Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Malik Ayub
"Latar belakang: Sampai saat ini, belum ada pemeriksaan baku emas dari sindrom frailty pada populasi usia lanjut dengan gagal jantung. Cardiovascular Health Study (CHS) saat ini dianggap sebagai referensi standar oleh berbagai studi dalam mendiagnosis sindrom frailty pada populasi usia lanjut dengan gagal jantung. CHS memerlukan alat dinamometer, ruangan yang luas untuk digunakan sehingga memiliki aplikabilitas yang rendah dalam praktik sehari-hari. INA-FRAIL dan Study of Osteoporotic Fractures (SOF) Index merupakan instrumen yang mudah digunakan tetapi belum pernah diuji pada populasi usia lanjut dengan gagal jantung di Indonesia. Tujuan: Mengetahui performa diagnostik alat ukur INA-FRAIL dan SOF-Index dalam mendiagnosis sindrom frailty pada populasi usia lanjut dengan gagal jantung. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional study) untuk menilai performa diagnostik INA-FRAIL dan SOF index dengan baku emas CHS. Populasi studi ini adalah individu berusia 60 tahun keatas dengan gagal jantung. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Jantung Terpadu (PJT) dan Poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hasil: Hasil analisis data dari 81 sampel menunjukkan prevalensi frailty pada instrumen CHS (35,5%), INA-FRAIL (23,5%), dan SOF-Index (8,6%). Analisis performa diagnostik INA-FRAIL menunjukkan sensitivitas 55,17% (IK95% 35.69 - 73.55), spesifisitas 94.23% (IK 95% 84.05 - 98.79), dan AUC 0,805 (0,698-0,912). Analisis performa diagnostik SOF-Index menunjukkan sensitivitas 20,69% (IK 95% 7,99 – 39,72), spesifisitas 98,08% (IK 95% 89,74 – 99,95), dan AUC 0,719 (IK95% 0,595 - 0,843). Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara INA-FRAIL dan SOF-Index terhadap CHS. Nilai cut-off INA-FRAIL≥1 memiliki sensitivitas tertinggi dan INA-FRAIL≥2 memiliki indeks youden tertinggi. Nilai cut-off SOF-Index≥1 memiliki sensitivitas dan indeks youden tertinggi.

Background: Currently, there is no specific gold standard for frailty in geriatric patients with heart failure. Cardiovascular Health Study (CHS) is considered as a reference standard in various researches and has been used to diagnose frailty in geriatric patients with heart failure. CHS require a dynamometer and a wide space to use, making it not very applicable in everyday practice. INA-FRAIL dan Study of Osteoporotic Fractures (SOF) Index on the other hand is relatively easy to use but has not been tested for diagnostic performance on geriatric patients with heart failure in Indonesia. Aim: To determine diagnostic performances of INA-FRAIL dan SOF-Index in diagnosing frailty in the elderly patients with heart failure. Method: This study is a cross-sectional study to assess diagnostic performances of INA-FRAIL and SOF-Index with CHS being the gold standard in this study. The population of this study is heart failure patients with age 60 or older. This study was conducted in Poliklinik Jantung Terpadu (PJT) dan Geriatric Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. Results: Analysis from 81 samples shows prevalence of frailty based on CHS (35.5%), INA-FRAIL (23.5%), dan SOF-Index (8,6%). Diagnostic performance analysis of INA-FRAIL shows sensitivity of 55,17% (95%CI 35.69 - 73.55), specificity of 94.23% (95%CI 84.05 - 98.79), dan AUC of 0.805 (95%CI 0.698-0.912). Diagnostic performance analysis of SOF shows 20,69% sensitivity (95%CI 7.99 – 39.72), 98.08% specificity (IK 95% 89.74 – 99.95), and AUC 0.719 (95%CI 0.595 – 0.843). Conclusion: INA-FRAIL and SOF-Index had a significant association with CHS. Cut-off point of INA-FRAIL ≥1 shows the highest sensitivity while INA-FRAIL ≥2 shows the highest youden index. SOF≥1 shows the highest sensitivity and the highest youden index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Perkasa
"Latar belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Identifikasi faktor prediktor yang mempengaruhi terjadinya MACE selama perawatan diharapkan dapat meningkatkan perawatan dan luaran klinis dari pasien STEMI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prediktor MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP di RSCM.
Metode : Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani IKPP di RSCM periode Januari 2015-Maret 2020. Dilakukan analisa bivariat antara faktor prediktor usia, status merokok, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, time-to-treatment, kelas killip, fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) dan kadar kolesterol LDL dengan kejadian MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP, menggunakan metode Chi-square. Analisa multivariat dan analisa model prediksi dilakukan dengan metode regresi logistik terhadap variabel dengan nilai p= <0,25 pada analisa bivariat.
Hasil : Didapatkan subyek sebanyak 291 pasien untuk diteliti. Major Adverse Cardiac Events selama perawatan didapatkan sebesar 43,3% dengan usia >60 tahun (29,6%), status merokok (61,2%), hipertensi (50,9%), diabetes mellitus (36.1%), penyakit ginjal kronik (6,2%), kelas Killip II-IV (32,2%), FEVK > 50% (57%) dan kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment didapatkan sebesar 528 (379-730) menit. Usia, kelas killip dan FEVK mempengaruhi kejadian MACE selama perawatan dengan OR (IK 95%) masing-masing 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) dan 2,88 (1,72-4,82). Model prediksi MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP memiliki nilai area under curve (AUC) 0,729 (IK 95% 0,67-0,78).
Kesimpulan : Major Adverse Cardiac Events (MACE) selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP sebesar 43,3%, yang dipengaruhi oleh usia, kelas killip dan FEVK.

Introduction: Major Adverse Cardiac Events (MACE) is the main causes to increase mortality on ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients who undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). In-hospital MACE inducing factor predictors identification is expected to enhance STEMI patients’ care and outcome. This study aims to identify in-hospital MACE factor predictors on STEMI patients with PPCI treatment at RSCM.
Method: Restropective cohort study by tracing medical record on patients with PPCI treatment at RSCM during January 2015 - March 2020. Chi-squared bivariate analysis concluded between predictor factors; age, smoking, hypertension, diabetic mellitus, chronic kidney disease, time-to-treatment, killip class, left ventricle ejection fraction (LVEF) and LDL cholesterol level. Logistic regression is used on multivariat and prediction model analysis on variables with p=<0,25 in bivariate analysis.
Result: This study involves 291 patient subjects. During this study, the occurance of MACE is 43.3% on patients age > 60 years (29,6%), smoking (61,2%), hypertension (50,9%), diabetes mellitus (36,1%), chronic kidney disease (6,2%), killip class II-IV (32,2%), LVEF > 50% (57%) dan cholesterol LDL level > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment is 528 (379-730) minutes. Age, killip class, and LVEF influences in-hospital MACE during PPCI with OR (95% CI) consecutively are 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) and 2,88 (1,72-4,82). MACE prediction model in this study produces area under curve (AUC) 0,729 (95% CI 0,67-0,78).
Conclusion: In-hospital MACE on STEMI patient after PPCI occurance is 43.3%, influenced by age, killip class, and LVEF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsanul Rajasa
"Latar Belakang. Banyak faktor yang memengaruhi derajat berat infeksi dan mortalitas dari infeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). COVID-19 menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, namun sampai saat ini mekanisme kerusakan ini belum banyak diketahui. Metode untuk menilai fungsi sekresi dari sel beta pankreas adalah Homeostatic Model Assessment- β (HOMA-β) dan C-peptide. Tujuan. Mengetahui hubungan antara HOMA-β dan C-peptide saat admisi dengan luaran buruk pada pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dirawat inap. Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien terkonfirmasi COVID-19 (derajat ringan/sedang) berusia > 18 tahun, yang dirawat inap di RSCM Kiara dalam periode waktu September 2020 – Maret 2021, dengan HbA1c <6,5% serta tanpa riwayat diabetes sebelumnya, menjalani pemeriksaan HOMA-β dan C-Peptide. Ditentukan nilai titik potong keduanya untuk kemudian dilihat hubungannya dengan luaran buruk selama perawatan tersebut. Hasil. Dari 232 subyek yang memenuhi kriteria, terdapat 10(4,3%) subyek dengan luaran buruk. Median HOMA-β pada luaran buruk adalah 70,28% (RIK 32,25 – 132,11), sementara itu pada luaran baik adalah 121,6% (RIK 82,39 – 174,23). Median C-peptide pada luaran buruk dan baik berturut-turut adalah 2059 (RIK 1508 – 2762) dan 1647 (RIK 1107 – 2461). Nilai titik potong HOMA-β 80%, dengan AUC 0,702 (IK 95% 0,526-0,879) menunjukkan sensitifitas 60% dan spesifisitas 71,4%. Nilai Hazard Ratio (HR) dari HOMA-β <80 adalah 4,660 (p=0,017). Nilai titik potong C-peptide tidak dapat ditentukan karena AUC 0,555. Kesimpulan. Terdapat hubungan antara nilai HOMA-β saat admisi dengan luaran buruk selama perawatan pada pasien terkonfirmasi COVID-19, namun hubungan C-Peptide tidak didapatkan kemaknaannya dengan luaran buruk selama perawatan. Kata Kunci. COVID-19, C-Peptide, HOMA-β, Luaran buruk.

Background. Many factors affect the severity of infection and mortality of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) infection. COVID-19 virus linked to pancreatic beta cells damage, yet the mechanism is still unclear. A method to assess the secretory function of pancreatic beta cells is based on Homeostatic Model Assessment- (HOMA-β) and C-peptide. Aim. Determine the relationship between HOMA-β and C-peptide values during admission in hospitalized confirmed COVID-19 patients with poor outcomes. Method. This is a retrospective cohort study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Patients with confirmed COVID-19 (mild/moderate) who were hospitalized at the RSCM Kiara Hospital during the period September 2020 – March 2021, with HbA1c <6.5%, and without history of diabetes underwent HOMA-β and C-Peptide examination. The cut-off point for both was evaluated, furthermore the relationship with poor outcomes during hospitalization was assessed. Result. From 232 subjects met the inclusion and exclusion criteria, there were 10 (4.3%) subjects with poor outcomes. Median of HOMA-β in poor outcome group was 70.28% (IQR 32.25 – 132.11) while in good outcome group was 121.6% (IQR 82.39 – 174.23). The median of C-peptide on poor and good outcome were 2059 (IQR 1508 – 2762) vs. 1647 (IQR 1107 – 2461), respectively. The HOMA-β cut- off point was 80% showed AUC 0.702 (95% CI 0.526-0.879), with sensitivity 60% and specificity 71.4%. The Hazard Ratio (HR) of HOMA-β value <80% was 4.660 (p=0.017). The C-peptide cut-off point could not be determined because the AUC was 0.555. Conclusion. There is a significant relationship between the HOMA-β during admission and the poor outcome of hospitalized patients with confirmed COVID- 19 yet there is no significant relationship between C-Peptide and poor outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tasha Farhana Dahlan
"Latar Belakang
Sindrom koroner akut (SKA) masih merupakan salah satu penyebab mortalitas tertinggi di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi penyakit jantung pada penduduk semua umur sebesar 1,5%. Intervensi Koroner Perkutan (IKP) adalah salah satu Teknik revaskularisasi pada SKA. Meskipun dengan adanya IKP, luaran buruk, yaitu Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) jangka pendek (30 hari) masih cukup tinggi.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi MACE 30 hari dan faktor prognostik kejadian MACE 30 hari pada pasien SKA yang menjalani IKP serta membuat model prediksinya.
Metode
Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan jumlah subjek sebesar 424 orang. Pemilihan subjek dilakukan secara konsekutif. Dilakukan analisis bivariat faktor risiko MACE 30 hari (Usia, Diabetes Mellitus, Hipertensi, Status Merokok, Penyakit Ginjal Kronik, Dislipidemia, Multiple Vessel Disease (MVD), Kadar asam urat darah, Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri, TIMI Flow grade, dan Rasio monosit-HDL) termasuk faktor risiko tambahan (Kelas Killip, Left Main Disease (LMD), kadar troponin, dan jenis SKA) lalu dilakukan analisis multivariat pada variabel yang bermakna.
Hasil
Didapatkan MACE 30 hari pada 54 subjek (12,74%). Pada analisis bivariat variabel yang bermakna adalah usia, fraksi ejeksi di bawah 40%, adanya LMD, MVD, peningkatan kelas Killip, dan peningkatan troponin. Model akhir yang didapatkan hanya meliputi kelas Killip dan fraksi ejeksi di bawah 40% dengan AUC 0,774.
Kesimpulan
Prevalensi MACE 30 hari pada pasien SKA paska IKP didapatkan 12,74%. Kelas Killip dan EF di bawah 40% dapat memprediksi kejadian MACE 30 hari pada pasien SKA paska IKP.

Background
Acute coronary syndrome (ACS) is still one of the highest causes of mortality in Indonesia. Basic Health Research Data (RISKESDAS) in 2018 showed that the prevalence of heart disease in the population of all ages was 1.5%. Percutaneous Coronary Intervention is one of the revascularization techniques in ACS. Despite the existence of Primary Coronary Intervention (PCI), adverse outcomes, collectively known as Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) of 30 days are still quite high.
Objective
To determine the prevalence of 30 days MACE and prognostic factors and prediction model for the incidence of 30-day MACE in ACS patients undergoing PCI.
Method
This is a retrospective cohort study with a total of 424 subjects. Subject selection was carried out consecutively. A bivariate analysis of 30-day MACE risk factors (Age, Diabetes Mellitus, Hypertension, Smoking, Chronic Kidney Disease, Dyslipidemia, Multiple Vessel Disease (MVD), Uric Acid, Left Ventricle Ejection Fraction, TIMI Flow grade, and Monocyte-HDL ratio) including additional risk factors (Killip class, Left Main Disease (LMD), Troponin, and ACS type) was carried out and then a multivariate analysis was carried out on significant variables.
Results
Thirty-day MACE was found in 54 subjects (12.74%). In the bivariate analysis the significant variables were age, ejection fraction below 40%, presence of LMD, MVD, increased Killip class, and increased troponin. The final model obtained only includes the Killip class and an ejection fraction below 40% with an AUC of 0.774.
Conclusion
Prevalence of 30 days MACE I post PCI procedure patients were 12,74%. Killip class and EF below 40% can predict 30-day MACE events in ACS patients post PCI procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Nur Karim
"Latar Belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kondisi aliran darah menuju miokardium tidak terpenuhi, yang bertanggung jawab atas lebih dari 7 juta kematian di dunia setiap tahun. Skor risiko TIMI adalah alat stratifikasi untuk pasien SKA yang menilai berbagai faktor risiko untuk menetapkan prognosis. Kadar natrium dan kalium dalam darah telah ditemukan sebagai indikator dalam prognosis pada pasien SKA. Penelitian ini bertujuan untuk mencari asosiasi antara natrium dan kalium dalam darah dengan skor risiko TIMI pada pasien SKA, beserta kegunaannya sebagai faktor prognosis. Metode: Penelitian ini menerapkan studi analitik cross-sectional yang menggunakan data sekunder melalui rekam medik RSCM, yang termasuk pasien SKA dengan hasil skor risiko TIMI, dan kadar natrium serta kalium darah saat admisi pasien. Analisis data menggunakan 111 sampel data dengan program SPSS20. Hasil: Asosiasi antara kadar serum natrium saat admisi dengan skor risiko TIMI disebut signifikan secara statistik (p=0.013). Namun, asosiasi antara kadar serum kalium saat admisi dengan skor risiko TIMI tidak memiliki makna yang signifikan secara statistik (p=0.286). Kesimpulan: Analisis memperlihatkan asosiasi yang bermakna secara statistik dalam kadar natrium darah pada subjek saat admisi dengan skor risiko TIMI. Tidak ada asosiasi yang signifikan antara kadar kalium darah pada subjek saat admisi dengan skor risiko TIMI.

Introduction: Acute Coronary Syndrome (ACS) is a condition of inadequate blood supply of the myocardium, which responsible for the death of 7 million people each year worldwide. TIMI risk score is a risk stratification tool for ACS patients that assess multiple risk factor to establish the prognosis. The serum sodium and potassium level have been found as indicators of prognosis among ACS patients. This research intends to discover the association between serum sodium and potassium with TIMI risk score in ACS patients and its utilization as a prognostic factor. Method: This research applies an analytical cross-sectional study that utilize secondary data that was taken from the medical record of RSCM, which consists of ACS patients with TIMI risk score, admission serum sodium level, and admission serum potassium level. Data analysis uses 111 sample data with SPSS20 program. Results: Association between admission serum sodium level with TIMI risk score is statistically significant (p=0.013). However, admission serum potassium level with TIMI risk score has no statistical significance (p=0.286). Conclusion: It prevail the statistical significance on the association of subjects’ serum sodium level with TIMI risk score. There is no significant association between the subjects’ serum potassium level and TIMI risk score."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Nur Karim
"Latar Belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kondisi aliran darah menuju miokardium tidak terpenuhi, yang bertanggung jawab atas lebih dari 7 juta kematian di dunia setiap tahun. Skor risiko TIMI adalah alat stratifikasi untuk pasien SKA yang menilai berbagai faktor risiko untuk menetapkan prognosis. Kadar natrium dan kalium dalam darah telah ditemukan sebagai indikator dalam prognosis pada pasien SKA. Penelitian ini bertujuan untuk mencari asosiasi antara natrium dan kalium dalam darah dengan skor risiko TIMI pada pasien SKA, beserta kegunaannya sebagai faktor prognosis. Metode: Penelitian ini menerapkan studi analitik cross-sectional yang menggunakan data sekunder melalui rekam medik RSCM, yang termasuk pasien SKA dengan hasil skor risiko TIMI, dan kadar natrium serta kalium darah saat admisi pasien. Analisis data menggunakan 111 sampel data dengan program SPSS20. Hasil: Asosiasi antara kadar serum natrium saat admisi dengan skor risiko TIMI disebut signifikan secara statistik (p=0.013). Namun, asosiasi antara kadar serum kalium saat admisi dengan skor risiko TIMI tidak memiliki makna yang signifikan secara statistik (p=0.286). Kesimpulan: Analisis memperlihatkan asosiasi yang bermakna secara statistik dalam kadar natrium darah pada subjek saat admisi dengan skor risiko TIMI. Tidak ada asosiasi yang signifikan antara kadar kalium darah pada subjek saat admisi dengan skor risiko TIMI.

Introduction: Acute Coronary Syndrome (ACS) is a condition of inadequate blood supply of the myocardium, which responsible for the death of 7 million people each year worldwide. TIMI risk score is a risk stratification tool for ACS patients that assess multiple risk factor to establish the prognosis. The serum sodium and potassium level have been found as indicators of prognosis among ACS patients. This research intends to discover the association between serum sodium and potassium with TIMI risk score in ACS patients and its utilization as a prognostic factor. Method: This research applies an analytical cross-sectional study that utilize secondary data that was taken from the medical record of RSCM, which consists of ACS patients with TIMI risk score, admission serum sodium level, and admission serum potassium level. Data analysis uses 111 sample data with SPSS20 program. Results: Association between admission serum sodium level with TIMI risk score is statistically significant (p=0.013). However, admission serum potassium level with TIMI risk score has no statistical significance (p=0.286). Conclusion: It prevail the statistical significance on the association of subjects’ serum sodium level with TIMI risk score. There is no significant association between the subjects’ serum potassium level and TIMI risk score."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lingnawati
"Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di sebagian negara berkembang. Pasien IMA dengan penyakit ginjal kronis (PGK) mempunyai risiko tinggi terjadinya luaran major adverse cardiac events(MACE) dan mortalitas. Infark miokardium terjadi akibat erosi, maupun ruptur plak aterosklerotik, yang memicu oklusi arteri koroner. Sel yang nekrosis akan melepaskan komponen intraseluer seperti enzim creatine kinase(CK), maupun isoenzim CK-MB, serta protein struktural, seperti troponin ke dalam sirkulasi sistemik. Troponin sebagai baku emas penanda jantung dalam diagnosis IMA, mengalami penurunan spesifisitas, seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus pada pasien PGK sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai diagnostik CK total dan aktivitas CK-MB sebagai penanda alternatif dalam diagnosis IMA, serta nilai prognostiknya terhadap kejadian MACE pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dengan PGK. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai peran pemeriksaan CK total dan aktivitas CK-MB dalam diagnosis IMA, serta desain nested case controluntuk memprediksi kejadian MACE dalam kurun waktu 30 hari. Sejumlah 109 pasien yang memenuhi kriteria, diikutsertakan ke dalam penelitian ini. Pemeriksaan CK total mempunyai luas area under curve(AUC) 81,9% dengan cut-offbatas atas nilai rujukan, yaitu 171 U/L untuk laki-laki, dan 145 U/L untuk perempuan (sensitivitas 76,3%; spesifisitas62,5%), sedangkan pemeriksaan aktivitas CK-MB mempunyai luas AUC 95,2% dengan cut-off14,55 U/L (sensitivitas 92,5%; spesifisitas 87,5%) dalam diagnosis IMA. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara nilai CK total [OR= 0,99; p= 0,98], dan aktivitas CK-MB [OR= 1,31; p= 0,58] dengan kejadian MACE pada pasien SKA dengan PGK. Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan CK total pada batas atas nilai rujukan, dan aktivitas CK-MB pada titik potong 14,55 U/L dapat digunakan sebagai penanda biokimia jantung alternatif dalam diagnosis IMA pada pasien SKA dengan PGK, namun tidak dapat memprediksi luaran kejadian MACE.

Acute myocardial infarction (AMI) is one of the major health problems in some developing countries. Acute myocardial infarction patients with chronic kidney disease (CKD) have a high risk of developing major adverse cardiac events (MACE) and high mortality. Myocardial infarction which results either from erosion or atherosclerotic plaque rupture may triggers coronary artery occlusion. The necrotic cells release intracellular components like creatine kinase (CK) enzyme and CK-MB isoenzyme as well as structural proteins like troponin into the systemic circulation. Troponin, as the gold standard for cardiac markers in the diagnosis of AMI, has decreased specificity along with the decrease in glomerular filtration rate in CKD patients. Therefore, this study aims to obtain a diagnostic value of total CK and CK-MB activity as an alternative marker in the diagnosis of AMI, and to obtain its prognostic value for the occurrence of MACE in acute cardiovascular disease (ACD) patients with CKD. This study uses a cross-sectional design to assess the role of total CK assay and CK-MB activity in AMI diagnosis, as well as a nested case control design to predict the occurrence of MACE within 30 days. A total of 109 patients who met the criteria were included in this study. The total CK assay has an area under the curve (AUC) of 81.9% with cut-off at the upper limit of the reference value at 171 U/L for men, and 145 U/L for women (sensitivity 76.3%; specificity 62.5%), while the assessment of CK-MB activity has an AUC of 95.2% with a cut-off of 14.55 U/L (sensitivity 92.5%; specificity 87.5%) in the diagnosis of AMI. Statistically, there was no significant relationship found between the total CK value [OR= 0.99; p= 0.98] and CK-MB activity [OR= 1.31; p= 0.58] with the occurrence of MACE in ACS patients with CKD. Based on these results, the total CK assay at the upper limit of the reference value, and CK-MB activity at the 14.55 U/L cut point can be used as an alternative biochemical cardiac markers in the diagnosis of AMI in ACS patients with CKD, but cannot predict the outcome of MACE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pravita Sari
"Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian pada sindrom koroner akut adalah terjadinya komplikasi yang dikenal dengan major adverse cardiac event MACE . Terdapat beberapa prediktor terjadinya MACE pada pasien SKA, diantaranya adalah faktor psikologis yaitu depresi dan ansietas. Saat ini, depresi dan ansietas belum mendapat banyak perhatian padahal memiliki peran penting dalam pengobatan SKA dan prognosisnya.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara depresi dan ansietas dengan major adverse cardiac event dalam 7 hari pada pasien SKA.
Metode. Studi dengan desain kohort prospektif untuk meneliti hubungan antara depresi dan ansietas dengan MACE dalam 7 hari pasien SKA, dengan menggunakan kuisioner HADS pada pasien SKA yang menjalani perawatan di ICCU, Rawat Inap Gedung A RSCM pada bulan Januari ndash; Mei 2018. Analisis bivariat dilakukan untuk menghitung risk ratio RR terjadinya MACE dalam 7 hari pada kelompok depresi dan ansietas dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Didapatkan jumlah subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 114 orang. depresi didapatkan pada 7 subjek, ansietas didapatkan pada 28,95 subjek, dan MACE didapatkan pada 9,6 subjek. Pada kelompok depesi, MACE 7 hari terjadi pada 12,5 subjek. Pada kelompok Ansietas, MACE 7 hari terjadi pada 21,2 subjek. Pada analisis bivariat didapatkan ansietas meningkatkan risiko terjadinya MACE dalam 7 hari pada pasien SKA, dengan risiko relatif RR sebesar 4,2 IK 1,34 ndash; 13,7.
Kesimpulan. Proporsi depresi pada pasien SKA di RSCM sebesar 7 dan proporsi ansietas pada pasien SKA di RSCM sebesar 28,95 . Ansietas pada pasien SKA merupakan prediktor independen terjadinya MACE dalam 7 hari dan meningkatkan risiko terjadinya MACE 7 hari.

Background. One of the causes of death in acute coronary syndrome is the occurrence of a complication known as major adverse cardiac event MACE. There are several predictors of the occurrence of MACE in patients with ACS, including psychological factors such as depression and anxiety. Currently, depression and anxiety have not received much attention when it has an important role in the treatment of ACS and its prognosis.
Objective. To determine the association between depression and anxiety with major adverse cardiac event within 7 days in patients with acute coronary syndrome.
Method. Study with prospective cohort design to examine the association between depression and anxiety with MACE within 7 days of ACS patients, using HADS questionnaires on ACS patients undergoing treatment at ICCU, Hospitalization RSCM in January May 2018. Bivariate analysis was performed to calculate the risk ratio RR of MACE occurrence within 7 days in the depression and anxiety group using SPSS.
Results. Obtained number of subjects who meet the inclusion criteria of 114 people. depression was obtained in 7 of subjects, Anxiety was obtained in 28,95 of subjects, and MACE was obtained in 9.6 of subjects. In the depression group, MACE 7 days occurred in 12.5 of subjects. In the Anxiety group, MACE 7 days occurred in 21,2 of subjects. In bivariate analysis, anxiety increased the risk of MACE within 7 days in patients with ACS, with relative risk RR of 4,2 IK 1,34 ndash 13,7.
Conclusion. The proportion of depression in patients with SKA in RSCM was 7 and the proportion of anxiety in ACS patients in RSCM was 28,95. Anxiety in patients with ACS is an independent predictor of MACE within 7 days and increases the risk of a 7 day MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrani Imanina Putri Nurtyas
"Pasien sindrom koroner akut (SKA) dengan penyakit ginjal kronik (PGK) diketahui memiliki risiko mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan pasien SKA tanpa disertai PGK. Setiap tahunnya, dilaporkan 9% kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) yang disertai PGK, yaitu hampir 10 – 20 kali lebih tinggi dibanding populasi umum. Pada pasien SKA dengan PGK terjadi proses inflamasi kronik yang memainkan peranan penting dalam perubahan morfologi dan fungsional sel endotel yang mengakibatkan akselerasi proses aterosklerosis yang berkaitan dengan keparahan koroner pasien SKA dan berujung meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran rasio neutrofil limfosit (RNL) sebagai prediktor MACE dan korelasinya dengan derajat keparahan koroner pada pasien SKA dengan PGK. Digunakan 2 desain pada penelitian ini, yaitu studi nested case control dengan 31 subjek yang mengalami MACE sebagai kelompok kasus dan 28 subjek yang tidak mengalami MACE sebagai kelompok kontrol dari total 59 pasien SKA dengan PGK, serta studi korelatif dengan pendekatan potong lintang. Pada penelitian ini didapatkan area under curve (AUC) sebesar 60,8% dengan nilai titik potong RNL terhadap kejadian MACE adalah 3,62 dengan sensitivitas 74,2% dan spesifisitas 42,9%. Tidak terdapat perbedaan dan hubungan yang bermakna antara nilai RNL dengan kejadian MACE (p>0,05; OR=2,16 [95%CI=0,63 – 7,51]) dan tidak terdapat korelasi antara nilai RNL dengan derajat keparahan koroner yang dinilai menggunakan skor Gensini (r=0,10; p=0,474).

Acute coronary syndrome (ACS) patients with chronic kidney disease (CKD) are known to have a higher risk of mortality compared to ACS patients without CKD. Every year, 9% of deaths due to coronary heart disease (CHD) accompanied by CKD reported, which is almost 10 – 20 times higher than the general population. In ACS patients with CKD, chronic inflammation play an important role in morphological and functional changes in endothelial cells that resulted in atherosclerosis acceleration associated with coronary severity in SKA patients, thus lead the increase in major adverse cardiac events (MACE). This study aims to determine the role of neutrophil lymphocyte ratio (NLR) as a predictor of MACE and its correlation with the degree of coronary severity in ACS patients with CKD. Two designs were used in this study, first using nested case control study with 31 subjects who experienced MACE as a case group and 28 subjects who did not experience MACE as a control group of a total of 59 ACS patients with CKD. Second using correlative study with a cross-sectional approach. Area under curve (AUC) of 60.8% was obtained with an NLR cutoff value for MACE is 3.62 with 74.2% sensitivity and 42.9% specificity. There is no significant difference and relationship between NLR and MACE (p>0.05; OR= 2.16 [95%CI=0.63 – 7.51]), also no correlation between NLR and coronary severity degree assessed using Gensini score (r = 0.10; p = 0.474)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya
"Pasien dengan penyakit jantung koroner akan mengalami penurunan kapasitas fungsional yang dapat diukur dengan uji jalan enam menit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keamanan uji jalan enam menit pada pasien rawat inap pascaintervensi koroner perkutan dengan kajian respon tanda vital, skala borg, dan skala angina. Penelitian ini merupakan studi one group pre and post test design pada pasien rawat inap pascaintervensi koroner perkutan di Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek penelitian melakukan uji jalan enam menit sebanyak dua kali dengan istirahat lima menit di antaranya. Pemeriksaan tanda vital, skala borg, skala angina sebelum dan sesudah uji jalan. Jumlah subjek penelitian sebesar 30 subjek (27 laki-laki dan 3 perempuan) dengan mayoritas memiliki stratifikasi risiko rendah. Uji jalan enam menit dilakukan dalam waktu dua hari atau lebih pada 56.7% subjek. Rerata jarak tempuh uji jalan keseluruhan adalah 294.68 ± 57.02 meter. Tanda vital tekanan darah sistolik dan diastolik, laju nadi, laju nafas, dan skala borg usaha mengalami peningkatan selama uji dan menurun ke nilai dasar setelah beristirahat selama lima menit dengan p-value <0.05 pada uji Wilcoxon Signed Rank, namun tidak didapatkan adanya perubahan bermakna pada saturasi, skala borg sesak nafas, kaki lelah, dan skala angina. Seluruh subjek penelitian tidak ditemukan kejadian tidak diharapkan mayor. Kesimpulan penelitian ini adalah uji jalan enam menit aman untuk dilakukan pada pasien rawat inap pascaintervensi koroner perkutan dengan perubahan respon tanda vital, skala borg, dan skala angina sesuai respon fisiologis.

Patients with coronary heart disease has a decrease in functional capacity that can be measured by a six-minute walk test. This study aims to determine the safety of the six-minute walk test in inpatients after percutaneous coronary intervention by assessing the response of vital signs, borg scale, and angina scale. This study is a one group pre and post test design study in inpatients after percutaneous coronary intervention at the Integrated Cardiac Service at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta. Research subjects conducted a six-minute walk test twice with a five-minute break in between. Examination of vital signs, borg scale, angina scale before and after walking test. The number of research subjects was 30 subjects (27 male and 3 female) with the majority classified as a low-risk stratification. The six-minute walk test was performed over two days or more in 56.7% of the subjects. The average covered distance was 294.68 ± 57.02 meters. Vital signs of systolic and diastolic blood pressure, pulse rate, respiratory rate, and RPE Borg scale increased during the test and decreased to baseline ​​after resting for five minutes with p-value <0.05 in the Wilcoxon Signed Rank test, but there were no significant change on saturation, dyspnea and leg fatigue of the borg scale, and angina scale. All study subjects did not have major adverse events. The conclusion of this study is the six-minute walk test is safe to do in inpatients after percutaneous coronary intervention with vital signs, borg scale, and angina scale change accordingly to physiological response."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>