Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witono Santoso
"ABSTRAK
Talasemia β merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata.
Penemuan penderita talasemia β heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF penderita talasemia β heterozigot serta gambaran parameter hematologis penderita talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE; mendapatkan fungsi diskriminasi yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot serta menilai perubahan kadar HbA2 pada talasemia β heterozigot yang disertai defisiensi besi setelah pengobatan besi selama 3 bulan.
Dari bulan Maret 1988 sampai akhir tahun 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia β heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia β-HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,1:1 untuk talasemia β heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia β-HbE. Pola HbA2
normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia β heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologis yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia β heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia β-HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia β heterozigot berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia β-HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah secara bermakna pada penderita talasemia β heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan pria.
Hitung eritrosit pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/μl dengan rata-rata 4,67 juta/μl dan pada talasemia p - HbE antara 1,54-4,08 juta/μl dengan rata-rata 3,01 juta/μl. Pada penderita wanita hitung eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia β-HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia β heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia β-HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Hitung trombosit yang meningkat pada talasemia β heterozigot, dan talasemia β-HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik dan poikilosit yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal menunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Pada 3 penderita talasemia β heterozigot dengan defisiensi besi setelah diobati besi diperoleh peningkatan kadar HbA2 dari rata-rata 2,56% sebelum pengobatan menjadi 4,95% pada akhir pengobatan disertai peningkatan kadar feritin serum.
Fungsi diskriminasi Hb+(4xHER)-(0,5xVER)-83, memberikan sensitifitas 73%, spesifisitas 95% dan efisiensi 76,3%. Fungsi diskriminasi 4,657.(0, lxHb)-SASARAN-MIKR, memberikan sensitifitas 92%, spesifisitas 100% dan efisiensi 95%. Dengan menggunakan gabungan kedua fungsi tersebut diperoleh peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan efisiensi sampai 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Talasemia β heterozigot pola HbA2 tinggi HbF normal merupakan pola paling banyak ditemukan. Talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologis. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, hitung trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Pada penderita wanita perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.
Kadar HbA2 dipengaruhi oleh anemia defisiensi besi. Dengan demikian pemeriksaan kadar HbA2 pada penderita dengan dugaan adanya anemia defisiensi besi, sebaiknya dilakukan setelah penderita diobati terlebih dahulu.
Fungsi diskriminasi yang terdiri dari parameter hematologis sebagai variabel dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot. Karena fungsi diskriminasi berbeda antara satu alat dengan alat yang lain, maka dianjurkan mencari fungsi diskriminasi yang sesuai untuk masingmasing alat tersebut.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Novita
"ABSTRAK
Latar belakang : Etiologi trombositopenia sangat beragam sehingga sulit untuk
diidentifikasi. Sangat penting mengetahui penyebab terjadinya trombositopenia
karena berhubungan erat dengan rencana penatalaksanaan yang diberikan. Belum
tersedia tes diagnostik sederhana, cepat dan mudah untuk mengetahui aktivitas
trombopoiesis. Immature platelet merupakan trombosit muda yang berhubungan
erat dengan aktivitas trombopoiesis. Diharapkan pengukuran persentase immature
platelet dapat membedakan etiologi trombositopenia yang terjadi karena
gangguan produksi megakariosit di sumsum tulang atau karena meningkatnya
destruksi di perifer sehingga dapat menghindari tindakan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan menilai pemeriksaan IPF sebagai penanda
aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia. Mendapatkan nilai rujukan
parameter IPF pada orang dewasa normal di Jakarta menggunakan alat sel hitung
otomatik Sysmex XE-5000. Mendapatkan nilai cutt-off IPF untuk membedakan
trombositopenia yang disebabkan oleh gangguan produksi atau gangguan
destruksi.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Menggunakan 256 orang
peserta medical check up di RS MMC dan 203 pasien trombositopenia yang
berasal dari RSCM dan RS MMC.
Hasil : Nilai rujukan IPF orang dewasa di Jakarta menggunakan Sysmex XE-
5000 sebesar 0.64-3.20%. Nilai cutt-off IPF untuk membedakan trombositopenia
dengan aktifitas trombopoiesis meningkat atau trombositopenia dengan aktifitas
trombopoiesis normal atau rendah sebesar 7.65% dengan sensitivitas 91% dan
spesifisitas 92%.
Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa IPF dapat dijadikan salah satu
penanda aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia sehingga dapat
membedakan penyebab trombositopenia karena gangguan produksi trombosit di
sumsum tulang atau gangguan destruksi perifer.

ABSTRACT
Background: It is difficult to identify the etiology of thrombocytopenia due to its
various types. A simple, fast and easy diagnostic test is not available yet to
identify thrombopoiesis activity. Immature Platelet Fraction is an
evaluation/assessment of immature platelet, which represents the state of
thrombopoiesis. It is expected that the immature platelet measurement will be able
to distinguish the etiology of current thrombocytopenic caused by defect
megakaryocytic production in the bone marrow or by the increased peripheral
platelet destruction, thereby avoiding the need for bone marrow aspiration
examination.
Aims: The IPF examination is a marker of thrombopoiesis activity on patients
with thrombocytopenia. This study was performed to establish reference range
of IPF on healthy adults in Jakarta and its cut-off values to distinguish
thrombocytopenia caused by production disturbance or destruction by using
Sysmex XE-5000 automated hematology analyzer.
Method: Cross-sectional study in thrombocytopenic patients. We have analyzed
IPF in 256 people who undergo medical check-up at MMC Hospital and 203
thrombocytopenia patients from RSCM and MMC Hospital.
Results: The reference range of adult IPF was 0.64-3.20%. The IPF cut-off to
distinguish thrombocytopenia caused by increasing thrombopoiesis activity or
thrombocytopenia with normal or low thrombopoiesis activity was 7.65% and its
sensitivity and specificity were 91% and 92% respectively.
Conclusions: We conclude that IPF can be used as thrombopoiesis activity
marker in thrombocytopenic patients; hence, it can distinguish the cause of
thrombocytopenia caused by platelet production disorder in the bone marrow or
peripheral destruction."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petriana Primiastanti
"Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi terbanyak di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada kelompok perempuan usia reproduksi. Di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi pada ibu hamil 50,5%. Penting dilakukan penapisan dini sebelum terjadi anemia defisiensi besi, untuk mencegah komplikasi sistemik yang permanen, pada ibu maupun janin.
Saat ini telah dikembangkan parameter ekuivalen hemoglobin retikulosit (RET-He) yang mendeteksi kadar hemoglobin dalam retikulosit. Usia retikulosit di sirkulasi hanya 24-48 jam, maka RET-He lebih menggambarkan keadaan sebenarnya dari status besi pada sumsum tulang. Saat besi di sumsum tulang menurun, RET-He akan mengalami penurunan. Pemeriksaan RET-He dilakukan pada alat hitung sel darah otomatis dan tidak memerlukan tabung darah tambahan karena dilaporkan sebagai bagian dari hitung retikulosit.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rentang nilai RET-He pada perempuan usia reproduksi, melakukan penapisan defisiensi besi pada perempuan hamil trimester I dan II menggunakan RET-He dan membandingkannya hemoglobin, feritin, dan saturasi transferin. Juga untuk mendapatkan titik potong RET-He dengan sensitivitas dan spesifisitas yang optimal pada perempuan hamil trimester I dan II.
Didapatkan rentang nilai RET-He pada perempuan usia reproduksi 30,69-36,17 pg. Didapatkan 100 perempuan hamil trimester I dan II yang terdiri dari 3 kelompok berdasarkan feritin dan saturasi transferin yaitu 67 (67%) subyek tanpa defisiensi besi, 17 (17%) subyek dengan defisiensi besi tahap I, dan 16 (16%) subyek dengan defisiensi besi tahap II. Rerata ± SD kadar hemoglobin, RET-He, dan saturasi transferin adalah 12,35 ± 1,02 g/dL, 33,60 ± 1,88 pg, dan 28,63 ± 1,07%. Median(min-maks) feritin adalah 40,10 (6,24 ± 191,30) ng/mL.
Dari kurva ROC untuk menentukan titik potong nilai RET-He yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik dibandingkan dengan feritin sebagai baku emas, didapatkan RET-He dengan titik potong 33,65 pg pada sensitivitas 67% dan spesifisitas 64,18% dan area under the curve (AUC) 66,4%, serta didapatkan PPV 47,8%, NPV 79,6%, LR positif 1,86 dan LR negatif 0,52. Ditemukan perbedaan bermakna kadar RET-He antara kelompok tanpa defisiensi besi dan kelompok defisiensi besi tahap II dan antara kelompok defisiensi besi tahap I dan tahap II. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok tanpa defisiensi besi dan kelompok defisiensi besi tahap I.

Iron deficiency is the most common nutrient deficiency in the world, on developing and industrial countries. Population with highest risk of iron deficiencies is women in reproductive ages. In Indonesia the prevalence of iron deficiency anemia in pregnant women is 50,5%. Iron deficiency anemia in pregnancy can affect to both mother and fetus. In order to prevent permanent systemic complications, it is important to do early detection before iron deficiency anemia developed.
On early phase of iron deficiency before anemia developed, we need an additional test of ferritin, serum iron and saturation index aside from complete blood count. Nowadays people developed a parameter named reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-He) which detect the hemoglobin in a young erythrocyte. Reticulocyte will be on circulation for only 24-48 hours, so the RET-He will give more appropriate condition of bone marrow iron. In condition where the bone marrow iron is depleted, the RET-He shows a decrease. This parameter can be tested together with CBC, so that it will not need additional blood sample.
This research aim to attain RET-He reference range on reproductive age women, to screen iron deficiency on first and second trimester pregnant women with RET-He and compare it to other parameters that available now : hemoglobin, ferritin, transferrin saturation, and to develope RET-He cut-off with optimal sensitivity and specificity.
RET-He’s reference range on reproductive women is 30,69-36,17 pg. We attained 100 I and II trimester pregnant women which can be divided into 3 groups based on ferritin and transferrin saturation : 67 women (67%) without iron deficiency, 17 women (17%) with iron deficiency stage I, and 16 women (16%) with iron deficiency stage II. Hemoglobin’s, RET-He’s and transferrin saturation’s mean ± SD are 12,35 ± 1,02 g/dL, 33,60 ± 1,88 pg, and 28,63 ± 1,07%. Ferritin’s median(min-max) are 40,10(6,24-191,30) ng/mL. Using ROC curve we found RET-He at 33,65 pg as an optimal cut-off point to differentiate iron deficiency with 67% sensitivity, 64,18% specificity, and 66,4% area under the curve (AUC).
From crosstabs table of RET-He with ferritin as gold standard and 33,65 pg as cut-off point we attained 47,8% PPV, 79,6% NPV, positive LR 1,86 and negative LR 0,52. We found significant differences of RET-He between non-iron deficiency and iron deficiency stage II groups and between iron deficieny stage I and iron deficiency stage II groups. There was no difference between non-iron deficiency and iron deficiency stage I groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indika Pitono
"Permasalahan
Bagian Patologi Klinik FKUI merupakan bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan identik dengan Instalasi Laboratorium Klinik RSCM (ILK) yang secara organisatoris merupakan bagian dari Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). RSCM merupakan Rumah Sakit Rujukan (RS tipe A) dengan kapasitas 1440 tempat tidur dan 13 poliklinik. ILK berfungsi menunjang klinisi dalam menangani penderita rawat jalan maupun rawat nginap. Dalam menjalankan fungsinya ILK melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap bahan penderita baik yang dikirim dari ruangan atau yang diambil di tempat pengambilan sampel yang terdapat di ILK.
ILK sendiri terdiri dari beberapa seksi yaitu seksi Kimia, seksi Hematologi, seksi lmunologi, seksi Bakteriologi dan Seksi Pendidikan. Seksi Pendidikan lebih banyak melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pendidikan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jumlah pemeriksaan yang dilakukan ILK kurang lebih 200 jenis pemeriksaan. Jumlah sampel yang diperiksa berasal dari kurang lebih 200 - 300 penderita setiap hari. Pemeriksaan terhadap jumlah sampel yang relatip banyak dengan berbagai macam pemeriksaan, dilaksanakan secara saling terkait oleh 99 karyawan.
Sebagai bagian dari Rumah Sakit Rujukan, ILK dituntut menjalankan fungsinya sebaik-baiknya, yang berarti mampu mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat, akurat, selesai dalam waktu sesingkat-singkat mungkin dan sampai kembali ke tangan klinisi dalam waktu sesingkat mungkin pula. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai macam upaya telah dilakukan seperti meningkatkan mutu maupun jumlah petugas, menerapkan metoda baru yang lebih tepat, menjalankan sistem pemantapan mutu baik interna maupun eksterna, melakukan otomatisasi dengan menggunakan automated-analyzer serta usaha usaha memperbaiki sistem administrasi.
Dengan adanya otomatisasi, pemeriksaan sampel yang relatip banyak dapat dilakukan dalam waktu yang relatip singkat, akan tetapi pencatatan serta distribusi hasil masih dilakukan secara manual. Hal ini berakibat bahwa hasil pemeriksaan yang selesai dalam waktu yang relatip singkat tersebut, masih belum sampai ke tangan klinisi dalam waktu yang relatip singkat pula. Selain itu beban ILK yang besar menyebabkan berbagai macam laporan yang dibuat oleh ILK dapat diselesaikan dalam waktu yang relatip lama serta kurang akurat. Penggunaan sistim informasi diharapkan dapat mempercepat administrasi hasil pemeriksaan serta memperbaiki pelaporan yang ada sampai saat ini.
1. 2. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah merencanakan sistem informasi berbasis jaringan di ILK dan memberi gambaran bagaimana sistem informasi dapat membantu ILK dalam menjalankan fungsinya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T5363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagyo Witjaksono
"ABSTRAK
Untuk menekan laju pertambahan penduduk Indonesia yang cepat yaitu 2,32 pertahun diperlukan usaha menurunkan angka kelahiran melalui Program Nasional Keluarga Berencana (PHKB). Dalam pelaksanaannya PHKB mengalami banyak hambatan karena belum ditemukannya kontrasepsi ideal yang bebas dari efek samping dan kegagalan. Beberapa peneliti melaporkan adanya perubahan-perubahan faktor pembekuan darah karena efek estrogen yang ada dalam kontrasepsi pil. Sedangkan efek progesteron lebih sedikit dibandingkan estrogen.
Penelitian ini bertujuan menyelidiki pengaruh pemakaian kontrasepsi Norplant yang berisi hormon progesteron terhadap parameter pembekuan darah, disamping itu untuk bahan perbandingan dilakukan penelitian pada kelompok pemakai kontrasepsi pil kombinasi.
Penelitian dilakukan pada 6 kelompok individu. Kelompok 1 (kontrol) terdiri dari 25 orang diambil dari donor darah PHI dan paramedis RSCH. Kelompok 2 sampai dengan 5 adalah pemakai kontrasepsi Horplant 2th,3th,4th dan 5 th dari Klinik Raden Saleh. Kelompok 2 dan 3 masing-masing 25 orang sedangkan kelompok 4 dan 5 masing-musing 20 orang. Kelompok 6 terdiri dari 25 orang pemakai kontrasepsi pil kombinasi Noriday 5 th dari Rumah Sakit AURI Halim. Terhadap masing-masing kelompok diperiksa masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, kadar fibrinogen, aktivitas AT III, aktivitas F VII dan X. Perbandingan antara masing-masing kelompok dilakukan dengan uji statistik anova dan Scheffe 5 test. Pemeriksaan dilakukan antara bulan Februari sampai dengan bulan Oktober 1987 di Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCH Jakarta.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa pada pemakaian Norplant selama 5 tahun semua parameter pembekuan darah yang diperiksa tidak berbeda bermakna dengan kontrol walaupun ada kecenderungan pemendekan masa protrombin plasma dan masa tromboplastin parsial teraktivasi, peningkatan kadar fibrinogen dan penurunan aktivitas AT III. Selain itu pada pemakaian kontrasepsi pil kombinasi semua parameter pembekuan darah yang diperiksa berbeda bermakna bila dibandingkan kelompok kontrol.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemakaian Horplant aman sampai dengan 5 tahun. Setelah 5 tahun dianjurkan pemeriksaan masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, kadar fibrinogen dan aktivitas AT III secara berkala tiap tahun sekali.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Norplant lebih aman daripada kontrasepsi pil kombinasi.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Yune Yohana, auhtor
"ABSTRAK
Latar belakang : Penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke merupakan penyebab
kematian utama baik di negara Barat maupun di Indonesia terutama di daerah
perkotaan. Setiap tahun lebih banyak orang meninggal karena penyakit
kardiovaskular dibandingkan penyakit lain. Diabetes melitus merupakan faktor
risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. Gangguan aliran darah yang
mengakibatkan PJK maupun stroke disebabkan oleh trombosis arteri. Aktivasi
trombosit diduga terjadi pada pasien diabetes melitus. Ketika trombosit teraktivasi
akanterjadi beberapa perubahan diantaranya pelepasan kandungan granula dan
pembentukan tromboksan A2. Pengukuran tromboksan A2 sulit dilakukan karena
sifatnya yang tidak stabil, maka dilakukan pengukuran terhadap metabolitnya 11-
dehidro tromboksan B2. tujuan penelitian ini adalah menukur kadar 11 dehidro
TxB2 di urin pada pasien diabetes melitus sebagai suatu petanda dini aktivasi
trombosit dan mengkorelasikannya dengan hemoglobin A1c (HbA1c).
Metoda : Empat puluh lima pasien diabetes melitus tipe 2 dan 30 non diabetes
sebagai kontrol diambil pada penelitian ini. Pengukuran kadar 11 dehidro TxB2 di
urin dengan tehnik competitive EIA menggunakan reagen dari Cayman Chemical.
Kadar 11-dehidro tromboksan B2 urin disajikan dalam bentuk rasio dengan
kreatinin urin. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan metode akfinitas boronik
menggunakan NycocardR.
Hasil : Pada kelompok diabetes melitus median kadar 11 dehidro TxB2 di urin
1216,56 pg/mg kreatinin (70,53 – 12167,72 pg/mg kreatinin). Terdapat perbedaan
bermakna dibanding kelompok non diabetes dengan median 200,55pg/mg kreatinin
(57,19-602,46 pg/mg kreatinin). Terdapat korelasi yang kuat antara kadar 11
dehidro TxB2 pada kelompok diabetik dengan indeks glikemik (HbA1c).
Kesimpulan : 11 dehidro TxB2 di urin dapat dipakai sebagai petanda dini aktivasi
trombosit pada pasien diabetes melitus dan mempunyai korelasi yang kuat dengan
HbA1c.

ABSTRACT
Background: It is widely known that heart disease and stroke are the main cause of
death in Western countries. This issue found in Indosesia especially in the urbam ares.
Diabetes mellitus is one of the independentbrisk faktor for cardiovaskular. Cirulatory
disorder that result in coronary heart disease and stroke is arterial thrombosis. Platelet
play an important role in the pathogenesis of arterial thrombosis. Some report stated
that platelet activation occurred in diabetes mellitus. When platelet are activated, some
change happened, i.e : released of granule content and thromboxane A2 (TxA2)
formation. Measurement of TxA2 as a marker for platelet activation was hampered by
the instability of this substance. Therefore it is preferred to measure their stable
metabolite 11-dehydro thromboxane B2 in urine. The aim of this study is to measure
urine 11-dehydro thromboxane B2 in diabetes mellitus as an early of platelet activation
and to correlate this value with hemoglobin A1c.
Methode: Forty five patients with type 2 diabetes mellitus and 30 non diabetic as
control group were enrolled in this study. Measurement of urine 11 dehidro TxB2 was
done by competitive EIA using reagent from Cayman Chemical. The level of urine 11-
dehydro TxB2 was expressed as ratio with urine creatinine. Measurement of HbA1c
was performed by boronic affinity method using NycocardR.
Result : In diabetics group the median rate for urine 11 dehydro TxB2 was 1216,56
pg/mg creatinine ( 70,53 - 12167,72 pg/mg creatinine). It was significantly higher than
that of non diabetic group, which median was 200,55 pg/mg creatinine ( 57,19 -
602,46 pg/ mg creatinine). the level of urine 11-dehydro TxB2 in diabetics group
showed a strong correlation with HbA1c as glycemic index.
Conclusion: Urine 11-dehydro TxB2 can be used as an early marker of platelet
activation in diabetes mellitus patients and there was a strong correlation with HbA1c."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nenny Puspandari
"Thalassemia adalah kelainan herediter yang disebabkan oleh mutasi pada gen globin dan memiliki fenotip yang bervariasi. Terdapat empat fenotip thalassemia, yaitu silent carrier yang gambaran hematologinya dapat normal, -thalassemia trait dengan gambaran hematologi yang mungkin mikrositik, penyakit HbH dan Hb Bart's hydrops fetalis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran hematologi thalassemia delesi satu gen pada pemeriksaan penapisan thalassemia pada 266 mahasiswa FKUI. Dilakukan deteksi delesi satu gen globin menggunakan polymerase chain reaction multipleks, sedangkan kadar HbA2 diperiksa dengan metode high performance liquid chromatography. Didapatkan 10 (3,7%) subjek mengalami delesi satu gen globin, dan seluruhnya berupa delesi 3,7 kb heterozigot. Gambaran hematologi dari subjek penelitian yang mengalami delesi satu gen didapatkan kadar hemoglobin normal berkisar 12,0 - 14,6 g/dL, nilai VER bervariasi berkisar 75,5 - 82,8 fL, nilai HER 26,0 - 28,0 pg, nilai RDW 13,8 - 23,7%. Morfologi eritrosit didapatkan 67% mikrositik hipokrom dan kadar HbA2 dalam batas normal dengan rentang 2,6 - 3,1 %.

Alpha thalassemia is a hereditary disorder caused by alpha globin gene mutation and has various phenotype. There are four clinical phenotypes of alpha thalassemia, silent carrier which may have normal hematology parameters, -thalassemia trait which have only microcytic hypochromia, HbH disease and Hb Bart’s hydrops fetalis. The aim of this study is to get hematology profile of one gene deletion alpha thalassemia in the thalassemia trait screening in 266 students of faculty of medicine UI. Detection of one gene deletion was investigated in these subjects by multiplex polymerase chain reaction. HbA2 was measured using high performance liquid chromatography. There are 10 (3.7%) subject who have one gene deletion, and all of the mutation are heterozigous 3.7 kb deletion. Hematology profile of one gene deletion subject in this study, hemoglobin are normal with the range 12,0 - 14,6 g/dL, MCV 75,5 - 82,8 fL, MCH 26,0 - 28,0 pg, RDW 13,8 - 23,7%. Erytrocyte morphology 67% microcytic hipochromic and HbA2 value 2,6 - 3,1 %.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Winardi
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>