Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adi Haryo Yudanto
"Tesis ini adalah kajian hukum transnasional, khususnya kajian hukum ekonomi internasional mengenai isu krisis finansial global. Tesis ini berhipotesis bahwa isu krisis finansial adalah bagian dari isu hukum transnasional karena berdampak lintas batas negara, sehingga diperlukan kerjasama antarnegara atau kerjasama internasional untuk menangani krisis finansial yang terjadi di suatu negara. Keberadaan IMF dan G20 merupakan bentuk nyata dari kerjasama internasional tersebut dan mereka sangat memengaruhi pembentukan dan perkembangan tatanan ekonomi dunia (global economic order). Bantuan keuangan IMF untuk mengatasi krisis finansial, telah mengintervensi kedaulatan ekonomi di negara-negara berkembang. Sementara, G20 telah memperhitungkan kekuatan ekonomi negara-negara pasar berkembang (emerging markets), dalam pembahasan ini ditekankan pada negara-negara pasar berkembang Asia (Asian Emerging Market Economies). Posisi tawar dari negara-negara ekonomi pasar berkembang Asia di dalam G20 memiliki pengaruh dalam menjaga stabilitas perekonomian dunia. Di masa depan, keterlibatan negara-negara ekonomi pasar berkembang Asia dalam kerjasama regional dan G20 an sich akan menjadi penting dalam kaitannya dengan reformasi tata kelola ekonomi dunia (global economic governance), khususnya dalam rangka reformasi pembentukan keputusan dan pembuatan norma hukum ekonomi internasional, dan medefinisikan-ulang konsep kedaulatan ekonomi dalam rangka mencegah dan mengatasi fenomena krisis finansial demi kemaslahatan seluruh masyarakat internasional.

ABSTRACT
This thesis is a study of transnational law, particularly international economic law concerning the global financial crisis. This thesis hypothesizes that the financial crisis is a part of transnational legal issue for its cross-border impact, therefore a cooperation between countries or international cooperation is necessarily needed to deal with financial crisis in a country. The existence of the IMF and the G20 is an obvious manifestation of international cooperation, and they strongly influence the formation and the development of the global economic order. The IMF?s financial assistances have intervened in the economic sovereignty of developing countries. Meanwhile, the G20 has calculated the economic strength of the emerging market economies, emphasized herein, the Asian Emerging Market Economies (the Asian EMEs). The bargaining position of the Asian EMEs within the G20 has a significant influence in order to maintain the stability of the world economy. In the future, the involvement of the Asian EMEs for such regional cooperation and the G20 an sich will be important related to the attempt to reform the global economic governance, particularly to reform the decision-making and the norm-creating of international economic law, and to redefine the concept of economic sovereignty in order to prevent and to resolve the phenomenon of financial crisis for the convenience of the entire international community/society."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joana Maleriluah
"Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi negara dalam menangani tindak pidana hacking internasional bedasarkan Convention on Cybercrime. Metode penentuan yurisdiksi tindak pidana hacking dalam Convention on Cybercrime memakai prinsip teritorialitas, nasionalitas, dan prinsip lainnya yang diakui oleh peraturan domestik negara anggotanya. Bedasarkan analisis yang telah dilakukan, praktik negara-negara anggota Convention on Cybercrime pada utamanya memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas dalam menentukan yurisdiksi atas tindak pidana hacking. Dalam praktik di Indonesia, penentuan yurisdiksi terhadap tindak pidana hacking memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas yang dikaitkan dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana hacking tersebut.

The focus of this study is about determining a state jurisdiction in international hacking offences according to Convention on Cybercrime. In determining the jurisdiction, Convention on Cybercrime recognizes territoriality principle, nationality principle and other principles recognized by the member states? domestic laws. From the analysis, it is seen that most member states? practices use the territoriality and nationality principle in determining the jurisdiction for hacking offences related to the damage caused to one state. The regulations and practices of jurisdiction to international hacking offences in Indonesia shows that Indonesia recognizes the same principles as the Convention on Cybercrime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maretta Trimirza
"Persetujuan Paris Agreement UNFCCC mengatur mengenai kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang harus dilakukan oleh setiap negara. International Maritime Organization (IMO) mengeluarkan “initial strategy on reduction of GHG emissions from ships” untuk mengurangi emisi sektor pelayaran. Untuk mewujudkan komitmen target yang Indonesia yang dibuat sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan untuk bisa memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada tahun 2030. Maka permasalahan yang diteliti mengenai Bagaimana penerapan kebijakan dan peraturan pemerintah dapat memenuhi target NDC Indonesia sesuai dengan ketentuan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Dan Bagaimana kebijakan dekarbonisasi dalam industri pelayaran sesuai dengan NDC Indonesia dan ketetapan oleh International Maritime Organization (IMO). Penelitian ini adalah jenis penelitian doktrinal, yang data digunakan adalah data sekunder yang didukung oleh wawancara dengan narasumber informan dan jenis-jenis bahan hukum lainnya, pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan studi kepustakaan. Untuk mewujudkan komitmen NDC Indonesia dalam penurunan emisi, pemerintah telah mengeluarkan roadmap atau peta jalan yang menggambarkan langkah-langkah, tahapan program, aktivitas, penanggung jawab, strategi pelaksanaan yang jelas dan rencana aksi mitigasi. Pemerintah telah membuat aksi mitigasi untuk sektor pelayaran yaitu implementasi onshore power supply (OPS), penggunaan bahan bakar low sulfur dan bahan bakar non karbon. Maka dalam kesimpulan penelitian ini bahwa pemerintah mengeluarkan roadmap atau peta jalan yang menggambarkan langkah-langkah, tahapan program, aktivitas, penanggung jawab, dan strategi pelaksanaan yang jelas dan aksi mitigasi yang dibuat seperti OPS yang sudah berjalan dengan baik dan bahan bakar non karbon masih berjalan. Aksi mitigasi ini efektif dalam penurunan emisi karbon.

The UNFCCC Paris Agreement regulates the nationally determined contribution (NDC) that each country must make. The International Maritime Organization (IMO) has issued an "initial strategy on reduction of greenhouse gas emissions from ships" to reduce emissions in the shipping sector. In order to realize Indonesia’s target commitments made in accordance with the Nationally Determined Contribution (NDC), the government has issued a range of regulations and policies to be able to meet the nationally determined contribution target of Indonesia by 2030. Then the question is how the implementation of government policies and regulations can meet the goals of NDC Indonesia in accordance with the provisions of the Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. And how the decarbonization policy in the shipping industry is in line with the NDC Indonesia and the provisions of the International Maritime Organization (IMO). This research is a type of doctrinal research; the data used is secondary data supported by interviews with informant sources and other types of legal materials. Data collection is carried out by conducting library studies. To realize NDC Indonesia’s commitment to emissions reduction, the government has issued a roadmap that outlines measures, program phases, activities, accountability, clear implementation strategies, and mitigation action plans. The government has taken mitigation measures for the shipping sector, including the implementation of onshore power supply (OPS), the use of low sulfur fuels, and non-carbon fuels. So in the conclusion of this study, the government issued a roadmap describing the steps, program phases, activities, accountabilities, and clear implementation strategies and mitigation actions made such as the OPS already running and non-carbon fuels still running. This mitigation action is effective in reducing the carbon emissions of the maritime transport sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Septiadi Arunanto
"Tesis ini mengkaji kewajiban hukum internasional yang dimiliki oleh negara kepulauan terhadap kerangka kapal perang asing yang terdampar atau tenggelam di wilayah kedaulatannya. Permasalahan ini penting mengingat kompleksitas hukum maritim dan lingkungan yang berkaitan dengan penanganan bangkai kapal perang, yang dapat memiliki implikasi politik dan lingkungan yang signifikan. Penelitian ini adalah penelitian normatif, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder dan teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Pendekatan hukum internasional untuk menganalisis kewajiban negara kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (UNCLOS 1982) serta praktik dan kebijakan yang relevan. Selain itu, tesis ini juga mengeksplorasi kasus-kasus studi dan tinjauan literatur untuk memahami bagaimana negara-negara kepulauan menghadapi tantangan dalam mengelola kerangka kapal perang asing sesuai dengan kewajiban mereka dalam menjaga keamanan maritim dan melindungi lingkungan laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan kerangka kapal perang asing oleh negara kepulauan tidak hanya merupakan kewajiban hukum, tetapi juga berhubungan dengan aspek politik, lingkungan, dan keamanan regional. Implikasi dari kajian ini memberikan wawasan yang mendalam terhadap bagaimana negara kepulauan dapat memperkuat kerangka regulasi dan praktik yang efektif dalam menghadapi tantangan tersebut, dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban mereka dalam konteks hukum laut internasional.

This thesis examines the international legal obligations of archipelagic states concerning the remains of foreign warships that have run aground or sunk in their sovereign territory. This issue is significant due to the complexity of maritime and environmental law associated with the handling of warship wrecks, which can have substantial political and environmental implications. This research is a normative study, utilizing document study as the data collection method, which means the data used is secondary and the analytical technique employed is content analysis. The international legal approach for analyzing the obligations of archipelagic states is based on the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) and relevant practices and policies. Additionally, this thesis explores case studies and literature reviews to understand how archipelagic states address the challenges of managing foreign warship remains in line with their obligations to ensure maritime security and protect the marine environment. The research findings indicate that the handling of foreign warship remains by archipelagic states is not only a legal obligation but also relates to political, environmental, and regional security aspects. The implications of this study provide deep insights into how archipelagic states can strengthen regulatory frameworks and effective practices to address these challenges, considering their rights and obligations within the context of international maritime law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djody Riktian Morajaya
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kesesuaian Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 tentang Pemberlakuan Standard Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara wajib terhadap prinsip-prinsip Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, dengan menggunakan data-data sekunder sebagai data utamanya. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 adalah peraturan yang mewajibkan mainan yang beredar di Indonesia baik mainan produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri untuk mematuhi SNI Mainan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan pemberlakuan SNI Mainan secara wajib yang disusun berdasarkan kepentingan Indonesia untuk melindungi konsumen bayi dan anak, serta disusun berdasarkan kedaulatan Indonesia. Namun dalam penerapan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, Indonesia sebagai negara anggota WTO mendapatkan kritik dan saran melalui forum STC dari negara anggota WTO lainnya yang meminta Indonesia merevisi berbagai ketentuan di dalam aturan tersebut. Berdasarkan forum-forum STC yang telah dilalui Indonesia menyangkut kebijakan ini, Indonesia telah memberikan beberapa kelonggaran yang didasarkan permintaan anggota WTO lainnya dalam forum STC tersebut. Indonesia juga tetap mempertahan kebijakan yang dinilai dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan dari kebijakan ini. Saat ini Peraturan menteri Pemerintah terkait pemberlakuan SNI mainan secara wajib ini telah melalui beberapa kali perubahan dan tetap berlaku sampai saat ini.

This article analyzes how the Minister of Industry Regulation Number 24/M-IND/PER/4/2013 conforms to the mandatory implementation of the Indonesian National Standard (SNI) for Toys with the principles of the Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement. This article was prepared using doctrinal research methods, using secondary data as the main data. Minister of Industry Regulation Number 24/M-IND/PER/4/2013 is a regulation that requires toys circulating in Indonesia, both domestically produced and foreign produced, to comply with SNI Toys. The Indonesian government has issued laws and regulations relating to the mandatory implementation of SNI for toys, prepared based on Indonesia's interests to protect infant and child consumers and prepared based on Indonesian sovereignty. However, in implementing these Legislative Regulations, Indonesia as a WTO member country received criticism and suggestions through the STC forum from other WTO member countries who asked Indonesia to revise various provisions in the regulations. Based on the STC forums that Indonesia has gone through regarding this policy, Indonesia has provided several concessions based on requests from other WTO members in the STC forum. Indonesia also continues to maintain policies that are deemed necessary to realize the objectives of this policy. Currently, the Government Ministerial Regulation regarding the mandatory implementation of SNI for toys has undergone several changes and remains in effect to this day."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzaka Ashriel Faris
"Kejahatan terorisme saat ini masih terjadi dan masih menarik perhatian untuk diteliti. Perdebatan mengenai substansi dan yurisdiksi hukum belum selesai dan menemukan titik temu, karena tidak semua sepihak setuju untuk memasukan kejahatan terorisme kedalam ranah hukum transnasional, pun sebaliknya tidak semua setuju kejahatan terorisme masuk kedalam ranah hukum internasional. Klaus von Lampe mengemukakan tiga alasan terjadinya kejahatan terorganisir yaitu evakuasi, korupsi dan konfrontasi. Penelitian ini menggunakan alasan yang dikemukakan oleh von Lampe sebagai pisau analisis untuk menemukan kesesuaian substansi dan yurisdiksi yang dapat membantu menegaskan ranah hukum bagi kejahatan terorisme. Penelitian ini bersifat normatif dengan metode studi pustaka, berfokus pada kejahatan terorisme dari kedua ranah hukum. Mencari keunikan dari perspektif masing-masing ranah hukum sehingga menjadi pembeda yang jelas. Data yang bersifat kualitatif akan menghasilkan penelitian yang bersifat deskriftif analisis, yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data studi kepustkaaan yakni literature yang yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Adapun analitis pada penelitian ini adalah usaha untuk menarik kaidah-kaidah hukum terkait kejahatan terorisme.

Terrorism crimes are still happening and still attract attention for research. The debate about the substance and jurisdiction of law has not been completed and found common ground, because not all parties agree to include terrorism crimes in the realm of transnational law, conversely not all agree that terrorism crimes are included in the legal realm. international law. Klaus von Lampe put forward three reasons for the occurrence of organized crime, namely theft, corruption and confrontation. This study uses the reasons put forward by von Lampe as an analytical tool to find suitability of substance and jurisdiction that can help create a legal domain for terrorism crimes. This research is normative with the method of literature study, with a focus on criminal acts of terrorism from the two legal domains. Look for the uniqueness from the point of view of each legal domain so that it becomes a clear difference. Qualitative data will produce research that is descriptive analysis in nature, which serves to describe or provide an overview of the object under study through a review of library data, namely literature related to research problems. The analysis in this study is an attempt to draw legal principles related to terrorism crimes"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Julyansyah
"Penelitian ini membahas bagaimana peran FFM (Fact Finding Mission) UNHRC dalam upaya menerapkan Responsibility to Protect. Badan investigasi tersebut dibentuk oleh PBB melalui Dewan Hak Asasi Manusia untuk melihat fakta – fakta yang terjadi terkait dengan krisis kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah berlangsung lama terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Upaya Dewan Hak Asasi Manusia merupakan upaya pencegahan langsung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan masalah yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masing berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir. Hasil dari penelitian adalah adanya bentuk pelanggaran hukum dalam lingkup hukum intenasional yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, sehingga perlu diambil tindakan untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi dan perlu dilakukan investigasi lebih lanjut oleh badan investigasi yang dibentuk PBB dengan metode yang tepat untuk memperbaiki krisis kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Rohingya.

This Research explains the role of the UNHRC’s FFM (Fact Finding Mission) in the effort to implement the Responsibility to Protect.The investigative body was formed by the United Nations through the Human Rights Council to look at the facts related to the long running humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethnicities in Rakhine State.This research uses a normative legal research method with approach used is Live-Case Study, which is a case study approach to legal events that ae ongoing or have not been completed or have not ended. Theresult of the research is that there are forms of legal violations within the scope of international law committed by the Myanmar government against the Rohingya ethnicity, so that action needs to be taken to prosecute the violations of the law that have occurred and further investigations need to be carried out by an investigative agency established by the United Nations with the right method to solve the humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethinicity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Elvis
"Sistem penyelesaian sengketa WTO yang berdasarkan DSU disepakati pada tahun 1995 bersamaan dengan terbentuknya WTO. Sistem baru yang merupakan pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa sebelumnya yang didasarkan pada GATT 1947 dinilai sebagai pencapaian terbaik putaran negosiasi Uruguay Round. Mekanisme penyelesaian sengketa DSU yang berubah dari pendekatan power-oriented menjadi pendekatan yang lebih rule-oriented diharapkan dapat membantu terciptanya perdagangan internasional yang lebih aman dan terprediksi, serta meningkatkan posisi tawar negara berkembang ketika bersengketa dengan negara maju. Meskipun sistem tersebut sudah semakin baik memfasilitasi sengketa perdagangan antara negara anggota WTO, tetapi di sisi lain sistem penyelesaian sengketa yang baru tersebut juga menimbulkan masalah baru bagi negara-negara berkembang.
Melalui pendekatan yuridis normatif terhadap datadata sekunder yang ada, penelitian ini akan menganalisis secara deskriptif mekanisme penyelesaian sengketa yang baru dan masalah-masalah yang ditimbulkan bagi negara berkembang serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Secara deskriptif dijelaskan bahwa pendekatan yang berorientasi hukum ternyata tidak serta merta membuat posisi negara berkembang menjadi lebih baik ketika bersengketa dengan negara maju. Negara berkembang harus menghadapi berbagai hambatan dan keterbatasan menggunakan sistem penyelesaian sengketa DSU khususnya terkait dengan kemampuan negara berkembang mengikuti prosedur penyelesaian sengketa dengan baik dan mendapatkan hasil maksimal dari sistem penyelesaian sengketa DSU.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu negara berkembang mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam mengikuti prosedur penyelesaian sengketa DSU. Langkah-langkah tersebut mencakup perbaikan terhadap DSU serta peningkatan kapabilitas negara berkembang dalam menjalani sengketa di WTO. Dengan demikian, kegunaan sistem penyelesaian sengketa DSU dapat dimaksimalkan bagi keuntungan semua negara anggota, khususnya untuk kepentingan negara-negara berkembang.

Dispute settlement system in WTO which is based on DSU was agreed in 1995 with the establishment of the WTO. The new system is the development of the old dispute settlement mechanism based on GATT 1947 and widely believed as the best achievement of the Uruguay Round. The establishment of the DSU mechanism that changed the approach of dispute settlement in WTO from poweroriented approach to a rule-oriented approach is expected to set up a more predictable and more secure international trade as well as to enhance the developing countries bargaining position when having trade dispute with developed countries. Even though the system serves better in facilitating trade disputes between WTO members, it also creates new problems for developing countries.
Based on the fact, through literature study approach to secondary data, this research will describe the new dispute settlement system and the developing countries problems, as well as the solutions to solve the problems. It will find that a rule-oriented system doesn?t automatically make the developing countries position stronger when having dispute with developed countries. Developing countries must face many obstacles and inadequacies in using the dispute settlement mechanism. Most of those challenges are related to the developing countries capabilities to follow all the DSU procedures and get highest outcome from it.
Therefore, improvements need to be formulated to help developing countries work out their problems in using the dispute settlement system. Those solutions must include the improvements to the DSU system internally as well as the development of developing countries capabilities in using the DSU to end their dispute with developed countries. By those improvements, the DSU system can be used effectively for the benefit of all members, particularly for the interest of developing countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21844
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Sayogie
"Tesis ini membahas konsep hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal. Implementasi kebebasan beragama dalam Islam masih memiliki permasalahan yang belum tuntas. Berdasarkan perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan beragama dan memberikan hak-hak non-muslim. Namun, dalam praktiknya, di beberapa negara Islam dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung dalam Piagam Madinah. Beberapa negara Islam saat ini masih memformalisasi dan merumuskan penerapan syariah dalam ruang publik. Negara menjadi tidak bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan selalu berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Hal ini juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan legitimasi kepada negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis syariah yang lebih menekankan perlindungan agama daripada memberikan perlindungan hak fundamental dalam kebebasan beragama. Oleh karena itu, perlunya doktrin pemisahan agama dan negara yang bertujuan agar negara lebih independen dan diharapkan dapat memberikan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Hak kebebasan beragama hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja negara yang konstitusional dan demokratis didasarkan oleh semangat yang dianut hak asasi manusia universal.

The thesis discusses the concept of religious freedom in the perspective of state protection and universal human rights. The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of freedom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in practice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that obscures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of religion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the organs and institutions of the state against the abuse of power in the name of religion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30001
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riko Nugraha
"Tesis ini membahas tentang analisis hukum terhadap kebijakan terhadap Moda 4 (Movement of Natural Person) General Agreement on Trade in Service (GATS) dan kepentingan Indonesia dalam rangka liberalisasi jasa di indonesia serta kesesuaian dengan komitmen dalam (GATS-WTO) khususnya di bidang jasa. Pengaturan liberalisasi jasa di Indonesia (Peraturan nasional-National Regulation) serta komitmen Indonesia dalam Moda 4 General Agreement on Trade in Services (GATS) yang berkaitan dengan liberalisasi di bidang jasa. Kesesuaian dan konsistensi pengaturan jasa di Indonesia terhadap komitmen Indonesia dalam Moda 4 General Agreement on Trade in Service (GATS) di bidang jasa.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, karena penelitian ini menitik beratkan pada penelitian kepustakaan yang meneliti asas-asas hukum, sistematis hukum, dan sikronisasi hukum dengan jalan menganalisis dan kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap Moda 4 GATS. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode preskiptif kualitatif.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah membuka jasa Moda 4 untuk asing. Peraturan Nasional Indonesia di bidang jasa khususnya Moda 4 merupakan landasan dalam penentuan komitmen Indonesia dalam GATS-WTO.

The Focus of this thesis is about Analysis Regulaion of Indonesia toward policy of mode 4 (Movement of Natural Person) General Agreement on Trade in Services (GATS) and the interests of Indonesia in the context of liberalization in services in Indonesia and in suitability with the commitments in GATS-WTO, especially in services sector. Setting the liberalization of services in Indonesia (National Regulation) and Indonesia's commitment on Mode 4 General Agreement on Trade in Services (GATS) relating to the liberalization in services. Suitability and consistency of regulation in services in Indonesia towards Indonesia's commitment on Mode 4 General Agreement on Trade in Services (GATS) in the service sector.
This research is juridical normative research, because this research focuses on observational studies literature that examines the general principles of law, the law systematically, and synchronization by analyzing the law and government policy on GATS Mode 4. The data obtained were analyzed using prescriptive qualitative methods.
From the results of this study indicate that Indonesia has opened up to foreign services. National regulations of Indonesia in telecommunication services, especially Mode 4 is a cornerstone in the determination of Indonesia's commitment on GATS-WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30468
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>