Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Suciati
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perbedaan berbagai parameter
posturografi pada risiko jatuh derajat ringan dan sedang.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada 163 usila yang mampu ambulasi
mandiri, terdiri dari 108 subjek dengan risiko jatuh ringan dan 55 subjek dengan
risiko jatuh sedang yang datang ke poli geriatri terpadu dan poli Departemen
Rehabilitasi Medik RSCM. Parameter posturografi statik (Gravicorder GS-Anima
3000, Tokyo-Japan) adalah panjang ayun tubuh (PA), kecepatan ayun tubuh (KA),
Luas area (LA), Romberg quotient (RQ) dan deviasi Centre of Pressure (COP).
Penilaian posturografi dilakukan dalam 4 kondisi yaitu keadaan mata terbuka dan
tertutup serta dengan atau tanpa busa. Risiko jatuh dinilai dengan Berg Balance Scale
(BBS).
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nilai PA, KA, LA dan RQ
antara kedua kelompok risiko jatuh, namun hanya nilai LA yang bermakna secara
statistik. Terdapat kecenderungan deviasi COP ke arah antero-posterior (AP)
dibandingkan ke arah medio-lateral (ML) pada kedua kelompok risiko jatuh.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara panjang ayun tubuh,
kecepatan ayun tubuh serta Romberg quotient pada kelompok usila dengan risiko
jatuh ringan dan risiko jatuh sedang. Terdapat perbedaan yang bermakna luas area
ayun tubuh pada kelompok usila dengan risiko jatuh ringan dan risiko jatuh sedang.
Kata kunci: usila, risiko jatuh, posturografi statik, Berg Balance Scale

ABSTRACT
Study purpose: To evaluate different parameters of static posturography in elderly
with mild and moderate risk of falls that lives in community.
Methods: A cross sectional study was conducted in 163 elderly who can ambulate
independently without assistive device in Poliklinik Geriatri Terpadu, PM&R
department and Neuro-Otology division ENT department RSCM. There were 108
subjects with mild risk of falls and 55 subjects with moderate risk of falls. Static
posturography (Gravicorder GS-Anima 3000, Tokyo-Japan) parameters were length
of body sway (LNG), velocity of body sway (LNG/TIME), Envelope Area (ENV),
Romberg quotient (RQ) and Centre of Pressure (COP) deviation. Posturography
measurement was taken in four conditions, with eyes open (EO) and closed (EC) and
also with and without rubber foam (R). Risk of falls measurement was using Berg
Balance Scale (BBS).
Results: There were different values in length of body sway (LNG), velocity of body
sway (LNG/TIME) and Romberg quotient (RQ). Envelope Area (ENV) has
statistically significant value between mild and moderate risk of falls. The COP was
tended to deviate more in antero-posterior (AP) than in medio-lateral (ML) direction.
Conclusion: The values of length of body sway (LNG), velocity of body sway
(LNG/TIME) and Romberg quotient (RQ) has not statistically significant. Envelope
Area (ENV) has statistically significant value between mild and moderate risk of falls"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Iswara
"ABSTRAK
Gangguan saraf fasialis prefer unilateral merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis akibat kelumpuhan otot sebagian atau seluruh wajah. Dalam menangani kasus saraf fasialis perifer unilateral, setiap klinisi dapat menggunakan beberapa modalitas pemeriksaan seperti pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann, uji topognostik (schirmer, refleks stapedius, gustatometri) dan pemeriksaan elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf, refleks blink, jarum EMG) dalam menentukan derajat kerusakan saraf dan letak lesi berdasarkan onset, derajat kerusakan saraf dan etiologi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Sangat penting dalam menyampaikan informasi yang tepat dan efektif antar klinisi mengenai keadaan saraf fasialis yang mengalami paresis saraf fasialis dalam menentukan tatalaksana selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan pengambilan subjek penelitian secara consecutive sampling di poliklinik Neurotologi THT dan poliklinik EMG Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Mei 2013 dan didapatkan sebanyak 44 subjek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang cukup (Kappa R =0,5, p<0,05) pada 32 subjek penelitian dengan onset lama dengan derajat kerusakan sedang dan berat antara pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang baik (Kappa R=0,011, p=0,935) dalam menentukan letak lesi antara pemeriksaan uji topognostik dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Tiga belas subjek penelitian tidak dapat ditentukan letak lesi berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis pada onset kronis dengan derajat kerusakan sedang dan berat sedangkan pemeriksaan uji topognostik mampu menentukan letak lesi pada onset akut maupun kronis. Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki modalitas pemeriksaan elektrofisiologis, pemeriksaan motorik sistem Freyss dan House-Brackmann dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis.

ABSTRACT
Unilateral peripheral facial nerve palsy is a disturbance in facial nerve caused by partial or complete muscle paralysis. Clinician can use multiple examination modality such as Freyss system, House-Brackmann, topognostic test (schirmer, stapedius reflex, gustatometry) and electrophysiology (nerve conduction velocity, blink reflex, EMG needle) to establish diagnosis and prognosis. It is very important to deliver right and effective information between clinician about facial nerve condition and paralysis to determine further management. Achieve conformity between Freyss system, House-Brackmann, topognostic study and electophysiologic examination in diagnosis and prognosis. This study used descriptive cross-sectional method by taking study subject with consecutive sampling in Neurotology division of ENT department and EMG division of Neurology Department outpatient-clinic and 44 study subjects.
According to study result, there is significance and conformity (Kappa R =0,5, p=0,005) for 32 subjects late onset with detriment degree moderate severe between motoric examination Freyss, House-Brackmann and electrophysiologic examination. In this study there is no significanceand conformity (Kappa R=0,011, p=0,935) between determining lesion site between topognostic test and electrophysiology examination. Thirteen study subjects could not be determined for lesion site, due to chronic onset with moderate severe damage by electrophysiology examination, whereas topognostic test can determine lesion site in acute nor chronic onset. In region without facility for electrophysiologic examination, Freyss and House-Brackmann motoric system can be used in establishing diagnosis and determining prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saraswati
"ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.

ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arroyan Wardhana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran dan hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan tomografi komputer dengan menggunakan piranti lunak OsiriX. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode potong lintang. Hasil penelitian ini mendapatkan sebaran deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada rongga hidung sisi kanan sebesar 32,1% dan rongga hidung sisi kiri sebesar 29,5%. Selain itu didapatkan adanya hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan sebagai faktor risiko sebesar 9 kali terhadap terjadinya sinusitis maksila homolateral dibandingkan bila ketiga variasi anatomi tersebut tidak bersamaan (OR=9,09).

ABSTRACT
The focus of this study are the descriptions and the relationship in concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in chronic rhinosinusitis based on CT scan using OsiriX software. This research is an observational researh using cross-sectional method. Results of this research are that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in the right nasal cavity is 32,1% and 29,5% in the left nasal cavity. Other result is that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) has a 9 times risk factor for homolateral maxillary sinusitis when compared with the three anatomical variations each (OR=9,09)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustav Syukrinto
"Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.

Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Suwento
"ABSTRAK
Fragmen bilirubin yang tidak terkonjugasi dan tidak terikat albumin (bilirubin
bebas) pada neonatus dapat menembus sawar darah otak sehingga terjadi
kerusakan otak berupa ensefalopati bilirubin akut. Salah satu gejala ensefalopati
bilirubin akut adalah tuli sensorineural. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa bilirubin bebas mempunyai neurotoksisitas lebih besar dibandingkan
dengan bilirubin total, namun pemeriksaan bilirubin bebas lebih sulit, rumit,
mahal dan belum tersedia di klinik; sehingga perlu dicari pemeriksaan lain yang
lebih praktis dan aplikatif. Salah satu pilihan untuk menentukan neurotoksisitas
bilirubin adalah pengukuran rasio bilirubin total terhadap albumin (BT/A).
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang berulang, bersifat
observasional, longitudinal, dan prospektif berupa uji diagnostik untuk
mengetahui proporsi tuli sensorineural yang diprediksi berdasarkan nilai rasio
BT/A tertentu pada neonatus BBLR dengan hiperbilirubinemia. Penelitian ini
dilakukan dalam periode bulan Agustus 2015 sampai dengan Maret 2016, dengan
dua tahap pemeriksaan OAE dan BERA. Pemeriksaan pertama sebagai skrining
pendengaran dilakukan saat subjek berumur ≥ 7β jam?1 minggu dan pemeriksaan
kedua/diagnostik pada usia 3?6 bulan.
Dari 131 subjek yang dilakukan skrining pendengaran dengan OAE dan BERA,
terdapat 70 subjek dengan hasil refer dan 61 dengan hasil pass. Lima puluh satu
subjek datang pada pemeriksaan kedua/diagnostik (response rate 38,9%). Hasil
pemeriksaan diagnostik adalah 9 subjek tuli sensorineural (6,87%) yang terdiri
dari 5 subjek tuli sensorineural bilateral, 2 subjek tuli sensorineural unilateral dan
2 subjek neuropati auditorik. Rasio BT/A berperan terhadap terjadinya tuli
sensorineural dengan OR 16, p = 0,003, sensitivitas 89% dan spesifisitas 67%.
Pada penelitian ini juga didapatkan angka rujukan bilirubin total dan rasio BT/A
yang dapat menyebabkan tuli sensorineural pada neonatus BBLR
hiperbilirubinemia yaitu 12,21 mg/dL dan 0,46.
Rasio BT/A dapat digunakan sebagai prediktor tuli sensorineural pada neonatus
BBLR dengan hiperbilirubinemia.

ABSTRACT
In neonates, unconjugated unbound bilirubin (free bilirubin) can penetrate the
blood brain barrier, causing brain damage in the form of acute bilirubin
encephalopathy as one of the symptoms is sensorineural hearing loss. Previous
research has demonstrated that free bilirubin neurotoxicity was more sensitive
than total bilirubin, but the free bilirubin test is more difficult, complicated,
expensive and not available in the clinic; thus it is necessary to find other tests
which is more practical and applicable. One of the option to determine the
bilirubin neurotoxicity is a measurement of the ratio of total bilirubin to albumin
(BT/A).
This is a repeated cross sectional study done in observational, longitudinal and
prospective diagnostic tests to determine the proportion of sensorineural hearing
loss predicted based on the value BT/A ratio in low birth weight (LBW) neonates
with hyperbilirubinemia. The study was conducted from August 2015 until March
2016, with two-stage examination of the OAE and BERA, i.e. ≥ 7β hours?1 week
and age of 3?6 months respectively.
One hundred and thirty one subjects underwent hearing screening, and it revealed
that 70 subjects diagnosed as refer and the rest (61 subjects) was pass. During the
second examination/diagnostics with response rate at 38.9%, 9 from 51 subjects
were diagnosed as sensorineural hearing loss (6.87%), i.e. five subjects with
bilateral sensorineural hearing loss, two subjects with unilateral sensorineural
hearing loss and two subjects with auditory neuropathy. The BT/A ratio
contributes to the occurrence of sensorineural hearing loss with OR 16, p = 0.003,
sensitivity 89% and specificity 67%. It also revealed in this study that the
reference figure of bilirubin total and BT/A ratio were 12.21 mg/dL and 0.46
respectively. Those reference value can be used to predict sensorineural hearing
loss in LBW neonatal with hyperbilirubinemia.
Ratio of BT/A can be used as a predictor of sensorineural hearing loss in LBW
neonates with hyperbilirubinemia."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library