Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Wimelda
"Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data profil kanalis fallopii segmen mastoid dan korda timpani sebelum operasi mastoidektomi untuk mengurangi angka morbiditas cedera kanalis fallopii akibat operasi.
Metode: Pada penelitian retrospektif ini dilakukan rekonstruksi High-Resolution Computed Tomography tulang temporal terhadap 100 tulang temporal normal pada 50 pasien yang menjalani pemeriksaan CT scan kepala dan leher, yang diambil dari raw-data mulai Desember 2012 sampai Februari 2013. Rekonstruksi dilakukan dengan parameter ketebalan irisan 0,6 cm, increment 0,3 cm, Kernel filter Very Sharp (H70s), Window setting Osteo/Mastoid, menggunakan pesawat MDCT Somatom Definition Flash Dual Source 128 slice.
Hasil dan diskusi: Bentuk kanalis fallopii segmen mastoid paling banyak ditemukan tipe lurus sebanyak 75%, defleksi terhadap bidang sagital dan defleksi terhadap bidang horizontal anatomi paling banyak ditemukan tidak terdapat defleksi sebanyak 62% dan 68%. Percabangan korda timpani paling banyak ditemukan intratemporal sebanyak 75%, yang tersering pada 1/3 distal kanalis fallopii segmen mastoid. Sudut korda timpani yang dibentuk korda timpani terhadap kanalis fallopii segmen mastoid paling banyak ditemukan antara 16 sampai 30 derajat sebanyak 37,3%. Ukuran korda timpani yang minimal tervisualisasi adalah 0,04 cm.
Kesimpulan: Proporsi defleksi kanalis fallopii segmen mastoid terhadap bidang sagital dan horizontal adalah tidak terdapat defleksi.

Objectives: This research was conducted to obtain profile data of mastoid segment of fallopian canal and tympanic cord before masteidectomy to reduce the morbidity rate of surgery-related fallopian canal injury.
Material and method: In this retrospective study reconstruction of High Resolution Computed Tomography of the temporal bone in 100 normal temporal bone in 50 patients who underwent a CT scan of the head and neck, were taken from the raw-data from December 2012 to February 2013. Reconstruction is done by parameters slice thickness 0,6 cm, increment 0,3 cm, Kernel filter Very Sharp (H70s), Window setting Osteo/Mastoid,using MDCT Somatom Definition Flash Dual Source 128 slice.
Result: Mastoid segment of fallopian canal commonly found type of straight as much as 75%, deflection of the sagittal plane and the horizontal field of anatomy most commonly found there was no deflection were 62% and 68%, respectively. Branching chordate tympani most commonly found intratemporal as much as 75%, which is common in 1/3 distal of mastoid segmen fallopian canal. The angled formed by chorda tympani and mastoid segment fallopian canal is most prevalent among 16 to 30 degrees as much as 37.3%. The minimum size of the chorda tympani is 0.04 cm.
Conclusion: Proportion of deflection mastoid segment facial canal of the sagittal and horizontal plane there is no deflection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilah
"Dalam beberapa tahun terakhir, disfonia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Disfonia atau gangguan perubahan kualitas suara dapat mengganggu aktifitas dan kegiatan sosial bagi penderita. Pasien dengan disfonia memerlukan penilaian secara spesifik dan terarah. Pemeriksaan objektif penting untuk menilai disfonia, penilaian subjektif juga tidak kalah pentingnya. Gangguan kualitas hidup akibat disfonia dapat dinilai menggunakan kuesioner VHI (Voice Handicap Index) serta penilaian perseptual menggunakan metode GRBAS (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Penilaian objektif berupa pemeriksaan videostroboskopi dan MDVP (Multi dimenssion voice program) akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien dengan disfonia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penilaian subjektif dan objektif pada pasien dengan gangguan suara. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilakukan di poliklinik THT KL FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo periode bulan September 2019 sampai dengan Novemberi 2019 pada pasien disfonia usia 18-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi yang signifikan secara statistik antara penialian subjektif dan objektif pada pasien gangguan suara.
In recent years, dysphonia is one of most important public health problems in recent years. Dysphonia or voice quality changing can interfere patients daily life and social activities. Patients with dysfonia need specific and directed assessment. Subjective assessment is needed in addition to objective examination. Limitation due to dysphonia can be measured using the Voice Handicap Index questionnaire and perceptual evaluation using the GRBAS method (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Objective examination using video stroboscopy and MDVP (Multi-dimenssion voice program) will be very helpful in managing patients with dysphonia.. The purpose of this study was to determine the relationship between subjective and objective judgments in patients with voice disorders. This study uses a cross-sectional design, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo in September 2019 to November 2019 for dysphonia patients aged 18-60 years old. From this study there is a statistically significant correlation between subjective and objective assessment of sound impaired patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhwan
"ABSTRAK
Latar belakang: Fungsi dari tuba Eustachius (TE) adalah ventilasi, proteksi, dan pembersihan telinga tengah. Disfungsi TE berperan penting pada patogenesis terjadinya kasus otitis media, sehingga hasil pengobatan dan prognosis kasus ini sangat bergantung pada fungsi TE yang adekuat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi angka keberhasilan rekonstruksi telinga tengah. Data penelitian mengenai fungsi ventilasi TE masih sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi dan operasi pada kasus OMSK. Tujuan : Mendapatkan gambaran fungsional ventilasi TE pada pasien OMSK tipe aman dan subjek non otitis media serta mendapatkan modalitas lain untuk mengukur fungsi ventilasi TE pada pasien dengan membran timpani utuh maupun perforasi. Metode: Penelitian comparative cross sectional pada 36 subjek telinga OMSK tipe aman dan 80 telinga subjek non otitis media dengan sonotubometri dan dinilai parameter jumlah frekuensi pembukaan, peningkatan amplitudo, dan durasi pembukaan. Hasil : Gangguan fungsi ventilasi TE lebih banyak didapatkan pada kelompok OMSK tipe aman (47%) dibandingkan kelompok non otitis media (18,75%). Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) antara fungsi ventilasi TE subjek OMSK tipe aman dengan subjek non otitis media, dimana subjek OMSK tipe aman dapat mengalami gangguan fungsi ventilasi TE 3,88 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek non otitis media. Kesimpulan : Pasien OMSK tipe aman lebih berpotensi mengalami gangguan fungsi ventilasi TE dibandingkan subjek non otitis media

ABSTRACT
Background : The function of the Eustachian tube (ET) is ventilation, protection and cleaning of the middle ear. TE dysfunction plays an important role in the pathogenesis of otitis media cases, so that the treatment and prognosis of these cases is very dependent on adequate TE function that can ultimately affect the success rate of middle ear reconstruction. Data research on ventilation ET function is needed for the success of the therapy and surgery in the case of chronic suppurative otitis media (CSOM) Objective : To determine ventilation ET function on benign type chronic suppurative otitis media and non otitis media subject and get another modality to measure ventilation function TE in patients with intact and perforated tympanic membrane. Methods : Comparative Cross-sectional study in 36 subjects benign type CSOM and 80 non otitis media subjects with sonotubometry and rated parameter number of frequencies opening, increasing the amplitude and duration of the opening ET. Results : Malfunctioning ventilation ET function more obtained at benign type CSOM (47%) than among non otitis media subjects (18.75%). There is a significant difference (p = 0.002) ventilation ET function between benign type CSOM subject and non otitis media subject, where the benign type CSOM subject may be malfunctioning ventilation ET function 3.88 times larger than the non otitis media subjects. Conclusion : Patients with benign type potentially have malfunctioning ventilation ET function than non otitis media subjects."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiah Sari
"Tuba Eustachius berfungsi mengatur dan memodulasi status pneumatik dari telinga tengah dan mastoid untuk menjaga lingkungan yang sesuai untuk transmisi suara optimal oleh membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Fungsi TE merupakan faktor penting dalam patogenensis otitis media dan pembersihan ruang telinga tengah serta penting dalam keberhasilan operasi telinga tengah. Otitis media supuratif kronik OMSK adalah inflamasi kronik telinga tengah dan kavum mastoid dengan gambaran klinis adanya keluar cairan telinga berulang atau otorea melalui perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian ini ingin mengetahui sebaran dan kesesuaian hasil pemeriksaan fungsi ventilasi TE menggunakan sonotubometri dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee pada subjek OMSK tipe aman. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada 51 subyek yang diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini didapatkan proporsi hasil pemeriksaan ventilasi TE dengan sonotubometri normal sebanyak 35,5 dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee normal sebesar 5,9 . Uji kesesuaian dengan Kappa antara kedua alat didapatkan kesesuaian yang lemah namun secara statistik bermakna. Perhitungan kesesuaian dengan proporsi confounding didapatkan hasil yang sesuai antara kedua alat sebesar 70,6 .

Eustachian Tube ET function is to regulate and modulate pneumatic status of middle ear and mastoid cavity for maintenance of appropiate environment for optimal noise transmision by the tympanic membrane and ossicular chain. ET function is the important factor in otitis media pathogenesis and clereance of middle ear cavity also for middle ear surgery prognosis. Chronic suppurative otitis media CSOM is chronic inflamation of middle ear and mastoid cavity with reccurent ear discharge or otorrhoea through tympanic membrane perforation which occurs more than 3 months.This study is intended to investigate the proportion and association of examination on ET ventilation function with sonotubometry and impedance audiometry using automatic Toynbee on CSOM benign type subject. This study is a cross sectional descriptive research in 51 subjecst which were taken by consecutive sampling. The results is that the normal proportion of ET ventilation function with sonotubometry is 35,5 and with impedance audiometri using automatic Toynbee is 5,9 . The correlation test with Kappa from the two devices is weak but is statistically significant. Another correlation test with confounding proportion indicates that the two devices match at 70,6 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55688
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggri Murtia
"Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) merupakan pemeriksaan keseimbangan yang dapat dilakukan dalan keadaan duduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesesuaian antara nilai SVV dengan cVEMP.
Metode penelitian: Penelitian ini pada bulan September-November 2020, menggunakan disain potong lintang dilakukan pada 37 orang orang dewasa, orang perempuan dan 13 laki-laki dan 24 perempuan tanpa gangguan keseimbangan yang diperiksa dengan alat SVV dan VEMP di Poliklinik THT Neurotologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo untuk menilai kesesuaian hasil pemeriksaan SVV dan VEMP menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil penelitian: Pada orang tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata SVV ≤2,5ᵒ. Hasil pemeriksaan cVEMP pada orang dewasa tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata p13 terkecil dan terbesar yaitu 16,58±0,95 dan 18,69±2,54 dan untuk nilai rata-rata n23 terkecil dan terbesar yaitu 25,50±1,50 dan 27,69±2,75. Nilai rata-rata amplitudo cVEMP terkecil dan terbesar yaitu 46,96±25,20 dan 69,76±34,2 mV serta didapatkan nilai rata-rata rasio asimetri untuk terkecil dan terbesar perempuan yaitu 0,09±0,11dan 0,18±0,14. Pada uji korelasi Spearman didapatkan r < 0,2 sehingga penilaian SVV dengan nilai asimetri cVEMP tidak memiliki kesesuaian.
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian nilai pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dengan cervical Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) pada orang tanpa gangguan keseimbangan

Background: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations are balance examination that can be performed while sitting. This study aims to describe the comformity between SVV with cVEMP.
Methods: This study was conducted in September-November 2020, using a cross-sectional design carried out on 37 adults, 13 men and 24 women without balance disorders who were examined with the SVV and VEMP tools at the ENT Neurotology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital for assess the conformity of the SVV and VEMP results using the Spearman correlation test.
Results: People without balance disorders the average value of SVV ≤2.5. The results of cVEMP examination in adults without balance disorders, the smallest and largest average p13 values are 16.58±0.95 and 18.69±2.54 and for the smallest and largest average values of n23 are 25.50± 1.50 and 27.69±2.75. The average values of the smallest and largest cVEMP amplitudes are 46.96±25.20 and 69.76±34.2 mV and the average asymmetry ratio values for the smallest and largest women are 0.09±0.11 and 0.18 ±0.14 In the Spearman correlation test, it was found that r <0.2, so that the SVV assessment with the asymmetry cVEMP was not corralated.
Conclusion: There is no comformity between the Subjective Visual Vertical (SVV) examination scores with Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) in people without balance disorders
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspito Sari
"Biofilm adalah struktur kompleks tiga dimensi yang terdiri dari bakteri hidup dalam matriks ekstraselular atau excreted polymeric substance (EPS) yang mengandung polisakarida, asam nukleat dan protein. Infeksi yang diakibatkan biofilm sulit untuk dieradikasi, karena EPS pada biofilm dapat meningkatkan resistensi bakteri dan menghambat antibiotik mencapai bakteri tersebut. Biofilm dapat melekat pada alat-alat kesehatan seperti kanul trakeostomi.  Pembentukan kolonisasi bakteri biofilm pada kanul trakeostomi dapat menyebabkan inflamasi kronik yang memicu infeksi stoma dan saluran pernapasan bawah, serta pembentukan jaringan granulasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai biofilm dan mikroba pembentuk biofilm, serta faktor risiko yang mempengaruhi pembentukannya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari 2019 sampai dengan Agustus 2019 terhadap pasien yang terpasang kanul trakeostomi usia dewasa. Dari penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor risiko penyakit komorbid dengan peningkatan pembentukan biofilm pada pasien terpasang kanul trakeostomi.

Biofilm is a three-dimensional complex structure consisting of living bacteria in an extracellular matrix or excreted polymeric substance (EPS) containing polysaccharides, nucleic acids and proteins. Infections caused by biofilms are difficult to eradicate, because EPS in biofilms can increase bacterial resistance and prevent antibiotics from reaching the bacteria. Biofilms can be attached to medical devices such as tracheostomy cannula. The formation of bacterial colonization of biofilms in tracheostomy cannulas can cause chronic inflammation that triggers stoma and lower respiratory tract infections, and the formation of granulation tissue. This study aimed to increase knowledge about biofilms and biofilm-forming microbes, and risk factors that influence its formation. This cross-sectional designs study, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo on February 2019 to August 2019 of adult patients with tracheostomy cannula.There was a statistically significant correlation between risk factors of comorbid disease with an increase of the biofilms formation in patients with tracheostomy cannula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustav Syukrinto
"Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.

Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim, translator
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Streptomisin adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral pada pasien TB paru kategori dua dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan dari streptomisin adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Tuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Penggunaan obat ini masih menjadi dilema, karena efek samping streptomisin dapat menyebabkan tuli sensorineural, sedangkan obat ini perlu diberikan pada penderita TB paru kategori dua dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang melibatkan 46 sampel, pasien TB paru setelah terapi Streptomisin sulfat yang mengalami penurunan pendengaran >15 dB pada frekuensi 8000 Hz sebanyak 12 sampel (26,1%) dan secara statistik bermakna.

ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a health problem in the world, especially in developing countries. Streptomycin is an aminoglycoside class of antibiotics that must be given parenterally in patients with category two of pulmonary tuberculosis and working to prevent the growth of extracellular organisms. Disadvantages of streptomycin is toxic side effects on the eighth cranial nerve that can cause vestibular dysfunction and / or loss of hearing. Ototoxic has long been known as a side effect of treatment with increasing medical and drugs more potent, ototoxic drugs list growing. Deafness due to ototoxic persistent can occur days, weeks or months after completion of treatment. The use of these drugs is still a dilemma, because the side effects of streptomycin can cause sensorineural hearing loss, whereas these drugs should be given to category two of pulmonary tuberculosis patients within a certain period. In this study, involving 46 samples, pulmonary tuberculosis patients after therapy Streptomycin sulfate experiencing hearing loss > 15 dB at a frequency of 8000 Hz as many as 12 samples (26.1%) and statistically significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervin Yamani Amouzegar
"ABSTRAK
Latar Belakang: Ankiloglosia atau tongue tie adalah suatu keadaan dimana lidah melekat pada dasar mulut melalui frenulum sehingga gerakan lidah terbatas. Frenotomi merupakan insisi frenulum pada ankiloglosia merupakan prosedur sederhana, cepat, mudah, aman dan banyak manfaatnya. Frenotomi pada bayi ankiloglosia dilakukan jika terdapat masalah menyusui, mengisap buruk, berat badan bayi kurang dan ibu mastitis berulang. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan tentang ankiloglosia, tatalaksana dan pengaruhnya pada kenaikan berat badan bayi menyusui eksklusif. Metode: Penelitian kohort retrospektif menilai kenaikan berat badan bayi menyusui ekskusif dengan ankiloglosia sebelum dan pasca frenotomi berusia dibawah 1 bulan dan 1-3 bulan. Hasil: 34 subjek yang dilakukan frenotomi berusia dibawah 1 bulan dan 34 subjek 1-3 bulan. Rerata kenaikan berat badan sebelum frenotomi kelompok dibawah 1 bulan 3,4gram/hari kelompok 1-3 bulan 21,1gram/hari. Kontrol pasca frenotomi kelompok dibawah 1 bulan 33,4gram/hari kelompok 1-3 bulan 17,3gram/hari. Kesimpulan: Kenaikan berat badan bayi menyusui eksklusif dengan ankiloglosia yang dilakukan frenotomi sebelum berusia 1 bulan lebih bermakna dibanding dilakukan frenotomi saat berusia antara 1-3 bulan

ABSTRACT
Background: Ankyloglossia or tongue tie is a condition which tongue attached to the floor of the mouth through frenulum make tongue movement limited. Frenotomy in ankyloglossia is simple, fast, easy, safe and useful procedure. Frenotomy in infant ankyloglossia perform if there are problems with breastfeeding, poor sucking, slow weight gain and recurrent mastitis. Objective: To increase ankyloglossia knowledge, therapy and weight gain effect in exclusive breastfeeding infant. Methods: Retrospective cohort study assessing weight gain in exclusive breastfed infant with ankyloglossia before and after frenotomi under 1 month and 1-3 months. Results: 34 subjects performed frenotomi under 1 month and 34 subjects 1­-3 months. The mean weight gain before frenotomy group under 1 month 3,4gram/day group 1-3 months 21,1gram/day. Control after frenotomy group under 1 month 33,4gram/day, group 1-3 months 17,3gram/day. Conclusion: Exclusive breastfeeding infant weight with ankyloglossia gaining significantly in frenotomy under 1 month compare with infant 1-3 months."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Dany Afina
"Latar belakang: Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa pembedahan hidung dapat memperbaiki keluhan subjektif dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien sleep disordered breathing (SDB), namun secara objektif yang dinilai dengan polisomnografi masih terdapat kontroversi. Diperlukan suatu evaluasi lain yaitu dengan drug induced sleep endoscopy (DISE) yang dapat menilai sesuai patofisologi utama SDB yaitu adanya kolaps jalan napas pada saat tidur. Tujuan penelitian: untuk mengetahui efektivitas pembedahan hidung endoskopik pada pasien SDB yang disertai sumbatan hidung secara subjektif dengan menilai perbedaan skor Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dan Epworth Sleepiness Scale (ESS), secara objektif menilai perbedaan parameter polisomnografi (PSG) dan Drug Induce Sleep Endoscopy (DISE) dengan melihat perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas sebelum dan sesudah pembedahan hidung endoskopik. Metode: Penelitian ini menggunakan desain pre-eksperimental jenis pre-post intervention pada subjek SDB dengan sumbatan hidung yang di dapat dengan total population sampling. Pengumpulan data sebelum pembedahan diperoleh secara sekunder (nilai kuesioner, PSG, video DISE) dan data evaluasi sesudah pembedahan diperoleh secara primer selama rentang waktu Agustus 2019 hingga Desember 2019. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada parameter subjektif menggunakan skor NOSE (p=0,005) dan ESS (p=0,003) dan objektif pada parameter PSG untuk sleep architechture yaitu REM sleep (p=0,020). Belum terdapat kemaknaan secara statistik untuk parameter respiratory disturbance index (RDI), respiratory effort related arousal (RERA),deep sleep, light sleep. Perbedaan secara statistik untuk parameter DISE belum dapat dibuktikan namun terdapat perbaikan secara klinis pada lokasi derajat dan konfigurasi kolaps pada beberapa subjek setelah pembedahan terutama pada level velum dan orofaring. Diperlukan penelitian lanjutan untuk parameter-parameter tersebut dengan jumlah sampel sesuai hasil akhir hitung ulang jumlah sampel pada penelitian ini.

Background : Previous studies mentioned that nasal surgery can improve subjective complaints and improve quality of life in patients with sleep disordered breathing (SDB), but objectively assessed by polysomnography there is still controversy. Another evaluation is needed, drug induced sleep endoscopy (DISE) is a tool that can evaluate according to the primary pathophysology of SDB, the presence of airway collapse during sleep. Objective : to find out the success rate of endoscopic nasal surgery in SDB patients with nasal obstruction by subjectively assessing differences in scores of Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) and Epworth Sleepiness Scale (ESS), objectively assessing differences in polysomnographic parameters (PSG) and Drug Induce Sleep Endoscopy (DISE) by looking at differences in location, configuration and degree of upper airway obstruction before and after endoscopic nasal surgery. Method: This is pre-experimental study design type of pre-post intervention on SDB subjects with nasal obstructions obtained with total population sampling. Data collection before surgery was obtained secondary (questionnaire values, PSG, DISE video) and evaluation data after surgery were obtained primarily during the period of August 2019 to December 2019. Result : There were significant differences in subjective parameters using NOSE scores (p = 0.005) and ESS (p = 0.003) and objective in PSG parameters for sleep architechture, namely REM sleep (p = 0.020). There is no statistical significance for the respiratory disturbance index (RDI) parameters, respiratory related related arousal (RERA) parameters, deep sleep, light sleep. The statistical difference for DISE parameters has not been proven yet but there is a clinical improvement in the degree location and collapse configuration in some subjects after surgery, especially at the velum and oropharyngeal level. Further research is needed for these parameters with the number of samples in accordance with the final results recalculate the number of samples in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>