Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paskalis Andrew Gunawan
"Latar belakang: Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G) telah menjadi standar pelayanan di RSCM karena terbukti menghasilkan luaran perawatan geriatri yang lebih baik. Semenjak awal tahun 2014, di Indonesia diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional. Belum diketahui apa pengaruh penerapan JKN terhadap kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri pada era JKN dan non JKN yang dirawat di RSCM.
Metode: Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan kesintasan dengan kurva kesintasan dan efektifitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost effectiveness ratio (ICER).
Hasil: Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Tidak ada perbedaan mortalitas selama perawatan dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN dan non JKN (31,2% vs 28%, p=0,602 dan 65,2% vs 66,4%, p = 0,086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna. ICER memperlihatkan pada era JKN investasi biaya Rp. 1,4 juta,- terkait dengan penurunan kesintasan 1,2% dibandingkan kelompok non JKN, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara klinis dan statistik.
Simpulan: Tidak ada perbedaan bermakna angka mortalitas antara pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan pada penerapan JKN, namun perlu dipertimbangkan implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.

Background: Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to improve the overall outcome of inpatient geriatric patients, and has been implemented in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January 2014, a new insurance system called National Health Insurance Program (NHIP) was implemented in Indonesia. It is unclear how NHI will affect survival and cost effectiveness of geriatric inpatients receiving CGA.
Objectives: To compare the survival and cost effectiveness betewwn NHIP and non NHIP era in geriatric patients admitted in RSCM.
Method: This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare the survival and cost effectiveness between the two group.
Result: The clinical and demographics characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. No difference in inhospital mortaliy rate and 30 day survival rate between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 28%, p=0,602, 65,2% vs 66,4%, p = 0,086, respectively). No significant difference was found when comparing the survival curve between the two group. Calculation of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah and 1,2 % higher mortality rate.
Conclusion: NHIP had no impact on survival in geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Fitriana
"Latar belakang: Kelompok geriatri memiliki karakteristik khusus yang berpotensi meningkatkan lama masa rawat dan menurunkan kualitas hidup dan terbukti dapat diperbaiki dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). Terdapat kemungkinan adanya perbedaan antara lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri dengan P3G sebelum dengan sesudah adanya sistem pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Tujuan: melakukan evaluasi pelaksanaan sistem JKN terhadap lama rawat, quality adjusted life days (QALD) dan efektivitas biaya pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri akut RSCM.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan kontrol historis dilakukan pada pasien geriatri ≥ 60 tahun dengan ≥ 1 sindrom geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri akut RSCM periode Juli-Desember 2013 (era non JKN) dan Januari-Juni 2014 (era JKN). Perbedaan dua rerata lama rawat dan QALD era non JKN dengan JKN dianalisis dengan uji-T tidak berpasangan. Dilakukan juga penghitungan incremental cost effectivity ratio (ICER) program JKN dengan outcome lama rawat dan QALD yang akan dipresentasikan dalam skema ICER.
Hasil: Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik relatif sama. Rerata usia adalah 70 [60-86] tahun dan 68 [60-85] tahun secara berurutan. Tidak ada perbedaan lama rawat antara era non JKN dan JKN dengan median 12 [2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,974. Begitu juga tak ada perbedan QALD antara kelompok non JKN dan JKN dengan median 0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-7,37 – 22,43], p= 0,256. Biaya per satu kali rawat pada era non JKN adalah Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067 juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya rawat lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama rawat lebih pendek 0,91 hari. Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25 QALD lebih rendah dibanding era non JKN.
Simpulan: Tidak ada perbedaan lama rawat dan kualitas hidup pasien yang dirawat pada era non JKN dengan era JKN.

Background: Geriatric population with special characteristics tend to have longer average length of stay and lower quality of life. CGA (comprehensive Geriatric Assesment) was proven to improve the outcomes and has already be the standard procedure in RSCM. There were concerns on the difference between length of stay and quality of life before and after NHIP (National Health Insurance program) applied.
Objectives: To evaluate the implementation of NHIP system according to length of stay, quality adjusted life days and cost effectiveness of care in geriatric patients in acute care for elderly Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This is a retrospective cohort study with historical control. The subjects were geriatric patients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (Non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). We used independent T test to compare between two mean of length of stay and QALD.
Results: The characteristics were relatively similar between 100 subject in non NHIP group and 125 subject in NHIP group. the median of age were 70 [60- 86] dan 68 [60- 85] years old respectively. There was no significant difference between length of stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-59] days, p= 0,974. Quality of life which described as QALD proved that there was also no significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37] and NHIP group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,256. The cost spent for one admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions] in non NHIP and Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group. Incremental cost effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more expensive Rp.1.500.000,- to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For QALD, the cost was cheaper Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non NHIP.
Conclusion: There were no difference in length of stay and quality of life of patients who admitted in acute geriatric Cipto Mangunkusumo hospital with CGA approach before and after National Health Insurance program implementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Camelia Fitri
"Latar Belakang: Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh ke dalam frailty karena berbagai perubahan fisiologis terkait penyakit dan berisiko mengalami dampak kesehatan yang lebih buruk. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian frailty pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis  sangat di perlukan untuk menginformasikan pengetahuan dan mendapatkan solusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi frailty pada pasien hemodialisis dan faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Sembilan puluh satu pasien dari unit hemodialisis RSCM dari berbagai kelompok demografis disertakan dalam studi. Sampling menggunakan metode total sampling. Frailty dinilai dengan kuesioner Frailty Index 40 item. Riwayat medis diperoleh dari rekam medis RS dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dilakukan uji bivariat menggunakan Chi-Square terhadap usia, jenis kelamin, lama dialisis, status gizi, adekuasi dialisis, hemoglobin, CRP, albumin, kalsium darah, fosfat darah, dan Charlson Comorbidity Index (CCI). Identifikasi faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty dilakukan dengan uji binary regression dengan metode backward stepwise regression.
Hasil: Dua puluh enam (28,6%) pasien mengalami frailty. Faktor yang berhubungan dengan kejadian terhadap frailty pada pasien hemodialisis yaitu jenis kelamin perempuan (PR 1,064; IK 95% 1,064-1,065), skor CCI (PR 27,168; IK 95% 3,838-192,306), lama (vintage) hemodialisis (PR 1,227; IK 95% 1,226-1,227), hemoglobin (PR 3,099; IK 95% 1,325-7,254), albumin (PR 1,387; IK 95% 1,386-1,388), CRP (PR 1,432; IK 95% 1,431-1,433), dan fosfat (PR 1,110; IK 95% 1,110-1,111).
Kesimpulan: Prevalensi frailty pada populasi studi ini yaitu 28,6%. Jenis kelamin perempuan, peningkatan skor CCI, lama (vintage) hemodialisis, anemia, hipoalbuminemia, dan fosfat yang rendah ditemukan sebagai faktor yang berhubungan secara signifikan  terhadap kejadian frailty pada pasien hemodialisis di RSCM.

Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of falling into frailty due to various physiological changes related to the disease and are at risk for worse health impacts. Understanding the factors that correlate with the incidence of frailty in CKD patients undergoing hemodialysis is needed to inform knowledge and obtain solutions. This study aims to determine the prevalence of frailty in hemodialysis patients and predictors of frailty in hemodialysis patients.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data. Ninety-one patients from the RSCM hemodialysis unit from various demographic groups were included in the study. Sampling using the total sampling method. Frailty is assessed with a 40-item Frailty Index questionnaire. Medical history was obtained from hospital medical records, and laboratory examinations were carried out. A bivariate test using Chi-Square was performed on age, sex, duration of dialysis, nutritional status, dialysis adequacy, hemoglobin, CRP, albumin, blood calcium, blood phosphate, and the Charlson Comorbidity Index (CCI). The binary regression test with the backward stepwise regression method identifies factors associated with frailty.
Results: Twenty-six (28.6%) patients experienced frailty. Factors related to the incidence of frailty in hemodialysis patients were female gender (PR 1.064; 95% CI 1.064-1.065), CCI score (PR 27.168; 95% CI 3.838-192.306), duration (vintage) of hemodialysis (PR 1.227; 95% CI 1.226-1.227), anemia (PR 3.099; 95% CI 1.325-7.254), albumin (PR 1.387; 95% CI 1.386-1.388), CRP (PR 1.432; 95% CI 1.431-1.433), and phosphate (PR 1.110; CI 95% 1.110-1.111).
Conclusion: The prevalence of frailty in this study population is 28.6%. Female gender increased CCI score, old (vintage) hemodialysis, anemia, hypoalbuminemia, and low phosphate were factors significantly related to the incidence of frailty in hemodialysis patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Fajrin Priadinata
"Latar Belakang: Frailty pada penyakit ginjal kronik (PGK) memiliki prevalensi yang cenderung meningkat tiap tahun. PGK juga meningkatkan risiko seseorang untuk jatuh ke dalam kondisi frailty, namun kejadian frailty pada PGK sering tidak terdiagnosis dan berdampak terhadap meningkatnya mortalitas dan morbiditas pasien hemodialisis kronik. Sampai saat ini belum ada alat yang mudah, murah, dan validitasnya mendukung untuk mendiagnosis frailty pada PGK hemodialisis. Indeks frailty index-40 questions (FI-40) memiliki penilaian yang lengkap dan mendetail namun sulit dilaksanakan dalam praktik klinis sehari-hari. Penelitian ini bertujuan menilai performa diagnostik dari indeks FRAIL dan indeks CHS, yang memiliki kriteria yang sederhana sehingga lebih mampu-laksana dalam praktik sehari-hari.
Metode: Penelitian potong lintang dengan data primer dilakukan pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Frailty dinilai dengan tiga instrumen: FI-40, indeks FRAIL dan indeks CHS. Riwayat medis dan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Karakteristik pasien dan prevalensi frailty berdasarkan masing-masing instrumen dideskripsikan, lalu dilakukan penilaian parameter performa diagnostik indeks FRAIL dan Indeks CHS dengan table 2x2.
Hasil: Prevalensi frailty 28,6% (IK 95%;19,2-38%) dengan FI-40. Indeks FRAIL memiliki sensitivitas 88,46% (IK 95%: 69,86 – 97,55%) dan spesifisitas 86,15% (IK 95%: 75,34 – 93,47%). Sementara indeks CHS memiliki sensitivitas 88,46% (IK 95%: 69,86% - 97,55%) dan spesifisitas 92,31% (IK 95%: 82,95 – 97,46%). Indeks CHS unggul pada spesifisitas, positive predictive value, dan positive likelihood ratio, sehingga memiliki kemampuan lebih baik sebagai diagnostik sekunder.
Kesimpulan: Indeks FRAIL dan Indeks CHS yang diuji memiliki performa diagnostik yang baik dalam menilai status frailty frailty pada PGK hemodialisis.

Background: Frailty in chronic kidney disease (CKD) is a condition with yearly increasing prevalence. CKD itself predisposes patients for frailty, but this is often underdiagnosed and impacts on mortality and morbidity, especially in chronic hemodialysis patients. Until now, there are no effective, efficient, and valid tools to diagnose frailty in hemodialysis patients. the Frailty Index-40 questions (FI-40) is a comprehensive and detailed assessment of frailty, but is hard to use in everyday practice. This research was done to assess the diagnostic performances of the FRAIL and CHS indices, which are simpler and therefore easier to execute in daily practice.
Methods: This is a cross-sectional study with primary data from the hemodialysis unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) with age over 40 years old and various characteristics were included in this study. Frailty was measured using the FI-40, FRAIL index, and CHS index. Medical history and laboratory results were acquired through medical records. Patients’ characteristics and frailty prevalences according to each instruments were described, and diagnostic parameters for each instruments were calculated based on a constructed 2x2 table.
Results: Frailty in this cohort was measured at 28.6% with FI-40, 35.2%. FRAIL index has a sensitivity of 88.46% (95%CI: 69.86 – 97.55%) and specificity of 86.15% (95%CI: 75.34 – 93.47%). Meanwhile, the CHS index has a sensitivity of 88.46% (95%CI: 69.86% - 97.55%) and specificity of 92.31% (95%CI: 82.95 – 97.46%). The CHS index offers better specificity, positive predictive value, and positive likelihood ratio. This ensures a greater and suited for secondary diagnosis.
Conclusions: FRAIL scale and CHS scale tested instruments offered excellent diagnostic capabilities for frailty in CKD patients with hemoadialysis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Anindhawati
"Latar belakang: Tujuan studi ini adalah untuk menilai persepsi masyarakat terhadap hasil operasi hidung pada pasien cleft menggunakan tehnik semi-open modified Tajima. Mengingat banyak tehnik operasi yang digunakan dengan berbagai kelebihan masing - masing, kami ingin mengetahui apakah tehnik yang sederhana, mudah dikerjakan dengan morbiditas yg rendah hasilnya akan mendapatkan apresiasi yang berbeda oleh orang tua dan para profesional medis.
Metode: Studi cross sectional menggunakan questionnaire dengan menilai 25 foto dari hasil operasi hidung pada pasien cleft dengan tehnik semi-open modified Tajima. Duapuluh lima orang tua dan 25 orang pelaku medis dalam hal ini residen bedah plastik akan di perlihatkan foto, dan kemudian mereka akan menilai hasil operasi tersebut dengan menggunakan VAS score, yaitu berupa tanda disepanjang garis berukuran 100 mm. Data kemudian dianalisa dengan tes Chi-square. Dan korelasi antara profesional medis dan orang tua akan dianalisa menggunakan Spearman correlation.
Results: Dari penelitian didapatkan perbedaan yang significant dari persepsi orangtua mengenai hasil operasi dengan professional medis sebesar -0.38 yang berarti persepsi mereka cenderung bertolak belakang. Dan terdapat korelasi lemah antara orangtua dan medis sebesar 0. 045(lebih rendah dari 0.05).
Kesimpulan: Persepsi estetik antara profesional medis dan orangtua ternyata berbeda. Dan korelasi antara persepsi yang satu dengan yang lainnya ternyata lemah. Sebagai orang terdekat dan yang bertanggung jawab terhadap pasien, memang sudah sewajarnya kita mendengarkan dan menelaah apa sebenarnya keinginan dan harapan mereka."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Sinto
"Latar Belakang. Angka kejadian dan mortalitas pasien sepsis berat dan syok sepsis di dunia masih tinggi. Belum diketahui peran gabungan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang disusun dalam sebuah model prediksi mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis.
Tujuan. Menentukan model prediksi terjadinya mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi.
Metode. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap pasien sepsis berat dan/atau syok sepsis yang berusia lebih dari sama dengan 18 tahun dan dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada periode waktu Januari 2011 sampai Desember 2012. Pasien diamati selama 120 jam pertama pasca inisiasi fase resusitasi awal untuk melihat luaran yang terjadi dan waktu timbul luaran berupa mortalitas. Sembilan prediktor terjadinya mortalitas dini yang telah didefinisikan sebelumnya diidentifikasi pasca pasien melewati fase resusitasi awal. Prediktor independen mortalitas dini diidentifikasi dengan analisis regresi Cox’s Proportional Hazard dan setiap faktor independen dikuantifikasi untuk mengembangkan suatu model prediksi mortalitas dini. Kemampuan kalibrasi model tersebut ditentukan dengan uji Hosmer-Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 268 pasien. Sebagian besar (54,9%) merupakan pasien laki-laki, dengan median (rentang) usia 49 tahun (18;86). Mortalitas terjadi pada 70 pasien (insidens kumulatif 26,1%, insidens densitas 0,002 per orang-jam) dalam 120 jam pertama pasca inisiasi fase resusitasi awal. Dua prediktor independen mortalitas dini diidentifikasi, yakni: bersihan laktat (adjusted hazard ratio[HR] 11,81 [IK95% 6,50-21,46]) dan jumlah disfungsi organ (2 disfungsi organ, adjusted HR 1,47 [IK95% 0,58- 3,72]; >3 disfungsi organ, adjusted HR 3,79 [IK95% 1,65-8,69]). Model prediksi ditentukan dengan menggunakan model akhir analisis multivariat dan distratifikasi menjadi dua kelompok tingkatan risiko: rendah (probabilitas mortalitas dini 7,8%), dan tinggi (72,3%). Uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan presisi yang baik (p 0,745) dan AUC menunjukkan kemampuan diskriminasi yang sangat baik (0,91 [IK95% 0,87-0,95]).
Kesimpulan. Model prediksi terjadinya mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi dapat disusun berdasarkan parameter bersihan laktat dan jumlah disfungsi organ.

Introduction. The incidence and mortality rates of patients with severe sepsis and septic shock in the world is still high. There is unknown role of macrocirculation and microcirculation end points resuscitation which are combined as the component of prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock.
Aim. To develop a prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock based on macrocirculation and microcirculation end points resuscitation.
Method. A retrospective cohort study was conducted in severe sepsis and septic shock patients (aged 18 years and older) who were hospitalized in Intensive Care Unit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo from January 2011 until December 2012. Patients’ outcome and time to outcome were observed during first 120 hours of initiation of early resuscitative phase. Nine predefined predictors for development of early mortality were identified after early resuscitative phase. Independent predictors for early mortality were identified by Cox’s proportional hazard regression analysis and each independent predictor was quantified to develop early mortality prediction model. The calibration performance of the model was tested by Hosmer-Lameshow test and its discrimination ability was determined by calculating area under the receiver operating characteristic curve (AUC).
Results. Subjects consist of 268 patients, predominantly male (54.9%), with median (range) age of 49 (18;86) years old. Mortality developed in 70 patients (cumulative incidence 26.1%, incidence density 0.002 per person-hours) during first 120 hours of initiation of early resuscitative phase. Two independent predictors for early mortality were identified, including: lactate clearance (adjusted hazard ratio[HR] 11.81 [95%CI 6.50-21.46]) and number of organ dysfunction (2 organs dysfunction, adjusted HR 1.47 [95%CI 0.58- 3.72]; >3 organs dysfunction, adjusted HR 3.79 [95%CI 1.65-8.69]). Predictive model was performed using the final model of multivariate analysis and stratified into two levels: low- (probability for early mortality 7.8%), and high-risk (72.3%) groups. The Hosmer-Lemeshow test revealed good precision (p-value 0.745) and the AUC showed very good discrimination ability (0.91 [95% CI 0.87-0.97]).
Conclusion. A prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock based on macrocirculation and microcirculation end points resuscitation can be developed based on two parameters, i.e. lactate clearance and number of organ dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Petry
"Latar Belakang : Pasien usia lanjut seringkali memerlukan rawat inap karena infeksi pneumonia yang disertai dengan penurunan status fungsional. Hubungan antara penurunan status fungsional pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan kesintasan belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi mengenai perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut dengan berbagai derajat ketergantungan. Metodologi : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan terhadap pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di ruang rawat akut geriatri RSCM periode Januari 2010-Desember 2013. Dilakukan ekstraksi data dari rekam medik mengenai status fungsional, kondisi klinis dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitasnya dalam 30 hari. Status fungsional awal perawatan dinilai dengan indeks ADL Barthel, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mandiri-ketergantungan ringan, ketergantungan sedang-berat dan ketergantungan total. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok diuji dengan Log-rank test, dengan batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 392 subjek, sebanyak 79 subjek (20,2%) meninggal dunia dalam waktu 30 hari. Rerata kesintasan seluruh subjek 25 hari (IK95% 24,66-26,49), kelompok mandiri-ketergantungan ringan 28 hari (IK95% 27,38-29,46), ketergantungan sedang-berat 25 hari (IK95% 23,71-27,25), ketergantungan total 23 hari (IK95% 21,46-24,86). Kesintasan 30-hari pada kelompok mandiri- ketergantungan ringan 92,1% (SE 0,029), ketergantungan sedang-berat 80,2% (SE 0,046), ketergantungan total 68,0% (SE 0,041). Crude HR pada ketergantungan sedang-berat 2,68 (p=0,008; IK95% 1,29-5,57), ketergantungan total 4,32 (p<0,001; IK95% 2,24-8,31) dibandingkan dengan mandiri-ketergantungan ringan. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok ketergantungan total 3,82 (IK95% 1,95-7,51), ketergantungan sedang-berat 2,36 (IK 95% 1,13-4,93).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut pada berbagai derajat ketergantungan; semakin berat derajat ketergantungan, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : Elderly patients often require hospitalization because of pneumonia accompanied by decreased functional status. The relationship between the declines in functional status in elderly patients with community acquired pneumonia who are hospitalized with survival rate has not been widely studied. Objective : To determine the difference of 30-days survival in elderly patients with community-acquired pneumonia in various degree of dependency during admission.
Method : A retrospective cohort study based on survival analysis of the elderly patients with community-acquired pneumonia in acute geriatric ward RSCM from January 2010 to December 2013. Extraction of data from medical records regarding functional status, clinical conditions and confounding factors, then followed up the 30-day mortality. Functional status at the start of hospitalization was assessed by the ADL Barthel index, then grouped into three, which are independent-mild dependence, moderate-severe dependence and total dependence. The difference of survival rate among the three groups is shown in the Kaplan- Meier curves. The difference in survival rate among the three groups were tested with the log-rank test, with a significance limit of <0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% confidence interval) with correction for confounding variables.
Results : Of the 392 subjects, a total of 79 subjects (20.2%) died within 30 days. The mean survival rate of all subjects was 25 days (95%CI 24.66-26.49), independent-mild dependence group was 28 days (95%CI 27.38-29.46), moderate-severe dependence group was 25 days (95%CI 23,71-27.25), the total dependence group was of 23 days (95%CI 21.46-24.86). The 30-day survival of independent-mild dependence group was 92.1% (SE 0.029), moderate-severe dependence group was 80.2% (SE 0.046), total dependence group was 68.0% (SE 0.041). Crude HR of moderate-severe dependence group was 2.68 (p=0.008; 95%CI 1.29-5.57), the total dependence group was 4.32 (p<0.001; 95%CI 2.24- 8.31) compared with independent-mild dependence group. After adjustment for confounding variables, obtained the fully adjusted HR was 3,82 (95%CI 1,95- 7,51) in total dependence group, and 2,36 (95%CI 1,13-4,93) in moderate-severe dependence group.
Conclusion : There are differences in 30-day survival rate of elderly patients with community-acquired pneumonia in various degrees of dependence; the more severe the degree of dependence, the worse its 30-day survival rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hamonangan
"Latar Belakang: Angka harapan hidup yang meningkat menyebabkan peningkatan populasi usia lanjut termasuk populasi usia lanjut dengan penyakit jantung koroner. Frailty sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular dan keberadaan frailty sangat mempengaruhi prognosis penyakit jantung koroner pada pasien usia lanjut termasuk luaran terhadap intervensi revaskularisasi. Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah salah satu metode revaskularisasi dan belum banyak penelitian yang dilakukan terkait pengaruh frailty terhadap luaran pasien usia lanjut yang menjalani PCI elektif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan proporsi frailty, insidensi Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) 30 hari dan mengkaji peran frailty terhadap prognosis pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif.
Metode: Secara prospektif dilakukan penilaian terhadap kondisi frailty pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif di RS Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan kriteria Frailty Phenotipe. Pasien kemudian di follow-up selama 30 hari setelah tindakan PCI elektif untuk melihat apakah MACE terjadi atau tidak.
Hasil: Terdapat 100 pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif dari bulan September 2014 - Juni 2015. Usia rata-rata pasien adalah 66.95 tahun (SD = 4.875) dengan pasien terbanyak adalah laki-laki (69%). Sebanyak 61% pasien termasuk ke dalam kelompok frail. MACE terjadi pada 8.19% pasien pada kelompok frail dan 5.12% pada kelompok non-frail. Hubungan frailty terhadap MACE dapat dilihat dari hasil crude Hazard Ratio (HR) 1.6 (IK 95% 0.31-8.24). Pada penelitian ini, kesintasan 30 hari 95% pada kelompok frail, sementara pada kelompok non-frail kesintasan 30 hari adalah sebesar 98%.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko 1.6 kali untuk terjadinya MACE 30 hari pada subyek usia lanjut frail yang menjalani PCI elektif namun belum bermakna secara statistik.

Background: The increase in life expectancy caused the increase in elderly population including the population of elderly with Coronary Artery Disease. Frailty is commonly found in elderly patients with cardiovascular disease and frailty had a major influence in determining the prognosis of cardiovascular disease in elderly including the outcome of revascularization intervention. PCI (Percutaneous Coronary Intervention) is one method of revascularization. However, frailty research on the effect on the outcome of elderly patients with coronary artery disease undergoing PCI is still limited.
Aim: To get the proportion of frailty and 30 days Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) incidence, and to review impact of frailty in elderly patients with coronary heart disease who underwent elective PCI.
Method: The frailty condition of the elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI in Cipto Mangunkusumo Hospital was assessed with the Frailty Phenotype criteria. After the patients underwent the elective PCI, they were followed for 30 days to see whether MACE occurred or not.
Result: There are 100 elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI from September, 2014 until June, 2015. The mean age of patients is 66.95 ± 4.875 years and 69% of the patients were males. Frail was present in 61% of the patients. MACE were occurred in 8.19% of frail patients and 5.12% were occurred in non-frail patients. The correlation between frailty and MACE could be seen in the result of crude HR 1.6 (CI 95% 0.31-8.24). In this research, the 30 days survival rate is 95% in frail patients and 98% in non-frail patients.
Conclusion: There is a 1.6 fold increased risk of 30 days MACE in elderly frail patients that underwent elective PCI but it is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Julfreser
"Latar Belakang : Skin prick test SPT merupakan baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan IgE spesifik merupakan pemeriksaan in vitro, nyaman dan tidak ada risiko anafilaksis.Tujuan: Mendapatkan akurasi pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA dalam mendiagnosis sensitisasi alergen hirup pada pasien asma dan/atau rinitis alergi.Metode: Merupakan uji diagnostik dengan desain cross sectional pada pasien asma dan rinitis alergi di poliklinik Alergi-Imunologi FKUI-RSCM. Seratus pasien diperiksa IgE spesifik serum tungau debu rumah D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , kulit anjing, kulit kucing dan kecoak dengan metode ELISA serta SPT sebagai baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen tersebut. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga, dan rasio kemungkinan dari IgE spesifik serum dinilai untuk masing-masing alergen.Hasil: Sensitivitas IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen tungau debu rumah berkisar 48-77 , dengan sensitivitas tertinggi 77 IK 95 66-86 pada D.farinae. Spesifisitas berkisar 64-95 , dengan spesifitas tertinggi 95 IK 95 76-99 pada B.tropicalis, serta nilai RK antara 2,1-11, dengan tertinggi untuk B.tropicalis. Sensitivitas mendiagnosis sensitisasi kecoak 12 IK 95 4,5-27 , namun spesifisitas 100 IK 95 92-100 , dengan RK . Spesifisitas mendiagnosis sensitisasi kulit anjing 89 IK 95 79-95 , namun senstitivitas 3 IK 95 1,5-17 , dengan RK hanya 0,29 IK 95 0,03-2,26 . IgE spesifik serum memiliki spesifitas 88 IK 95 77-95 dalam mendiagnosis sensitisasi kulit kucing, namun sensitivitas 10 IK 95 3,5-26 dan RK 0,9 IK 95 0,3-3,1 .Kesimpuan: Pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA memiliki akurasi diagnostik yang sedang dalam mendiagnosis sensitisasi terhadap tungau debu rumah dan kecoak, namun akurasi rendah untuk kulit anjing dan kucingKata Kunci: Skin prick test IgE spesifik serum, Akurasi, Alergen hirup
Background Skin prick test SPT is the gold standard to diagnose allergen sensitization, but has some limitations. Serum specific IgE SSIgE is in vitro test, comfortable and has no anaphylaxis risk.Aim To get the accuracy of SSIgE test using ELISA method in diagnosing inhalant allergens sensitization in asthma and or allergic rhinitis patients.Method This is diagnostic study with subjects were asthma and or allergic rhinitis patients. One hundreds patients had SSIgE test for house dust mites D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , dog dander, cat dander and cockroach allergens and SPT as gold standard to diagnose allergen sensitization. Sensitivity, specificity, predictive value, and likelihood ratio of SSIgE were evaluated.Result To diagnose house dust mites sensitization SSIgE has 48 77 sensitivity, with the highest is for D.farinae 77 95 CI 66 86 , while specificity is 64 95 , with the highest is for B.tropicalis 95 95 CI 76 99 and LR around 2,1 11, with the highest is for B.tropicalis. Sensitivity of SSIgE to diagnose cockroach sensitization is 12 95 CI 4.5 27 , but has high specificity 100 95 CI 92 100 , and high LR . SSIgE has high specificity 89 95 CI 79 95 in diagnosing dog dander sensitization, but low sensitivity 3 95 CI 1.5 17 and low LR 0.29 95 CI 0.03 2.26 . To diagnose cat dander sensitization SSIgE has 88 95 CI 77 95 specificity, but low sensitivity 10 95 CI 3.5 26 and low LR 0.9 95 CI 0.3 3.1 Conclusion SSIgE test using ELISA method has moderate accuracy in diagnosing house dust mites and cockroach sensitization, but low accuracy for dog and cat dander sensitization.Keywords Skin prick test, Serum specific IgE, Accuracy, Inhalant Allergens"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdasari
"Latar belakang: Pasien sindom koroner akut (SKA) dengan gejala ansietas berisiko mengalami luaran negatif yang dimediasi oleh disfungsi otonom yang dapat dinilai dengan variabilitas denyut jantung (VDJ). Penurunan VDJ ditemukan baik pada pasien SKA maupun ansietas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai VDJ pada pasien SKA dengan gejala ansietas dibandingkan dengan tanpa gejala ansietas dan menentukan korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian diambil dari data penelitian utama pada pasien SKA yang dirawat di ruang intensif rawat jantung RSCM periode April-September 2021 secara total sampling. Gejala ansietas dinilai dengan kuesioner. Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). Data VDJ yang diambil adalah domain waktu (SDNN, RSSMD) dan frekuensi (LF, HF, rasio LF/HF). Uji Mann-Whitney dilakukan untuk perbedaan nilai VDJ antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas, uji Spearman untuk korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas, dan analisis multivariat untuk faktor perancu.
Hasil: Tujuh puluh subjek SKA yang dilibatkan terdiri dari 23 subjek dengan gejala ansietas dan 47 subjek tanpa gejala ansietas. Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ (SDNN, RMSSD, LF, HF, rasio LF/HF) antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas secara statistik. Setelah mengontrol variabel perancu, gejala ansietas memiliki korelasi dengan SDNN (r = -0,563; p<0,001) yang dipengaruhi oleh usia (p<0,004); sementara nilai LF (r = -0,63; p< 0,001) dipengaruhi oleh usia (p = 0,007) dan penyekat beta (p = 0,030).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ antara pasien SKA dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas yang bermakna secara statistik, namun terdapat penurunan nilai SDNN, HF, dan rasio LF/HF pada kelompok dengan gejala ansietas yang lebih besar. Terdapat korelasi antara nilai VDJ (SDNN dan LF) dengan gejala ansietas pada pasien SKA.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) patients with anxiety symptoms are at high risk of developing poor outcomes mediated by autonomic dysfunction that can be assessed with heart rate variability (HRV). Reductions in HRV are reported not only in ACS but also in anxiety. This study aims to compare HRV of ACS subjects with and without anxiety and to determine the correlation between HRV and anxiety symptoms.
Methods: This research is a cross-sectional study. The study subjects were taken from the primary research data of ACS patients treated at the ICCU of RSCM from April to September 2021 by total sampling. Anxiety symptoms are assessed with Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) questionnaire. HRV analysis consist of time (SDNN, RSSMD) and frequency (LF, HF, LF/HF ratio) domain. Data were analyzed using Mann- Whitney test for differences in HRV between ACS subjects with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms, Spearman's test for the correlation between HRV and anxiety symptoms, and multivariate analysis for confounding factors.
Results: Seventy ACS subjects involved consisted of 23 subject with anxiety symptoms and 47 without anxiety symptoms. There was no statistical difference in comparison of HRV (SDNN, RMSSD, LF, HF, LF/HF ratio) between anxiety symptoms compare to those without anxiety symptoms. After controlling for confounding variables, SDNN has a correlation with anxiety symptoms (r = -0,563; p<0,001) which was influenced by age (p<0,004); while the LF has a correlation (r = -0,63; p< 0,001) which are influenced by age (p = 0,007) and beta blockers (p = 0,030).
Conclusion: There was no significant difference in HRV values (SDNN, RMSSD, LF, HF, ratio LF/HF) between ACS patients with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms. There was a correlation between HRV (SDNN and LF) and anxiety symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>