasi (uji Hosmer-Lameshow) dan diskriminasi.

Hasil Penelitian: Didapatkan 293 pasien yang telah memenuhi kriteria dan dapat dianalisis. Dari hasil multivariat didapatkan usia mulai CAPD  ≥ 55 tahun HR 1,687 (95% IK 1,095 – 2,598); p=0,018, diabetes melitus HR 1,497 (95% IK 1,005 – 2,229); p=0,047,  fungsi ginjal sisa ≤ 200 ml HR 1,960 (95% IK 1,349 – 2,846); p= <0,0001 dan hipoalbumin HR 1,510 (95% IK 1,046 – 2,180); p=0,028 bermakna mempengaruhi kejadian drop out pada pasien penyakit ginjal kronik dengan CAPD.

Simpulan: Usia mulai CAPD ≥ 55 tahun, diabetes melitus, fungsi ginjal sisa ≤ 200 ml dan hipoalbumin merupakan faktor yang berhubungan secara bermakna dengan drop out pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 yang menjalani CAPD. Model prediksi kejadian drop out pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 yang menjalani CAPD berdasarkan faktor prediktor diatas memiliki kualitas kalibrasi dan diskriminasi yang cukup.


Background: The total use of PD is only 2-11% of total renal replacement therapy, with technique failure causing PD drop out by 35% annually. Factors associated with Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dropout in patients with stage 5 chronic kidney disease consist of age, education level, history of peritonitis, exit site and/or tunnel infection, hypoalbumin, diabetes mellitus, hypertension, obesity, hyperkalemia, implantation technique, residual kidney function, and the size of the CAPD unit.

Purpose: This study aims to see the effect of age, education level, peritonitis, exit site infection and tunneling, hypoalbumin, hypokalemia, diabetes mellitus, hypertension, obesity, operation technique, decreased residual kidney function, and CAPD unit size on the incidence of drop out in patients with stage 5 chronic kidney disease with CAPD, creating a predictive model for the incidence of drop out in patients with stage 5 chronic kidney disease with CAPD.

Methods: This study was a retrospective cohort study using data from patients with stage 5 chronic kidney disease with CAPD at RSUPN dr Cipto Mangunkusumo and RSUD Syamsudin SH for the period January 2017 to May 2023. Data were taken from medical records, according to inclusion and exclusion criteria. The performance of the development of the drop out prediction model is carried out by determining the calibration value (Hosmer-Lameshow test) and monitoring.

Results: A total of 293 patients who met the criteria and could be analyzed were obtained. From the multivariate analysis, it was found that age at the start of CAPD  ≥ 55 years old  had a hazard ratio (HR) of 1.687 (95% CI 1.095 – 2.598); p=0.018, diabetes mellitus had a HR of 1.497 (95% CI 1.005 – 2.229); p=0.047, residual kidney function ≤ 200 ml had a HR of 1.960 (95% CI 1.349 – 2.846); p < 0.0001, and hypoalbuminemia had a HR of 1.510 (95% CI 1.046 – 2.180); p=0.028, all significantly influencing the occurrence of dropouts in patients with chronic kidney disease undergoing CAPD.

Conclusion: Age at the start of CAPD  ≥ 55 years old, diabetes mellitus,  residual kidney function ≤ 200 ml, and hypoalbuminemia are factors significantly associated with dropout occurrences in stage 5 chronic kidney disease patients undergoing CAPD. The predictive model for dropout occurrences in stage 5 chronic kidney disease patients undergoing CAPD based on the above predictor factors demonstrates moderate calibration and discrimination quality."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Rahmawati
"Latar Belakang: Insidensi hiponatremia pada infeksi intrakranial sebesar 30-66%. Hiponatremia dapat memperburuk manifestasi neurologis infeksi intrakranial itu sendiri serta dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Metode: Penelitian dengan studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui karakteristik hiponatremia dan hubungannya dengan keluaran klinis pasien infeksi intrakranial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada April 2019 s/d Oktober 2021. Data dasar diambil dari Indonesian Brain Infection Study (IBIS) kemudian dilengkapi dari rekam medis. Subjek ≥18 tahun dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial masuk kriteria inklusi, sedangkan data tidak lengkap dan tidak rawat inap masuk kriteria eksklusi.
Hasil: Terdapat 296 subjek dengan mayoritas meningoensefalitis tuberkulosis (51,4%). Hiponatremia pada 66,6% subjek, terbagi menjadi derajat ringan (54%), sedang (24%) dan berat (22%). Hiponatremia banyak terjadi pada HIV positif (59,1%), komorbid penyakit paru (44,9%) dengan keluhan terbanyak sakit kepala (58,1%). Kematian terjadi pada (24,2%) subjek hiponatremia, dimana usia >60 tahun, komorbid, penyakit paru atau ginjal, hiponatremia berat dan status hiponatremia tidak terkoreksi berhubungan dengan kematian (p<0,05).
Kesimpulan: Pada infeksi intrakranial, koinfeksi HIV berhubungan dengan kejadian hiponatremia. Tidak ditemukan perbedaan bermakna karakteristik hiponatremia terhadap mortalitas, status fungsional maupun durasi perawatan. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah usia, derajat hiponatremia, komorbiditas, dan status koreksi hiponatremia.

ackground: The incidence of hyponatremia in intracranial infection is 30-66%. Hyponatremia can exacerbate the neurological manifestations of the intracranial infection itself and is associated with increased morbidity and mortality.
Methods: This study was a retrospective cross-sectional study to determine the characteristics of hyponatremia and its relationship to the clinical outcome of patients with intracranial infections in Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) from April 2019 to October 2021. Base data were taken from the Indonesian Brain Infection Study (IBIS) and completed from medical records. Subjects 18 years with a final diagnosis of intracranial infection were included in the inclusion criteria, while incomplete data and no hospitalization were included in the exclusion criteria.
Results: There were 296 subjects with the majority of meningoencephalitis tuberculosis (51.4%). Hyponatremia in 66.6% of subjects was divided into mild (54%), moderate (24%), and severe (22%). Hyponatremia was common in HIV positive (59.1%), comorbid lung disease (44.9%) with headache as a common complaint (58.1%). Mortality occurred in (24.2%) hyponatremic subjects, where age >60 years, comorbidities, pulmonary or renal disease, severe hyponatremia, and uncorrected hyponatremic status were associated with mortality (p<0.05).
Conclusion: In intracranial infection, HIV coinfection is associated with the incidence of hyponatremia. There were no significant differences in the characteristics of hyponatremia on mortality, functional status, and duration of treatment. Factors associated with mortality were age, degree of hyponatremia, comorbidities, and hyponatremia correction status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Yaruntradhani Pradwipa
"Latar Belakang: Kadar asam urat darah berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (PKV) serta meningkatkan angka kematian terutama pada populasi hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (CAPD). Symmetric Dimethylarginine (SDMA) sudah sering dipakai dan diperiksa sebagai penanda PKV pada studi epidemiologi terutama pada populasi HD maupun CAPD. Pada populasi umum dewasa sehat dan HD, telah didapatkan adanya hubungan peningkatan kadar asam urat darah dengan peningkatan kadar SDMA. Namun pada populasi CAPD, peningkatan kadar asam urat darah terhadap peningkatan risiko yang terjadi masih menjadi kontroversi. 
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kadar asam urat darah dengan kadar SDMA pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani CAPD.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang yang dikerjakan pada bulan Juni 2021 sampai bulan Agustus 2021 pada pasien CAPD kronik > 3 bulan. Subjek dengan obat penurun asam urat, wanita hamil dan menyusui, dan pasien dengan riwayat keganasan tidak diikutsertakan pada penelitian ini. Kadar asam urat dan SDMA diambil saat pasien kontrol ke poli CAPD. Analisis bivariat dilakukan dengan analisis Mann – Whitney dan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Total 55 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan rerata kadar asam urat7.30 +1.59 mg/dl dan sebanyak 33 subjek (60%) dengan kadar asam urat > 7 mg/dl. Rerata kadar SDMA didapatkan sebesar 633.73 +231.54 ng/mL. Subjek dengan kadar asam urat > 7 mg/dl memiliki peningkatan kadar SDMA secara signifikan bila dibandingkan pada kelompok asam urat <7 mg/dl (721.58 + 220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). Didapatkan cut – off SDMA 536 ng/ml berdasarkan kurva ROC dengan Sensitivitas 81.8%, Spesifisitas 63.6%, PPV 77.78% dan NPV 73.68%. Setelah dilakukan adjustifikasi terhadap faktor perancu didapatkan bahwa DM (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) dan dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) sebagai faktor risiko.
Simpulan: Terdapat hubungan kadar asam urat darah > 7 mg/dl dengan peningkatan kadar SDMA pada pasien yang menjalani CAPD. Diabetes melitus dan dyslipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat dengan peningkatan kadar SDMA.

Background and Objectives: Uric Acid (UA) levels are associated with increased risk of cardiovascular events and mortality in hemodialysis (HD) and Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) patients. Symmetric dimethylarginine (SDMA) is a known marker of cardiovascular disease in a number of epidemiological studies, including in the HD and CAPD patient population. In a study with a population of healthy young adults and HD there was a correlation between high blood uric acid levels and blood SDMA level. However, in CAPD population, there are still conflicting data on the mechanism of increased risks related to uric acid levels. This study aimed to assess the association between uric acid levels and SDMA in the subjects undergoing CAPD.
Materials and Methods: This was a cross – sectional study conducted in all the adults who underwent CAPD for at least three months in tertiary hospital in Jakarta, Indonesia. Subjects already on uric lowering therapy, pregnant or lactating women, and those with a history of malignancy were excluded. Uric acid and SDMA level were measured at the same time patients controlled to outpatient clinic. Bivariate analysis was performed using the Mann – Whitney test and multivariate analysis performed using logistic regression test.
Results: A total of 55 subjects were included. The median level of UA was 7.30 +1.59 mg/dl and 33 subjects (60%) had UA levels of 7 mg/dl or higher. The median SDMA level was 633.73 +231.54 ng/mL. Subjects with UA levels > 7 mg/dl had significantly higher SDMA levels compared to subjects with UA levels <7 mg/dl (721.58 +220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). The cut – off value of SDMA 536 ng/mL was obtained from the receiver operating characteristic (ROC) curve with sensitivity 81.8%, specificity 63.6%, PPV 77.78% and NPV 73.68%. After fully adjusted with the confounders, the determinant factors in this study were diabetes mellitus (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) and dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) as risk factors.
Conclusion: In CAPD patients, UA levels above 7 mg/dl were associated with increased SDMA levels. This study demonstrates the determinant factors regarding association between UA level and SDMA in CAPD patients were diabetes mellitus and dyslipidemia. The cut – off value of SDMA above 536 ng/mL were significant to increased risk of cardiovascular events.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>