Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yoppi Kencana
"ABSTRAK
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit. Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi. Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92,3 %; 87,5%; 70,6%; dan 97,2%. Simpulan : RNL memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap derajat steatosis (CAP) dan fibrosis (ET) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.

ABSTRACT
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome. This study aims to know the diagnostic value of NLR as the indicator of steatosis and fibrosis severity. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sample collection. We used secondary data from medical record, starting from 2016-2018. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, multivariate linear regression, t test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under the Curve (AUC) were done to know the outcome of the study. Statistical analyses were performed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Version 20.0 (SPSS Inc, Chicago, Illinois). A P value <0.05 was considered as statistically significant. Results: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with the mean of age 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had moderate to severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r=0.647 (p<0.001) and r=0.621 (p<0.001) respectively. The use of RNL to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity,  specificity, PPV and NPV respectively at 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, and 97.2% respectively. Conclusion: NLR has a positive and significant correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity in comparison with TE/CAP.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
"Peningkatan harapan hidup manusia akan menambah populasi lanjut usia diikuti dengan peningkatan problem, antara lain penurunan fungsi kognitif. Salah satu faktor risiko penurunan fungsi kognitif ialah social engagement yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional di kelurahan Jelambar dan Jelambar Baru, Jakarta atas 286 lanjut usia yang tinggal di keluarga dan di panti werdha menunjukkan adanya pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitif lanjut usia, terutama di kalangan panti werdha. Social engagement buruk berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif setelah dikendalikan oleh aktivitas kognitif, khususnya pada kelompok social engagement buruk dan tinggal di panti; di kelompok lanjut usia perempuan, social engagement buruk berhubungan dengan fungsi kognitif lebih rendah. Komponen social engagement yang paling berperan terhadap fungsi kognitif para lanjut usia adalah aktivitas di masyarakat dan keanggotaan di kelompok masyarakat lain. Kegiatan ke luar rumah dan berbelanja, dan kerja sukarela/amal merupakan komponen aktivitas di masyarakat yang paling berpengaruh. Di kalangan perempuan, komponen social engagement yang paling berpengaruh adalah keanggotaan di kelompok lain. Aktivitas kognitif yang terbesar pengaruhnya adalah masak sendiri dan menonton siaran televisi berita.

The increase of life expectancy brings a problem of elderly, among others is problem of cogntive decline. One of the risk factors for cognitive decline is social engagement which can be influenced by living environment. This research was done with cross sectional method in kelurahan Jelambar and Jelambar Baru with 286 respondents living in family and institution. Social disengagement was associated with lower cognitive function, especially in institution, influenced by cognitive activity. Among women, social disengagement was associated with lower cognitive function. The most important component of social engagement are to become a member of social club and active in the community, especially outdoor activities and doing shopping for daily needs. Among women, the most important component of social engagement is to become a member of social club. Cognitive activity with biggest influence on cognitve function are self-cooking and watching news in television."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D1391
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Ilone
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien Diabetes Mellitus DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko terjadinya fraktur yang dikenal dengan istilah diabetoporosis. Pemeriksaan Bone Mass Densitometry BMD dinilai tidak superior dalam mendiagnosis diabetoporosis mengingat nilai BMD pada DM tipe 2 dapat normal bahkan meningkat. Beberapa penanda diharapkan dapat menggambarkan kualitas tulang secara non invasif. Peran AGEs dan reseptornya dinilai penting dalam proses diabetoporosis. Namun demikian, penelitian mengenai penanda AGEs dan reseptornya pada pasien DM tipe 2 masih tergolong sangat sedikit serta belum adanya penelitian yang membandingkan kadar AGEs dan reseptornya pada pasien DM tipe 2 dan subjek normal.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar pentosidine serum, esRAGE serum, rasio esRAGE/pentosidine serum antara pasien DM tipe 2 dan subjek normal, serta korelasi rasio esRAGE/pentosidine serum terhadap P1NP serum sebagai penanda peningkatan risiko diabetoporosis.Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 38 perempuan DM tipe 2 belum menopause, berusia 35 tahun dengan diagnosis DM tipe 2 yang berobat di Poli Metabolik Endokrin RSCM, Klaster Diabetes Kencana RSCM, RSUP Persahabatan, RSUK Tugu Koja, RSUK Kemayoran, dan Puskesmas Jatinegara. Sebagai kelompok non DM adalah 36 perempuan non DM dengan rentang usia yang sama. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling terhadap darah yang terkumpul. Pemeriksaan Pentosidine serum dan esRAGE dilakukan dengan metode ELISA sedangkan pemeriksaan P1NP dilakukan dengan menggunakan metode ECLIA.Hasil Penelitian: Pasien DM tipe 2 memiliki kadar pentosidine lebih tinggi p=0,028 , kadar esRAGE yang lebih rendah p=0,248 , serta rasio esRAGE/pentosidine yang lebih rendah p=0,001 daripada subjek normal. Rerata kadar pentosidine serum pada DM tipe 2 dan subjek normal adalah 5406 1911 pmol/ml dan 3145 1892 pmol/ml; sedangkan median rasio esRAGE/pentosidine serum adalah 0,03 pg/pmol dan 0,06 pg/pmol. Tidak terdapat korelasi antara rasio esRAGE/pentosidine dengan kadar P1NP serum.Kesimpulan: Kondisi hiperglikemia pada DM tipe 2 menyebabkan tingginya kadar pentosidine serum yang tidak diimbangi dengan peningkatan kadar esRAGE serum. Secara khusus, terjadi penurunan rasio esRAGE/pentosidine serum pada pasien DM tipe 2 perempuan dan tidak ditemukan korelasi antara rasio esRAGE/pentosidine serum dengan kadar P1NP serum sebagai penanda formasi tulang.
ABSTRACT
Background: Diabetes Mellitus type 2 T2DM patients have an increased risk of fracture known as diabetoporosis. Examination of Bone Mass Densitometry BMD is considered not superior in diagnosing diabetoporosis since the BMD value in type 2 DM can be normal and even increased. Some markers are expected to describe bone quality in a non invasive manner. The role of AGEs and their receptors is considered important in the process of diabetoporosis. However, research on the role of AGEs and their receptors in T2DM patients is still lacking and there was no study comparing AGEs and their receptors in T2DM and non T2DM patients before.Aim: The aim of this study is to determine the difference of serum pentosidine level, serum esRAGE, serum esRAGE/pentosidine ratio between T2DM and non T2DM patients, and correlation of serum esRAGE/pentosidine ratio to serum P1NP as a marker of increased risk of diabetoporosis.Method: This is a cross-sectional study on 38 premenopausal females with T2DM with a minimum age of 35 years with symptoms or diagnosis of T2DM for more than 5 years, seen for treatment at Endokrin Metabolik Klinik at RSCM, Klaster Diabetes RSCM Kencana, RSUP Persahabatan, RSUK Tugu Koja, RSUK Kemayoran, and Puskesmas Jatinegara. Healthy controls are 36 non-DM females with similar age range. Sampling was done by simple random sampling. Serum pentosidine and serum esRAGE measurement were done by ELISA method and serum P1NP measurement was done by ECLIA method.Results: T2DM patients had higher serum pentosidine levels p=0.028 , lower serum esRAGE p=0.248 , as well as lower esRAGE/pentosidine p=0.001 ratios than non T2DM. Serum pentosidine in T2DM and non T2DM is 5406 1911 pmol/ml and 3145 1892 pmol/ml; whereas median ratio of serum esRAGE/pentosidine was 0.03 pg/pmol and 0.06 pg/pmol. There was no correlation between ratio serum esRAGE/pentosidine and serum P1NP in T2DM patients.Conclusions: Hyperglycemia in T2DM patients lead to high serum pentosidine levels that are not followed by elevated serum esRAGE levels. In combination, there was a decrease level of serum esRAGE/pentosidine ratio in T2DM patients. No correlation was seen between level of serum esRAGE/pentosidine ratio and level of P1NP as a marker for bone formation in T2DM patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Ulfah Madina
"Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut.
Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9) tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%), mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002) berhubungan dengan kekuatan genggam tangan.
Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan.

Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status, functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental status, and comorbidity in Indonesia.
Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly patients.
Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014). The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes.
Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9 (SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%), independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with handgrip strength changes.
Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength changes in out-patients elderly within 1 year.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hayatun Nufus
"Latar Belakang: Kanker nasofaring (KNF) endemik di Indonesia dan kebanyakan datang dengan stadium lokal lanjut. Angka rekurensi KNF stadium lokal lanjut hingga kini masih cukup tinggi. Berbagai variabel terkait klinis dan patologis yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu menstratifikasi pasien yang akan mendapatkan manfaat jika diberikan kemoterapi ajuvan terutama pada pasien yang tercapai objective respons rateberupa remisi lengkap dan parsial.Perkembangan mekanisme petanda molekuler yang terlibat pada jalur onkogenesis KNF berkembang pesat hingga saat ini, di antaranya Vascular Endothelial Growth Factor(VEGF) dan osteopontin (OPN). Beberapa studi sebelumnya menunjukkan VEGF dan OPN berkorelasi dengan progresifitas dan luaran klinis tumor padat, termasuk KNF.
Tujuan: Mengetahui progression-free survival (PFS)3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut pasca kemoradiasi berbasis platinum serta hubungannya dengan ekspresi VEGF dan OPN.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort retrospektif dengan subyek merupakan pasien KNF stadium lokal lanjut yang berobat di RSCM pada periode 2015-2017. Penelusuran data klinis dilakukan bersamaan dengan pewarnaan imunohistokimia VEGF dan OPN masing-masing menggunakan antibodi monoklonal Santa Cruz® sc-7267 dan Akm2A1. Intensitas pewarnaan dihitung dengan histoscore menggunakan piranti imageJ. Penilaian PFS dilakukan dengan analisis kesintasan Kaplan Meier. Analisis hubungan VEGF dan OPN terhadap PFS 3 tahun menggunakan kurva Kaplan Meier dan uji dengan log rankdengan batas kemaknaan p<0,05.
Hasil:Angka PFS 3 tahun pada subyek sebesar 39% dengan median 23 bulan. Ekspresi VEGF dideteksi pada 113 (72,9%) subyek, dan ekspresi OPN positif pada 99 (63,8%) subyek. Kurva Kaplan-Meier menunjukkan PFS 3 tahun untuk VEGF (+) dan (-) berturut-turut yaitu 40% (SE 5%) dan 36% (SE 8%), log rank p=0,584. PFS untuk OPN (+) dan (-) berturut-turut yaitu 41% (SE 6%) dan 35% (SE 7%), log rank p=0,747.Analisis subgrup pasien dengan stadium IVB dan ukuran tumor N3, ekspresi VEGF dan OPN yang positif berhubungan dengan PFS 3 tahun yang lebih baik dibandingkan ekspresi negatif. Untuk subgrup pasien yang mendapatkan kemoterapi neoajuvan, ekspresi VEGF yang positif memberikan PFS 3 tahun yang lebih baik dibandingkan ekpresi negatif.
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan PFS 3 tahun KNS stadium lokal lanjut yang maih cukup rendah, dan tidak terdapat hubungan antara ekspresi VEGF dan OPN dengan PFS 3 tahun.

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is endemic in Indonesia and most patients were admitted to hospital when they already in locally advanced stage.The recurrence rate of locally advanced NPC is still quite high. Various clinical and pathological variables that exist today are not fully capable of stratifying patients who will benefit if adjuvant chemotherapy is given, especially in patients whom are complete and partial remission.To date,the development of molecular marker mechanismsinvolved in the oncogenesis pathway of NPC has grown rapidly, including Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) and Osteopontin (OPN). Previous studies have shown VEGF and OPN to be correlated with the progression and clinical outcome of solid tumors, including nasopharyngeal cancer.
Objective: This study aimed to determine 3-years progression-free survival (PFS) of locally
advanced nasopharyngeal carcinoma after platinum-based concurrent chemoradiation and its
association with VEGF and OPN.
Methods: A retrospective cohort study was conducted in subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2017. Clinical data was collected from hospital registries, and immunohistochemistry staining of VEGF and OPN was perfomed by using monoclonal antibodySanta Cruz® sc-7267 and Akm2A1, respectively.We calculated H-score according to Allred criteria with computer software imageJ. We determined PFS byKaplan Meier survival analysis. Association of VEGF and OPN with 3 years-PFS was analyzed using Kaplan Meier with log-rank test p<0.05.
Results: The 3-years PFS rate in subjects was 39% with a median of 23 months. VEGF expression was detected in 113 (72.9%) samples, and positive OPN expression in 99 (63.8%) samples. The Kaplan-Meier curve shown the 3-years PFS for VEGF (+) and (-) were 40% (SE 5%) and 36% (SE 8%), respectively with log rank p=0.584. While 3-years PFS for OPN (+) and (-) were 41% (SE 6%) and 35% (SE 7%), respectively with log rank p=0.747. Subgroup analysis of patients with stage IVB and tumor size N3 showed that positive VEGF and OPN expression were associated with better3-years PFS than negative expression. For the subgroup of patients receiving neoadjuvant chemotherapy, positive VEGF expression showed better 3-years PFS than negative expression.
Conclusions: This study showed that the 3-years PFS of locally advanced NPC was quite low, and there was no relationship between VEGF and OPN expression with 3-years PFS.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Mela Yunita Sari
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas latihan dan kekuatan otot merupakan gambaran yang umum dijumpai pada pasien hemodialisis (HD) kronik. Perbaikan kadar hemoglobin (Hb) tidak memperbaiki secara optimal kapasitas latihan. Prevalensi kalsifikasi arteri tinggi pada pasien HD. Hal ini menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan kekakuan arteri. Terdapat bukti klinis bahwa kekakuan arteri sentral memengaruhi kapasitas latihan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kapasitas latihan dapat diprediksi dengan menilai kekuatan otot perifer.
Tujuan: Mengetahui korelasi kekakuan arteri sentral dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek pasien HD kronik yang diambil dengan teknik consecutive sampling dengan rentang usia 18 – 59 tahun.  Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi kekakuan arteri sentral (dengan menilai central pulse wave velocity/cPWV) dengan kekuatan genggam tangan (KGT), kemudian dilakukan korelasi parsial terhadap variabel perancu (usia, dialysis vintage, Hb, dan aktivitas fisik).
Hasil: Terdapat 45 pria dan 40 wanita dengan median usia masing-masing 47 (19-59) dan 47 (18-59) tahun. Kedua kelompok mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang. Tidak terdapat korelasi antara cPWV dengan KGT baik pada  pria (r = -0,046, p = 0,763) maupun wanita (r = -0,285, p = 0,113). Analisis stratifikasi pada wanita yang memiliki tinggi badan (TB) >150 cm menunjukkan korelasi negatif derajat sedang antara cPWV dengan KGT (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). Nilai cPWV berperan sebesar 21,7% terhadap KGT, dan 78,3% diduga dipengaruhi oleh faktor perancu. Kelompok KGT rendah memiliki nilai cPWV yang meningkat pada semua kategori usia.
Simpulan: Kekakuan arteri sentral tidak berhubungan dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik. Terdapat kecenderungan peningkatan nilai cPWV pada subjek yang memiliki KGT rendah.

Background: Exercise intolerance and muscle weakness are the common features in hemodialysis patients. However, correction of renal anemia by eritropoetin does not optimize the exercise capacity. The prevalence of arterial calcification among the hemodialysis patient is high. It thereby decreased the elasticity of the vessels and increased the arterial stiffness. Clinical evidence showed that central arterial stiffness affects the exercise capacity in chronic kidney disease (CKD). Exercise capacity can be predicted by assessing peripheral muscle strength.
Objective: To investigate the correlation between central arterial stiffness and handgrip strength in chronic hemodialysis patients.
Methods: This study use cross-sectional design which perform in chronic HD patients aged between 18 and 59 years old by consecutive sampling. Bivariate analysis was done to determine the correlation between central arterial stiffness (assessed using central pulse wave velocity /cPWV) and handgrip strength (HGS). Afterwards, partial correlation of confounding variables (age, dialysis vintage, Hb and physical activity) were also be analyzed.
Results: There were 45 men and 40 women with the median age of 47 (19-59) and 47 (18-59) years old, respectively. Both groups have moderate level of physical activity. There was no correlation between cPWV and HGS in men (r = -0.046, p = 0.763) and women (r = -0.285, p = 0.113). Stratified analysis in women with height over 150 cm showed a moderate negative correlation between cPWV and HGS (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). cPWV accounted for 21.7% of HGS, while 78.3% were suggested to be influenced by the confounding factors. The group with low HGS had an increased cPWV in all age categories.
Conclusion: Central artery stiffness was not associated with HGS in chronic HD patient. There was a tendency of increased central arterial stiffness in the group of subjects who had low HGS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Andika Indrarespati
"Latar Belakang. Semakin meningkatnya rerata usia harapan hidup penduduk Indonesia akan menyebabkan populasi orang usia lanjut yang frail meningkat. Sindrom frailty merupakan prediktor semua penyebab kematian pada orang usia lanjut di panti wreda. Selain itu, faktor yang berhubungan terhadap frailty antara orang usia lanjut di panti wreda dengan di komunitas juga berbeda. Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai faktor ini pada orang usia lanjut di panti wreda di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan terhadap sindrom frailty pada orang lanjut usia di panti wreda
Metode. Studi ini menggunakan metode potong lintang. Menggunakan data sekunder dari penelitian besar mengenai performa fisik dan status nutrisi orang usia lanjut di panti wreda di provinsi Banten. Penelitian tersebut dilakukan di 5 panti wreda di Tangerang. Variabel independen terdiri dari usia, tingkat aktivitas fisik, status kognitif, status nutrisi, gejala depresi, komorbiditas, dan kualitas hidup terkait kesehatan. Sistem skor frailty berdasarkan CHS untuk menentukan fit, pre-frail dan frail. Hubungan variabel independen dengan frailty dianalisis secara bivariat menggunakan uji Chi-Square dan secara multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Didapatkan 105 subjek dengan rerata usia 74,88 (SB 7,61) tahun, median skor PASE 170 kkal/minggu, kekuatan genggam tangan 16 kg, indeks EQ-5D 76, EQ-5D VAS 70, dan rerata kecepatan berjalan 0,66 (SB 0,34) m/s. Proporsi subjek yang tergolong fit/ robust 1%, pre-frail 52,4% dan frail 46,7%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom frailty adalah malnutrisi OR 4,81 (IK 95% 1,93 – 12,00) dan kualitas hidup OR 4,79 (IK 95% 1,92 – 11,98).
Kesimpulan. Proporsi kelompok orang usia lanjut di panti wreda, yang tergolong fit/ robust 1%, pre-frail 52,4% dan frail 46,7%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom frailty adalah malnutrisi dan kualitas hidup terkait kesehatan.

Background. Along with the increasing average life expectancy of the Indonesian population, the elderly population who are frail will increase too. Frailty syndrome is a predictor of the all caused mortality in the elderly in nursing homes. In addition, there are also differences in factors related to frailty between the elderly in nursing homes and the elderly in the community. Until now, there has been no research on the factors associated with frailty syndrome in the elderly in nursing homes in Indonesia.
Objective. Knowing the factors associated with frailty syndrome in the elderly in nursing homes.
Methods. This study uses a cross-sectional method. Using secondary data from large studies of the physical performance and nutritional status of the elderly in nursing homes in Banten province. The study was conducted at 5 nursing homes in Tangerang. Independent variables consist of age, physical activity level, cognitive status, nutritional status, depressive symptoms, comorbidities, and health-related quality of life. The frailty score system is based on the CHS to determine fit, pre-frail and frail. The relationship between independent variables with frailty was analyzed bivariately using the Chi-Square test and multivariately using logistic regression.
Results. There were 105 subjects with a mean age of 74.88 (SD 7.61) years, median score of PASE 170 kcal/week, handgrip strength 16 kg, EQ-5D 76, EQ-5D VAS 70, and average walking speed 0,66 (SD 0,34) m/s. Proportion of subjects classified as fit/ robust 1%, pre-frail 52.4 % and 46.7% frail. Factors associated with frailty syndrome are malnutrition OR 4.81 (95% CI 1.93 - 12,00) and health-related quality of life OR 4.79 (95% CI 1,92 - 11,98).
Conclusion. Proportion of elderly groups in nursing homes, which are classified as fit/robust 1%, pre-frail 52.4% and frail 46.7%. Factors associated with frailty syndrome are malnutrition and health-related quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library