Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cindy Maura Saputra
"Telah diketahui bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Temporomandilbular Disorders (TMD). Namun selama ini belum ada studi pada individu dengan stres kerja tinggi (misalnya akuntan).
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara intensitas dan frekuensi stres kerja dengan terjadinya TMD pada usia produktif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang yang dilakukan pada 116 akuntan berusia 21-50 tahun di Jakarta. Subjek diminta mengisi dua jenis kuesioneir, yang pertama adalah Kuesioner Job Stress Survey (JSS) untuk mendiagnosis tingkat intensitas dan frekuensi stres kerja, yang kedua adalah Indeks Diagnostik TMD untuk mendiagnosis TMD. Kemudian dilakukan tabulasi silang antara tingkat intensitas dan tingkat frekuensi stres kerja dengan terjadinya TMD.
Hasil penelitian: Hasil uji Fisher’s Exact menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara intensitas stres kerja dengan terjadinya TMD pada usia produktif (p = 0,003). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi stres kerja dengan terjadinya TMD pada usia produktif (p = 0,032).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara intensitas stres kerja dan frekuensi stres kerja dengan terjadinya TMD pada usia produktif.

It is known that stress is one of the risk factor for Temporomandibular Disorders (TMD). But study on person with high level of job stress (for example accountants) has not been done.
Objectives: The aim of this study was to know the relationship between intensity and frequency of job stress and the occurrence of TMD in productive age.
Methods: A cross sectional study was performed towards 116 accountants aged 21-50 in Jakarta. The subjects were asked to fill two kinds of questionnaire, the first was Job Stress Survey questionnaire (JSS) to examine the intensity and frequency level of job stress, the other was TMD Diagnostic Index to assess the TMD. A cross tabulation was done between the intensity level and also the frequency level of job stress and the TMD occurrence.
Results: Fisher’s Exact test result showed that there was relationship between intensity of job stress and the occurrence of TMD in productive age (p = 0,003). Chi square test result showed that there was relationship between frequency of job stress and the occurrence of TMD in productive age (p = 0,032).
Conclusion: There is relationship between intensity and frequency of job stress and the occurrence of TMD in productive age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Nur Amalina
"Latar belakang: Gangguan sendi temporomandibula dapat memengaruhi kualitas tidur. Penelitian mengenai hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner ID-TMD dan PSQI belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur, stres kerja, dan faktor sosiodemografis jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Menganalisis hubungan kualitas tidur dengan stres kerja dan faktor sosiodemografis jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan status pernikahan pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
Metode: Penelitian menggunakan desain cross sectional pada 92 subjek perawat di rumah sakit Hasanah Graha Afiah. Subjek mengisi tiga buah kuesioner yaitu; ID-TMD untuk mengukur gangguan sendi temporomandibula, PSQI versi bahasa Indonesia untuk mengukur kualitas tidur, dan ENSS versi bahasa Indonesia untuk mengukur stres kerja.
Hasil Penelitian: Uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna p=0.02 antara gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji Mann-Whitney dan Independen T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna yang signifikan p>0.05 antara gangguan sendi temporomandibula dengan stres kerja pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna p>0.05 antara gangguan sendi temporomandibula dengan faktor sosiodemografi jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji Indepeden T-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna p=0.035 antara kualitas tidur dengan komponen ENSS masalah dengan pasien dan keluarganya pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C. Uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna p>0.05 antara kualitas tidur dengan faktor sosiodemografi jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status pernikahan pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara gangguan sendi temporomandibula dengan kualitas tidur pada perawat umum di rumah sakit swasta tipe C.

Backgroud: Temporomandibular disorder can affect quality of sleep. The study analyzing the association between temporomandibular disorder and quality of sleep on nurses in type C private hospital using ID TMD and PSQI Indonesian version questionnaire has never been conducted in Indonesia.
Objectives: Analyzing the relationship between temporomandibular disorder with quality of sleep, work stress, and sociodemographic factors gender, age, sosial economic status, education level, and marital status on nurses in type C private hospital. Analyzing the relationship between quality of sleep with work stress and sociodemographic factors gender, age, sosial economic status, education level, and marital status on nurses in type C private hospital.
Methods: This cross sectional study assessed the data of 92 nurses in Hasanah Graha Afiah Hospital. Three questionnaires were given to each hospital nurse. The ID TMD questionnaire was used to evaluate temporomandibular disorder, the PSQI Indonesian version was used to evaluate quality of sleep, and the ENSS Indonesian version was used to evaluate work stress.
Results: Chi square test showed significant differences p 0.02 between temporomandibular disorder and quality of sleep on nurses in type C private hospital. Mann Whitney and Independent T test showed that there are no significant differences p 0.05 between temporomandibular disorder and work stress on nurses in type C private hospital. Chi square test showed that there are no significant differences p 0.05 between temporomandibular disorder and sociodemographic factors gender, age, sosial economic status, education level, and marital status on nurses in type C private hospital. Independent T test showed significant differences p 0.035 between quality of sleep and one of the ENSS component patients and their families on nurses in type C private hospital. Chi square test showed that there are no significant differences p 0.05 between quality of sleep and sociodemographic factors gender, age, sosial economic status, education level, and marital status on nurses in type C private hospital.
Conclusion: Temporomandibular disorder was associated with quality of sleep on nurses in type C private hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
"Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi banyak terjadi di Indonesia dan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengganti dengan segera masih kurang. Kondisi kehilangan gigi tersebut juga dipengaruhi oleh hormon seksual. Hormon esterogen berfungsi untuk menjaga osteointegrasi, sedangkan hormon testosteron berfungsi untuk menjaga densitas tulang. Di samping itu kurva oklusal, terutama dari bidang sagital seringkali digunakan sebagai acuan untuk perawatan di bidang prostodonsia dan ortodonsia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi jenis kelamin dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis pada kasus kehilangan satu gigi posterior.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang. Sampel penelitian ini berupa model studi yang diambil dari pasien RSGMP FKG UI, dimana kondisi pasien saat dicetak berumur 20-40 tahun dengan kehilangan satu gigi posterior yang memiliki gigi antagonis. Sampel penelitian ini adalah 40 buah dengan 20 buah kasus perempuan dan 20 buah kasus laki-laki. Kemudian, studi model di fotokopi dan dilakukan pengukuran dengan acuan berupa bidang oklusal pada rahang atas dan curve of Spee pada rahang bawah.
Hasil: Usia rata-rata dari sampel adalah 28,45 tahun (laki-laki 31,15 tahun; perempuan 25,75 tahun) dan lama kehilangan ratarata adalah 4,35 tahun (laki-laki 3,825 tahun; perempuan 4,875 tahun). Rata-rata ekstrusi gigi antagonis pada 20 kasus laki-laki adalah 2,707 mm dan pada 20 kasus perempuan adalah 2,444 mm. Dari hasil analisis bivariat dengan menggunakan chi-square didapat nilai p adalah 0,185 (p>0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis pada kasus kehlangan satu gigi posterior.

Background: Many cases of loss teeth in Indonesia and Indonesian people awareness to immediately change it are low. The condition of loss teeth is depending on sexual hormone. Estrogen is useful to keep the osteointegration, while testosterone is useful to keep the bone density. Occlusal curve, especially from sagital plane often use as a reference in a both prosthodontics and orthodontics treatment.
Objective: The purpose of this research is to see the correlation between gender and the change of occlusal curve based on the value of extrusion antagonist tooth in loss a posterior tooth.
Method: This research is a cross sectional analytic research. Sample, in this research is a study model of the patient from RSGMP FKG UI. When the dentist made the duplication of the patient?s mouth, the patient age is 20-40 years old and the patient loss one of their teeth that has antagonist teeth. The number of sample in this research is 40 cases those 20 cases from women?s patients and 20 cases from men?s patients. Than, copy the study models with the photocopy machine and measuring the extrusion of the antagonists teeth. These measurements use an occlusal plane (maxilla) and curve of Spee (mandible) as a reference.
Result: Mean of the age is 28,45 years old ( men are 31,15 years old and women are 25,75 years old). Mean of duration of loss teeth is 4,35 years (men is 3.825 years and women is 4.875 years). Mean of extrusion of antagonist teeth in 20 men?s cases is 2,707 mm and in 20 women?s cases is 2,444 mm. The result of bivariat analysis (chi square) is p=0,185.
Conclusion: Gender has no correlation with changing of occlusion curve in loss of posterior tooth."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vani Natasha
"Latar Belakang: Kesadaran masyarakat dalam mengganti kehilangan gigi posterior masih berada dalam angka yang rendah. Padahal, banyak studi menyatakan kehilangan gigi yang tidak diganti akan menyebabkan perubahan lengkung oklusal karena pergerakan patologis geligi sisa terutama dalam bidang vertikal. Pergerakan vertikal tersebut dipengaruhi berbagai hal, antara lain usia pasien. Akibat perubahan lengkung oklusal antara lain mastikasi menjadi tidak efisien serta akan mempersulit rencana perawatan dan prognosis pembuatan protesa.
Tujuan: Mengetahui korelasi usia dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi pada kehilangan gigi posterior yang tidak diganti.
Metode: Penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang pada studi model dan kartu status pasien RSGMP FKG UI tahun 2006-2008. Metode pemilihan sampel penelitian adalah purposive sampling dan didapatkan sebanyak 64 sampel penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel usia, nilai ekstrusi gigi, serta uji bivariat menggunakan korelasi Pearson.
Hasil: Didapatkan 64 sampel penelitian yang melengkapi kiteria inklusi. Usia sampel penelitian berkisar 20-58 tahun (usia rata-rata 38.53, SD ± 11.952). Hasil uji statistik korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna (p<0,01) dengan nilai korelasi Pearson (-0.402) dimana kekuatan korelasi adalah sedang dan berbanding terbalik antara usia pasien dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis.
Kesimpulan: Usia memilki hubungan bermakna dengan kedalaman lengkung oklusal dari bidang sagital berdasarkan besar ekstrusi pada kasus kehilangan gigi posterior yang tidak segera diganti.

Background: The awareness of replacing missing posterior teeth is still very low within the public even though research have shown that unreplaced missing tooth will likely alter the occlusal curve caused by pathological movement of antagonist totth, mainly on the vertical plane. The vertical movement is influenced by many factors, including patient?s age. Altered occlusal curve will reduce the efficienct of masticatory process as well as increasing the complexities of prognosis of protheses production and treatment planning.
Aim: to study the correlation between aging on occlusal curve alteration as a result of unreplaced missing posterior tooth.
Method: Descriptive studies using cross-sectional study method based on 2006-2008 data of dental cast and dental record of RSGMP FKG UI patients. Purposive sampling will be the method used and 64 samples will be used. Statistical analusis approach used was univariate statistics using frequency distribution of age, and dental extrusion measurement. Bivariate statistic test based on pearson correlation was also used to test the correlation between the two variables.
Conclussion: All sixty four samples used met both inclusive and exclusive criteria. The samples age ranged from 20-58 years old, with a mean of 38.53 and standart deviation of 11.952. The Pearson correlation statistical test indicated a medium correlation and a inversed proportion relationship between age and occlusal curve alteration caused by antagonist tooth extrusion."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tiarma Talenta Theresia
"Latar Belakang: Angka kesakitan gigi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat belum memadainya kualitas pelayanan kesehatan gigi. Hal ini dapat dilihat dengan masih tingginya angka pencabutan gigi. Saat ini rasio penambalan dan pencabutan gigi sebesar satu berbanding tujuh. Dengan demikian, masalah kesehatan gigi paling menonjol adalah kehilangan gigi akibat karies dan penyakit periodontal. Keputusan untuk ekstraksi gigi merupakan bagian dari rencana perawatan. Keputusan ini dibuat setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian mempertahankan gigi yang telah rusak. Kehilangan satu gigi posterior menyebabkan keadaan hipofungsi gigi antagonis yaitu keadaan tidak berfungsinya gigi untuk mastikasi. Dengan kata lain, kehilangan satu gigi menyebabkan kehilangan dua gigi, kehilangan dua gigi menyebabkan kehilangan empat gigi dan demikian seterusnya. Konsep ini disebut losing teeth ?two-forone?. Gigi yang tidak memiliki antagonis cenderung akan bergerak dari posisi normalnya ke arah vertikal atau disebut ekstrusi yang pada akhirnya menyebabkan perubahan lengkung oklusal.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara jumlah kehilangan gigi posterior dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.
Metode: Penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional study). Sampel penelitian berupa model studi dan kartu status pasien. Pengukuran ekstrusi untuk rahang atas mengikuti pedoman penyusunan gigi posterior sedangkan untuk rahang bawah mengikuti pengukuran kedalaman Curve of Spee.
Hasil: Didapatkan 57 kasus. Usia berkisar 30-50 tahun. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara jumlah kehilangan gigi posterior dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.
Kesimpulan: Jumlah kehilangan gigi posterior tidak berhubungan dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan nilai ekstrusi gigi antagonis.

Background: Dental illness rate in Indonesia tends to increase every year due to the insufficient of dental health service?s quality. It can be seen through the high level of tooth extraction rate. At the moment, the ratio of restoration and extraction of tooth is 1:7. Therefore, the biggest dental issue is loss of tooth due to caries and periodontal disease. The decision to remove tooth is a part of the treatment-planning process and is made after assessing the advantages and disadvantages associated with retention of the tooth. Losing one posterior tooth can result a hypo function condition of the antagonist tooth which is a condition that makes the ntagonist tooth useless because it no longer has a tooth to chew against. Therefore, losing one tooth can result in the loss of the use of two, losing two teeth can result in the loss of the use of four and so on. This concept is called losing teeth "two-for-one". The unopposed tooth has a tendency to move from its normal position in vertical direction or it can be called extrusion and in the end causes the changing of occlusion curve.
Aim: To study the cross-sectional relationship between number of the tooth loss and changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth.
Method: This study is an analytical study using the cross-sectional study method. Research?s samples are model study and dental record. The measurement of extrusion for maxilla was following the rule of posterior teeth arrangement and for mandible was using measurement for the depth of Curve of Spee.
Results: Of the total samples, 57 cases were useful for analysis. Age range between 30 and 50 years. There was no significant correlation (p>0,05) between cross-sectional measurements of number of tooth loss and changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth.
Conclusion: Number of tooth loss has no correlation with changing of occlusion curve based on the value of extrusion of antagonist tooth."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leslie Odelia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Temporomandibular Disorders atau yang dikenal dengan TMD
merupakan kumpulan gangguan yang terjadi pada musculoskeletal dan neuromuscular yang
berhubungan dengan otot mastikasi, sendi temporomandibula (TMJ) dan atau struktur yang
lainnya. TMD memiliki etiologi yang multifaktorial, dan cara penentuan diagnosis TMD
dapat dilakukan dengan berbagai cara, melalui pengisian kuesioner, pemeriksaan klinis
maupun pemeriksaan penunjang seperti radiografi. Kuesioner TMD telah banyak
dikembangkan di dunia, dan di Indonesia sendiri, telah dikembangkan ID-TMD dan Indeks
Etiologi Gangguan Sendi Temporomandibula, namun butuh dikembangkan suatu kuesioner
yang mencakup seluruh tanda gejala dan etiologi TMD dengan referensi terkini yang dapat
mempermudah klinisi untuk mendeteksi TMD pada pasien. Tujuan: Mengembangkan
suatu kuesioner Gangguan Sendi Rahang yang valid dan reliabel. Metode: Pengembangan
kuesioner dijalankan dengan dua tahap, yaitu pada tahap kualitatif dilakukan 28 wawancara
terstruktur dan mendalam dengan pasien TMD menggunakan panduan semi-struktur yang
dibuat peneliti dan melewati diskusi pakar. Hasil kuesioner tahap kualitatif dilanjutkan
dengan studi potong lintang pada 126 pasien TMD. Seluruh hasil pengisian kuesioner
dilakukan Exploratory Analysis Factor dan dilanjutkan dengan pengujian validitas dan
reliabilitas menggunakan SPSS untuk mendapatkan nilai Alpha Cronbach. Hasil:
Pengembangan Kuesioner Gangguan Sendi Rahang terdiri atas 56 item pertanyaan yang
memiliki 3 komponen besar yaitu tanda dan gejala sebanyak 14 pertanyaan, kebiasaan
buruk 15 pertanyaan dan stres emosional 27 pertanyaan. Kesimpulan: Pengembangan
Kuesioner Gangguan Sendi Rahang valid dan reliabel.

ABSTRACT
Background: Temporomandibular Disorders, also known as TMD, is a collection of
disorders that occur in the musculoskeletal and neuromuscular that are associated
with masticatory system, temporomandibular joint (TMJ) and or other structures.
TMD has a multifactorial etiology, and the method of determining the diagnosis of
TMD can be done in various ways, through filling in questionnaires, clinical
examinations and investigations such as radiography. The TMD questionnaire has
been widely developed in the world, and in Indonesia itself, ID-TMD and the
Questionnaire to determine the Etiology of Temporomandibular Disorders have been
developed, but a questionnaire is needed to cover all symptoms and etiology of TMD
with the latest references that can facilitate clinicians to easily detect TMD in
patients. Objective: To develop a valid and reliable Temporomandibular Disorder
questionnaire. Method: The development of the questionnaire was carried out in two
stages, namely in the qualitative stage, 28 TMD patient were interviewed using semistructured
guidelines made by researcher and passing expert discussions. The results
of the qualitative stage questionnaire were followed by cross-sectional studies on 126
TMD patients. All the results of filling out the questionnaire were carried out by
Exploratory Analysis Factor followed by testing validity and reliability using SPSS to
produce Cronbach Alpha value. Results: Development Temporomandibular Disorder
Questionnaire has total 56 items (questions) distributed amongst 3 major components,
namely Signs and symptoms consist of 14 items, Bad habits 15 items and Emotional
stress 27 (questions). Conclusion: Development of Temporomandibular Disorder
Questionnaire were valid and reliable."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Anandytha Putri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Permenristek Dikti RI No. 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) mengatur perhitungan satuan kredit semester (sks) sebagai acuan untuk perubahan kurikulum pada angkatan 2017. Revisi kurikulum yang digunakan angkatan 2017 menyebabkan jam tatap muka dan jumlah mata kuliah yang lebih padat dibandingkan angkatan 2016 walaupun memiliki beban sks yang sama. Banyaknya materi yang harus dipelajari, dapat menyebabkan tekanan pada mahasiswa sehingga berdampak kurangnya performa saat belajar dan berujung menjadi stres yang nantinya akan berpengaruh terhadap program studi yang sedang dijalaninya. Tujuan: Mengetahui distribusi stres dan menganalisis perbedaan tingkat stres pada mahasiswa angkatan 2016 dan 2017. Metode: Desain pada penelitian ini adalah potong lintang. Penelitian ini menggunakan data primer yang didapat dari kuesioner Dental Environment Stress (DES) modifikasi yang berisi 4 domain dengan total 30 pertanyaan. Tingkatan stres didapat dari jumlah skor maksimum tiap domain dibagi menjadi 4 tingkatan stres. Total skor pada domain tempat tinggal sebanyak 16, domain faktor pribadi sebanyak 52, domain lingkungan pendidikan sebanyak 20, domain kegiatan akademik sebanyak 32, dan total skor keseluruhan 120. Pada domain faktor pribadi digunakan uji statistik Pearson Chi-Square dan pada domain tempat tinggal, domain lingkungan pendidikan, domain kegiatan akademik, dan total keseluruhan menggunakan uji statistik Pearson Chi-Square yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Distribusi frekuensi data tingkat stres pada angkatan 2016 dan 2017 didapatkan hasil tertinggi pada kategori sedikit stress dari domain tempat tinggal, faktor pribadi dan lingkungan pendidikan, sedangkan pada domain kegiatan akademik hasil tertinggi pada kategori cukup stres (p-value > 0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tingkat stres pada mahasiswa FKG UI program studi kedokteran gigi angkatan 2016 dengan kurikulum 2012 dan angkatan 2017 dengan kurikulum 2017."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Astari Gumay
"Latar belakang: Gangguan sendi temporomandibula dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Belum ada penelitian yang membahas hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup khususnya dengan menggunakan indeks OHIP-TMD-ID dan ID-TMD di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup, hubungan gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi, hubungan kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang pada 115 subjek berusia 20-40 tahun dari pasien Klinik Integrasi RSGM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Dilakukan pencatatan data diri subjek dan wawancara untuk pengisian kuesioner ID-TMD dan OHIP-TMD-ID.
Hasil penelitian: uji analisis Man-Whitney menunjukan perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna yang signifikan antara kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi. Hasil uji analisis Chi Square menunjukan tidak perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi.
Kesimpulan: Penderita gangguan sendi temporomandibula mengalami penurunan kualitas hidup dari aspek nyeri orofacial.

Background: Temporomandibular disorders may have an impact on quality of life. No studies have been done to analyze relationship between temporomandibular disorders and quality of life in particular by using OHIP TMD ID and ID TMD in Indonesia.
Objectives: To analyze the relationship between temporomandibular disorder and quality of life, temporomandibular disorder and sociodemographic factors age, gender, education level economic level, quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Methods: Cross sectional study was conducted on 115 subjects aged 20 40 years from patients at Integration Clinic of RSGM FKG UI. Subject rsquo s personal data were obtained and interview for ID TMD questionnare and OHIP TMD ID questionnare were conducted.
Results: Man Whitney test showed significant differences between temporomandibular disorders and quality of life. However, there are no significant differences between the quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level. Chi Square test showed no significant differences between temporomandibular disorders and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Conclusion: Temporomandibular disorders patients suffered from impaired orofacial pain related quality of life. Keywords temporomandibular disorder, quality of life, OHIP TMD ID, ID TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Delania
"ABSTRAK
Latar belakang: Restorasi estetik Porcelain laminate veneer PLV menggunakan semen resin sebagai bahan adhesif pada permukaan gigi. Salah satu faktor keberhasilannya adalah kesesuaian warna PLV dengan gigi yang ada, dimana semen menjadi faktor yang mempengaruhi. Kontroversi dari hasil penelitian beberapa literatur serta fenomena klinis menemukan terjadinya perubahan warna PLV sesaat maupun setelah jangka panjang penggunaan semen resin light dan dual cure. Namun penelitian tersebut menggunakan warna semen serta ketebalan dan warna PLV yang berbeda-beda. Tujuan: Mengevaluasi perubahan warna PLV yang disementasi dengan semen resin light dan dual cure dengan warna semen, ketebalan dan warna PLV yang sama. Metode: 12 PLV IPS Emax 0.5mm, di sementasi dengan semen resin light dan dual cure warna translusen pada model. Perubahan warna PLV setelah sementasi 0 dan 24 jam dievaluasi menggunakan spektrofotometer. Hasil: ?E PLV dengan semen resin light dan dual cure antara 0 dengan 24 jam menunjukkan perubahan warna, namun tidak bermakna p>0.05 . Perubahan terbesar terjadi pada PLV dengan semen resin dual cure. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara PLV yang disementasi dengan semen resin light dan dual cure setelah 24 jam p>0.05 . Kesimpulan: Ditemukan perubahan warna pada sementasi PLV dengan semen resin light dan dual cure namun masih dapat diterima secara klinis dan estetik.

ABSTRACT
Background Esthetic Porcelain laminate veneer PLV restoration uses resin cements as the adhesive to bond to tooth. PLV rsquo s significant esthetic factor is color match of itself to existing dentition, where cement is one of influencing factors. Controversy of previous studies in literatures and clinical phenomenon found that PLV rsquo s color may change right after cementation using light and dual cure resin cement and after a long term. Nevertheless, those were found using several cement colors on different thickness and colors of PLV. Objectives To evaluate color change of same thickness and color of PLV, cemented with same color light and dual cure resin cement. Methods 12 PLV IPS Emax 0.5mm cemented to models with translucent light and dual cured resin cements. Color change at 0 and 24 hours post cementation were evaluated using spectrophotometer. Result E PLV cemented with light and dual cure resin cements from 0 to 24 hours revealed color difference, however statistically insignificant P 0.05 . PLV with dual cure resin cement has the highest E. There is insignificant difference between E of light and dual cure after 24 hours p 0.05 . Conclusion Color changes of PLV cemented with light and dual cure resin cement are within clinically and esthetically acceptable."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Pragustine
"ABSTRAK
Latar Belakang: Temporomandibular disorders TMD adalah gangguan yang bersifat multifaktorial dan keluhan yang seringkali ditemukan adalah nyeri di daerah orofasial, keterbatasan buka mulut dan bunyi sendi. Keluhan tersebut seringkali mengganggu aktivitas sehari-hari pasien sehingga semakin banyak pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan. Aktivitas pasien mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga perlu dilakukan analisis hubungan TMD dengan kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner OHIP-TMDs-ID. Tujuan: Menganalisis hubungan TMD dengan kualitas hidup, menganalisis hubungan antara faktor sosiodemografis, status stres emosional, status kebiasaan buruk dan jumlah kehilangan gigi dengan kualitas hidup. Metode: Desain potong lintang. Hubungan TMD, faktor sosiodemografis, status stres emosional, status kebiasaan buruk dan jumlah kehilangan gigi dengan kualitas hidup dianalisis dengan uji t tidak berpasangan sedangkan untuk hubungan kelompok diagnosis TMD dan kelompok usia dengan kualitas hidup dengan uji ANOVA satu arah. Hasil: Dari uji yang dilakukan terlihat bahwa terdapat hubungan antara TMD dengan kualitas hidup p0,05 . Kesimpulan: Kualitas hidup pasien TMD lebih rendah dibandingkan dengan pasien non TMD. ABSTRACT Background Temporomandibular disorders TMD is a multifactorial etiologic disorders and mostly patients complain about orofacial pain, limited opening and clicking or crepitation. Sometimes those complaints are affecting their daily activities so patients tried to seek treatments. Patients rsquo daily activities affected their quality of life so we needed to analyze the relationship between TMD and quality of life based on OHIP TMDs ID. Objective to analyze the relationships between TMD, sociodemographic factors, emotional stress, bad habit and number of tooth loss with quality of life. Method This research used a cross sectional design. The relationship between TMD, sociodemographic factors, emotional stress status, bad habit status and number of tooth loss with quality of life were analyzed using unpaired t test while for the relationship between diagnostic group of TMD and age group with quality of life used one way ANOVA. Results There is a relationship between TMD and TMD rsquo s group diagnose with quality of life p"
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>