Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wawan Setyawan
"Latar Belakang. Stratifikasi risiko merupakan bagian integral dari managemen pasien sindrom koroner akut (SKA). Identifikasi pasien yang berisiko tinggi menjadi sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan sekaligus mengurangi tindakan berlebih terhadap pasien dengan risiko rendah. Meskipun TIMI pada STEMI dan UAPINSTEMI merupakan skor risiko yang baik dan telah divalidasi dan dipergunakan secara luas, tetapi penelitian mengenai perfonnanya belum pernah dilakukan di Indonesia. Adanya perbedaan karakteristik antara pasien SKA di Indonesia dengan populasi di negara maju dapat mempengaruhi prognosis pasien sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perfonna dari kedua sistem skoring tersebut. Tujuan. Menilai perfonna kalibrasi dan diskriminasi skor TIMI dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dan 14 hari pasien UAPINSTEMI di Indonesia Metodologi. Studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien SKA yang dirawat di IeeU RSeM 2003-2010 dengan metode pengambilan sampel konsekutif. Perfonna kalibrasi skor TIMI dinyatakan dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan perfonna diskriminasi dinyatakan dengan nilai AUe. Hasil. Selama penelitian terkumpul 714 pasien STEMI dan 787 pasien UAPINSTEMI yang dirawat di IeeU RSeM. Skor TIMI STEMI mempunyai perfonna kalibrasi dan diskriminasi yang baik dengan plot kalibrasi 0,98, uji Hosmer-Lemeshow 0,93 dan nilai AUe 0,801 (Kl 95% 0,759-0,844). Perfonna kalibrasi dan diskriminasi skor TIMI UAPINSTEMI juga cukup baik dengan plot kalibrasi mencapai 0,88, uji Hosmer lemeshow 0,86 dan nilai AUe 0,727 (KI95% 0,668-0,786). Simpulan. Skor TIMI mempunyai perfonna kalibrasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi mortalitas pasien SKA di Indonesia.

Background. Risk Stratification in acute coronary syndrome patients is an integral part in the management of patients. Risk stratification is important to avoid overtreatment in high risk patients, as well as undertreatment in low risk patients. Although TIMI STEMI and TIMI UAiNSTEMI are scores that have been validated and used widely, but to date no study of its appicability has been done in Indonesia. Differences in characteristic of acute coronary syndrome patients in Indonesia compared to developed countries can have influence on the prognostic of the patient hence a study is needed regarding performance of TIM I scoring system. Objectives. To obtain the calibration dan discrimination performance of TIMl risk score to predict 30 day dan 14 day mortality in STEMI and UAPINSTEMI patients in Indonesia Methods. A retrospective cohort study with consecutive sampling was done in ACS patients hospitalized in the ICCU Cipto Mangun Kusumo Hospital between the period 2003 until 2010. Calibration performance of TIM I risk score was evaluated by calibration plot and Hosmer-Lemeshow test while discrimination performance was done with A Uc. Results. A total of 714 STEMI patients and 787 UAPINSTEMI patients entered the study. TIMI STEMI risk score have a good calibration and discrimination performance with calibration plot of 0, 98, Hosmer-Lemeshow test 0,93 and AUC 0,801 (CI95% 0,759-0,844). A good calibration and discrimination performance of TIMI UAPINSTEMI risk score was observed with calibration plot of 0,88, Hosmer-Lemeshow test 0,86 and AUC 0,73 (CI 95% 0,668-0,786). Conclusion. TIM! risk score has a good calibration and discrimination performance in predicting mortality of ACS patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Martalena
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE pada SKA telah banyak diteliti, namun belum ada yang memperhatikan kesintasannya. Indonesia (ICCU RSCM khususnya), belum memiliki data epidemiologis mengenai hiperglikemia admisi pada SKA maupun pengaruhnya terhadap MACE dan kesintasannya. Penelitian ini dilakukan agar menjadi landasan untuk stratifikasi risiko selama perawatan.
Tujuan: Mengkaji hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE dan mengetahui kesintasan
terhadap MACE pada berbagai kelompok hiperglikemia admisi pada SKA selama perawatan.
Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 442 pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM Januari 2008-Mei 2012, terbagi 3 kelompok berdasarkan gula darah admisi (GD ≤140mg/dl, 141-200mg/dL, >200mg/dL). Kurva Kaplan Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel hiperglikemia admisi dengan MACE dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah memasukkan variabel perancu.
Hasil dan pembahasan: 63 (14,25%) pasien mengalami MACE dengan kesintasan rata-rata 6,373 hari; SE 0,076 dan IK 95% 6,225-6,522. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna antara hiperglikemia admisi dengan kesintasan MACE (p<0,001). MACE tercepat terjadi berturut-turut pada GD admisi >200mg/dL, 141-200mg/dL, dan ≤140mg/dL dengan rata-rata kejadian secara berturut-turut pada hari perawatan ke-5,989; 6,078; 6,632. Analisis multivariat menunjukkan hiperglikemia admisi merupakan prediktor independen MACE selama perawatan (Adjusted HR 2,422; IK 95% 1,049-5,588 untuk GD admisi 141-200mg/dL dan Adjusted HR 3,598; IK 95% 1,038-12,467 untuk GD admisi >200mg/dL).
Simpulan: Kesintasan MACE pada pasien SKA selama 7 hari perawatan di ICCU RSCM adalah 85,7%, dan terdapat perbedaan kesintasan antara berbagai kelompok hiperglikemia admisi terhadap terjadinya MACE. Semakin tinggi kadar gula darah, semakin buruk kesintasannya (semakin tinggi risiko dan semakin cepat pula terjadi MACE)

ABSTRACT
Background: Hyperglycemia on admission as a predictor for MACE in ACS has been studied for several circumstances, but none had seen it’s importance for survival. Cipto Mangunkusumo Hospital’s ICCU, had not have any epidemiological data about hyperglycemia on admission in ACS nor it’s influence to MACE and survival. This study was conducted to provide a platform for risk stratification during hospitalisation
Aim: To evaluate hyperglycemia on admission as a predictor for MACE and, to describe survival according to hyperglycemia on admission status in patients with ACS.
Methods: Retrospective cohort design and survival analysis was used to 442 ACS patients hospitalised at Cipto Mangunkusumo hospital’s ICCU between Januari 2008 and May 2012 that divided into 3 groups according to admission BG (≤140 mg/dL, 141-200 mg/dL and >200 mg/dL). Kaplan Meier curve utilised to evaluate the survival of each group. Bivariate analysis was conducted using Log-rank tes. Multivariate analysis was conducted using Cox proportional hazzard regression. The extend of relation between admission hyperglycemia and MACE was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.
Results and discussion: MACE was found to happen to 63 (14.25%) patients with average survival of 6.373 days, SE 0.076 and 95% CI 6.225-6.522. Bivariate analysis found statistically significant relation hyperglycemia on between admission and MACE survival (p<0.001). MACE was significantly earlier in admission BG of >200 mg/dL, 141-200 mg/dL and ≤140 mg/dL respectively, with mean hospitalisation day at 5.989, 6.078 and 6.632 in that order. Multivariate analysis shown that hyperglycemia on admission was an independent predictor for MACE during hospitalisation (Adjusted HR 2.422; 95% CI 1.049-5.588 for BG 141-200 mg/dL and Adjusted HR 3.598; 95% CI 1.038-12.467 for BG >200 mg/dL).
Conclusion: Survival of MACE in ACS patient during 7 days hospitalisation in ICCU RSCM is 85,7%, and there was a survival difference between different admission hyperglycemia groups. The higher the blood glucose level, signify a worse survival and also faster and higher risk for MACE."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
616.362 3 KUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Chipta Lestari
"Bakteri multi-resisten antibiotik [multidrug-resistant (MDR)] saat ini menjadi perhatian di seluruh dunia, terutama pada Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase. Di Indonesia, data mengenai Klebsiella pneumoniae MDR belum tersedia. Penelitian ini bersifat restrospektif untuk mengidentifikasi Klebsiella pneumoniae MDR penghasil enzim beta laktamase (ESBL, AmpC, dan karbapenemase), mengidentifikasi gen penyandi sifat resisten pada isolat yang resisten karbapenem, menganalisis faktor risiko dan menilai luaran klinis pasien yang terinfeksi oleh bakteri tersebut. Penelitian dilakukan di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011.
Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL 76%, penghasil AmpC 0%, dan penghasil karbapenemase adalah 43%. Ditemukan 1 isolat dengan penyandi gen resinten pada karbapenem yaitu NDM-1. Faktor risiko pasien yang berhubungan dengan infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL adalah penggunaan CVC. Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi lama rawat pasien di ICU dengan selisih lama rawat 11 hari dan effect size d = 0,4 (efek kecil hingga sedang). Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi luaran klinis pasien meskipun dengan efek kecil (ES d = 0,2).

Multidrug-resistant organisms (MDRO) are being public health concern worldwide, especially for beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae. There is no data about multidrug-resistant Klebsiella pneumoniae in Indonesia yet. In this restrospective study we identified beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae (ESBL, AmpC, and carbapenemase), identified resistance encoding genes on carbapenem resistant isolates, analysed risk factors and patient?s outcomes. This study conducted in intensive care unit Cipto Mangunkusumo Hopital during 2011.
Study results found 76% isolates are ESBL producing, 0% are AmpC producing, and 43% are carbapenemase producing. We found 1 isolate contain gene that encoded resistance on carbapenem resistant, namely NDM-1. Risk factor that have correlation with ESBL producing is the use of central venous catheter. Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae could influence length of stay at ICU (11 days longer) and effect size (ES) d = 0,4 (low to medium effect). Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae also could influence patient?s outcome although with low effect (ES d = 0,2).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Pendahuluan. Berbagai panduan menganjurkan hemodialisis HD tiga kali seminggu. Di Indonesia pasien dengan hemodialisis dua kali seminggu lebih banyak ditemukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran klinis dan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dibandingkan tiga kali seminggu.
Metode. Merupakan studi potong lintang pada pasien yang menjalani HD dua dan tiga kali seminggu di RS Cipto Mangunkusumo dan beberapa RS swasta. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Kidney Disease Quality of Life KDQOL-SF 36.
Hasil. Didapatkan 80 subjek dengan kelompok usia >50 tahun lebih banyak ditemukan. Secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali yaitu Interdialytic Weight Gain IDWG 4,91 SB 1,52 dan 3,82 SB 1,28 p=0,002. albumin 4,05 SB 0,26 dan 3,86 SB 0,48 p=0,027, saturasi transferin 25,5 12,0-274,0 dan 21,95 5,8-84,2 p=0,004, kadar fosfat 5,82 SB 1,68 dan 5,82 SB 1,68 p=0,026. Kadar TIBC 235,20 SB 55,72 dan 273,73 SB 58,29 p=0,004 pada kelompok tiga kali HD secara bermakna lebih tinggi. Pada kelompok HD dua kali seminggu 68 mencapai Kt/V>1,8, 93,3 yang HD tiga kali seminggu mencapai Kt/V>1,2. Kualitas hidup antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna baik pada Physical Componet Score PCS p=0,227, Mental Component Score MCS p=0,247 dan Kidney Disease Component Score KDCS p=0,889.
Simpulan. Didapatkan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali seminggu pada pemeriksaan IDWG, albumin, saturasi transferin, fosfat, sedangkan TIBC lebih tinggi pada kelompok HD tiga kali seminggu. Kualitas hidup kedua kelompok tidak berbeda bermakna.

Introduction. Many guidelines recommend hemodialysis HD three times a week. In Indonesia there are more patients undergoing hemodialysis twice a week. It is necessary to investigate the clinical features and the quality of life in patients undergoing hemodialysis twice a week.
Method. A cross sectional study in patients undergoing HD two and three times weekly at Cipto Mangunkusumo Hospital and some private hospitals. Laboratory examination and assessment of quality of life by using Kidney Disease Quality of Life KDQOL SF 36.
Results. There were 80 subjects with age group 50 years is more common. Significantly higher in group HD twice a week were Interdialytic Weight Gain IDWG 4.91 SB 1.52 and 3.82 SB 1.28 p 0.002. 4,05 albumin SB 0.26 and 3.86 SB 0.48 p 0.027, transferrin saturation 25.5 12.0 to 274.0 and 21.95 5.8 to 84.2 p 0.004, the phosphate level 5.82 SB 1.68 and 5.82 SB 1.68 p 0.026. The TIBC level 235.20 55.72 SB and 273.73 58.29 SB p 0.004 was significantly higher in group HD thrice a week. In twice a week HD group 68 reached Kt V 1.8, 93.3 of HD thrice a week achieved Kt V 1.2. Quality of life between the two groups was not significant either on Physical Componet Score PCS p 0.227, Mental Component Score MCS p 0.247 and Kidney Disease Component Score KDCS p 0.889.
Conclusion. There were significantly higher in group HD twice a week on examination IDWG, albumin, transferrin saturation and phosphate levels, whereas the TIBC was higher in group HD three times a week. Quality of life of the two groups was not significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Sinto
"Latar Belakang: Hingga saat ini masih terjadi kerancuan penegakkan diagnosis sepsis pada praktik klinik sehari-hari. Belum diketahui performa seluruh kriteria diagnosis sepsis yang telah ada dan performa modifikasi kriteria diagnosis sepsis berdasarkan kenaikan sistem skor modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) sebagai pengganti sistem skor SOFA yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium lengkap dalam memprediksi luaran pasien infeksi khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Belum diketahui pula peran penambahan laktat vena pada performa kriteria diagnosis sepsis. Penelitian ini bertujuan menilai performa dan mengembangkan kriteria diagnosis sepsis dalam memprediksi luaran pasien infeksi dewasa di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan menggunakan data rekam medik dan registri pasien infeksi Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pasien berusia lebih dari atau sama dengan 18 tahun yang mendapat perawatan di Unit Gawat Darurat (UGD) RSCM selama tahun 2017. Data yang dikumpulkan meliputi catatan karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium variabel bebas, luaran yang terjadi berupa mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pengamatan.
Hasil Subyek penelitian terdiri atas 1213 pasien. Sebagian besar (52,5%) merupakan pasien laki-laki, dengan median (rentang interkuartil) usia 51 tahun (38;60). Mortalitas terjadi pada 421 (34,7%) pasien. Performa kriteria diagnosis sepsis terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam perawatan ditunjukkan oleh sepsis-3 (area under receiver operating characteristic curve [AUROC] 0,75; interval kepercayaan [IK]95% 0,72-0,78), sementara performa terburuk ditunjukkan oleh kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) (AUROC 0,56; IK95% 0,52-0,60). Performa kriteria kadar laktat vena baik (AUROC 0,76; IK95% 0,73-0,79) dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM. Penambahan kriteria kadar laktat vena dapat meningkatkan performa kriteria diagnosis sepsis-3 (AUROC 0,80; IK95% 0,77-0,82) secara bermakna dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM (p <0,0001).
Simpulan: Performa kriteria diagnosis sepsis terbaik dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM ditunjukkan oleh kriteria sepsis-3. Performa kriteria kadar laktat vena baik dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM. Penambahan kriteria kadar laktat vena dapat meningkatkan performa kriteria diagnosis sepsis-3 dalam memprediksi mortalitas dalam perawatan pasien infeksi dewasa di RSCM.

Introduction: There is uncertainty on the use of sepsis diagnostic criteria in daily clinical practice. The performance of all established sepsis diagnosis criteria and modified criteria using increase modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) score as a substitute for SOFA score system which need a complete laboratory test in prediciting in-hospital mortality in developing country, including Indonesia, is unknown. The added value of venous lactate concentration on sepsis diagnostic criteria is unknown as well. This study aim to assess the performance and improve sepsis diagnostic criteria in predicting infected adult patients mortality in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: The retrospective cohort using medical record and infected adult patients (aged 18 years and older) registry of Division of Tropical and Infectious Diseases Internal Medicine Departement Cipto Mangunkusumo Hospital who were hospitalized in Emergency Room on 2017 was done. Sample's characteristics, clinical and laboratory data of independent variables, outcome i.e. 28 days in-hospital mortality were collected.
Results: Subjects consist of 1213 patients, predominantly male (52.5%), with median (interquartile range) age of 51 (38;60) years old. Mortality developed in 421 (34.7%) patients. The best performance of sepsis diagnostic criteria in predicting mortality was shown by sepsis-3 criteria (area under receiver operating characteristic curve [AUROC] 0.75; 95% confidence interval [CI] 0.72-0.78). The worst performance of sepsis diagnostic criteria in predicting mortality was shown by systemic inflammatory response syndrome (SIRS) criteria (AUROC 0.56; 95CI% 0.52-0.60). Performance of lactate in predicting mortality was good (AUROC 0.76; 95CI% 0,73-0,79). The addition of lactate criteria significantly improved sepsis-3 criteria performance (AUROC 0.80; 95CI% 0.77-0.82, p <0,0001).
Conclusions: The best performance of sepsis diagnostic criteria in predicting infected adult patients mortality in Cipto Mangunkusumo Hospital is shown by sepsis-3 criteria. Performance of lactate in predicting mortality is good. The addition of lactate criteria significantly improved sepsis-3 criteria performance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Leopold Jim
"Latar Belakang : Kebocoran plasma merupakan proses utama yang terjadi pada demam berdarah dengue (DBD) dimana mulai terjadi pada hari ke-3 demam dan mencapai puncaknya pada hari ke-5 demam. Kebocoran plasma menyebabkan hipoksia jaringan yang berakibat asidosis. Variabel yang terkait dengan mikrosirkulasi perfusi jaringan yaitu parameter asam-basa. Menurut Stewart, abnormalitas asam-basa metabolik ditentukan dengan menghitung Strong Ion Difference (SID). Hingga saat ini belum diketahui nilai SID pada infeksi dengue dewasa dengan kebocoran plasma.
Tujuan Penelitian : Mengetahui peran nilai SID untuk memprediksi dan mendiagnosis kebocoran plasma pada infeksi dengue pasien dewasa.
Metode : Studi potong lintang dan kohort retrospektif, pada infeksi virus dengue pasien dewasa yang dirawat di ruang penyakit dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Persahabatan Jakarta. Dilakukan pemeriksaan nilai SID untuk melihat perbedaan rerata nilai SID antara demam dengue (DD) dan DBD dengan uji t tidak berpasangan, dan nilai titik potong SID pada keadaan dengan atau tanpa kebocoran plasma dilakukan dengan menentukan sensitivitas dan spesifisitas terbaik dari kurva ROC.
Hasil : Jumlah subjek sebanyak 57 orang. Jenis kelamin laki-laki sebanyak 31 pasien (54,38%) dan perempuan 26 pasien (45,61%). Kasus DD 31 pasien (54,38%) dan kasus DBD 26 pasien. Nilai SID hari ke-3 pada DBD secara bermakna lebih rendah dibandingkan DD [36,577 (±2,08) dan 39,032 (±1,44); p<0,01]. Demikian pula pada hari ke-5, nilai SID pada DBD lebih rendah dibandingkan DD [34,423 (±2,36) dan 37,548 (±2,55); p<0,01]. Hasil analisis statistik didapatkan perbedaan bermakna. Berdasarkan kurva ROC pada hari ke-3 didapatkan nilai SID ≤37,5 sebagai titik potong yang memberikan sensitivitas 65% dan spesifisitas 84% dengan Area Under Curve (AUC) 0,824 (IK 95% 0,71 ? 0,93; p<0,001). Pada hari ke-5, titik potong nilai SID ≤36,5 memberikan sensitivitas 81% dan spesifisitas 68% dengan AUC 0,813 (IK 95% 0,7 ? 0,92; p<0,001).
Kesimpulan : Nilai SID hari ke-3 dan hari ke-5 pada DBD lebih rendah dibandingkan DD. Nilai SID ≤37,5 pada hari ke-3 dan ≤36,5 pada hari ke-5 dapat dipakai sebagai petanda kebocoran plasma.

Background : Plasma leakage is the main process in dengue haemorrhagic fever (DHF) which starts at day 3 of fever and peaked at day 5 of fever. Plasma leakage is causing tissue hypoxia that resulting in acidosis. Tissue perfusion microcirculation-associated variable is acid-base parameters. According to Stewart, abnormality of metabolic acid-base is determined by calculating Strong Ion Difference (SID). Now, SID in adult dengue-infected patients with plasma leakage is not known yet.
Objectives : To detemine the role of SID in prediction and diagnosis of plasma leakage in adult dengue-infected patients.
Methods : These were cross-sectional and retrospective cohort study which conducted in adult dengue-infected patients that hospitalized in internal medicine ward of Cipto Mangunkusumo General Hospital and Persahabatan General Hospital in Jakarta. SID was examined to determine the mean difference between dengue fever (DF) and DHF by t-test independent, and cut-off point of SID in plasma leakage was identified by sensitivity and specificity based on ROC curve.
Results : There were 57 adult dengue-infected patients recruited; consist of 31 male patients (54,38%) and 26 female patient (45,61%); 31 DF patients (54,38%) and 26 DHF patients (45,6%). SID on day 3 of fever in DHF was significantly lower than DF [36,577 (±2,08) vs 39,032 (±1,44); p<0,01]. Similarly on day 5, SID of DHF 36,577 (±2,08) vs DF 39,032 (±1,44); p<0,01. Based on ROC curve of day 3, the cut-off point of SID was ≤37,5 with sensitivity 65%, specificity 84%, Area Under Curve (AUC) 0,824 (95% CI 0,71 ? 0,93; p<0,001). On day 5, the cut-off points of SID was <36,5 with sensitivity 81%, specificity 68%, AUC 0,813 (95% CI 0,7 ? 0,92; p<0,001).
Conclusion : SID on day 3 and day 5 of fever in DHF was significantly lower than DF. SID ≤37,5 on day 3 and ≤36,5 on day 5 can be used as a marker of plasma leakage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadianti
"ABSTRAK
Latar Belakang. Prevalensi demam tifoid hingga saat ini diperkirakan lebih tinggi pada pasien yang menderita demam akut dibandingkan pada demam yang disebabkan oleh infeksi lainnya terutama didaerah endemis. Berbagai pemeriksaan penunjang diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut selama ini masih banyak kendala. Keberadaan sistem skor diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis pasti pasien yang memerlukan pemeriksaan kultur kuman sebagai baku emas diagnostik atau uji PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan determinan dari sistem skor diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut. Metode. Penelitian ini merupakan studi disain potong lintang yang dilakukan di bagian rawat inap RSU Kota Tangerang Selatan, RSU Hermina Ciputat dan RSPI Pondok Indah dalam kurun waktu Oktober 2015 sampai Februari 2017. Subjek menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan baku emas diagnostik. Data penyerta yang dikumpulkan adalah jenis kelamin, usia, pola demam sore hari ge; 38,3oC, gangguan saluran cerna, typhoid tongue, bradikardi relatif, leukopenia, trombositopenia, aneosinofilia, kenaikan kadar ALT, kenaikan kadar qCRP dan uji widal positif. Analisis data dilakukan dengan program SPSS statistics 17.0 untuk analisis univariat, bivariat dan multivariat dan Receiving Characteristics Operator ROC dan SPSS Statistics 20.0 untuk analisis bootstrapping pada Kalibrasi Hosmer-Lameshow Hasil. Sebanyak 200 sampel dianalisis untuk mendapatkan proporsi dan determinan demam tifoid. Sebanyak 32 sampel 16 terdiagnosis demam tifoid dan 84 sebagai demam nontifoid. Determinan demam tifoid pada pasien demam akut adalah gangguan saluran cerna dengan OR sebesar 20,172 95 Interval Kepercayaan/IK1,980-205,52 p = 0,011 , bradikardi relatif dengan OR sebesar 15,406 95 IK 1,261-188,23 p= 0,032, trombositopenia dengan OR sebesar 6,979 95 IK 1,846-26,392, p=0,004 , kenaikan kadar ALT dengan OR sebesar 4, 177 95 IK 1,335-13,069, p= 0,014 , kenaikan kadar qCRP dengan OR sebesar 12, 753 95 IK 2,950-55,132, p= 0,001 dan uji Widal positif dengan OR sebesar 3,493 95 IK 0,857-14,242 p= 0,081 , sedangkan nilai Cut off point adalah total skor ge; 5, dengan AUC 93,2 95 IK 89,3 -97,1 . Kualitas kalibrasi sistim skor didapatkan nilai 0,987 baik dan diskriminasi adalah 94,6 sangat kuat Simpulan. Proporsi demam tifoid pada pasien demam akut adalah 16 . Yang menjadi determinan diagnosis dan komponen sistem skor demam tifoid pada pasien demam akut adalah gangguan saluran cerna, bradikardi relatif, trombositopenia, kenaikan kadar ALT, kenaikan kadar qCRP dan uji widal positif.

ABSTRACT
Background. Prevalence of typhoid fever was greater in acute fever compared to the others etyologic especially in endemic area. There was many problem in diagnostic tools to confirm the diagnosis of typhoid fever in acute febrile patients. This diagnostic score system was needed in patients with acute fever to helping confirmation of definite diagnostic patients who need culture test as standart diagnostic or PCR test. Aim of this study was to identify the proportion and determinants of typhoid fever scoring system diagnostic in acute febrile patients. Methods. A cross sectional study was conducted in inpatient South Tangerang general hospital, Hermina Ciputat general hospital and Pondok Indah general hospital from October 2015 February 2017. All subjects underwent interview, physical examination, laboratory testing and blood culture as gold standart and PCR test. The collected data were gender, age, pattern of fever in the afternoon with ge 3,38oC, gastrointestinal disordes, typhoid tongue, relative bradicardia, leucopenia, trombositopenia, aneosinofilia, elevated level of ALT, elevated level of qCRP and positif widal test. Analysis was done by using SPSS statistics 17.0 univariate, bivariate dan multivariate and Receiving Operator Characteristics ROC and SPSS Statistics 20.0 for bootstrapping analysis in Hosmer Lameshow Calibration Results. 200 subjects met the inclution criteria, 32 subjects 16 were diagnosed as having typhoid fever and 168 84 as nontyphoid fever, Determinants for typhoid fever in acute febrile patients were gastrointestinal disorders with OR 20,172 95 convident interval CI 1,980 205,52 p 0,011 , relative bradicardia with OR 15,406 95 CI 1,261 188,23 p 0,032 , trombositopenia with OR 6,979 95 CI 1,846 26,392, p 0,004 , elevated level of ALT with OR 4, 177 95 CI 1,335 13,069, p 0,014 , elevated level of qCRP with OR 12, 753 95 CI 2,950 55,132, p 0,001 and positif widal test with OR 3,493 95 CI 0,85714,242 p 0,081 ,the Cut off point of total score was ge 5 with AUC 93,2 95 IK 89,3 97,1 . The calibration quality of this scoring system value was 0,987 good and the discriminant value was 94,6 very strong Conclusion. The proportion of typhoid fever in acute febrile patients was 16 . Determinants and components of scoring system of typhoid fever in acute febrile patients were consist of gastrointestinal disorders, relative bradicardia, trombositopenia, elevated level of ALT, elevated level of qCRP and positif widal test."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library