Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Tri Astuti
"[ABSTRAK
Dalam pembahasan mengenai diplomasi koersif, banyak akademisi yang berusaha
melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan/kegagalan diplomasi
koersif. Secara umum faktor yang dapat mempengaruhi keluaran diplomasi
koersif tidak hanya berasal dari internal relasi kedua pihak yang terlibat dalam
diplomasi koersif namun juga faktor eksternal di luar relasi tersebut. Studi
literatur dalam tulisan ini menunjukan bahwa pembahasan mengenai faktor-faktor
tersebut secara umum dibangun dari pengalaman negara Barat dalam melakukan
diplomasi koersif. Selain itu, fokus pembahasan mengenai diplomasi koersif
kebanyakan berpusat pada pembahasan mengenai faktor internal, khususnya
membahas pelaku diplomasi koersif. Sejumlah akademisi berusaha memberikan
rekomendasi apa yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pelaku diplomasi
koersif untuk mensukseskan diplomasi koersif. Khususnya kredibilitas ancaman pelaku menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan mengenai kesuksesan diplomasi koersif.

ABSTRACT
In research regarding coercive diplomacy, many scholars try to identify factors
that affecting success or failure in coercive diplomacy. In general, factors
affecting the output of coercive diplomacy is not only internal factor that related
to the relation of two parties but also external factor outside the relation. Findings
from the literature review show that discussion on factors affecting coercive
diplomacy is shaped by Western experiences in coercive diplomacy. They focus
on internal factors, especially on coercive diplomacy actor. Most scholars try to
prescribe factors that need to be considered by the actor to promote successful
coercive diplomacy. Threat credibility building is one of the most discussed aspect in discussions about factors affecting coercive diplomacy., In research regarding coercive diplomacy, many scholars try to identify factors
that affecting success or failure in coercive diplomacy. In general, factors
affecting the output of coercive diplomacy is not only internal factor that related
to the relation of two parties but also external factor outside the relation. Findings
from the literature review show that discussion on factors affecting coercive
diplomacy is shaped by Western experiences in coercive diplomacy. They focus
on internal factors, especially on coercive diplomacy actor. Most scholars try to
prescribe factors that need to be considered by the actor to promote successful
coercive diplomacy. Threat credibility building is one of the most discussed aspect in discussions about factors affecting coercive diplomacy.]"
2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Limifroha
"Indonesia dan Jepang sepakat membentuk kerjasama Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) pada tanggal 13 Juli 2008 dengan mengikutsertakan sektor otomotif. Hal ini mengundang pertanyaan karena Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif seperti infrastruktur memadai, tenaga kerja terampil, dan teknologi yang dapat bersaing dengan negara lain. Melalui penelaahan terhadap konsep FTA, trickle down, dan spillover effect, didukung wawancara dengan beberapa institusi, ditemukan bahwa Indonesia menginginkan investasi dan penurunan tarif, peningkatan bargaining power, perluasan akses pasar, serta transfer teknologi. Kelima hal tersebut menjadi alasan yang mendasari disepakatinya sektor otomotif dalam kerjasama IJEPA. Sektor otomotif Indoesia juga memiliki nilai strategis dan berpotensi sebagai pasar otomotif terbesar di kawasan Asia Tenggara sehingga Jepang pun berniat menjalin kerjasama otomotif dengan Indonesia.

Indonesia and Japan agreed to establish a bilateral cooperation called an Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) on July 13 2008 that include automotive sector. But it had problems, because Indonesia did not have a comparative advantage such as adequate infrastructure, skilled labor, and technology that can compete with other countries. That's why, this research use FTA, trickle down, spillover effect cncept, and backep up interview with several institutions to analyse problem it. There are five reasons of the Government of Indonesia to agree on automotive sector in IJEPA like Indonesia wants investment and tariff reduction, increased bargaining power, expanding market, as well as technology transferr. Indonesia automotive sector also has strategic value and potential as the largest automotive market in Southeast Asia. Because of that, Japan joins in automotive cooperation with Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61981
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifad Anjar Jumara
"Skripsi ini menganalisis hubungan negara dan bisnis di balik kesuksesan meluasnya produk dan konten industri kreatif Korea Selatan di tingkat global melalui gelombang kebudayaan yang disebut hallyu (Korean Wave). Meskipun Krisis Finansial Asia mencoba mengkompromikan kapasitas negara dalam kebijakan industri, kasus hallyu menunjukkan bagaimana pemerintah memanfaatkan industri kreatif Korea Selatan sebagai respons atas tantangan globalisasi kontemporer. Metodologi yang digunakan studi ini adalah kualitatif dengan teknik mengumpulkan data berupa studi literatur dan wawancara semi-terstruktur yang didukung oleh data primer dari pemerintah Korea Selatan. Dengan menggunakan kerangka adaptive partnership dan governed interdependence, skripsi ini menjelaskan hubungan negara dan bisnis dalam hallyu melalui tiga dimensi yang menjadi temuan dalam penelitian ini. Pertama, penulis menemukan bahwa peran gagasan developmental state Korea Selatan masih melegitimasi pelembagaan hubungan negara dan bisnis dalam kasus kebijakan industri kreatif seusai Krisis Finansial Asia. Kedua, dimensi ekonomi-keamanan yang meliputi jaminan akses pasar luar negeri dan ancaman kompetisi di kawasan menjadi motif pendorong perkembangan hallyu. Terakhir, hubungan negara dan bisnis dalam hallyu terletak pada pengaruh berbasis aktor yang meliputi (1) struktur koordinasi birokrasi, (2) peran asosiasi bisnis yang kohesif dan (3) jejaring negara dan swasta baik domestik maupun transnasional menjadi peran kunci dalam kesuksesan industri kreatif Korsel melalui hallyu.

This thesis analyzes the state and business relations behind the success of expanding product and content of South Korea's creative industries at the global level through a wave of cultures called hallyu (Korean Wave). Although the Asian Financial Crisis tries to compromise the state capacity in industrial policy, the hallyu case shows how the government uses South Korea's creative industry in response to the challenges of contemporary globalization. The methodology used in this study is qualitative with the technique of collecting data in the form of literature studies and semi-structured interviews supported by primary data from the South Korean government. By using an adaptive partnership framework and governed interdependence, this thesis explains the relationship between the state and business in hallyu through three dimensions which are the findings in this study. First, the author found that the role of the idea of the South Korean developmental state still legitimized the institutionalization of state and business relations in the case of creative industrial policies after the Asian Financial Crisis. Second, the economic-security dimension which includes guaranteeing access to foreign markets and the threat of competition in the region is the driving motive for the development of hallyu. Finally, state and business relations in hallyu lie in actor-based influences which include (1) the structure of bureaucratic coordination, (2) the role of cohesive business associations and (3) state and private networks both domestic and transnational become key roles in the success of South Korea's creative industries through hallyu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Prihandono
"ABSTRAK
Tidak lazim bagi negara-negara berkembang untuk menjalankan program kebijakan luar negeri yang berfokus di bidang kesehatan, apalagi menyebarkannya secara global melalui misi internasional. Bagaimanapun, Kuba mungkin salah satu pengecualian paling dikenal dalam hal ini. Dengan mengusung gagasan mulia tentang kemanusiaan dan semangat solidaritas dunia ketiga, pada tahun 1998, Kuba meluncurkan Programa Integral de Salud (PIS) ? sebuah inisiatif misi internasional dalam bentuk kerjasama kesehatan yang diilhami dari amanah konstitusi serta kekhasan nilai komunismenya dan dilestarikan oleh pengalaman sebelumnya di masa Perang Dingin. Program ini mencuri perhatian dunia dengan memperoleh pengakuan luas lewat kerjasamanya yang ramah dan menjaga pertumbuhannya berdasarkan angka, sekaligus meningkatkan pengaruh Kuba di tataran global. Maka dengan menggunakan metode kualitatif berupa event-structure analysis, penelitian ini hendak mencari pemahaman komprehensif tentang faktor-faktor pengendali dibalik prestasi-prestasi program tersebut. Konteks domestik dan internasional akan dianalisis untuk memahami bagaimana program itu sebenarnya diciptakan dan bagaimana pengimplementasiannya sejauh ini. Terakhir, penelitian ini berpendapat bahwa kesukesan PIS bisa menjadi model yang baik bagi upaya meningkatkan kembali kerjasama Selatan-Selatan.

ABSTRACT
It is uncommon for developing countries to run a foreign policy program that focused on health issues, let alone spreading it globally through international mission. However, Cuba might be the one of the most prominent exceptions on this regard. By endorsing the noble notion of humanity and the spirit of third-world solidarity, in 1998, Cuba launched the Programa Integral de Salud (PIS) ? an initiative of international mission in the form of extensive medical cooperation imbued by country‟s constitutional mandates as well as its distinctive communist values and nurtured by its previous experiences during the Cold War. This program has caught world‟s attention in positive senses, acquiring worldwide acknowledgement through its lenient partnerships and sustaining numerical growth while arguably bolstering Cuba‟s leverage in the global sphere. Using event-structure analysis method of qualitative research, this study seeks to comprehensively understand the driving components behind such feats of the program. Both domestic and international contexts will be analysed in order to comprehend how the program was actually constructed and how it has been implemented so far. In the end, this study suggests that the success of PIS can serve as a prudent model for the efforts of re-enhancing South-South cooperation.
"
2015
S60774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Apriladhatin
"ABSTRAK
Sebagai negara populasi Muslim terbesar di dunia, masuknya pertimbangan Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia merupakan atribut yang tidak dapat dinegasikan. Skripsi ini mengkaji mengenai bagaimana Indonesia memainkan kartu Islam dalam aktivitas diplomasi, khususnya dalam kasus menjembatani ketegangan krisis nuklir Iran periode 2004-2014. Dengan menggunakan kerangka konsep diplomasi niche mdash;penekanan pada praktik diplomasi negara yang dimotivasi oleh pencarian kesempatan untuk secara konstruktif mengambil peran global dengan mengevaluasi celah yang ditawarkan di tingkat sistemik dan elemen yang dipersepsikan menjadi kekuatan diplomasi negara di dalam hal ini kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia mdash;ditemukan bahwa elemen Islam secara aktif dimasukan oleh Indonesia sebagai atribut diplomasi niche untuk meningkatkan reputasi simbolisnya sebagai middle-power maupun fungsi instrumentalnya di tingkat internasional. Khususnya dalam kasus Iran, skripsi ini menganalisis bahwa Indonesia menerjemahkan posisinya sebagai bridge-builder dengan mengambil pendekatan yang imbang; merefleksikan dilema yang dihadapi Indonesia dalam dinamika tarik menarik kepentingan oleh berbagai negara yang terlibat dalam negosiasi di lapangan dan pertautan yang tidak terpisahkan antara realita internasional dengan domestik.

ABSTRACT
As the largest Muslim population in the world, the incorporation of Islamic attribute in the conduct of Indonesian foreign policy calculation can hardly be negated. This paper aims to see how Indonesia implemented the Islamic card in its diplomacy, particularly within the case of bridging the heightened global tension on Iranian nuclear crisis. Using the conceptual framework of niche diplomacy mdash that is a diplomacy practice motivated by a countries evaluation on its perceived diplomacy strength in this case motivated by the fact that it is the largest Muslim populated country and the availability of niche rsquo opportunities offered in the systemic level in order to take a constructive role in the evolving complexity of global affairs mdash this paper finds that Islamic factors were actively projected in Indonesia rsquo s niche diplomacys strategic elements to increase its symbolic reputation as a middle power country and to secure its instrumental momentum in leveraging further international roles. In the case of Iran, Indonesia translated its position as a bridge builder by taking a balanced approach reflecting the dilemmatic dynamics of interests in the international negotiation table and inseparable linkage between international domestic realities. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bilhaqi Ibnukhoiry Budiman
"TKA ini berusaha mengkaji berbagai kritik terhadap neoliberalisme dalam kajian-kajian akademis dalam isu migrasi dan pembangunan. TKA ini memetakan literatur menggunakan metode klasifikasi taksonomi. Terinspirasi dari pembahasan yang dilakukan Canterbury 2010 dan Rosewarne 2010, TKA ini memetakan tiga tema besar yang dipersoalkan oleh para akademisi: remitansi, tenaga kerja migran, dan diaspora. Pada tema pertama, para akademisi melihat agenda remintasi neoliberal upaya liberalisasi dan sekuritisasi remitansi sebagai suatu agenda berbasis profit bagi kelompok privat. Pada tema kedua, kritik terbesar para akademisi merujuk pada tata kelola tenaga kerja neoliberal upaya prekarisasi dan kapitalisasi tenaga kerja migran yang cenderung menempatkan argumen efisiensi ekonomi dan kemakmuran bersama untuk menutupi eksploitasi tenaga kerja migran. Pada tema ketiga, para akademisi menilai bahwa terjadi upaya pemanfaatan modal finansial dan manusia yang dimiliki diaspora melalui wacana upaya 'Diaspora Engagement' baik oleh Bank Dunia maupun negara asal yang pada akhirnya masih bermuara pada kepentingan kelompok privat. Oleh karena itu, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi proses-proses yang dilakukan oleh sekelompok pihak untuk memanfaatkan migran baik aliran modal finansial/manusia mereka di bawah tatanan neoliberalisme, dan hal tersebut justru tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap proses pembangunan di negara asal migran. TKA ini mengidentifikasi bahwa CIPE critical IPE dan strukturalisme-ekonomi menjadi perspektif dominan dalam diskusi. TKA ini juga menilai bahwa saat ini kajian mengenai neksus migrasi-pembangunan khususnya dalam kaitannya dengan tananan neoliberalisme masih sangat kurang, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut di masa depan.

This paper seeks to discuss various critiques of neoliberalism within academic studies in migration and development issue. This paper organizes these literatures based on taxonomy classification method. Inspired from the studies done by Canterbury 2010 and Rosewarne 2010, this paper classifies that there are three main themes which has become scholars concern: remittance, migrant labor, and diaspora. For the first one, academicians regard the neoliberal remittance agenda the effort to liberalize and securitize remittance as a profit-based agenda of private sectors. For the second one, academicians the biggest critique refers to neoliberal migrant labor governance by precarising and capitalizing migrant labor which tend to put economic efficiency and worldwide prosperity discourse for covering the exploitation of the migrant labors. For the latter, the academicians argue that there has been the effort to harness diaspora's financial and human capital through the discourse of 'Diaspora Engagement' by both World Bank as well as origin countries in order to serve private sectors interest eventually. Therefore, this paper concludes that in general there has been certain processes undertaken by a certain interest groups to harness migrants both its financial and human capital flows under neoliberalism, and it does not have a significant impact on the development process in migrant's home country. This paper identifies that critical IPE CIPE and economic-structuralism become dominant perspective in the discussion. This paper also identifies that the studies about this issue is still lacking, therefore the further research is needed."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Athilla Fachran
"Hubungan Hukum Internasional dan ilmu Hubungan Internasional HI yang terdisintegrasi dalam waktu yang cukup lama mulai menunjukkan keterkaitan satu sama lain dalam mengkaji fenomena-fenomena hubungan internasional. Dinamika hubungan internasional kontemporer yang menunjukkan terproliferasinya berbagai kerangka formal atau hukum serta berbagai macam aktor yang aktif dalam mendorong pembentukan norma-norma baru melatarbelakangi munculnya pandangan-pandangan baru dari berbagai perspektif Ilmu HI mengenai fenomena tersebut. Tugas Karya Akhir TKA ini bertujuan untuk menemukan relevansi antara Hukum Internasional dan ilmu HI. TKA ini mengelompokkan literatur-literatur berdasarkan perspektif realisme, perspektif liberalisme, perspektif konstruktivisme, dan perspektif institusionalisme dengan menggunakan taksonomi sebagai metode. Perspektif realisme menekankan bahwa baik itu perumusan maupun penegakan hukum internasional tidak terlepas dari peran dan kepentingan negara. Sementara itu, dalam mengkaji hukum internasional, perspektif liberalisme lebih berfokus kepada proses yang terjadi dalam level domestik dan level sistem sehingga peran aktor-aktor domestik juga relevan. Perspektif konstruktivisme berfokus pada signifikansi norma dan agen-agennya dalam membentuk norma baru. Terakhir, perspektif institusionalisme lebih berfokus kepada pandangan yang fungsionalis mengenai signifikansi institusi dan kerangka hukum sebagai dasar untuk mewujudkan kepentingan negara sebagai aktor rasional. Berdasarkan kajian literatur tersebut, teridentifikasi bahwa kedua disiplin saling terkait secara substansial dan kontekstual. TKA ini menemukan bahwa perspektif konstruktivis merupakan perspektif HI yang membuka peluang untuk pengembangan kajian antardisiplin Hukum Internasional dan HI oleh karena kemampuannya dalam mengkaji signifikansi norma dalam hubungan internasional.

The relations between International Law and International Relations HI, which had been disintegrating for some time, have begun to show their linkages to study the phenomena of international relations. The dynamics of the contemporary international relations that signify the proliferation of various formal or legal frameworks as well as various actors who actively build the formation of new norms develop the emergence of new views from various perspectives of IR of the phenomenon. This paper aims to find the relevance between International Law and IR. This paper classifies the literatures based on realist, liberalist, constructivist, and institutionalist perspective by using taxonomy as method. Realism emphasizes that both law-making and law-enforcement can rsquo;t be separated from the role and the interest of state. Meanwhile, in examining international law, liberalism focuses more on the process occur both in domestic and system level so that the role of domestic actors are also significant. Constructivism focuses on the significance of norm and the agents in generating new norms. Lastly, institutionalism focuses on the functionalist view of the significance of institution and legal frameworks as the basis to manifest the interest of state as rational actor. Based on the literatures rsquo; substantial findings, it is identified that both discipline are interrelated both substantially and contextually. Hence, this paper argues that constructivist perspective reveals the opportunities for further development of an interdisciplinary study of International Law and IR due to its ability in explaining the significance of norms in international relations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizh Mulia
"Negara-negara Nordik adalah sekelompok negara yang dianggap sukses membangun
negaranya. Di tiga area kajian ilmu Hubungan Internasional, yakni Politik-Keamanan,
Ekonomi-Politik, dan Sosial-Budaya, negara-negara Nordik tidak luput dari posisi
puncak indikator keberhasilan. Dalam praktiknya, negara-negara Nordik ini menganut
gagasan pembangunan welfare state model Nordik. Meski welfare state model Nordik
sudah berhasil memajukan negara-negara Nordik, gagasan ini belum mendapat perhatian
serius dalam literatur-literatur ilmu Hubungan Internasional. Tulisan ini mengkaji
bagaimana literatur melihat faktor-faktor penunjang kesuksesan gagasan pembangunan
welfare state model Nordik. Literatur berpendapat bahwa kesuksesan welfare state model Nordik didukung oleh dua faktor yang berbeda, yakni karakteristik masyarakat yang
muncul secara alamiah dari masyarakat, dan kebijakan institusional yang dipengaruhi
secara signifikan oleh negara. Dalam praktiknya, kedua faktor ini tidak terpisah secara eksklusif, melainkan memengaruhi satu sama lain memperkuat keunikan welfare state
model Nordik itu sendiri. Menggunakan metode taksonomi, pemetaan literatur dilakukan
berdasarkan dua faktor tersebut. Kajian literatur menemukan adanya lima karakteristik
masyarakat Nordik dan empat kebijakan institusional khas negara Nordik yang
menunjang kesuksesan welfare state model Nordik. Lima karakteristik masyarakat
Nordik tersebut adalah solider, percaya pada negara sebagai solusi masalah sosial,
memiliki kesamaan pandangan ideasional, dan egaliter. Sedangkan empat faktor
kebijakan institusional khas negara Nordik yang ditemukan dalam literatur adalah
dekomodifikasi hak sosial, pajak progresif, collective bargaining antar aktor, dan aktif
mengadvokasi perdamaian dan pembangunan di tingkat internasional. Berdasarkan kajian
literatur, perspektif literatur tampak masih kuat akan bias Barat. Hal ini menjadi salah
satu celah riset utama, selain celah riset lainnya seperti kajian mendalam tiap-tiap faktor dan kajian komparatif penerapan gagasan welfare state model Nordik di negara-negara
non-Nordik.

Nordic countries are considered successful in their developmental programs. In the three areas of International Relations studies, namely Political-Security, Political Economy, and Socio-Cultural, the Nordic countries oftenly gets better scores than the rest of the world. In practice, these Nordic countries adhere to the Nordic model of Welfare State development ideas. Although the Nordic model of Welfare State has succeeded in
advancing Nordic countries, this idea has not received serious attention in the International Relations literature. This paper examines how the literature captures the
factors supporting the success of the Nordic model Welfare State development ideas.
Literature argues that the success of the Nordic model of Welfare State is supported by
two different factors, namely the characteristics of society that arise naturally from the people, and institutional policies that are significantly influenced by the state. In practice, these two factors are not exclusively separated, but instead influencing one another to strengthen the uniqueness of the welfare state of the Nordic model itself. Using the taxonomic method, literature mapping is based on these two factors. Literature finds five characteristics of the people of Nordic and four unique Nordic states institutional policies that support the Nordic model of Welfare State. The five characteristics of the people of Nordic are solidarity, trusting the state as a solution to societal problems, having similar ideational views, and egalitarian. Whereas the four Nordic institutional policies factors
found in the literature are decommodification of social rights, progressive taxes,
collective bargaining between actors, and actively advocating for peace and development
at the international level. Based on the literature examined, the literature perspective seems to be still strong in Western bias. This has become one of the main research gaps, in addition to other research gaps such as an in-depth study of each factor and a comparative study of the application of Nordic model of Welfare State ideas in non-
Nordic countries.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Octavianti Shanna Puspita Ponglabba
"Skripsi ini menganalisis pertimbangan apa yang mendasari keterlibatan Jepang secara triangular dalam Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia. Indonesia sebagai middle-income country yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi kini menjadi salah satu negara yang memiliki keinginan untuk menjadi penyedia KSS, termasuk melalui mekanisme triangular dengan mitra pembangunan dari negara donor tradisional. Sementara, Jepang sebagai donor terbesar ODA bilateral ke Indonesia lantas juga menjadi salah satu mitra pembangunan yang paling aktif. Ada beberapa keunikan terkait keterlibatan Jepang tersebut, antara lain bahwa Jepang telah terlibat melakukan kerja sama triangular dengan Indonesia sejak 1980an, serta area kerja samanya yang lebih banyak berfokus di sektor agrikultur alih-alih infrastruktur seperti ODA bilateralnya. Analisis akan didasarkan pada konsep pertimbangan kebijakan bantuan luar negeri, di mana di dalamnya ada tujuh aspek yang dapat menjadi pertimbangan. Dalam kasus Jepang, tiga aspek yang nampak menonjol yaitu perihal influence, kepentingan ekonomi, dan reputasi. Skripsi ini menemukan bahwa keterlibatan Jepang berdasarkan pertimbangan influence adalah untuk meningkatkan jangkauan Jepang di negara LDCs mengingat karakteristik Indonesia yang secara alami terbuka untuk berhubungan dengan negara manapun serta sebagai salah satu langkah pendukung kebijakan maritimnya di Indo-Pasifik. Kemudian berdasarkan pertimbangan kepentingan ekonomi, Jepang ingin meningkatkan efektivitas dan efisiensi bantuannya di tengah kelesuan ekonomi, mendukung pengembangan investasi di kawasan non-tradisional, menyelaraskan kepentingan dengan ODA bilateral di negara penerima manfaat, serta adanya knowledge asset di sektor agrikultur yang kebetulan juga merupakan sektor unggulan Indonesia dalam KSS. Berdasarkan pertimbangan terakhir yakni reputasi, Jepang ingin mentransformasikan citranya dari donor menjadi mitra sekaligus menjaga citranya di Indonesia yang telah terbangun melalui penyaluran ODA.

This thesis analyzes Japans consideration in participating in a triangular cooperation in Indonesias South-South Cooperation (SSC). Indonesia as a middle-income country which continuously experiences economic growth now has become a country with an ambition to be a SSC provider, including through triangular cooperation with development partners from traditional donor country. Japan as the largest donor of bilateral ODA to Indonesia has also become one of the most active development partners. There are some unique characteristics related to Japan, including the fact that Japan has been involved in triangular cooperation since the 1980s and that in triangular cooperation Japan is mainly involved the agricultural sector instead of infrastructure such as its bilateral ODA. The analysis will be based on the concept of foreign aid policies consideration, where there are seven aspects that can be considered. In the case of Japan, three aspects that stand out are the aspect of influence, economic interests, and reputation. This thesis finds that based on the aspect of influence, Japan aims to widen its reach to various LDCs, especially remembering that Indonesia as a country is open to establish a relation with any country and also as measures to support its maritime policy in the Indo-Pacific. Then, based on economic interests, Japan wants to increase its assistances efficiency and effectivity in the midst of economic recession, support investment development in non-traditional areas, harmonize interests with bilateral ODA in beneficiary countries, and the existence of knowledge assets in the Indonesian agricultural sector in the SSC. Based on the last consideration put forward, which is reputation, Japan wants to transform its image from a donor into a partner while supporting its image in Indonesia that has been built through the distribution of bilateral ODA."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library