Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Twelvia Caroline Andriani
"Latar Belakang: Menopause adalah salah satu bagian dari siklus alami kehidupan reproduktif perempuan, yang merupakan berhentinya menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Saat menopause, produksi hormon esterogen dan progesteron menurun. Penurunan kedua hormon ini hingga hampir nol berlanjut sampai ke tahap askamenopause, yaitu fase lanjutan dari menopause. Penurunan hormon esterogen dan progesteron menyebabkan munculnya beberapa perubahan klinis pada rongga mulut, terutama pada gingiva yang dapat mengarah ke keradangan gingiva dan kesehatan rongga mulut.
Tujuan: Untuk menganalisis status keradangan gingiva pada perempuan paskamenopause.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang (cross-section). Dilakukan wawancara mengenai lama menopause dan pemeriksaan klinis keradangan gingiva menggunakan Papillary Bleeding Index (Saxer dan Muhlemann) pada 93 orang perempuan paskamenopause di wilayah Bekasi.
Hasil: Rata-rata usia perempuan paskamenopause yang diteliti 61 tahun (SD ±7,2). 79 orang perempuan paskamenopause yang diteliti memiliki skor PBI baik, dan 14 orang perempuan paskamenopause memiliki skor PBI sedang. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara keradangan gingiva dengan lama menopause (p>0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara keradangan gingiva (mean 1,15, SD ±0,36), dengan tingkat akumulasi plak gigi (mean 1,91, SD ±0,6), kalkulus gigi (mean 2,12, SD ±0,67), dan tingkat kebersihan mulut (mean 2,25, SD ±0,62), dan antara lama menopause dengan tingkat kebersihan mulut.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status keradangan gingiva sangat berkaitan dengan akumulasi plak gigi, kalkulus gigi, serta tingkat kebersihan mulut perempuan paskamenopause, sehingga prosedur pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut perlu dilakukan secara berkala.

Background: Menopause, which was a part of female?s reproductive life natural cycle, confirmed when women had no menstrual period for 12 consecutive months. When menopause appeared, the production of estrogen and progesterone hormone decreased. The decreasing almost reached zero and continued until postmenopausal phase, which was a continue phase from menopause. The impact of the decreasing estrogen and progesterone hormone has made several clinical changes in oral cavity, especially in gingival, which could lead to gingival inflammation and oral health.
Objective: To analyze the gingival inflammation status in postmenopausal women.
Method: This study was a descriptive analytic study using the cross-sectional study method. Years since the last menopausal period were obtained from 93 postmenopausal women in Bekasi area. Clinical examination of gingival inflammation was studied using Papillary Bleeding Index (Saxer and Muhlemann).
Results: The mean age of postmenopausal women was 61 years (SD ±7, 2). 79 postmenopausal women had a good PBI scores and 14 postmenopausal women had moderate PBI scores. There was no correlation between gingival inflammation and period of time since postmenopausal women had their last menstruation (p>0, 05). There were significant correlation (p<0, 05) between gingival inflammation (mean 1, 15, SD ±0, 36) and dental plaque accumulation (mean 1, 91, SD ± 0,6), with dental calculus (mean 2,12, SD ±0,67), and OHI-S (mean 2,25, SD ±0,62). There was a strong correlation (p<0, 05) between OHI-S and period of time since postmenopausal women had their last menstruation.
Conclusion: Gingival inflammation strongly correlated with dental plaque accumulation, dental calculus, and OHI-S in postmenopausal women, so good oral hygiene procedures were needed periodically."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuki Melati
"Latar Belakang: Menopause adalah salah satu bagian dari siklus alami kehidupan reproduktif perempuan yang ditandai dengan berhentinya menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Tahap paskamenopause terjadi segera setelah tahap menopause selesai. Paskamenopause rata-rata terjadi pada perempuan berusia 50 tahun keatas. Seiring bertambahnya usia, terjadi kemunduran pada kondisi fisik dan psikologis yang dapat menyebabkan kesulitan dalam menjalankan prosedur pembersihan mulut yang maksimal. Prosedur pembersihan mulut dapat mempengaruhi pembentukan plak serta kalkulus gigi. Kalkulus gigi merupakan deposit keras hasil kalsifikasi plak gigi yang melekat erat pada permukaan mahkota klinis gigi asli, gigi tiruan, atau alat-alat yang dipakai dalam mulut lainnya.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kalkulus gigi dengan perempuan paskamenopause.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional study). Dilakukan wawancara mengenai riwayat menstruasi terakhir, serta pemeriksaan klinis menggunakan indeks kalkulus modifikasi Ramfjord dengan cara memeriksa jumlah deposit kalkulus pada 2 permukaan bukal dan lingual atau palatal dari gigi 16, 26, 36, 33, 32, 31, 41, 42, 43, dan 46 menggunakan kaca mulut serta dental explorer dan/atau periodontal probe pada 105 orang perempuan paskamenopause pada Bulan Oktober 2008 di Wilayah Bekasi.
Hasil: Didapatkan 93 orang yang melengkapi seluruh data. Usia berkisar 46-82 tahun (usia rata-rata 61.3, SD ± 7.3). Hasil uji statistik chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05) antara lama menopause dengan tingkat akumulasi kalkulus gigi dan dengan tingkat kebersihan rongga mulut.
Kesimpulan: Lama menopause berhubungan dengan tingkat akumulasi kalkulus gigi dan tingkat kebersihan rongga mulut pada perempuan paskamenopause.

Background: Menopause is one part of the natural cycle of a female's reproductive life, confirmed when a women has no menstrual period for 12 consecutive months. Menopause is always followed by postmenopause. Postmenopause generally occurs at the ages 50 years and above. As the aging, there are certain physiological changes which can affect in doing a maximal oral hygiene practices. A good oral hygiene practice can undermine the process of dental plaque and dental calculus formation. Dental calculus, which is mineralized bacterial plaque, is hard, tenacious mass that forms on the clinical crowns of the natural teeth, on dentures, and other dental protheses.
Aim: To study the crosssectional relationship between dental calculus and postmenopausal women.
Method: This study is a analitic-descriptive study using the cross-sectional study method. Years since the last menstrual period were obtained from 105 subjects of postmenopausal women at Bekasi area on October 2008. Clinical examination of dental calculus was studied using Calculus Index (Ramfjord Modification) to check the amount of calculus deposits at buccal and lingual or palatal surfaces of 16, 26, 36, 33, 32, 31, 41, 42, 43, and 46 using a mirror and dental explorer or periodontal probe.
Results: Of the total subjects, 93 were useful for analysis. Age range between 46 and 82 years (mean age 61.3, SD ± 7.3). A strong positive correlations (p<0,05) were found between cross-sectional measurements of dental calculus and years since the last menstrual period. Another strong positive correlations (p<0,05) were also found between cross-sectional measurements of oral hygiene status and years since the last menstrual period.
Conclusion: Years since last menstrual period correlated with accumulated level of dental calculus and oral hygiene status on postmenopausal women."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendry
"ABSTRAK
Latar Belakang. Akurasi dimensi hasil cetakan merupakan hal yang sangat
penting didalam menentukan keberhasilan perawatan dengan gigi tiruan cekat dan
teknik pencetakan merupakan faktor yang besar pengaruhnya pada akurasi
dimensi ini. Pada Klinik Spesialis Prostodonti Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, umumnya pencetakan dilakukan dengan teknik modifikasi
putty/wash 2 tahap untuk perawatan dengan gigi tiruan cekat. Untuk mendapatkan
ruang bagi material wash, sendok cetak dengan material putty digerak-gerakkan
sampai setting, kemudian di atas bahan tersebut dilapisi dengan material wash
untuk memperoleh detail preparasi.
Tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akurasi dimensi
hasil cetakan yang diperoleh dengan teknik modifikasi putty/wash 2 tahap
dibandingkan dengan teknik putty/wash 1 dan 2 tahap
Material dan Metode. Akurasi dimensi ini diukur melalui jarak intra-abutmen
dan interabutmen. Pada masing-masing teknik, dilakukan 10 kali pencetakan
terhadap master model yang berupa simulasi dua gigi penyangga. Model kerja
discan menggunakan 3D laser scanner terlebih dahulu, kemudian diukur jarak
intraabutment dan interabutmentnya menggunakan software 3D Tool V10.
Hasil. Pada penelitian ini ditemukan bahwa akurasi dimensi dari model kerja yang
diperoleh dengan teknik pencetakan modifikasi putty/wash 2 tahap mempunyai
perbedaan yang bermakna dengan master model dan teknik putty/wash 1 tahap
yang merupakan teknik yang paling akurat pada hasil penelitian ini. Akan tetapi,
nilai perbedaan tersebut masih dalam batas yang dapat diterima secara klinis
karena adanya aplikasi die spacer pada pembuatan restorasi gigi tiruan cekat.
Kesimpulan. Teknik pencetakan modifikasi putty/wash 2 tahap masih dapat
dipergunakan pada pencetakan untuk perawatan dengan gigi tiruan cekat.

Abstract
Background. Dimensional accuracy when making impressions is important for
the clinical success of fixed prosthodontic treatment, and the impression technique
is a critical factor affecting this accuracy. At Prosthodontic Specialist?s clinic in
Faculty of Dentistry Universitas Indonesia, generally impressions is taken with
modified putty/wash 2 step technique. To create a space for wash material, putty
impression was firmly wiggle in a clockwise and counterclockwise rotational
direction several time before setting. Wash material was then added to putty
impression to record detail of tooth preparation.
Purpose. To analyze dimensional accuracy of impression with modified
putty/wash 2 step technique compare to putty/wash 1 and 2 step technique.
Material & Method. Dimensional accuracy was assessed by measuring
intraabutment and interabutment distance. For each technique, 10 impressions
were made on master model that contained simulation of 2 complete crown
abutment preparations. Stone dies poured from each impressions were digitized
with 3D laser Scanner. Intraabutment and interabutment?s distance were then
measured with 3D Tool V10 software.
Result. This study found that dimensional accuracy of impression with modified
putty/wash 2 step technique were significantly different with master model and
putty/wash 1 step technique which is a most accurate technique in this study.
Conclusion. Although statistically significant different with master model and
putty/wash 1 step impression technique, modified putty/wash 2 step impression
technique can be used in impression taking for fixed prosthodontic treatment
because there was a die spacer application on procedure in making fixed
restoration."
2012
T31595
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pinta Marito
"Latar belakang: Pencetakan pasien GTP dengan sendok cetak biometrik dapat memposisikan bibir dan pipi ke posisi sebelum ekstraksi, dibuat berdasarkan pedoman biometrik paling stabil yaitu buccolingual breadth (BLB). Namun, ukuran BLB masih berdasarkan ukuran ras Kaukasoid. Belum ditemukan penelitian mengenai ukuran BLB pada ras Deutero Melayid dan perbedaannya antara pria dan wanita.
Tujuan: Mengetahui ukuran BLB dan menganalisis perbedaannya antara pria dan wanita ras Deutero Melayid.
Metode: Cross sectional pada 68 mahasiswa FKG UI. Rahang atas subjek dicetak untuk mendapakan model studi. Setiap model studi dibuatkan garis referensi HIP plane, dipotong menjadi soliter die, kemudian diukur ketebalannya di regio gigi insisif pertama, kaninus, premolar pertama dan kedua, serta molar pertama dan kedua di kuadran kiri dan kanan.
Hasil: Hasil uji Mann-whitney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna ukuran BLB antara pria dan wanita tiap gigi-geligi (p < 0,05). Namun tidak berbeda bermakna ukuran BLB kudran kiri dan kanan (p > 0,05) dan pada regio gigi Premolar kedua kuadran kiri dan Premolar pertama kuadran kanan (p > 0,05).
Kesimpulan: Ukuran BLB pada ras Deutero Melayid adalah regio gigi insisif pertama 6.44 mm, kaninus 7.69 mm, premolar pertama 10.6 mm, premolar kedua 10.97 mm, molar pertama 13.04 mm, dan molar kedua 12.14 mm. Ukuran BLB pada pria lebih lebar dibandingkan pada wanita.

Background: Impression of edentulous mouth with biometric tray can place the lip and cheeks in pre-extraction positions, made based on the most constant biometric guidance that is buccolingual breadth (BLB). It was conducted in Caucasian but there has not been found in Deutero Malay and its difference between male and female.
Objective: To determine the measurement of the BLB and to analyze its difference between male and female in Deutero Malay.
Methods: Cross sectional study was performed towards 68 students. Maxillary jaw was taken the impression to get study model. Study model was drawn​​ a HIP plane, and cut to be a solitary die in the central incisivum, canine, first and second premolar and molar on each regions. Measurements were performed by measuring the thickness in each of tooth.
Result: Mann-whitney test showed there was a significancy difference each teeth between male and female (p<0,5) but there was no significancy between left and right maxillary jaw (p>0,05) and also in left second and right first Premolar (p > 0,05).
Conclusion: BLB measurement in Deutero Malay are 6.44 mm in central incisivum, 7.69 mm in canine, 10.6 mm in first premolar, 10.97 mm in second premolar, 13.04 in first molar and 12.14 mm in second molar. Furthermore, measurement of BLB in male is widther than female.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Shakina
"ABSTRAK
Latar belakang: Kehilangan gigi merupakan penyakit utama rongga mulut.
Berkurangnya jumlah gigi akan menurunkan kemampuan mastikasi dan
menyebabkan pemilihan makanan yang berujung pada kurangnya asupan nutrisi.
Nutrisi yang buruk dapat berakibat pada perubahan indeks massa tubuh (IMT).
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kemampuan mastikasi dan IMT. Metode:
Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 129 subjek berusia 34-80
tahun. Subjek diukur tinggi badan dan berat badannya, diwawancara menggunakan
kuisioner kemampuan mastikasi dan dilakukan pemeriksaan intra oral. Analisis Chi
Square digunakan untuk mengetahui hubungan antara kemampuan mastikasi,
kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan, usia, jenis kelamin dan status ekonomi
dengan IMT. Hasil penelitian: Kemampuan mastikasi tidak memiliki hubungan
yang bermakna dengan IMT (p=0,963). Ditemukan hubungan yang bermakna antara
usia dengan IMT (p=0,028). Kesimpulan: Usia mempengaruhi indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Tooth loss is a major disease of the oral cavity. The primary function
of teeth is mastication. Decreasing number of teeth will reduce the masticatory
performance and causing food selection which leads to lack of nutrition. Poor
nutrition resulted changes in body mass index (BMI). Objective: To analyze the
relationship between masticatory performance and BMI. Methods: The study was
conducted with a cross-sectional method on 129 subjects age 34-80 years. Subject
was measured their height and weight, then interviewed using a questionnaire about
masticatory performance and intra oral examination was conducted. Chi square was
used to analyse the relation between the masticatory performance, tooth loss, denture
wearer, age, gender, economic status with BMI. Result: Masticatory performance
was not significantly associated with BMI (p = 0.963). A significant association was
found between age and BMI (p = 0.028). Conclusion: Age affects the body mass
index."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melia
"Kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan dapat mempengaruhi asupan makanan seseorang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 129 subjek berusia 34-80 tahun. Subjek diperiksa kehilangan giginya kemudian diwawancara menggunakan kuesioner Mini Nutritional Assessment (MNA). Data dianalisis menggunakan piranti lunak statistik. Hasil uji analisis chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kehilangan gigi dan status nutrisi (p=0,712) dan antara pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi (p=0,252). Ditemukan hubungan bermakna antara usia dan status nutrisi, tingkat pendidikan dan status nutrisi, serta usia dan pemakaian gigi tiruan.
Teeth loss and denture wearing can affect a person's food intake. The purpose of this study was to analyze the relation of tooth loss and denture wearing on nutritional status. The study was conducted with a cross-sectional method on 129 subjects aged 34-80 years. Subjects had their teeth checked and interviewed using Mini Nutritional Assessment (MNA) questionnaire. Data was analyzed using statistical software. The result of chi-square analysis showed no significant relation between tooth loss and nutritional status (p = 0.712) and between denture wearing and nutritional status (p = 0.252). Relation was found between age and nutritional status, educational level and nutritional status, and the age and denture wearing."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Haryadi
"Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi karena pencabutan sering ditemui dan celah yang ditinggalkan karena pencabutan memberikan dampak buruk secara estetika. Sebagai rehabilitasi, digunakan gigi tiruan imediat (GTI) lepasan yang dipasang segera setelah pencabutan. Namun belum diketahui apakah penggunaan GTI lepasan mempengaruhi resorpsi residual ridge (RRR).
Tujuan: Menganalisis pengaruh pemasangan gigi tiruan imediat terhadap RRR pasca pencabutan.
Metode: Pada 3 ekor Macaca fascicularis, dilakukan pencabutan gigi premolar 1 dan molar 1 kiri dan kanan. Segera setelah pencabutan, dipasang GTI lepasan pada sisi kiri rahang Macaca fascicularis. Pengukuran posisi residual ridge dari sisi rahang Macaca fascicularis yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan menggunakan radiograf dental pada sesaat setelah pencabutan (0 bulan) dan 2 bulan pasca pencabutan. Selisihnya diukur sebagai RRR.
Hasil: Ditemukan perbedaan posisi residual ridge (p<0,05) antara yang diukur pada 0 dan 2 bulan paska pencabutan pada sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan. Namun tidak ditemukan perbedaan RRR (p>0,05) antara sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dengan sisi rahang yang tidak dipasang GTI lepasan.

Introduction: Extraction caused tooth loss cases was often found in daily practice and gap left after extraction causes a bad effect on tooth esthetic. As a rehabilitation, a removable immediate denture (RID) was used immediately after extraction. But it was still not know if using RID does have an effect to residual ridge resorption.
Purpose: To analyze the effect of using RID on residual ridge resorption after extraction.
Method:The first premolars and first molars on both left and right side of 3 Macaca fascicularis were extracted. Soon after the extraction RID was placed on the left side of the arch of Macaca fascicularis. Residual ridge position was measured using the dental radiograph for bothside where ID was worn and where RID was not worn immediately after the extraction (0 month) and at 2 months after the extraction. Residual ridge position difference between 0 and 2 months after extraction was measured as the residual ridge resorption.
Result: Significant difference (p<0,05) residual ridge position was observed between measurement done 0 month and 2 months after extraction, for both the side where RID was worn and side where RID was not worn. But no significant difference (p>0,05) was reported for residual ridge resorption measured between the side where RID was worn and side where RID was not worn.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Astari Gumay
"Latar belakang: Gangguan sendi temporomandibula dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Belum ada penelitian yang membahas hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup khususnya dengan menggunakan indeks OHIP-TMD-ID dan ID-TMD di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup, hubungan gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi, hubungan kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang pada 115 subjek berusia 20-40 tahun dari pasien Klinik Integrasi RSGM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Dilakukan pencatatan data diri subjek dan wawancara untuk pengisian kuesioner ID-TMD dan OHIP-TMD-ID.
Hasil penelitian: uji analisis Man-Whitney menunjukan perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna yang signifikan antara kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi. Hasil uji analisis Chi Square menunjukan tidak perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi.
Kesimpulan: Penderita gangguan sendi temporomandibula mengalami penurunan kualitas hidup dari aspek nyeri orofacial.

Background: Temporomandibular disorders may have an impact on quality of life. No studies have been done to analyze relationship between temporomandibular disorders and quality of life in particular by using OHIP TMD ID and ID TMD in Indonesia.
Objectives: To analyze the relationship between temporomandibular disorder and quality of life, temporomandibular disorder and sociodemographic factors age, gender, education level economic level, quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Methods: Cross sectional study was conducted on 115 subjects aged 20 40 years from patients at Integration Clinic of RSGM FKG UI. Subject rsquo s personal data were obtained and interview for ID TMD questionnare and OHIP TMD ID questionnare were conducted.
Results: Man Whitney test showed significant differences between temporomandibular disorders and quality of life. However, there are no significant differences between the quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level. Chi Square test showed no significant differences between temporomandibular disorders and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Conclusion: Temporomandibular disorders patients suffered from impaired orofacial pain related quality of life. Keywords temporomandibular disorder, quality of life, OHIP TMD ID, ID TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Nathania Martayoga
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status kesehatan gigi dan mulut dengan kualitas hidup lansia. Metode Total 93 subjek dinilai status kesehatan gigi dan mulutnya menggunakan indeks DMFT dan status periodontal standart WHO, sedangkan kemampuan mastikasi menggunakan skor color changing chewing gum. Tingkat kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner GOHAI versi Bahasa Indonesia dan kuesioner WHO.
Hasil: Nilai mean kuesioner WHO adalah 24,3. Kesulitan menggigit dan mengunyah makanan memiliki hubungan bermakna dengan jumlah gigi asli r=0,3; r=0,3 dan kemampuan mastikasi r=-0,4; r=-0,3. DT memiliki hubungan bermakna dengan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari r=0,2. Nilai mean GOHAI adalah 51,5. Kemampuan mastikasi memiliki hubungan bermakna dengan limitasi fungsi r=0,3, aspek psikologis r=0,2, dan pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari r=0,3. Rasa sakit dan ketidaknyamanan memiliki hubungan bermakna dengan DT r=0,3 dan BOP r=-0,3.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut terhadap kualitas hidup lansia.

Background: This study aims to examine the relationship between oral health status and quality of life of independent living elderly. Methods Total of 93 subjects oral health status was recorded using DMFT index and WHO standarts periodontal index, and masticatory performance was recorded using color changing chewing gum. Quality of life was recorded using GOHAI and WHO questionnaire.
Results: Mean scores WHO questionnaire is 24,3. Significant relationship exist between difficulty in biting and chewing food with natural teeth r 0,3 r 0,3 and masticatory performance r 0,4 r 0,3. DT was positively correlate with difficulties doing usual activities r 0,2. Mean scores GOHAI Indonesian version is 51,5. Masticatory performance was positively correlate with functional limitation r 0,3, pshycology aspects r 0,2, and effect on daily performance r 0,3. Significant relationship exists between pain and discomfort with DT r 0,3 and BOP r 0,3.
Conclusion: There is significant relationship between oral health and quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Dewita
"ABSTRAK
Gangguan fonetik atau pengucapan yang tidak jelas sering ditemukan pada pasien setelah pemasangan gigi tiruan lengkap rahang atas. Gangguan yang terjadi dapat diperiksa menggunakan palatogram pengucapan konsonan linguo-palatal. Salah satu cara yang dapat membantu adaptasi fonetik adalah pembuatan rugae palatina pada basis GTL RA. Rugae palatina berfungsi sebagai panduan peletakan lidah pada palatum anterior untuk menghasilkan artikulasi yang tepat bunyi konsonan linguo-palatal khususnya huruf lsquo;t rsquo; dan lsquo;d rsquo;. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pembuataan rugae palatina pada basis GTL RA yang dapat mempengaruhi adaptasi fonetik. Responden terdiri dari 20 pemakai GTL RA yang dibagi menjadi 10 GTL RA dengan rugae palatina dan 10 GTL RA tanpa rugae palatina. Dilakukan pemeriksaan dengan palatogram pengucapan huruf lsquo;t rsquo; dan lsquo;d rsquo;, serta dievaluasi kemiripannya dengan baku emas palatogram bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode cross over dan faktor-faktor yang diperhatikan dalam hubungannya dengan rugae adalah lama pemakaian, usia, dan jenis kelamin. Hasil penelitian ini adalah pembuatan rugae palatina pada basis GTL RA membutuhkan waktu 1 minggu untuk mendapatkan adaptasi fonetiknya. Nilai rerata saat pengucapan huruf lsquo;t rsquo; dan lsquo;d rsquo; yang baik adalah 60,15 dan 69,65 dengan simpang baku 3,31 dan 3,79. Kesimpulan dari penelitian ini adalah GTL RA dengan rugae mempercepat adaptasi fonetik.

ABSTRACT
Phonetic disturbances or unclear pronounciation were often found in patients after insertion of maxillary complete denture. These disturbances could be assessed using palatogram of Indonesian linguo palatal consonant. One of the methods to improve phonetic adaptation was creation of palatine rugae on maxillary complete denture base. Palatine rugae functioned as tongue placement guidance on anterior palate to produce correct articulation of linguo palatal consonant sound, especially the letter lsquo t rsquo and lsquo d rsquo . The purpose of this study was to evaluate palatine rugae creation on maxillary complete denture bases that could affect phonetic adaptation. Respondents were 20 maxillary complete denture wearers, composed of 10 maxillary complete dentures with palatine rugae and 10 maxillary complete dentures without palatine rugae. Assessment was done using palatogram lsquo t rsquo and lsquo d rsquo pronounciation, and the similarity with Indonesian palatogram gold standard were evaluated. This study used cross over method and the factors considered in the relation with rugae were duration of usage, age, and sex. The result of this study was that it took 1 week to achieve phonetic adaptation of maxillary complete denture with palatine rugae. Mean scores in good lsquo t rsquo and lsquo d rsquo pronounciation were 60.15 and 69.65 with standard deviation 3.31 and 3.79. Conclusion of this study is maxillary complete denture with rugae palatine shortens phonetic adaptation. "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>