Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
E. Kartini
"ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini bertujuan menilai adanya perubahan kadar mikronutrien besi folat zinc dan selenium pada wanita hamil setelah pemberian multivitamin dan multimineral Metode Wanita hamil trimester 1 yang melakukan antenatal care di poliklinik Fetomaternal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juli hingga Oktober 2011 masuk sebagai subjek penelitian Intervensi dilakukan dengan memberikan multivitamin dan mineral yang dikonsumsi 1 tablet perhari selama 3 bulan Pengukuran kadar besi folat zinc dan selenium serum sebelum dan sesudah pemberian multivitamin dan multimineral menjadi keluaran penelitian Analisis statistik menggunakan uji T berpasangan dan uji Wilcoxon Hasil Sebanyak 28 wanita hamil trimester 1 yang bersedia ikut dalam penelitian dan menjalani pemeriksaan kadar mikronutrien sebelum dan sesudah pemberian multivitamin dalam periode penelitian Sebelum pemberian multivitamin kadar besi dan zinc di bawah normal kadar selenium dalam batas normal dan kadar folat di atas normal Pasca suplementasi multivitamin dan multimineral kadar zinc di bawah normal kadar besi dan selenium dalam batas normal dan kadar folat di atas normal Didapat penurunan kadar zinc dan peningkatan kadar folat pasca suplementasi yang bermakna secara statistik p 0 009 p 0 003 Didapat penurunan kadar besi dan peningkatan kadar selenium yang tidak bermakna secara statistik p 0 295 p 0 333 Kesimpulan Terdapat penurunan kadar zinc dan peningkatan kadar folat pasca suplementasi multivitamin dan multimineral Kata Kunci Mikronutrien suplementasi multivitamin dan multimineral

ABSTRACT
Abstract Objective To measure changes of serum iron folate zinc and selenium level on pregnant woman after multi micronutrient supplementationMethod First trimester pregnant woman whom attended Maternal Fetal Policlinic at Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2011 till October 2011 was considered into the study The intervention was consumption of multi micronutrient tablet once a day for three months period Measurements of serum level of iron folate zinc and selenium before and after supplementation were our outcomes We used paired T Test and Wilcoxon test for statistical analysis Results We had a total of 28 pregnant women of first trimester whom participated in the study and had measurement of micronutrient serum level before and after supplementation during the time period Before supplementation Serum iron and zinc level were below normal Serum selenium level was normal with higher than normal serum folate level After supplementation serum zinc level was found to be below normal Both level of serum iron and selenium increased to normal Serum folate level was higher than normal We found a decrease of serum zinc level with an increase in serum folate level that was statistically significant p 0 009 p 0 003 respectively We found slight decrease of serum iron level and an increase of serum selenium level that were not statistically significant p 0 295 p 0 333 Conclusion There is a decreased level of serum zinc with an increase in serum folate level after multi micronutrient supplementationKeywords Multi micronutrient supplementation"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Nurul Hidayah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai dampak asam laktat sebagai terapi ajuvan yang mengatasi gangguan kenyamanan dengan cepat. Merupakan studi eksperimental tersamar tunggal yang dilakukan di Poliklinik Obstetri Ginekologi RSCM dan beberapa klinik swasta Mei 2012 - Juni 2013. Subjek dengan skor gangguan kenyamanan awal ≥5 mendapatkan terapi antimikroba kombinasi dan dikelompokkan dalam empat kelompok. Pada kelompok A vagina dibersihkan dengan larutan asam laktat 1%, dan cebok vagina dengan larutan asam laktat 1%; kelompok B vagina dibersihkan dengan larutan asam laktat 1%, dan cebok vagina dengan air bersih; kelompok C vagina dibersihkan dengan NaCl 0,9%, dan cebok vagina dengan larutan asam laktat 1%; kelompok D vagina dibersihkan dengan NaCl 0,9%, dan cebok vagina dengan air bersih. Dihitung perubahan skor gangguan kenyamanan setelah 24 jam. Sejumlah 81 subjek dianalisa (25 subjek kelompok A, 26 kelompok B, 15 kelompok C, dan 15 kelompok D). Karakteristik subjek keempat kelompok tidak berbeda signifikan. Rerata skor gangguan kenyamanan awal keempat kelompok tidak berbeda signifikan (p = 0.26). Perbaikan skor gangguan kenyamanan pada kelompok uji A lebih baik dibandingkan C ( p= 0.009), dan B lebih baik dibandingkan C (p = 0,04). Disimpulkan bahwa perbaikan skor gangguan kenyamanan signifikan pada kelompok dengan pembersihan vagina menggunakan asam laktat.

ABSTRAK
This study evaluated the effect of lactic acid as adjuvant therapy. Single blinded experimental study using validated questionnaire done in obstetrics and gynecology clinic Cipto Mangunkusumo Hospital and several private clinic from May 2012 to June 2013. Subject having initial discomfort score ≥5 was being treated with combined antimicrobial treatment and being classified into four groups (group A: 1% lactic acid vaginal toilette and 1% lactic acid self vaginal wiping; group B: 1% lactic acid vaginal toilette and clean water self vaginal wiping; group C: NaCl 0.9% vaginal toilette and 1% lactic acid self vaginal wiping; group D: NaCl 0.9% vaginal toilette and clean water self vaginal wiping). We measure the change of discomfort score within 24 hours. We analyzed 81 subjects (25 in group A, 26 in group B, 15 in group C, and 15 in group D). The subject’s character was not significanty different. The mean initial discomfort score was not significantly different (p= 0.26). We found that the reduction score of discomfort was significant in group A compared to group C (p= 0.009), and in group B compared to group C (p= 0,04). There is significant relieve of discomfort in those having vaginal toilette using lactic acid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliefatien Asmanuwati
"Latar belakang: Keputihan merupakan sering dijumpai menjadi alasan wanita berobat ke dokter. Pengenalan faktor risiko dan gejala yang menyertainya serta kaitannya dengan penyebab mikrobiologi keluhan keputihan dapat berguna bagi klinisi dalam praktik sehari-hari. Penelitian ini mencari hubungan antara faktor risiko dan gejala yang dialami terhadap temuan mikrobiologi penyebab keputihan pada wanita usia reproduksi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di Departemen Obstetri & Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Wawancara dilakukan pada pasien di poliklinik dengan keluhan keputihan untuk identifikasi faktor risiko dan gejala. Temuan mikrobiologi dikonfirmasi dengan pemeriksaan yang spesifik sebagai baku emas.
Hasil: Sebanyak 81 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Candida sp merupakan penyebab infeksi tunggal terbanyak yang ditemukan (17 subjek, 12,3%). Hubungan seksual yang sering (≥3 times/week, p<0,001) dan keputihan meningkat setelah berhubungan seksual (p=0.04) bmerupakan faktor risiko dan gejala yang berhubungan dengan Bacterial vaginosis, berturut-turut. Bau amis (p=0,09), nyeri vulva (p=0,026), dan peningkatan keputihan setelah hubungan seksual (p=0,002) merupakan gejala yang berhubungan dengan Trichomonas vaginalis. Gatal (p=0,028), keputihan seperti gumpalan susu (p<0,001), dan keputihan meningkat setelah hari ke-14 siklus menstruasi (p<0.001) berhubungan dengan Candida sp sementara penggunaan pil KB kombinasi (p=0,03) dan perdarahan setelah hubungan seksual (p=0,009) merupakan gejala yang berhubungan dengan Chlamydia trachomatis.
Kesimpulan: Beberapa faktor risiko dan gejala berhubungan dengan temuan mikrobiologi spesifik sebagai penyebab keluhan keputihan pada populasi wanita usia reproduksi.

Background: Vaginal discharge is a common reason for women to seek medical attention worldwide. Recognition risk factors and symptoms and their association to specific microbiological causes of vaginal discharge can be benefical for clinician in clinical practice. This study aimed to identify risk factors and symptoms and their association to specific microbiological causes of vaginal discharge among reproductive aged women.
Methods: This was a cross-sectional study conducted in Department of Obstetric & Gynecology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We interviewed outpatient subjects with vaginal discharge for risk factors and symptoms. Microbiological causes identification was performed using gold standard methods.
Results: A total of 81 subjects were included in this study. Candida sp was the commonest single infection (17 subjects, 12.3%). Frequent (≥3 times/week) sexual intercourse (p <0.001) and increased discharge after sex (p=0.04) were risk factor and symptom associated with Bacterial vaginosis, respectively. Fishy odor (p=0.09), vulva pain (p=0.026), and increased discharge after sex (p=0.002) were symptoms associated with Trichomonas vaginalis. Itchy sensation (p=0.028), clumps of milk appearance (p<0.001), and discharge increased after 14th day of cycle (p<0.001) were associated with Candida sp while taking combination pill (p=0.03) and bloody discharge after sex (p=0.009) were associated with Chlamydia trachomatis.
Conclusion: Several risk factors and symptoms found to be associated with microbiological causes of vaginal discharge in our population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beleonie
"Latar belakang
Penyakit trofoblas gestasional (PTG) merupakan keganasan di bidang ginekologi yang sangat sensitif terhadap kemoterapi. Untuk PTG metastasis risiko tinggi, rejimen kemoterapi standar saat ini dari WHO meliputi kombinasi etoposide, methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide, and vincristine (EMA-CO). Kemoterapi EMA-CO telah terbukti memberikan respon terapi yang baik di beberapa negara di dunia, namun kemoterapi EMACO memerlukan biaya yang besar dan fasilitas yang memadai dalam menangani komplikasi efek samping yang mungkin terjadi. Di beberapa senter, termasuk RSUPNCM, dikembangkan kombinasi kemoterapi lain yakni methotrexate dan etoposide (ME) dan methotrexate, actinomycin, cyclophosphamide atau chlorambucil (MAC).
Tujuan
Mengevaluasi penggunaan kemoterapi ME dan MAC pada tatalaksana PTG metastasis risiko tinggi selama 10 tahun pada periode 2000-2010 di RSUPNCM.
Metode
Pasien PTG metastasis risko tinggi menurut kriteria Hammond di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Januari 2000 hingga Desember 2010 masuk sebagai subjek penelitian. Kelompok terbagi menjadi kelompok dengan terapi ME dan terapi MAC. Pencatatan angka remisi, resisten, efek samping berupa leukopeni, trombositopeni, dan keluhan gastrointestinal berupa mual dan muntah menjadi keluaran penelitian. Analisis statistik menggunakan uji Fisher.
Hasil
Terdapat 70 pasien PTG dari tahun 2000-2010 yang masuk ke dalam kriteria inklusi tercatat pada rekam medis RSUPNCM, namun hanya 53 pasien yang menjalani kemoterapi, di mana 43 pasien mendapatkan kemoterapi ME dan 10 pasien mendapatkan kemoterapi MAC. Tidak ada perbedaan bermakna antara angka remisi penggunaan ME dan MAC ( 81.4% vs 90%, p = 1.0). Tidak ada perbedaan bermakna pula dalam kejadian leucopenia (7& vs 10%, p = 1.0), dan kejadian gastrointestinal seperti mual dan muntah (7% vs 10%, p = 1.0). Namun, terdapat perbedaan bermakna antara kejadian trombositopenia, di mana kejadian lebih tinggi pada penggunaan MAC (7% vs 20%, p =0.32).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna angka remisi dan efek samping leukopeni dan keluhan mual, muntah pada penggunaan kemoterapi ME dibandingkan MAC pada tatalaksana PTG metastasis risiko tinggi, di mana kejadian trombositopeni lebih tinggi pada penggunaan MAC dibandingkan ME. Kadar beta hCG serum sebelum kemoterapi tidak memberikan perbedaan dalam respon terhadap kemoterapi. Namun, hasil penelitian ini harus dianalisa dengan hati-hati, mengingat jumlah sampel yang sedikit.

Background
Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) is a highly chemotherapy sensitive malignancy in gynecology. A combined chemotherapy currently recommended by WHO is the combination of etoposide, methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide, and vincristine (EMA-CO). This combined chemotherapy has been shown to give a good outcome in several cancer centres across the world. However, EMACO is costly and required adequate facilities to anticipate the side effects of the chemotherapy. Several oncology centres, including Cipto Mangunkusumo hospital have been trying other chemotherapy combinations, which are methotrexate and etoposide (ME) and methotrexate, actinomycin, cyclophosphamide atau chlorambucil (MAC).
Aim
To evaluate the outcome of ME and MAC in 10 years treatment of high risk GTN in Cipto Mangunkusumo hospital in a periode of 2000-2010.
Methods
Metastatic high risk GTN patients according to Hammond criteria in Cipto Mangunkusumo hospital from January 2000 to December 2010 are included in research subjects. The patients were divided into two groups, the patients who received ME and those who received MAC. The remission rate, side effects of leucopenia, thrombocytopenia, and gastrointestinal disorders, such as nausea and vomiting were recorded as the outcome of the treatment. The analytical statistic was using Fisher.
Result
From the periode of 2000-2010, there were 70 GTN patients in Cipto Mangunkusumo hospital who were included in the inclusion criterias, recorded in the medical records. There was only 53 patients who received chemotherapy, 43 patients received ME, and 10 patients received MAC. There was no difference on the remission rate between ME and MAC ( 81.4% vs 90%, p = 1.0). There was no difference in the incident of leucopenia (7& vs 10%, p = 1.0), and gastrointestinal complaints, such as nausea and vomiting (7% vs 10%, p = 1.0). However, patients treated with ME had lower incidence of thrombocytopenia in comparison to those treated with ME (7% vs 20%, p =0.32).
Conclusion: No difference in remission rate and side effects of leucopenia, nausea, and vomiting between ME and MAC group. However, the incidence of thrombocytopenia is higher in MAC group. Serum beta hCG level prior to therapy has not affecting the response towards chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Susilawati
"ABSTRAK
Latar belakang
Kematian akibat kanker serviks masih tinggi karena sekitar 90% terdiagnosis pada stadium lanjut. Kanker serviks merupakan penyakit yang dapat dicegah. Rumah sakit memiliki peran penting dalam pencegahan kanker serviks, baik dalam pencegahan primer (vaksinasi HPV) maupun pencegahan sekunder (skrining kanker serviks dan tatalaksana kasus dengan hasil skrining yang positif).
Tujuan
Mengetahui peran rumah sakit di DKI Jakarta dalam pencegahan primer dan sekunder kanker serviks.
Metode
Penelitian ini adalah survey yang dilakukan pada 25 rumah sakit yang dipilih secara simple random sampling dari 109 rumah sakit yang ada di DKI Jakarta. Dilakukan wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai aspek pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap 117 tenaga kesehatan serta identifikasi kesiapan fasilitas terkait pencegahan kanker serviks pada 25 rumah sakit tersebut.
Hasil
Dari aspek pengetahuan penelitian ini menunjukkan bahwa semua tenaga kesehatan (100%) mengetahui bahwa vaksinasi HPV dilakukan sebagai pencegahan primer kanker serviks, 98,3% mengetahui bahwa vaksin HPV disuntikkan intra muskular, 91,5% mengetahui bahwa vaksinasi HPV diberikan 3x yaitu pada bulan ke 0, 1, 6 atau 0, 2, 6, dan 71,8% mengetahui bahwa vaksin HPV disuntikkan pada deltoid. Sebagian besar tenaga kesehatan (99,1%) mengetahui bahwa tes IVA (Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat) dapat digunakan untuk deteksi dini kanker serviks, 76,9% mengetahui cara menginterpretasi hasil tes IVA yang positif, dan 60,7% tahu bagaimana cara melakukan tes IVA. Sebanyak 93,2% tenaga kesehatan mengetahui tujuan tes pap dan 82,1% mengetahui bagaimana cara melakukan tes pap. Dari aspek sikap, sebagian besar tenaga kesehatan (96,6%) setuju untuk memberikan vaksinasi HPV, 94% setuju untuk melakukan tes IVA dan 98,3% setuju untuk melakukan tes pap. Dari aspek perilaku, sebagian besar tenaga kesehatan (76,9%) menawarkan pada klien/pasiennya vaksinasi HPV dan 62,4% pernah melakukan vaksinasi HPV, 52,1% menawarkan dan 30,8% pernah melakukan pemeriksaan IVA serta 86,3% menawarkan dan 71,8% melakukan tes pap. Sebagian besar tenaga kesehatan perempuan yang sesuai dengan persyaratan (75%) sudah melakukan tes pap bagi dirinya sendiri, tetapi hanya 32,5% yang sudah mendapatkan vaksinasi HPV.
Dari segi fasilitas, 20 rumah sakit (80%) di DKI Jakarta menyediakan vaksinasi HPV, dan semua (100%) rumah sakit menyediakan tes pap. Hanya 11 rumah sakit (44%) yang menyediakan tes IVA dan 10 rumah sakit (40%) yang menyediakan kolposkopi.
Kesimpulan
Sebagian besar rumah sakit di DKI Jakarta sudah mempunyai tenaga kesehatan dengan pengetahuan dan sikap yang baik dalam pencegahan kanker serviks, namun dari aspek perilaku sebagian besar belum menunjukkan perilaku yang baik dalam pencegahan primer kanker serviks. Sebagian besar rumah sakit di DKI Jakarta sudah menyediakan fasilitas pelayanan vaksinasi HPV dan tes pap, namun sebagian besar belum menyediakan fasilitas IVA dan kolposkopi.

ABSTRACT
Introduction
Mortality caused by cervical cancer remains high because 90% of cases are diagnosed at advanced stage. Cervical cancer is a preventable disease. Hospitals have an important role in cervical cancer prevention, including primary prevention (HPV vaccination) and secondary prevention (cervical cancer screening and treatment of positive screening results).
Objective
To evaluate the role of hospitals in DKI Jakarta on primary and secondary cervical cancer prevention
Method
This was a survey conducted to 25 hospitals, chosen with simple random sampling from 109 hospitals in DKI Jakarta. Questionnaire used for interview contained statements regarding knowledge, attitude and behavior of 117 health care professionals along with identification of facility preparedness for cervical cancer prevention within those 25 hospitals.
Result
The assessment of knowledge shows that all health care professionals (100%) knew that HPV vaccination is used as a primary prevention for cervical cancer. About 98.3% responden knew HPV vaccine injected intramuscularly. As much as 91.5% of the responden knew HPV vaccine is given three times either at month 0,1, 6 or at month 0,2,6. About 71.8% responden knew deltoid as site for vaccine injection.
Most of health care professionals (99.1%) knew VIA (visual inspection with acetic acid) can be used for early detection of cervical cancer. About 76.9% responden knew how to intepret positive VIA results and 60.7% responden knew how to do VIA test. As much as 93.2% health care professional knew the purpose of Pap test and about 82.1% knew how to do it. From attitude aspect, most of health care professionals (96.6%) agreed in giving HPV vaccination. About 94% of them agreed to do VIA test and about 98.3% agreed in conducting Pap test. From behavioral aspect, most of the responden (76.9%) offered HPV vaccination to their clients/patients and 62.4% responden did HPV vaccination. VIA test was offered and conducted by 52.1% and 30.8% of them, respectively. About 86.3% responden offered Pap test and 71.8% did the Pap test. As many as 75% of female health care professionals who meet the qualification already had a Pap test for themselves, but only 32.5% ever been vaccinated for HPV. From facility aspect, twenty hospitals (80%) in DKI Jakarta offered HPV vaccination with Pap test can be done in all of them. VIA test and colposcopy were only available in eleven (44%) and ten (40%) hospitals respectively.
Conclusion
Most hospitals in DKI Jakarta have health care professionals with good knowledge and attitude in cervical cancer prevention. However, not many have shown expected behavior in the primary prevention. Most hospitals in DKI Jakarta provide facilities for HPV vaccination and Pap test, but only few have VIA facilities and colposcopy."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adyuta Apsari
"Keluhan paling umum yang sering dialami perempuan usia reproduksi datang ke dokter adalah keputihan. Keputihan juga merupakan salah satu prediktor akan adanya infeksi menular seksual (IMS). Deteksi dini dan terapi yang adekuat pada IMS ini merupakan hal yang penting. Keputihan yang tidak diterapi dengan tepat memiliki risiko komplikasi terhadap organ reproduksi terutama pada perempuan dengan usia reproduksi yang seksual aktif. Data mengenai temuan mikroorganisme pada keputihan serta prevalensinya di Indonesia masih terbatas, terutama pada perempuan usia reproduksi seksual aktif. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab masalah diatas. Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data epidemiologis tambahan untuk klinisi dalam mendiagnosis keputihan pada perempuan usia reproduksi seksual aktif di Indonesia, sehingga dapat mengurangi terjadinya terapi yang tidak tepat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan konsekutif sampling. Populasi target adalah semua perempuan usia reproduksi 15-49 tahun dengan keluhan keputihan. Populasi terjangkau adalah semua perempuan usia reproduksi yang sudah seksual aktif dengan keluhan keputihan yang datang ke poliklinik Ginekologi RSCM, RS puskesmas mitra RSCM, pada bulan Mei 2012 sampai Juni 2013.
Hasil: Temuan mikroorganime pada 81 subjek perempuan usia reproduksi seksual aktif dengan keluhan keputihan pada yang setuju mengikuti penelitian ini, yakni Candida sp. 31 orang (38,3%), Grup B Streptococcus 22 orang (27.2%), Trichomonas vaginalis 17 orang (21,0%), Staphylocossus aureus 16 orang (19.8%), Bacterial vaginosis 15 orang (18,5%), Chlamydia trachomatis sebanyak 11 orang (13,6%), Staphylococcus epidedermidis 8 orang (9.9%), Streptococcus viridans 5 orang (6.2%), Grup A Streptococcus 4 orang (4.9%), Acinetobacter baumanii 3 orang (3,7%), Neissseria gonorrhoe 2 orang (2,5%), Eschericia coli 2 orang (2.5%), Klebsiella pneumionia 2 orang (2.5%), Enterobacter aerogens 1 orang (1.2%), dan temuan mikroorganisme negatif pada 20 orang (24.6%). Pada identifikasi Candida sp, hasil kultur menunjukkan adanya Candida albicans pada 20 subjek (24,7%), Candida glabrata 5 subjek (6.2%), Candida tropicalis 3 subjek (3.7%), Candida parapsiolosis 2 subjek (2.5%).
Kesimpulan: Mikroorganisme yang ditemukan pada perempuan usia reproduksi yang seksual aktif dengan keluhan keputihan secara berurutan dari persentase yang tersering adalah Candida sp., Grup B Streptococcus, Trichomonas vaginalis, Staphylocossus aureus, Bacterial vaginosis, Chlamydia trachomatis, Staphylococcus epidedermidis, Streptococcus viridans, Grup A Streptococcus, Acinetobacter baumanii, Neissseria gonorrhoeae, Eschericia coli, Klebsiella pneumionia, Enterobacter aerogens. Pemeriksaan kultur menunjukkan spesies candida yang paling sering ditemukan secara berurutan adalah Candida albicans, Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida parapsiolosis.

Background: The commonest complaint of reproductive age women visiting a doctor is because of vaginal discharge. Vaginal discharge is one of the predictor of a sexual transmitted disease. Early detection and adequate therapy of sexual transmitted disease is an important matter. Vaginal discharge which were given inadequate therapy, can risc having complication on reproductive organs, especially in sexually active reproductive age women. Study in Indonesia regarding microorganisme findings in sexually active reproductive age women is still limited. This study was meant to solve this problem.
Method: This study was descriptive observational study with consecutive sampling. The target population in this study were all sexually active reproductive age women who had complaints of vaginal discharge. The population of this study was affordable to all sexually active reproductive women who were treated at the Outpatient Clinic of Gynecology Unit of Ciptomangunkusumo Hospital and PHC partner of Ciptomangunkusumo Hospital in the period of may 2012 until June 2013.
Results: Microorganism findings in 81 sexually active women 18-45 years old who participated in this study, are Candida sp. 31 subject (38,3%), Grup B Streptococcus 22 subject (27.2%), Trichomonas vaginalis 17 subject(21,0%), Staphylocossus aureus 16 subject(19.8%), Bacterial vaginosis 15 subject(18,5%), Chlamydia trachomatis 11 subject (13,6%), Staphylococcus epidedermidis 8 subjects (9.9%), Streptococcus viridans 5 subjects (6.2%), Grup A Streptococcus 4 subjects (4.9%), Acinetobacter baumanii 3 subjects (3,7%), Neissseria gonorrhoeae 2 subjects (2,5%), Eschericia coli 2 subjects (2.5%), Klebsiella pneumionia 2 subjects (2.5%), Enterobacter aerogens 1 subjects (1.2%), negative findings on 20 subjects(24.6%). In the Identification of Candida sp, Culture result showed Candida albicans on 20 subjects (24,7%), Candida glabrata 5 subjects (6.2%), Candida tropicalis 3 subjek (3.7%), Candida parapsiolosis 2 subjects (2.5%).
Summary: Microorganism findings in sexually active reproductive age women from the highest percentage order, are Candida sp.,Grup B Streptococcus, Trichomonas vaginalis, Staphylocossus aureus, Bacterial vaginosis, Chlamydia trachomatis, Staphylococcus epidedermidis, Streptococcus viridians, Grup A Streptococcus, Acinetobacter baumanii 3, Neissseria gonorrhoeae, Eschericia coli, Klebsiella pneumionia, Enterobacter aerogens. In the Identification of Candida sp, culture result from the highest percentage order are, Candida albicans, Candida glabrata Candida tropicalis, and Candida parapsiolosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Omo Abdul Madjid
"Dalam pelayanan kesehatan, peranan Fasilitas Kesehatan Primer yang berhadapan langsung dengan masyarakat sangat penting. Kompetensi personal fasilitas pelayanan kesehatan dalam tatakelola pelayanan khususnya di fasilitas pelayanan primer masih terbatas. Hal itu disebabkan pembekalan melalui pendidikan dan pelatihan belum memenuhi kebutuhan kompetensi manajemen akibat kurikulum pendidikan dan pelatihan yang belum dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian terapan bertujuan mengembangkan model manajemen peningkatan mutu terpadu pelayanan di Fasilitas Kesehatan Primer.
Penelitian menggunakan metode  Kombinasi Kuantitatif-Kualitatif (Mixed Methods) dan rancangan  sequential explanatory. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu, tahap penelitian kuantitatif bertujuan menilai mutu layanan dari sisi pelanggan dengan rancangan potong lintang. Tahap penelitian kualitatif bertujuan menilai mutu dari sisi penyedia. Responden penelitian kuantitatif adalah akseptor penerima pelayanan KB AKDR Pasca Persalinan di Fasilitas Kesehatan Primer di Jakarta. Responden penelitian kualitatif adalah tim petugas di Fasilitas Pelayanan Primer dan Pakar di bidang Keluarga Berencana. Pengumpulan data penelitian kuanititatif menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Pengumpulan data penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam menggunakan instrumen maturitas organisasi dan penilaian oleh pakar menggunakan metode Delphi.  Model akhir manajemen peningkatan mutu terpadu dikembangkan dari model awal yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka.
Berdasarkan kepuasan pelanggan sebanyak 141 (81,1%) responden merasa puas, 35 (19,9%) responden merasa tidak puas. Berdasarkan keselamatan pasien 166 (94,3%) responden menyatakan keselamatan baik, 10 (5,7%) responden menyatakan keselamatan kurang. Pada penilaian mutu dari sisi pelanggan variabel yang memengaruhi mutu adalah regulasi dan standarisasi, sarana prasarana, komunikasi efektif dan kepemimpinan klinik. Pada penilaian mutu dari sisi penyedia dengan penilaian maturitas proses dan maturitas organisasi masing-masing pada tingkat pertama dan kedua dari empat tingkat maturitas. Dari model awal berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian disintesis model akhir Manajemen Peningkatan Mutu Terpadu di Fasilitas Kesehatan Primer.
Simpulan: Telah berhasil dikembangkan model Manajemen Peningkatan Mutu Terpadu (M-PMT) di fasilitas Kesehatan Primer yang merupakan perangkat manajemen fasilitas Kesehatan Primer dalam proses manajemen mutu pelayanan untuk mencapai kinerja mutu unggul. Model dikembangkan dengan pendekatan terpadu, komprehensif, holistik dan berkelanjutan. Pendekatan terpadu dalam struktur rancangan sistem sebagai komponen input. Komponen proses dengan pendekatan komprehensif dalam siklus perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan evaluasi melalui proses pembelajaran mencapai tingkat kematangan proses dan organisasi berkelanjutan.

In health services, Primary Health Facilities plays an important role in dealing directly with the community. The personal competence of health service facilities in service governance, especially in primary care facilities, is still limited. This is due to the fact that debriefing through education and training has not met the needs of management competencies due to education and training curricula that have not been designed and implemented according to the needs and expectations of the community.
This is an applied research aimed at developing an integrated quality improvement management model of service in Primary Health Facilities.
The study combined quantitative methods and sequential explanatory design. This study consists of two stages. The quantitative research stage aims to assess the quality of service from the customer side with a cross-sectional design. The qualitative research phase aims to assess the quality of the provider. Quantitative research respondents are acceptors of contraceptive services of postnatal IUD at Primary Health Facilities in Jakarta. respondents from qualitative research team were officers at Primary Service Facilities and experts in the field of Family Planning. Quantitative research data is collected using validated questionnaires. Collecting qualitative research data using in-depth interview methods using organizational maturity instruments and expert assessment using the Delphi method. The final model of integrated quality improvement management was developed from the initial model which was compiled based on literature review.
Regarding customer satisfaction, 141 (81.1%) respondents were satisfied and 35 (19.9%) respondents felt dissatisfied. Regarding patient safety, 166 (94.3%) respondents stated safety was good and 10 (5.7%) respondents said that safety was lacking. In the quality assessment from the customer side, the variables that affect quality are regulation and standardization, infrastructure, effective communication and clinical leadership. In the assessment of quality from the provider side by assessing the process maturity and organizational maturity of each at the first and second levels of the four maturity levels. The final model of Integrated Quality Improvement Management in Primary Health Facilities is synthesized from the initial model based on literature review and the results of the study.
Conclusion: The Integrated Quality Improvement Management (M-PMT) Management model in Primary Health facilities has been successfully developed. The result is a primary health facility management tool in the service quality management process to achieve superior quality performance. The model is developed with an integrated, comprehensive, holistic and sustainable approach. Integrated approach in the structure of the system design served as as an input component. The process component with a comprehensive approach in the cycle of planning, implementing and monitoring evaluations through the learning process reaches a sustainable level of process and organization maturity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library