Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bellinda Magdalena
"Latar belakang: Efusi pleura merupakan salah satu penyebab utama distres pernapasan di seluruh dunia. Pasien dengan efusi pleura memiliki mortalitas 30 hari 15% – 21% dan mortalitas 1 tahun 25% - 57%. Keterlambatan diagnosis dapat mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Torakoskopi medik merupakan prosedur diagnostik yang dapat ditoleransi dengan baik. Kesintasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dengan efusi pleura tanpa etiologi yang jelas belum diketahui. Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, distribusi efusi pleura, adanya keganasan, kadar serum albumin, efusi pleura eksudat, dan mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Metode: Penelitian berupa kohort prospektif pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas yang berusia > 18 dan menjalani tindakan torakoskopi medik. Penelitian dilakukan selama bulan Januari 2023 hingga Mei 2024 di ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemantauan akan dilakukan pada hari ke-30, dan 90. Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 57 pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dengan rerata kesintasan 30 hari 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 90 hari 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak mendapatkan terapi definitif meningkatkan risiko mortalitas 30 hari [HR 4,066 (IK 0,508-32,532), p=0,077] dan ECOG PS yang buruk [HR 3,928 (IK 0,887-17,391), p=0,077] meningkatkan risiko mortalitas 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kenny Harsono
"Latar Belakang: Resistensi insulin pada usia dewasa muda juga berkaitan signifikan terhadap peristiwa penyakit kardiovaskular atherosklerotik di kemudian hari. Jenis kelamin perempuan diketahui memiliki risiko lebih tinggi terhadap resistensi insulin. Lemak yang terletak di antara atau di dalam otot dan dapat terlihat melalui CT-scan disebut sebagai jaringan adiposa intermuskular atau ekstramyoseluler (EMCL), sementara lipid yang terakumulasi di dalam sel otot disebut lipid intramyoseluler (IMCL). Saat ini, penelitian yang melaporkan hubungan antara lemak ektopik pada otot skeletal abdomen dan resistensi insulin dengan menggunakan CT-scan masih terbatas. Tujuan: Mengetahui peran CT-scan dalam mengukur lemak ektopik abdomen terhadap kejadian resistensi insulin pada perempuan usia 18-40 tahun. Metode: Pengambilan sampel penelitian dilakukan pada periode bulan Februari hingga Maret 2024 dengan subjek pasien perempuan berusia 18−40 tahun yang melakukan pemeriksaan CT-scan regio abdomen sehingga didapatkan jumlah sampel minimal sesuai penghitungan sampel yaitu 30. Analisis hubungan korelasi antara parameter luas penampang atenuasi abdomen dengan nilai HOMA-IR dilakukan dengan uji korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Hasil: Korelasi antara luas penampang EMCL dengan HOMA-IR tidak menunjukkan kebermaknaan (p=0,781), dengan nilai r yang menunjukkan tidak ada korelasi antar dua variabel tersebut (r=-0,053). Korelasi antara luas penampang IMCL dan HOMA-IR menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p=0,928), dengan nilai korelasi yang lemah antar kedua variabel tersebut (r=-0,017). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara penampang area lemak ekstramyoseluler dan intramyoseluler dengan HOMA-IR sebagai penanda resistensi insulin pada perempuan usia 18-40 tahun.

Background: Insulin resistance in young adults is also significantly associated with the occurrence of atherosclerotic cardiovascular events later in life. Female gender is known to have a higher risk of insulin resistance. Fat located between or within muscles and visible through CT scans is called intermuscular or extramyocellular adipose tissue (EMCL), while lipid accumulated within muscle cells is called intramyocellular lipid (IMCL). Currently, research reporting the relationship between ectopic fat in abdominal skeletal muscles and insulin resistance using CT scans is still limited. Objective: To determine the role of CT scans in measuring abdominal ectopic fat in the occurrence of insulin resistance in women aged 18-40 years. Method: The study sample was collected from February to March 2024, consisting of female patients aged 18-40 years who underwent CT scans of the abdominal region, with a minimum sample size of 30 as calculated. Correlation analysis between the cross-sectional area of abdominal attenuation and HOMA-IR values was conducted using the Spearman correlation test due to non-normal data distribution. Results: The correlation between EMCL cross-sectional area and HOMA-IR did not show significance (p=0.781), with an r value indicating no correlation between the two variables (r=-0.053). The correlation between IMCL cross-sectional area and HOMA-IR showed non-significant results (p=0.928), with a weak correlation between the two variables (r=-0.017). Conclusion: There is no correlation between the cross-sectional area of extramyocellular and intramyocellular fat with HOMA-IR as a marker of insulin resistance in women aged 18-40 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Nusrianto
"Latar Belakang: Gagal jantung adalah salah satu bentuk komplikasi kardiovaskular dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien DMT2. Disfungsi diastolik merupakan bentuk awal dari gagal jantung yang tidak bergejala dan seringkali terlambat terdiagnosis, sehingga deteksi dini penting untuk dilakukan. Guideline gagal jantung dari AHA merekomendasikan pemeriksaan NTproBNP dengan nilai batas >125 pg/ml sebagai salah satu upaya deteksi dini pada populasi berisiko. Penelitian-penelitian faktor klinis yang ada mayoritas dilakukan pada populasi kaukasia dengan hasil yang heterogen. Diketahui populasi DMT2 di Asia memiliki indeks massa tubuh lebih rendah, usia lebih muda, dan nilai dasar NTproBNP lebih rendah, namun memiliki prevalensi gagal jantung yang lebih tinggi. Belum ada penelitian yang meneliti hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP pada populasi DMT2 di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini dibuat untuk mengetahui hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study), menggunakan data sekunder dari follow up ke-30 Studi Kohort PTM Litbangkes. Subyek berusia dibawah 65 tahun yang terdiagnosis DMT2 selama pengamatan dan memenuhi kriteria inklusi dicatat, dilakukan pemeriksaan NTproBNP dan dilakukan analisis dengan kejadian disfungsi diastolik yang didapatkan dari ekhokardiografi. Uji bivariat dilakukan dengan uji chi square dan uji multivariat menggunakan uji regresi multipel. Kadar NTproBNP yang diperiksakan dilakukan penentuan titik potong menggunakan Receiver Operating Characteristics (ROC).
Hasil: Subyek yang terinklusi didapatkan sebesar 91 orang. Uji multivariat menunjukkan baik kadar NTproBNP>125 pg/ml dan titik potong NTproBNP baru >62,5 pg/ml berhubungan bermakna dengan kejadian disfungsi diastolik dengan PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) dan PRadj 2,587 (IK 95%; 1,554 – 4,645; p:<0,0001) dengan Area under curve (AUC) 0,76. Pada penelitian kami, tidak ada faktor klinis yang berhubungan secara bermakna pada uji statistik
Simpulan: Peningkatan kadar NTproBNP >125 pg/ml berhubungan dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia.

Background: Diastolic dysfunction is an early form of heart failure that is asymptomatic and often diagnosed late in T2DM patients, so early detection is encourage. The AHA heart failure guideline recommends NTproBNP testing with a cut-off value of >125 pg/ml as one of the early detection strategies. The majority of existing clinical factor studies have been conducted in Caucasian populations with heterogeneous results and it is known that T2DM populations in Asia have lower body mass index, younger age, lower baseline NTproBNP values with higher heart failure prevalence. To date, there have been no research determining the association between clinical factors and NTproBNP levels in the T2DM population in Indonesia.
Objective: This study was designed to determine the association of clinical factors and NTproBNP levels with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia
Methods: This study is a cross sectional study, using secondary data from the 30th follow up of the Bogor NCD Cohort Study. Subjects under 65 years of age who are diagnosed with T2DM during observation and meet the inclusion criteria were being recorded, We will determine the association between clinical factors and NTproBNP examination results with the incidence of diastolic dysfunction obtained from echocardiography. Bivariate tests were performed using the chi square test and multivariate tests using multiple regression tests. The new NTproBNP cut off points were determined using Receiver Operating Characteristics (ROC).
Results: 91 subjects were included. Multivariate test showed that both NTproBNP level >125 pg/ml and new cut off >62,5 pg/ml was significantly associated with the incidence of diastolic dysfunction with PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) and PRadj 2.587 (95% CI; 1.554 - 4.645; p: <0.0001) respectively, with Area under curve (AUC) 0.76. In our study, No clinical factors were associated significantly with diastolic dysfunction incidence.
Conclusions: NTproBNP levels >125 pg/ml are associated with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library