Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reihana Lathifunnisa
"Latar Belakang
Trakeostomi apabila digunakan berkepanjangan dapat meningkatkan resiko komplikasi lanjutan sehingga dekanulasi menjadi suatu prosedur penting. Beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi keberhasilan dekanulasi antara lain efektivitas batuk, refleks menelan, etiologi kegagalan respirasi, dan komorbid. Sampai saat ini, tidak ada kriteria pasti kapan kanul trakeostomi harus dilepas. Departemen THT-BKL RSCM menggunakan kriteria Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing dan Standarized Endoscopic Evaluation for Tracheostomy Decannulation. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan penggunaan kriteria FEES dan SESETD serta berbagai faktor lain dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi.
Metode
Studi cross sectional dilakukan menggunakan rekam medik pasien trakeostomi di Departemen THT-BKL RSCM pada tahun 2019—2024. Sampel diambil dengan metode total population guna mengetahui proporsi dekanulasi trakeostomi. Data karakteristik pasien dan penggunaan kriteria diuji menggunakan uji Chi-square dan Mann-Whitney untuk mengetahui hubungannya dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi.
Hasil
Prevalensi dekanulasi selama 5 tahun adalah 31,3%. Pelaksanaan dekanulasi ditemukan berhubungan dengan kelainan parese pita suara. Karakteristik pasien dekanulasi meliputi median usia 38,43 tahun, 57,7% pria, median IMT 21,8 kg/m2 dengan 42,3% normal, 66% tanpa komorbid, 71,1% penyakit primernya non neurologis, 58,8% ditrakeostomi karena sumbatan jalan napas, dan median durasi trakeostomi 222 hari. Dari 97 pasien yang didekanulasi, 59 menggunakan kriteria dan 38 tidak. Hasil uji bivariat adalah P=0,017 dengan OR 4,267 dan 95%CI 1,210-15,055. Dengan uji multivariat, penggunaan kriteria dan komorbid didapat masing-masing berhubungan signifikan.
Kesimpulan
Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan kriteria FEES dan SESETD serta komorbid dengan keberhasilan dekanulasi trakeostomi di RSCM. Studi selanjutnya sebaiknya menganalisis lebih lanjut mengenai jenis komorbid yang berhubungan, begitu pula variabel lain seperti neoplasma dan sepsis.

Introduction
Prolonged use of a tracheostomy can increase the risk of complications, making decannulation a critical procedure. Several factors are considered to influence the success of decannulation, including cough effectiveness, swallowing reflex, the aetiology of respiratory failure, and comorbidities. However, there are currently no definitive criteria that clearly define the optimal timing for tracheostomy tube removal. The ENT Department at RSCM employs criteria such as Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing and the Standardized Endoscopic Evaluation for Tracheostomy Decannulation. The aim of this study is to evaluate the relationship between the use of those criteria, along with other factors, and the success of tracheostomy decannulation. Method
A cross-sectional study was conducted using medical records of tracheostomy patients at the ENT-HNS Department of RSCM from 2019 to 2024. The sample was taken using a total population method to determine the proportion of tracheostomy decannulation. Patient characteristics and the use of criteria were tested using Chi-square and Mann- Whitney tests to determine their association with decannulation success.
Results
The prevalence of decannulation over 5 years is 31.3%. Decannulation was found to be associated with vocal cord paresis. Characteristics of decannulated patients were as follows: median age of 38.43 years, 57.7% male, median BMI of 21.8 kg/m with 42.3% in the normal range, 66% without comorbidities, 71.1% with non-neurological primary diseases, 58.8% tracheostomized due to airway obstruction, and a median tracheostomy duration of 222 days. Among the 97 decannulated patients, 59 used the criteria and 38 did not. The bivariate test results showed P=0,017 with OR 4,267 and 95%CI 1,210-15,055. Multivariate analysis indicated that the use of criteria and comorbidities were each significantly associated with decannulation success.
Conclusion
There is a significant association between the use of FEES and SESETD criteria, as well as comorbidities, and the success of tracheostomy decannulation at RSCM. Future studies should further investigate the specific types of comorbidities involved, as well as other variables such as neoplasms and sepsis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Amanda A.T.
"Latar belakang: Trakeostomi adalah tindakan membuka leher anterior pada trakea untuk memintas saluran napas atas. Jumlah prosedur trakeostomi anak semakin meningkat setiap tahunnya dan prosedur trakeostomi pada anak dapat mengakibatkan komplikasi intraoperatif, dini  pascaoperatif, dan lanjut pascaoperatif. Tujuan: Mengetahui karakteristik trakeostomi anak, proporsi kejadian komplikasi, sebaran komplikasi dan faktor yang berpengaruh dan hubungannya dengan dua komplikasi yang tersering, sehingga dapat menurunkan angka kejadian komplikasi trakeostomi pada anak. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari 97 subjek, data yang diambil berupa data sekunder rekam medik manual dan elektronik. Hasil: Karakteristik subjek trakeostomi yang paling sering adalah pada kelompok usia 28 hari-< 12 bulan (42,3%), jenis kelamin laki-laki (56,7%), status gizi baik (64,3%), dengan penyakit dasar masalah jalan napas (29,9%), dua komorbid (26,8%). Penyakit dasar tersering pada indikasi prolong intubasi adalah penyakit paru (n=26), pada indikasi sumbatan jalan napas adalah stenosis subglotis (n=13), dan pada indikasi proteksi jalan napas inadekuat adalah defisit neurologis (n=7). Indikasi trakeostomi terbanyak adalah prolong intubasi (57,7%), sebagian besar subjek dilakukan trakeostomi terintubasi (86,6%). Rata-rata intubasi terlama adalah  lebih dari 7 hari (57,7%), dengan rata-rata 20,1 hari (1─99 hari). Teknik insisi trakea tersering adalah vertical (81,4%), Sebagian besar subjek dilakukan stay suture (66%), dan hanya Sebagian kecil subjek yang dilakukan safety suture (3,1%). Ukuran kanul yang tersering digunakan adalah nomor ≤ 4 (46,4%), dengan jenis kanul terbanyak adalah tanpa balon (74,2%). Waktu penggantian kanul terbanyak adalah dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan (27,8%), namun terdapat subjek yang tidak sempat dilakukan penggantian karena meninggal atau sudah dapat dilakukan dekanulasi (31,9%). Tindakan trakeostomi tersering dilakukan di ruang rawat intensif (60,8%). Dekanulasi dilakukan pada 12,4% subjek, dengan rata-rata waktu dekanulasi 212,67 hari. Proporsi komplikasi yang terjadi adalah 41%. Jenis komplikasi yang terbanyak adalah komplikasi lanjut pascaoperatif (25,8%), yaitu oklusi kanul (12,4%), dan dekanulasi spontan (9,3%). Dua komplikasi tersering adalah oklusi kanul (n=14), dan dekanulasi spontan (n=13). Jenis kelamin bermakna secara statistik (p=0,007)  terhadap terjadinya komplikasi trakeostomi anak pada penelitian ini dengan proporsi laki-laki 50% dan perempuan 23,8%. Kelompok umur bermakna secara statistik (p=0,036) terhadap terjadinya komplikasi dekanulasi spontan dengan proporsi 0-12 bulan sebesar 28,57%, 1-< 5 tahun sebesar 14,28%, dan 5-<18 tahun sebesar 0%. Kesimpulan: Proporsi komplikasi trakeostomi pada anak adalah 41%, dengan komplikasi tersering adalah oklusi kanul dan dekanulasi spontan. Kelompok umur bermakna secara statistik terhadap terjadinya dekanulasi spontan, dengan proporsi 0-12 bulan sebesar 28,57%. Perawatan pasca operasi harus dilakukan dengan teliti terutama pada kelompok usia 0-12 bulan

Background: Tracheostomy is the act of opening the anterior neck of the trachea to bypass the upper airway. The number of pediatric tracheostomy procedures is increasing every year and tracheostomy procedures in children can result in intraoperative, early postoperative, and late postoperative complications. Objective: To determine the characteristics of pediatric tracheostomy subjects, the proportion of complications, the distribution of complications and relevant factors and their association with the two most common complications, so as to reduce the incidence of pediatric tracheostomy complications. Methods: This study was a cross-sectional study of 97 subjects, the data taken were secondary data from manual and electronic medical records. Results: The most frequent characteristics of tracheostomy subjects were in the age group of 28 days-< 12 months (42.3%), male gender (56.7%), good nutritional status (64.3%), with underlying disease airway problems (29.9%), two comorbidities (26.8%). The most common underlying disease in the indication of prolonged intubation was pulmonary disease (n=26), in the indication of airway obstruction was subglottic stenosis (n=13), and in the indication of inadequate airway protection was neurological deficit (n=7). The most common indication for tracheostomy was prolonged intubation (57.7%), and most subjects underwent intubated tracheostomy (86.6%). The longest average intubation was more than 7 days (57.7%), with a mean of 20.1 days (1─99 days). The most common tracheal incision technique was vertical (81.4%), most subjects had a stay suture (66%), and only a small number of subjects had a safety suture (3.1%). The most commonly used cannula size was number ≤ 4 (46.4%), with the most common cannula type being uncuffed(74.2%). The most common time of cannula replacement was within a period of more than 3 months (27.8%), but there were subjects who did not have time for replacement because of death or could be decanulated (31.9%). Tracheostomy was most commonly performed in the intensive care unit (60.8%). Decanulation was performed in 12.4% of subjects, with an average decanulation time of 212.67 days. The proportion of complications that occurred was 41%. The most common types of complications were late postoperative complications (25.8%), such as cannula occlusion (12.4%), and spontaneous decanulation (9.3%). The two most common complications were cannula occlusion (n=14), and spontaneous decanulation (n=13). Gender was statistically significant (p=0.007) for the occurrence of pediatric tracheostomy complications in this study with a proportion of 50% males and 23.8% females. Age group was statistically significant (p=0.036) to the occurrence of spontaneous decanulation complications with the proportion of 0-12 months by 28.57%, 1-< 5 years by 14.28%, and 5-< 18 years by 0%. Conclusion: The proportion of tracheostomy complications in children was 41%, with the most common complications being cannula occlusion and spontaneous decanulation. Age group was statistically significant for spontaneous decanulation, with the proportion of 0-12 months at 28.57%. Postoperative care should be done carefully especially in the age group of 0-12 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Wulandari
"Tujuan: Mengetahui perbedaan tumbuh kembang dentokraniofasial anak umur 9–12 tahun pada kelompok OSA dan normal menggunakan pengukuran sefalometri lateral, serta mengetahui peranan faktor risiko terhadap terjadinya OSA. Metode penelitian: Analisis sefalometri dentokraniofasial dan parameter klinis dari faktor risiko dibandingkan antara 17 subjek OSA (14 laki-laki, 3 perempuan, median 11,92 tahun) dengan 17 subjek kontrol (8 laki-laki, 9 perempuan, median 10,42 tahun). Diagnosis OSA ditegakkan dengan kuesioner Pediatric Sleep Questionnaire (PSQ), pemeriksaan fisik, dan hasil polisomnografi (PSG). Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok OSA dan normal pada hasil kuesioner PSQ dan PSG, pada faktor risiko yang diperiksa melalui pemeriksaan fisik (postur lidah, ukuran tonsil, posisi hioid, lebar faring atas, dan ukuran adenoid) dan parameter skeletal horizontal dalam sefalometri (. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, postur kepala, dan parameter vertikal sefalometri antara kelompok OSA dan normal, namun sudut postur kepala dan parameter vertikal pada kelompok OSA lebih besar dari normal secara klinis. Letak tulang hioid, lebar faring atas, posisi lidah, ukuran adenoid, dan ukuran tonsil klinis berperan terhadap terjadinya OSA. Kesimpulan: Parameter skeletal horizontal dan parameter dental yang berbeda signifikan pada penelitian ini dapat menjelaskan efek OSA terhadap pertumbuhan dentrokraniofasial pada usia 9–12 tahun lebih dominan pada arah horizontal dan belum pada arah vertikal. Adenoid berperan sebagai faktor risiko utama dalam terjadinya OSA.

Objectives: This study aimed to compare various cephalometric and risk factors of children with OSA and control. Methods: Dentocraniofacial cephalometric measurements and risk factor clinical parameter were compared between 17 OSA subjects (14 boys, 3 girls, mean age 11,92 years) and 17 control subjects (8 boys, 9 girls, mean age 10,42 years) based on Polysomnography results. Results: The results showed significant differences between the OSA group and the control group on PSQ and PSG result, several risk factors (Friedman Tongue Position, tonsil, hyoid position, upper pharyngeal diameter, adenoid), and cephalometric on horizontal parameters (NAPg, SNB, ANB, and UI-MxP). No significant differences were identified in age, sex, head posture, and cephalometric vertical parameter between OSA group and control. However, head posture angle and all cephalometric vertical parameters in OSA group was higher than control clinically. The location of the hyoid bone, the width of the upper pharynx, the position of the tongue, the size of the adenoids, and the size of the clinical tonsils contribute to the occurrence of OSA. Conclusions: The horizontal skeletal and dental parameter on cephalometric that were significantly different between the OSA and normal groups in this study indicated that the effect of OSA on dentocraniofacial growth and development at the age of 9–12 years was more likely to be dominant in the horizontal direction and not yet in the vertical direction. Adenoids play a role as a major risk factor for OSA on children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Febryana
"Pendahuluan: Pergerakan pita suara paradoks atau paradoxical vocal cord movement (PVCM) merupakan kondisi terjadi penutupan pita suara atau adduksi pada saat inspirasi. Kelainan PVCM sering dihubungkan dengan beberapa komorbiditas lain, seperti asma, rinosinusitis kronis (RSK) atau rinitis alergi, refluks laringofaring (RLF), imbalans sistem saraf otonom, dan kelainan psikiatri atau neurologi. Aktivitas fisik juga diduga menjadi pemicu timbulnya PVCM. Gejala PVCM dapat menyerupai gejala asma dan sering menyebabkan misdiagnosis sebagai asma. Hingga saat ini belum didapatkan data mengenai prevalensi dan karakteristik gejala pada pasien PVCM dengan asma dan non-asma di Indonesia khususnya di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo.  
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan proporsi PVCM pada kelompok pasien asma dan non asma. Faktor-faktor risiko lainnya yang dapat berkontribusi terhadap kejadian PVCM, seperti RLF dan imbalans sistem saraf otonom.
Metode: Penelitian dilakukan selama Periode Januari 2022 hingga April 2022 di Poliklinik THT-KL dan IPD RSCM. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang komparatif dengan 25 subjek kelompok asma dan 25 subjek kelompok non-asma. Pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat lentur, ambang Laryngeal Adductor Reflex (LAR), aktivitas fisik, HRV dengan metode Pulse Photoplethysmography, dilakukan pada seluruh subjek, baik kelompok kasus maupun kontrol.
Hasil: Proporsi kejadian PVCM pada kelompok asma mencapai 12 %, sedangkan pada kelompok non-asma adalah 4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik kejadian PVCM pada kelompok asma dibandingkan dengan kelompok non-asma (p=0,305).  Imbalans otonom dan gangguan psikiatri didapatkan sebagai faktor determinan yang bermakna secara statistik dalam terjadinya PVCM.
Kesimpulan: Perbandingan proporsi PVCM pada kelompok asma lebih besar dibandingkan kelompok  non-asma, walaupun pada penelitian ini tidak berbeda secara statistik (p>0,05). 

Introduction: Paradoxical vocal cord movement (PVCM) is a condition which voca; cords are closed or adducted during inspiration. PVCM disorder are often associated with several other comorbidities, such as asthma, chronic rhinosinusitis (CRS) or allergic rhinitis, laryngopharyngeal reflux (LPR), autonomic nervous system imbalance, and psychiatric or neurological disorders. Physical activity is also though to be a trigger for PVCM. However the exact mechanism of these abnormalities in causing PVCM is not yet known. The symptoms of PVCM can mimic as asthma and are often misdiagnosed as asthma. Until now there has been no data on the prevalence and symptom characteristics of PVCM in asthmatic and non-asthmatic patients in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Purpose: This study was conducted to determine the comparison of the proportions of PVCM in the asthmatic and non-asthmatic patient groups. Other risk factors that may contribute to the occurence of PVCM, such as LPR and autonomic nervous system imbalance.
Methods: The study was conducted between January to April 2022 at the ENT and Internal Medicine Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital. The study design was cross-sectional comparative study with 25 subjects in each group. Flexible fibre optic rhinopharyngolaryngoscopy, Laryngeal Adductor Reflex threshold, physical activity, Heart Rate Variability (HRV) using pulse plethysmography were performed on all subjects. Result: Proportion of PVCM in asthmatic group was 12%, while in non-asthmatic group was 4%. There was no statistically difference in the prevalence PVCM between the groups (p=0,305).  Autonomic nervous system imbalance and psychiatric disorders were found to be statistically significant as determinants factor in the occurrence of PVCM. Conclusion: The prevalence of PVCM in the asthmatic group was greater that in the non-asthmatic group, although in this study there was no statistical difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspito Sari
"Biofilm adalah struktur kompleks tiga dimensi yang terdiri dari bakteri hidup dalam matriks ekstraselular atau excreted polymeric substance (EPS) yang mengandung polisakarida, asam nukleat dan protein. Infeksi yang diakibatkan biofilm sulit untuk dieradikasi, karena EPS pada biofilm dapat meningkatkan resistensi bakteri dan menghambat antibiotik mencapai bakteri tersebut. Biofilm dapat melekat pada alat-alat kesehatan seperti kanul trakeostomi.  Pembentukan kolonisasi bakteri biofilm pada kanul trakeostomi dapat menyebabkan inflamasi kronik yang memicu infeksi stoma dan saluran pernapasan bawah, serta pembentukan jaringan granulasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai biofilm dan mikroba pembentuk biofilm, serta faktor risiko yang mempengaruhi pembentukannya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari 2019 sampai dengan Agustus 2019 terhadap pasien yang terpasang kanul trakeostomi usia dewasa. Dari penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor risiko penyakit komorbid dengan peningkatan pembentukan biofilm pada pasien terpasang kanul trakeostomi.

Biofilm is a three-dimensional complex structure consisting of living bacteria in an extracellular matrix or excreted polymeric substance (EPS) containing polysaccharides, nucleic acids and proteins. Infections caused by biofilms are difficult to eradicate, because EPS in biofilms can increase bacterial resistance and prevent antibiotics from reaching the bacteria. Biofilms can be attached to medical devices such as tracheostomy cannula. The formation of bacterial colonization of biofilms in tracheostomy cannulas can cause chronic inflammation that triggers stoma and lower respiratory tract infections, and the formation of granulation tissue. This study aimed to increase knowledge about biofilms and biofilm-forming microbes, and risk factors that influence its formation. This cross-sectional designs study, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo on February 2019 to August 2019 of adult patients with tracheostomy cannula.There was a statistically significant correlation between risk factors of comorbid disease with an increase of the biofilms formation in patients with tracheostomy cannula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Trifani Putri
"Gangguan suara adalah istilah umum yang mencakup segala perubahan suara sesorang baik cakupan nada, intensitas, waktu fonasi dal lain-lain yang disebabkan kelainan laring. Adanya gangguan suara atau disfonia akan mengganggu suatu proses komunikasi yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial seperti depresi, terganggu dalam aktifitas dan pekerjaannya, serta akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup adalah dengan menggunakan kuesioner adaptasi terjemahan versi Bahasa Inggris agar dapat diaplikasikan sesuai budaya dan bahasa di negara tersebut. Kuesioner Voice Handicap Index (VHI) berdasarkan Agency of Healthcare Research and Quality pada tahun 2012 merupakan instrumen diagnostik yang valid dan reliabel dalam menilai handicap yang disebabkan oleh gangguan suara. Peneliti bertujuan untuk mendapatkan instrumen VHI adaptasi bahasa Indonesia yang sudah divalidasi dan reliabilitas yang teruji menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017 sampai dengan April 2018 terhadap pasien gangguan suara usia dewasa. Dari penelitian ini didapatkan instrumen VHI bahasa Indonesia yang telah teruji valid dan reliabel sebagai instrumen penilaian kualitas hidup pasien gangguan suara.

Voice Disorders is a general term that includes any change of a persons voice including range of tone, intensity, and other phonation time caused by laryngeal abnormalities. The presence of noise or dysfonia will interfere with a communication process that will have a negative impact on social life such as depression, disrupted in activities and work, and will affect the quality of life. One tool that can be used to evaluate the quality of life is to use an translation adaptation questionnaire of the English version to be applied to the culture and language of the country. The Voice Handicap Index (VHI) Questionnaire based on the Agency of Healthcare Research and Quality in 2012 is a valid and reliable diagnostic instrument in assessing handicap caused by voice disorders. This study aimed to receive Indonesian adaptation of VHI that also tested in validity and reliability to measue the quality of life in patients with dysphonia. Cross-sectional design is entirely used in this study, conducted at ENT Department out-patient clinic, Cipto Mangunkusumo hospital between December 2017 and April 2018 towards adult patients with dysphonia. The Indonesian version of VHI has been proven valid and reliable as an instrument to asses quality of life in dysphonia patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mutia
"

Latar belakang: Autologus growth factor (AGF) merupakan sitokin yang menarik perhatian para ilmuwan di bidang kedokteran dikarenakan memiliki fungsi yang penting dalam memperbaiki dan mempercepat  proses penyembuhan luka. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) merupakan generasi terbaru konsentrat trombosit dengan tahapan persiapan yang praktis dan sederhana. Berbagai macam operasi di bidang THT-KL, salah satunya Laringektomi Total (LT). Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya fistula faringokutaneus, sehingga diperlukan perhatian dengan seksama terhadap proses penyembuhan luka pasca-LT. Tujuan penelitian: Membuktikan bahwa pemberian PRFM dapat memperbaiki tatalaksana untuk mempercepat penyembuhan pada luka operasi pasca-LT dibandingkan Kelompok kontrol. Metode: Penelitian ini dilakukan pada Divisi Laring Faring THT-KL/ FKUI – RSCM selama Juni – Desember 2019, merupakan penelitian pendahuluan dengan  desain Randomized Control Trial (RCT). Penelitian ini melibatkan 20 pasien dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) Laring yang ditatalaksana dengan LT dan dibagi menjadi 10 pasien yang menjalani LT dengan augmentasi menggunakan autologus PRFM intra operasi dan 10 pasien sebagai kontrol. Proses penyembuhan luka diobservasi hingga 2 minggu pascaoperasi. Hasil: Telah dilakukan analisis bivariat dengan uji chi-square, didapatkan perbedaan yang signifikan pada ambang nyeri, edema dan dehisence pada luka stoma (p<0.001), keberhasilan tes minum yang dilakukan pada hari kelima (p<0.001) dan terbentuknya early fistula faringokutan (p=0.03) pada luka pascaoperasi kelompok subjek dengan PRFM dibandingkan tanpa PRFM. Kesimpulan: PRFM terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka pasca-LT. Tes minum dapat dilakukan pada hari kelima pada seluruh kelompok subjek dengan PRFM dan menjadikan masa perawatan menjadi lebih singkat. Angka kejadian fistula juga ditemukan sangat berkurang sehingga tatalaksana kemoradiasi tidak tertunda.

Kata kunci: PRFM, Laringektomi total, Fistula faringkutaneus


Background: Autologous growth factor (AGF) is a cytokine that attracts the attention of scientists, because of its beneficial to improve and accelerate process of wound healing. Platelet rich fibrin matrix (PRFM) is the latest generation of thrombocyte concentrate with simple preparation. Various kinds of operations in Otolaryngology, for example Total Laryngectomy (TL), a common complication is the presence of pharyngocutaneus fistula, so needed truly attention for wound healing process after TL.  Objective: Proving that administration of PRFM can improve management to accelerate surgical wound healing after TL compared without PRFM. Method: This research was performed in Larynx Pharynx Division of ENT Department FKUI-RSCM from June – Desember 2019. This study is preliminary study using Randomized Control Trial (RCT). There were 20 patients with Laryngeal squamous cell carcinoma treated with TL. Subjecst divided into 10 patientsunderwent TL with autologus PRFM augmentation intra operation and 10 more patients as a control group, then observed two weeks after surgery. Results: Bivariate analysis was performed with chi-square test, showed significant differences in the pain threshold, edema, presence of dehisence in stoma wounds (p<0.001), success of the drinking test conducted on the fifth day (p<0.001) and formation of pharyngocutaneous early fistule (P:0.03) in postoperative wounds between groups of patients that given PRFM and without PRFM. Conclusion: PRFM is proven to accelerate post-operative wound healing after TL. Drinking test can be performed on the fifth day in all subjects of PRFM groups so that time of hospitalized becomes shorter. Incidence rate of fistule is more decreased so that no delayed of chemoradiation.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ageng Rizki
"Latar belakang: Sleep disordered breathing (SDB) merupakan satu spektrum kelainan abnormalitas pola pernapasan pada saat tidur. Diperlukan visualisasi untuk menilai kedinamisan saluran napas atas untuk menentukan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan saluran napas atas saat terjaga dan saat tidur secara spesifik pada setiap subjek berdasarkan hasil inklusi dari kuisioner STOP BANG dikarenakan karakteristik dan faktor risiko yang berbeda-beda pada setiap individu. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas yang terjadi antara pemeriksaan (Perasat Muller) PM saat terjaga dan pemeriksaan Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) saat tidur serta dengan menggunakan pemeriksaan polisomnografi (PSG) untuk menentukan derajat gangguan tidur. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan perbedaan saturasi oksigen terendah antara pemeriksaan PSG dan DISE saat tidur, dengan tujuan untuk mendapatkan cara diagnosis yang dapat memberikan nilai tambah pada pasien SDB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang (cross sectional) dengan data sekunder yang bersifat retrospektif; 1) Deskriptif analitik, dan 2) Membandingkan gambaran lokasi, derajat dan konfigurasi sumbatan jalan napas dengan pemeriksaan PM, DISE dan PSG pada kasus SDB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 46 subjek yang diambil dari data Januari 2017 hingga April 2019. Hasil: Karakteristik kelompok pasien SDB pada penelitian ini mempunyai rentang usia antara 18-73 tahun dengan laki-laki dan perempuan mempunyai proporsi yang sama besar. Pada anamnesis didapatkan STOP BANG risiko tinggi sebesar 58,7%, Epworth Sleepiness Scale (ESS) risiko gangguan tidur 93,5%, skor Nasal Obstruction Score Evalutaion (NOSE) dengan risiko hidung tersumbat 97,8%, subjek obesitas 56,5%, subjek dengan Refluks laringofaring (RLF) 67,4%, hipertensi 28,3%, kelainan jantung 30,4%. Terdapat 13 subjek (28,2%) SDB non OSA, 18 subjek (39,13%) OSA ringan, 10 subjek (21,73%) OSA sedang, dan 5 subjek (10,86%) OSA berat. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan konfigurasi sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,036; p<0,001 dan p = 0,036. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan derajat sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring, dasar lidah dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. Subjek dengan SDB non OSA dan OSA ringan dapat juga menunjukkan sumbatan multilevel dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Derajat RDI tidak selalu berhubungan dengan konfigurasi sumbatan jalan napas atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar saturasi oksigen terendah saat tidur pada saat DISE dan PSG dengan nilai p = 0,055. Pada penelitian ditemukan sumbatan jalan napas atas pada fase tidur REM dan NREM diihat berdasarkan derajat RDI pada PSG, terlihat kecenderungan adanya RDI REM dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan RDI NREM pada subjek dengan OSA ringan dan OSA sedang. Pada SDB non OSA dan OSA berat nilai RDI NREM sama dengan RDI REM.

Background: Sleep disordered breathing (SDB) is a spectrum of breathing abnormality during sleep. Direct visualization needed to evaluate the level, configuration and degree of upper airway obstruction during sleep in each patient due to the difference in characteristic and risk factor of SDB based on STOP BANG questionnaire. Purpose: Evaluate the differences of location, configuration, and degree of upper airway obstruction between Muller Maneuver (MM) during awake and Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) during sleep using polysomnography (PSG) to determine the degree severity of sleep disorder. To evaluate the lowest oxygen saturation between PSG and DISE during sleep thus acquired a better diagnostic value for SDB patient. Methods: Analitical decriptive of cross sectional study with retrospective secondary data evaluate the difference of location, configuration and degree of upper airway obstruction in SDB subject using Mueller Maneuver (MM) and DISE in ENT-HNS Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 until April 2019 with 46 subjects. Result: The age range of subjects between 18-73 years old, both each male and female are 26 subjects, using anamnesis and questionnaire STOP Bang with high risk 58,7%, ESS high risk of SDB 93,4%, NOSE score with nasal congestion 97,8%, obesity 56,5%, Laryngopharungeal Reflux 67,4%, hypertension 39%, heart disease 30,4%. Based on polysomnography data there were 28,2% subjects with SDB non OSA (Obstructive Sleep Apnea), 39,1% subjects mild OSA, 21,7% subjects moderate OSA, 10,7% subjects severe OSA. Statistically difference in configuration of upper airway obstruction between MM and DISE in level velum (p = 0,036), oropharynx (p<0,001), epiglotits (p = 0,036), also statistically different in location and degree of upper airway obstruction between MM and DISE in velum, oropharynx, tongues base and epiglottis with p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. No statisticaly difference on lowest oxygen saturation during polysomnography and DISE (p = 0,055). Subjects with SDB non OSA and mild OSA alos shown multilevel obstruction with different airwal collaps configuration. RDI degree didnt always correlate with upper airway obstruction configuration. RDI NREM was higher in subject with mild OSA and moderate OSA, in SDB non OSA and severe OSA RDI REM as same as RDI NREM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Razki Yorivan R.H.
"ABSTRAK
Suara merupakan modalitas setiap individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Proses bersuara sangat dipengaruhi keberadaan pita suara. Paralisis pita suara akan mengakibatkan difonia dan mempengaruhi proses komunikasi serta berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, aktivitas dan pekerjaan. Penatalaksanaan paralisis pita suara salah satunya dengan laringoplasti injeksi. Prinsip laringoplasti injeksi adalah medialisasi dengan augmentasi. Lemak autologus merupakan salah satu bahan yang baik untuk medialisasi, tetapi memiliki waktu penyerapan beragam dan cenderung cepat terserap sehingga keberadaan lemak didalam jaringan cepat menghilang. Platelet Rich Fibrin (PRF) merupakan bahan yang dapat meningkatkan keberadaan lemak didalam jaringan karena mengandung faktor pertumbuhan. Evaluasi penggunaan kombinasi PRF dengan lemak autologus mikrolobular dibandingkan lemak autologus mikrolobular dilakukan secara subjektif dan objektif. Evaluasi subjektif menggunakan kuesioner Voice Handicap Index (VHI-30) sedangkan evaluasi objektif menggunakan pemeriksaan analisis akustik terkomputerisasi/Multidimensional Voice Program (MDVP), videostroboskopi dan waktu fonasi maksimum. Hasil penelitian ini mendapatkan gambaran perbaikan secara klinis berdasarkan evaluasi VHI-30, MDVP, videostroboskopi dan waktu fonasi maksimum pada masing-masing kelompok penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistika evaluasi subjektif dan objektif antara kelompok kombinasi PRF dengan lemak autograf mikrolobular dan kelompok lemak autograf mikrolobular

ABSTRACT
Voice is a modality for every human being to communicate and interact with others. Its process is affected by the presence of vocal cord. Vocal cord paralysis will cause dysphonia, interfering communication, thus result in social activity, and professional aspects in life. One of the management of vocal cord paralysis is injection laryngoplasty. Basic principle of the technique is medialization and augmentation. Autologous fat is one of the best material that can be chosen, but it is very highly absorbable so that its existence in body tissue is quickly disappears. Platelet Rich Fibrin (PRF) is a material that can improve fat tissue longevity due to growth factors as one of the components. Evaluation of combination of PRF and autologous microlobular fat compared with autologous microlobular fat was conducted subjective and objectively. Subjective evaluation was done by using Voice Handicap Index (VHI-30) questionnaire, and objective evaluation was by computerized acoustic analysis/Multidimensional Voice Program (MDVP), videostroboscopy dan maximum phonation time. The result showed clinical improvement according to VHI-30, MDVP, videostroboscopy and maximum phonation time parameters in both research group. There was no statistically important difference in subjective and objective evaluation between PRF and autologous microlobular fat, and autologous microlobular fat group."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library