Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mufida Putri
"ABSTRAK
Tujuan KUHAP adalah untuk memberikan kepastian hukum sehingga terdapat perlindungan dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum, demi tercapainya keadilan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut sering terjadi pertarungan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif terutama dalam putusan majelis hakim. Ganti kerugian adalah perlindungan hak serta konsekuensi adanya pelanggaran hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana. Namun pengaturan mengenai ganti kerugian pasca putusan bebas masih mengandung banyak perdebatan. Salah satu contohnya adalah mengenai perbedaan penafsiran jangka waktu pengajuan ganti kerugian. Keadilan substantif dengan keadilan prosedural bertarung mengakibatkan pengajuan ganti kerugian tersebut ditolak karena dianggap telah kadaluarsa. Padahal ganti kerugian itu sendiri telah menjadi hak asasi yang diatur dalam konvensi internasional apabila terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Dengan ditolaknya pengajuan tuntutan ganti kerugian maka diperlukan upaya hukum lanjutan atas hal tersebut. Oleh karena itu, dalam Skripsi ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengaturan tuntutan ganti kerugian pasca putusan bebas serta pertentangan antara keadilan prosedural dengan Keadilan Substansial dalam tuntutan ganti kerugian pasca putusan bebas. Skripsi ini menggunakan Bentuk penelitian yuridis normatif, sehingga metode yang digunakan adalah studi kepustakaan

ABSTRACT
The purpose of the Criminal Procedure law is to provide legal certainty so that there is a protection from arbitrary acts of law enforcement. In order to achieve this goal, it is often that struggle occurred between procedural justice and substantive justice, especially in the decisions of the judges. Compensation is the protection of rights and the consequences of violations of the rights of suspects, defendants or convicted persons. However, the regulation regarding compensation after the verdict, still contains much debate. One example is the difference in interpretation of the period for submitting compensation. Substantive justice fights with procedural justice resulted in the submission of compensation being rejected because it is considered to be expired. Even though compensation itself has become a human right which is regulated in international conventions in the event of human rights violations. With the rejection of the claim for compensation, further legal remedies are needed for this matter. Therefore, in this paper will be discussed further about the regulation of compensation claims after the verdict and the conflict between procedural justice and Substantial Justice in the claims for compensation after the verdict. This article will also deeply discuss a comparative analysis with Australia and Singapore by revisited the similar judicial decisions on the issue of compensation after acquittal verdicts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Wijanarko
"Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Azas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang- undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Azas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan azas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Azas tersebut sesuai dengan tujuan pidana, dalam hal ini azas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman azas legalitas. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi pewujudan azas oportunitas.

The principle of discretionary prosecution the opportunity is owned institutions in the Attorney General that this implementation is only in the General Prosecutor. Opportunity principle is implemented through legislation, namely Law No. 15 of 1961, Act No. 5 of 1991 and Law No.16 of 2004 on RI Attorney, clearly authorizes the Attorney General to waive the case in the public interest. The principle of opportunity until now remained a presence in Indonesia. The use of this principle should provide benefits to the public interest as the basis for the attorney general considerations in using it. The principle is consistent with the purpose of criminal, in this case the principle of opportunity aims to offset the sharpness of the principle of legality. Based on the explanation of Article 77 Criminal Code, the implementation guidebook Criminal Procedure Code, Criminal Procedure Code recognizes the existence of realizing the principle of opportunity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Herlinda
"Skripsi ini membahas tentang analisa kekuatan pembuktian keterangan saksi anak atas tindak pidana asusila yang di hadapinya di persidangan. Kekuatan pembuktian keterangan saksi anak sebagai korban yang dapat digunakan ataupun dikesampingkan oleh Hakim sebagai alat bukti yang sah memicu suatu ketidakadilan bagi korban maupun keluarga korban. Penanganan yang terlambat ataupun tidak tepat dapat memberikan kendala-kendala dalam proses peradilan pidana terutama pada tahap persidangan. Adanya perbedaan penilaian kekuatan pembuktian bagi hakim membuat pencapaian tujuan hukum pun terkendala.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dengan demikian, dibutuhkan sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan yang diberikan oleh saksi anak sebagai korban pada tindak pidana asusila di persidangan pada setiap kasus yang ada. Selain itu juga dibutuhkan penanganan terhadap korban secara tepat dan cepat untuk mengatasi kendala dalam proses peradilan pidana.

This thesis discusses the analysis of the strength of evidence for child witnesses in criminal misconduct face him in court. The strength of evidence as a victim of child witness statements that can be used or set aside by the Court as valid evidence triggers an injustice to the victims and their families. Handling late or incorrectly may provide obstacles to the criminal justice process, especially at the trial stage. Assessment of differences in the strength of evidence for the judge to make the achievement of any law constrained.
The method used is the juridical normative. Thus, the extent to which the strength of evidence required information given by witnesses on the child as a victim of criminal misconduct in the trials in each of the cases. It also required the handling of victims appropriately and quickly to overcome the obstacles in the criminal justice process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Frank Sinatra
"Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan dambaan para pencari keadilan dalam menjalani proses hukum. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menerapkan hal ini menjadi asas yang melandasi berjalannya proses peradilan. Asas ini seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam setiap tingkat peradilan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia. Dalam proses peradilan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang terjadi di beberapa wilayah pengadilan, penerapan asas ini dapat dilakukan dengan menggabungkan tindak-tindak pidana tersebut menjadi satu tindak pidana seperti yang diamanatkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan instrumen ini, proses peradilan akan berjalan lebih cepat, sederhana dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan diperiksa sendiri-sendiri di setiap wilayah pengadilan. Dalam prakteknya ternyata asas ini masih banyak dilanggar oleh aparat penegak hukum yang notabene merupakan tonggak tercapainya keadilan."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22487
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Zikry
"Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kedudukan pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka mempermudah terbongkarnya suatu tindak pidana baik dalam bentuk mengakui kesalahan perbuatannya, memberikan bukti-bukti atau keterangan mengenai keterlibatan orang lain dalam tindak pidana (dikenal sebagai Saksi Mahkota, Justice Collaborator dan Whistleblower) dikaitkan dengan insentif yang diberikan dan sepatutnya diberikan oleh aparat penegak hukum, serta proses pemberian insentif tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum pada dasarnya belum sepenuhnya dilindungi dikarenakan regulasi yang belum memadai dan masih terdapat kelemahan secara kelembagaan dalam memberikan insentif bagi pelaku yang bekerjasama.

This research made to discussed about position of criminal subject who cooperate with law enforcement agency in order to help breaking a case with giving a plead guilty of his act or direction about evidences or information of others involevement (known as Crown Witness, Justice Collaborator and Whistleblower) and relevancy with an incentives they got and properly deserved provided by law enforcement agency as a retain of their cooperation and the process of incentives implementation. This research concluded that the regulation not utterly protect cooperative criminal subject and institutionally there is any weaknesses on giving protection for cooperative criminal subject.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gardanusa SE
"Skripsi ini membahas tentang lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dimintakan atas putusan peninjauan kembali yang juga merupakan hasil dari upaya hokum luar biasa juga. Lembaga Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Didalam Perkara Pidana Studi Kasus Djoko Soegiarto Tjandra, dalam perkara pidana ini, terpidana Djoko Soegiarto Tjandra menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan kembaliatas putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung terhadap putusan kasasi yang putusannya lepas dari segala tuntutan hokum bagi terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Peninjauan kembali hanya boleh dilakukan satu kali saja, sementara itu Jaksa Penuntut Umum telah melakukan Peninjauan Kembali, bagaimana pada kondisi tersebut, terpidana mengajukan upaya hokum luar biasa tersebut untuk yang kedua kali. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana data yang digunakan merupakan data sekunder dari beberapa literature dan data primer dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dengan metoda analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

This study explains about judicial review as an extra ordinary remedy request on a decision of judicial review as the result of an extra ordinary remedy as well. Judicial review of a judicial review decision in the law of criminal case, case study Djoko Soegiarto Tjandra, in this case, convicted Djoko Soegiarto Tjandra submit apetitionforJudicial review as an extra ordinary remedy of a judicial reviewdecisionsubmited by Public Prosecutor to Supreme Court toward a dismissing all charges judgment in cassation phase. A petition for a judicial review may only be made once, in the mean time if a Public Prosecutor have already requested one, in that condition, convicted request for a judicial review for a second time. This research is a normative law research where the data use in this research is secondary data from some literatures and the primary data is from interview that analysed by qualitative data method analyses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46965
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Santoso
"

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban.


The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Alexander Maruli Tua
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas kecelakaan lalulintas maut Xenia di Tugu Tani, Jakarta.Pada saat itu kendaraan yang dikemudikan oleh Afriyani Susanti yang dalam keadaan mabuk miras dan narkoba telah menabrak pejalan kaki yang sedang berjalan di trotoar dan mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia serta tiga orang mengalami luka-luka. Atas kecelakaan tersebut, Afriyani Susanti dan ketiga orang temannya langsung dibawa oleh petugas untuk dilakukan pemeriksaan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sehubungan dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Afriyani Susanti yaitu dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum menyusun penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan dan melakukan penggabungan perkara penanganan kasus tragedi maut Tugu Tani kedalam salah satu bentuk gabungan tindak pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridisnormatif dengan berusaha meneliti ketentuan dan data yang terkait dengan permasalahan hukum. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Jaksa Penuntut Umum telah menyusun sebuah surat dakwaan yang jelas, cermat, lengkap dan penerapan Pasal 65 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (gabungan tindak pidana) sudah sesuai dengan teori hukum pidana.

ABSTRACT
Skripsi ini membahas kecelakaan lalulintas maut Xenia di Tugu Tani, Jakarta.Pada saat itu kendaraan yang dikemudikan oleh Afriyani Susanti yang dalam keadaan mabuk miras dan narkoba telah menabrak pejalan kaki yang sedang berjalan di trotoar dan mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia serta tiga orang mengalami luka-luka. Atas kecelakaan tersebut, Afriyani Susanti dan ketiga orang temannya langsung dibawa oleh petugas untuk dilakukan pemeriksaan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sehubungan dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Afriyani Susanti yaitu dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum menyusun penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan dan melakukan penggabungan perkara penanganan kasus tragedi maut Tugu Tani kedalam salah satu bentuk gabungan tindak pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridisnormatif dengan berusaha meneliti ketentuan dan data yang terkait dengan permasalahan hukum. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Jaksa Penuntut Umum telah menyusun sebuah surat dakwaan yang jelas, cermat, lengkap dan penerapan Pasal 65 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (gabungan tindak pidana) sudah sesuai dengan teori hukum pidana."
2015
S59751
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Trisia
"[Praperadilan merupakan sarana yang disediakan hukum acara pidana sebagai sarana pengawasan terhadap penyidik dan penuntut umum dalam menjalankan tugasnya khususnya pada tahap pra ajudikasi (pra persidangan). Adapun objek dari praperadilan tersebut menurut pasal 1 angka 10 Jo pasal 77 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Objek tersebut kemudian diperluas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusanya Nomor 21/PUU-XII/2014 dengan menambahkan penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka. Namun sebelum putusan MK tersebut diterbitkan, hakim pengadilan negeri Jakarta selatan sudah terlebih dahulu memperluas objek praperadilan berupa sah atau tidaknya penetapan tersangka. Oleh sebab itu perlu untuk dikaji bagaimana hakim menafsirkan objek praperadilan yang telah diatur didalam KUHAP pada saat sebelum dan sesudah putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014.;Pretrial is a forum that provided by criminal procedural law to oversee the
performance of investigators and prosecutor in carrying their function, primarily
in the pre-adjudication stage. Its object is governed by the Article 1 (10) Jo
Article 77 Criminal Procedural Law Code (KUHAP) includes the validity of
arrest, validity of detention, and prosecution dismissal. However, the
Constitutional Court has expanded the objects by issuing the Decision Number
21/PUU-XII/2014 which includes search, seizure, and suspect determination as
pretrial objects. Before the Constitutional Court Decision was issued, a Court of
Jakarta Selatan judge has previously ruled the validity of suspect determination as
one of pretrial object. Therefore, the research will focus on interpretation of
pretrial object governed by KUHAP Constitutional Court pre and post
Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014., Pretrial is a forum that provided by criminal procedural law to oversee the
performance of investigators and prosecutor in carrying their function, primarily
in the pre-adjudication stage. Its object is governed by the Article 1 (10) Jo
Article 77 Criminal Procedural Law Code (KUHAP) includes the validity of
arrest, validity of detention, and prosecution dismissal. However, the
Constitutional Court has expanded the objects by issuing the Decision Number
21/PUU-XII/2014 which includes search, seizure, and suspect determination as
pretrial objects. Before the Constitutional Court Decision was issued, a Court of
Jakarta Selatan judge has previously ruled the validity of suspect determination as
one of pretrial object. Therefore, the research will focus on interpretation of
pretrial object governed by KUHAP Constitutional Court pre and post
Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014.]"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ahsanal Zamakhsyari
"Skripsi ini membahas 3 (tiga) permasalahan. Pertama, mengenai karakter militeristik dalam institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mempengaruhi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan dalam sistem peradilan pidana. Kedua, prosedur atau mekanisme penjatuhan hukuman disiplin terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran disiplin dalam tindakan penyidikan. Ketiga, sifat pidana yang terdapat dalam pelanggaran disiplin yang dimana pelanggaran disiplin tersebut telah mendapatkan hukuman disiplin.
Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui prosedur/mekanisme penjatuhan hukuman terhadap anggota kepolisian yang melakukan kesalahan dalam tindakan penyidikan, kedua, untuk mengetahui keberadaan pengaruh karakter militeristik dalam lembaga POLRI setelah terpisah dengan TNI dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara kelembagaan dalam sistem peradilan pidana, dan ketiga, untuk mengetahui kedudukan hukuman disiplin dan hukuman pidana bagi anggota kepolisan dalam terjadinya pelanggaran yang dapat dijatuhkan kedua jenis hukuman tersebut.
Melihat dari tujuan di atas, penulisan skripsi ini ingin menekankan bahwa polisibukan lagi merupakan bagian dari militer namun polisi merupakan bagian dari masyarakat sipil.

This thesis discusses three (3) issues. First, the militaristic character of the Indonesian National Police institution that affects the performance of duties and authority in the criminal justice system. Secondly, procedures or mechanisms for imposing disciplinary sanctions against members of the police who commit disciplinary offenses in the act of investigation. Third, the criminal nature of the offense contained in the discipline in which the disciplinary offense has been getting disciplined.
By using the method of literature research combined with interviews speaker, writing this essay aims, firstly, to know the procedure / mechanism sentencing of members of the police who made a mistake in the act of investigation, secondly, to determine the existence of the influence of the character of the militaristic in agency Polri after separately with TNI in carrying out the duties and authority as an institution within the criminal justice system, and third, to determine the position of disciplinary and criminal penalties for violations of the police members that can be imposed both types of the sentence.
See from the above purposes, this thesis wants to emphasize that the police are no longer a part of the military but the police are part of civil society.
"
2015
S62124
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>