Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
Az Zahrawaani Al Aryan
"Kajian ini bertujuan untuk mendemonstrasikan posisi arsitektur sebagai ecological cyborg yang merespon perubahan alam terkait dengan bencana kebakaran. Jika selama ini alam dan arsitektur didiskusikan sebagai entitas yang terpisah, arsitektur hadir sebagai bentuk prostetik yang berperan dalam regenerasi alam terkait bencana tersebut. Arsitektur diposisikan sebagai prostetik yang mendayagunakan proses alam yang ada atau menggantikan yang hilang akibat dari perubahan alam yang tidak merata untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dalam perancangan ini, penelusuran dilakukan melalui pendekatan investigasi kontekstual terhadap kasus-kasus kebakaran hutan dan kebakaran batubara untuk menguraikan berbagai elemen alam yang menyusun konteks setiap jenis kebakaran. Hal tersebut akan menjadi pemicu pengembangan sistem respons spasial terhadap kebakaran yang menjadi basis dalam pemrograman arsitektur. Ignis Refugium hadir sebagai demonstrasi arsitektur prostetik secara spasial yang merespon dua bentuk bencana kebakaran tersebut melalui sistem infrastruktur fire suppression, fire control, dan fire lines. Fire refugia sebagai tujuan akhir terbentuk secara bertahap sebagai perpaduan dari ephemeral dan terus menerus.
This study aims to demonstrate the position of architecture as an ecological cyborg that responds to natural changes related to fire disasters. If so far nature and architecture have been discussed as separate entities, architecture exists as a prosthetic form that plays a role in natural regeneration related to the disaster. Architecture is positioned as a prosthetic that utilizes existing natural processes or replaces those lost as a result of uneven natural changes for sustainable natural resource management. In this design, tracking is carried out through a contextual investigative approach to cases of forest fires and coal fires to describe the various natural elements that make up the context of each type of fire. This will trigger the development of a spatial response system for fires which will become the basis for architectural programming. Ignis Refugium is here as a spatial demonstration of a prosthetic architecture that responds to the two forms of fire disaster through an infrastructure system of fire suppression, fire control, and fire lines. Fire refugia as the ultimate goal is formed gradually as a combination of ephemeral and continuous."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
James Paul Arthur Awuy
"Kajian ini mengangkat eksplorasi sistem operasi narasi atmosfer mimpi sebagai basis dalam perancangan arsitektur. Melalui eksplorasi sistem operasi ruang mimpi yang diposisikan sebagai ruang mimesis dan ruang realitas, ruang menjadi tidak terbatas hanya pada ruang nyata yang kita alami saat ini, tetapi juga ruang yang hadir dalam bentuk lain seperti ruang mimpi. Dengan adanya kehadiran ruang mimpi yang bersinggungan dengan ruang realita, kajian ini bertujuan untuk melihat kembali posisi arsitektur sebagai ruang mimesis, sebuah penciptaan terhadap kehadiran sesungguhnya. Dalam perancangan ini, penelusuran dilakukan terhadap berbagai kemungkinan berbagai karakteristik fragmen, sistem operasi, serta anatomi ruang mimpi dan ruang realita. Eksplorasi tersebut menunjukkan bahwa arsitektur dapat hadir sebagai sebuah pemrograman eksploratif yang menghasilkan konstelasi atmosfer. Flutterblink, Nigphira, Stagruel dan Luno, dan Reveclop menjadi konstelasi atmosfer yang memperlihatkan hasil koreografi kehadiran dan ketidakhadiran dari berbagai fragmen elemen maupun cara kerja yang mempunyai sifat meniru. Fragmen digunakan untuk menggambarkan secara sengaja karakteristik koeksistensi antara ruang mimpi dengan ruang realita. Demiourgos hadir sebagai arsitektur secara integral sebagai medium dari sistem operasi yang ada dan berkontribusi terhadap penjelajahan naratif. mencerminkan sebuah relasi keterhubungan melalui operasi eksploratif sistem ruang untuk mewujudkan atmosfer.
This study explores the narrative operating system of dream-like atmospheres as a basis for architectural design. By exploring the operating system of dream spaces positioned as mimetic spaces and real spaces, the concept of space expands beyond the physical spaces we currently experience, encompassing spaces that exist in other forms, such as dream spaces. By incorporating the presence of dream spaces that intersect with reality, this study aims to reexamine the position of architecture as mimetic spaces, creations of true presence. In this design process, various characteristics of fragments, operating systems, and the anatomy of dream spaces and real spaces are explored. This exploration reveals that architecture can function as an exploratory programming that generates a constellation of atmospheres. Flutterblink, Nigphira, Stagruel and Luno, and Reveclop form constellations of atmospheres that demonstrate the choreography of the presence and absence of various fragmented elements and imitative processes. Fragments are intentionally used to depict the coexistence characteristics between dream spaces and real spaces. Demiourgos is presented as an integral architectural medium, serving as the platform for the existing operating system and contributing to the narrative exploration. It reflects an interconnected relationship through the exploratory operations of the spatial system to create atmospheres."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Adinda Khoerunnisa Ratnasari Puteri Setiabudi
"Kajian perancangan ini menggunakan proses fermentasi pada limbah makanan sebagai basis dari perancangan arsitektur yang berkelanjutan. Dengan kajian ini, saya berusaha untuk menantang hierarki yang kerap memisahkan elemen subnatural berupa limbah makanan dari sistem produksi dan konsumsi makanan. Untuk menantang pemahaman mengenai hierarki terkait proses makanan, berarti untuk meletakkan aspek natural (makanan) dan subnatural (limbah makanan) secara sejajar dan berhimpitan. Ambrosia hadir sebagai sebuah upaya untuk menjalin sistem produksi dan konsumsi makanan dengan limbah makanan yang menyusun lanskap Bumi. Melalui tiga distrik, Mycostria, Marenus dan Frigus, limbah makanan tersebut akan diproses dengan basis fermentasi yang spesifik terhadap lokasi distrik tersebut, menjadi material infrastruktur sistemnya dengan bahan dasar limbah makanan. Dalam prosesnya, arsitektur dan makanan tidak hanya berkembang bersama lagi, tetapi juga memiliki hubungan sebab akibat yang penting untuk keberlanjutan siklus produksi dan konsumsi makanan.
This manuscript aims to explore the fermentation process in food waste as a basis for designing a sustainable architecture. Through this study, I attempt to reexamine the hierarchical separation commonly observed between natural elements, such as food, and subnatural elements, namely food waste, within the food consumption and production system. Therefore, I recognize the importance of repositioning the natural (food) and subnatural (food waste) aspects on an equal and interrelated footing. Ambrosia emerges as an architectural design that intertwines the food production and consumption system with food waste, shaping a new Earth landscape. By exploring the fermentation process of food waste and studying typology-anti typology, the world of food will be arranged into three districts: Mycostria, Marenus, and Frigus. The food waste will be processed using specific fermentation methods tailored to each district’s location, thereby utilizing food waste as the primary material for the infrastructure system. Throughout this process, architecture and food not only evolve together but also construct a cause-and-effect relationship that is crucial for the sustainability of the food production and consumption cycle."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Dimas Ananda Setiawan
"Kajian ini mengangkat proses dan siklus yang terjadi pada unsur dan senyawa kimia esensial bagi manusia dan bumi sebagai basis dalam merancang arsitektur. Saya menelusuri dan mendalami jejaring proses yang mungkin terbentuk dari keseluruhan proses dan siklus pada unsur dan senyawa kimia esensial bagi manusia dan bumi, dengan sumber daya utama yang berupa manusia dan sisa peradabannya. Jika selama ini arsitektur cenderung dipahami sebagai salah satu alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya sebagai entitas paling 'superior' dengan alam sebagai sumber penggeraknya, perancangan ini akan menempatkan manusia sebagai entitas yang setara dengan materi alam lainnya. Anthropo-chine hadir sebagai sebuah bentuk arsitektur yang diprogram dengan basis konstelasi unsur dan senyawa kimia. Arsitektur ini hadir untuk menjaga eksistensi manusia dan merestorasi alam di tengah-tengah krisis sumber daya di masa depan. Posisi manusia sebagai materi dengan konstelasi unsur dan senyawa kimia dan relasinya dengan entitas lainnya akan berubah. Tiga sistem utama dikembangkan melalui penelusuran akan proses dan siklus senyawa kimia esensial yang menyusun makhluk hidup, yaitu the pre-living machine, the living machine, dan the post-living machine. Masing-masing sistem ini menempatkan manusia sebagai objek yang diolah, subjek yang mengolah dan diolah, dan kembali menjadi objek yang diekstrak untuk merestorasi alam dan kehidupan yang ada. Melalui penelusuran proses dan siklus unsur senyawa kimia sebagai basis dari Anthropo-chine, arsitektur memiliki potensi yang hampir tidak terbatas, khususnya secara aktif menghubungkan semua entitas dalam berbagai situasi ekosistem yang ada.
This study explores the processes and cycles that occur in the essential chemical elements and compounds for humans and the Earth as a basis for designing architecture. I delve into and study the interconnected processes that may arise from the overall processes and cycles of essential chemical elements and compounds for humans and the Earth, with the main resources being humans and the remnants of their civilization. While architecture has traditionally been understood as a tool for humans to meet their needs as the most ‘superior’ entity, with nature as its driving force, this design places humans on an equal footing with other natural materials. Anthropo-chine emerges as a form of architecture programmed based on the constellation of chemical elements and compounds. This architecture aims to preserve human existence and restore nature in the midst of future resource crises. The position of humans as material with a constellation of chemical elements and compounds and their relationship with other entities will change. Three main systems are developed through the exploration of the processes and cycles of essential chemical compounds that make up living organisms: the pre-living machine, the living machine, and the post-living machine. Each system positions humans as the object being processed, the subject processing and being processed, and then becoming the object that is extracted to restore the existing environment and life. By tracing the processes and cycles of chemical elements as the basis of Anthropo-chine, architecture has almost unlimited potential, particularly in actively connecting all entities in various ecosystem situations."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Clara Jessica Setiawan
"Kajian ini mengajukan sebuah ide mengenai tempat tinggal manusia yang bergerak dan bisa beradaptasi, namun tidak merusak lingkungan dan mampu menjaga kualitas lingkungan tetap baik, sebagai sebuah respon dan persiapan akan berbagai macam kemungkinan perubahan di ekosistem yang dapat atau tidak dapat diprediksi, dan bagaimana manusia bisa terpengaruh dari perubahan tersebut. Bumi yang memiliki kemungkinan untuk semakin memburuk, memaksa manusia untuk keluar dari kota, mencari tempat tinggal baru dan mengaplikasikan gaya hidup baru. Namun, seiring dengan manusia yang turut serta dalam perubahan alam, manusia juga ingin mengambil bagian dalam memperbaiki bumi dengan menyediakan sistem pemulihan di dalam setiap “rumah” yang ada dengan setiap sistem di dalam rumah tersebut memiliki fungsi masing-masing. Untuk langkah mempersiapkan diri dengan berbagai macam kemungkinan ekosistem yang bisa memburuk, kemampuan benda untuk bergerak hadir untuk membantunya berpindah ke berbagai ekosistem dan unsur adaptif untuk memastikan ketersediaan oksigen dan air bagi manusia di dalam ruang. Perancangan ini didorong dengan memahami berbagai kemungkinan kondisi ekosistem dan bagaimana menyikapinya, mengeksplorasi kehidupan digital dan mempelajari bagaimana tumbuhan, hewan dan manusia beradaptasi dan bergerak di berbagai biota.
This paper proposes the idea of moving and adaptive living space for humans that is harmless and keeps the earth’s good qualities, as a response and preparation to various changes in ecosystems that are predictable to unpredictably and how humans could be involved in that shifting. The earth that is possible to become worsen have pursue human to leave the cities, find new place for live and applying new lifestyle. However, as humans are participating throughout the changes, they also want to take a part in repairing earth by providing a restoration system inside the space with each bubble having their own specific function. In the case of preparation, movement elements are present to help it in moving to various ecosystems and adaptive elements to ensure oxygen and water availability for humans inside the space. This design is driven by understanding various possibilities of ecosystem conditions and how to respond to them, exploring digital life and learning how plants, animals and humans adapt and move in various biota."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Alifya Zahratun Nisa
"Studi ini didasarkan pada tumbuhan dan hewan, khususnya insinyur ekosistem yang memiliki dampak besar dalam membangun dunia kita melalui hubungan simbiosis. Kehadiran teknologi akan mengubah apa yang sebelumnya kita ketahui tentang apa yang pernah kita sebut alam. Pengetahuan tentang arsitektur yang kita tahu memisahkan diri dari alam yang kita bicarakan menyebabkan fragmen pada hubungan kita. Isolasi di dunia yang berpusat pada manusia akan berdampak pada fragmentasi makhluk lain yang menyebabkan kehancuran di dunia. Oleh karena itu, teknologi harus digunakan untuk memperjuangkan alam, bukan melawannya.
Menerapkan konsep simbiosis ke dalam arsitektur untuk melihat bagaimana arsitektur dapat menjadi mediasi terhadap subjeknya yang membawa manfaat mereka dan bergabung ke dalam siklusnya dan berintegrasi ke dalam proses alaminya. Teknologi akan berintegrasi dengan alam menyebabkan perubahan hubungan dan perilaku antara insinyur ekosistem, hewan lain dan lingkungannya.Mediasi diwujudkan melalui penilaian situasi, lingkungan, subjek dan sumber daya yang tersedia yang mempengaruhi cara intervensi diprogram secara khusus. Metode ini menunjukkan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk kelangsungan hidup.
The study is based upon plants and animals, specifically ecosystem engineers that have a big impact in constructing our world through symbiotic relationships. The presence of technology will change what we previously knew about what we once called nature. The knowledge of architecture that we know is splitting ourselves from the nature that we speak of causing a fragment to our relationship. Isolation in a human centric world will have an impact on fragmentation of other beings causing destruction in the world. Hence, technology must be used to fight for nature not against it.Implementing symbiotic concepts into architecture to see how can architecture become a mediation towards its subjects which brings about their benefits and merge into its cycle and integrate into its natural processes. Technology will integrate with nature causing changes in the relationship and behavior between ecosystem engineers, other animals and their environment. The mediation is realized through the assessment of the situation, environment, subjects and available resources which influences the way interventions are programmed specifically. The method suggests that collaboration is a key to the continuity of life."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Neneng Rika Lestari
"Tesis ini menyelidiki montase untuk mengembangkan arsitektur sinematik melalui operasi rekonstruksi spasial yang menyajikan serangkaian pengalaman spasial. Montase adalah bagian dari diskursus yang berkaitan dengan sinematik, film, dan arsitektur. Artikel ini mengeksplorasi pendekatan montase sebagai dasar utama dalam proses desain arsitektur melalui pengalaman spasial. Diskusi ini didasarkan pada gagasan bahwa montase menekankan tiga hal, yaitu sequence, layer of meaning, dan movement. Ketiga aspek ini diamati lebih lanjut melalui preseden yang terdiri dari berbagai preseden sinematik berdasarkan montase dalam arsitektur, yaitu Manhattan Transcripts dan Parc de la Villette dari Bernard Tschumi, Villa Savoye dari Le Corbusier, dan Maison Bordeaux dari Rem Koolhaas. Temuan studi preseden ini menunjukkan pemahaman tentang operasi rekonstruksi ruang, yaitu, pembongkaran (dismantlement), penghilangan (disappearance), dan pemasangan kembali (reassembly). Ketiganya ada sebagai strategi yang akan menjadi bagian dari proses produksi untuk mengembangkan desain arsitektur sinematik berbasis montase, menciptakan rangkaian spasial baru yang memberikan alternatif pengalaman spasial. Eksplorasi montase dan mekanisme desainnya memperluas pengetahuan tentang desain arsitektur berbasis sinematik.
This thesis investigates montage to develop cinematic architecture through operations of spatial reconstruction that present a sequence of spatial experiences. Montage is a part of discourses related to cinematic, film, and architecture. This article explored the montage approach as the primary basis in the architectural design process through spatial experience. The discussion is based on the idea that a form of montage emphasizes three things, i.e., sequence, multiple layers of meaning, and movement. These three aspects were further observed through the montage precedent comprising various cinematic precedents based on montage in architecture, i.e., Manhattan Transcripts and Parc de la Villette from Bernard Tschumi, Villa Savoye from Le Corbusier, and Maison Bordeaux from Rem Koolhaas. The finding of this precedents study suggests an understanding of space reconstruction operations, i.e., dismantlement, disappearance, and reassembly. All of these three exist as strategies that will be part of the production process to develop montage-based cinematic architectural design, creating new spatial sequence that provide alternative spatial experience. Exploration on montages and its design mechanisms expands the knowledge regarding cinematic-based architectural design."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rafy Adhiyarsha Sastranegara
"This study explores the concept of symbiosis between man and nature as the basis of architectural design. By perceiving nature as dynamic forces rather than inanimate objects—as understood by Indigenous society—humans shape their local environment to form a symbiotic relationship (Lo-TEK, Watson, 2019). Responding to human parasitic behavior since the Age of Enlightenment, in which we drift away from wisdom as humans progress, the exploration is conducted through analyzing how symbiosis in the natural world works. Situated in the Planet Aetheria, a conceptual model planet, demonstrates the principles of co-creation through its diverse bioregions, each contributing uniquely to a global self-regulating system. The study posits that embracing Lo-TEK (Local – Traditional Ecological Knowledge) principle, which emphasize the interconnectedness of all life forms, provides a framework for developing a circular system in architecture. By integrating these principles, the proposed designs do not merely reduce harm to the environment but actively enhance its ecological cycle. If the world is believed to be a self-regulating organism, then humans are part of the components of nature. This study redefines our relationship with nature on a different take on the Anthropocene, where humans progress without losing wisdom and relearn the symbiotic relationship of nature to be implemented in architecture as an extension of man.
Studi ini mengeksplorasi konsep simbiosis antara manusia dan alam sebagai dasar desain arsitektural. Dengan memandang alam sebagai kekuatan dinamis bukan sebagai objek yang tidak bernyawa—seperti yang dipahami oleh masyarakat adat—manusia membentuk lingkungan lokal mereka untuk membentuk hubungan simbiotik (Lo-TEK, Watson, 2019). Menanggapi perilaku parasitik manusia sejak Age of Enlightenment, di mana kita menjauh dari kebijaksanaan seiring kemajuan manusia, studi ini dilakukan melalui analisis tentang bagaimana simbiosis di alam berfungsi. Terletak di Planet Aetheria, sebuah planet model konseptual, menunjukkan prinsip-prinsip ko-kreasi melalui beragam bioregionnya, masing-masing memberikan kontribusi unik terhadap self-regilating system secara global. Studi ini mengemukakan bahwa dengan merangkul prinsip Lo-TEK (Local – Traditional Ecological Knowledge) yang menekankan keterkaitan semua bentuk kehidupan, memberikan kerangka kerja untuk mengembangkan sistem sirkular dalam arsitektur. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, desain yang diusulkan tidak hanya mengurangi kerusakan lingkungan tetapi secara aktif meningkatkan siklus ekologisnya. Jika dunia dipercaya sebagai organisme yang self-regulating, maka manusia adalah bagian dari komponen alam. Studi ini meninjau ulang hubungan kita dengan alam dalam pandangan yang berbeda tentang Antroposen, di mana manusia berkembang tanpa kehilangan kebijaksanaan ekologis dan mempelajari kembali hubungan simbiotik alam untuk diimplementasikan dalam arsitektur sebagai perpanjangan tangan manusia."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Leonardo Dillon
"Studi eksplorasi ini bertujuan untuk melihat kemungkinan konstruksi arsitektur dengan basis lalu lintas informasi sebagai generator spasialnya. Studi ini mengusulkan pendekatan alternatif terhadap potensi arsitektur sebagai medium terjadinya lintasan informasi sebagai data dengan memanfaatkan paradigma desain komputasi dan ekologi. Melalui perspektif ini, arsitektur berbasis informasi dieksplorasi dalam konteks virtualitas fisik, yaitu menjahit skenario hubungan fisik-digital dalam gagasan multiruang. Berbasis pada gagasan logistik konteks, lingkung bangun menjadi sebuah kolektivitas. Hal ini dimungkinkan dengan pengelolaan informasi berbasis algoritma melalui proses morfogenetik dalam sebuah konteks. Proses morfogenetik ini yang akan mematerialisasi arsitektur sebagai medium terjadinya lintasan informasi. Arsitektur yang tercipta merupakan sebuah entitas yang dapat beradaptasi dan beroperasi otonom karena berfokus pada sistem layanan dan suplai, sebuah logika alur dan vektor. Dengan demikian, arsitektur diposisikan kembali tidak hanya sebagai objek fisik, namun sebagai medium fisik-digital dengan basis lintasan informasi dan gagasan logistik konteks, melalui konstruksi algoritma.
This study explores the potential of constructing architecture with information flow as its spatial generator. The study proposes an alternative approach to the potential of architecture as a medium for the information flow by leveraging computational design and ecological paradigms. From this perspective, information-based architecture is explored within the context of real virtuality, interweaving physical-digital relationship scenarios in a multispace concept. Based on the idea of logistic of context, the built environment becomes a collectivity. This is enabled by the management of information through algorithmic processes in a morphogenetic context. This morphogenetic process will materialize architecture as a medium for the occurrence of information flow. The resulting architecture is an entity that can adapt and self-organising because it focuses on systems of service and supply, guided by a logic of flow and vectors. Thus, architecture is repositioned not only as a physical object but as a physical-digital medium, based on information flow and the concept of contextual logistics, through algorithmic construction."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
I Gusti Agung Sawitri Shintya Dewi
"Kajian perancangan tugas akhir ini bertujuan untuk mengeksplorasi adanya dampak dari interaksi antar makhluk hidup dalam suatu zona kontak sebagai basis pengembangan arsitektur. Secara khusus, studi dilakukan terhadap kehadiran manusia yang dianggap sebagai makhluk hidup dengan tingkat teratas, yang dapat mengubah lingkungan dan makhluk hidup lain, serta membentuknya sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai landasan sebuah proyek perancangan, studi ini akan difokuskan lebih mendalam untuk mengamati dan mengeksplorasi dampak tidak langsung dalam jangka panjang. Secara khusus, kajian ini berupaya untuk memahami bagaimana makhluk hidup sebagai mesin bertahan hidup berinteraksi dalam zona kontak. Arsitektur hadir sebagai entitas baru yang dapat mengatur diri sendiri, sebuah alam ‘baru’ yang menjadi permulaan untuk periode selanjutnya. Skenario arsitektur yang dapat mengatur dirinya sendiri ditunjukan oleh Aspergillus fumigatus sebagai spesies pemenang dalam alam tersebut. Dengan adanya mekanisme tersebut, arsitektur hadir melalui kompleksitas dari interaksi dan siklus perubahan yang terjadi di dunia. Pergeseran identitas pemenang tersebut berdampak pada kondisi dan bentuk dari tempat bertinggal makhluk hidup yang dapat melewati peristiwa yang ada, baik secara makro maupun mikro. Melalui perancangan ini, maka di masa depan arsitektur tidak dianggap lagi sebagai ide yang statis, cerminan fungsional bentukan manusia lagi. Arsitektur hadir sebagai entitas dinamis sesuai dengan kebutuhan dari organisme yang mampu mengatur diri sendiri, mampu beradaptasi dan menjadi penguasa dalam periode kemenangannya.
The purpose of this final project design study is to explore the impact of interactions between living organisms within a contact zone as a basis for architectural development. Specifically, the study focuses on the presence of humans, who are considered the top-tier living beings capable of altering the environment and other living organisms, shaping them according to their desires. As the foundation of a design project, this study will delve deeper into observing and exploring indirect long-term impacts. Particularly, this study aims to understand how living beings, as survival machines, interact within the contact zone. Architecture emerges as a new entity capable of self-regulation, a 'new' nature that marks the beginning of the next period. The scenario of self-organize architecture is exemplified by Aspergillus fumigatus as the winning species in this environment. Through this mechanism, architecture manifests through the complexity of interactions and cycles of change occurring in the world. This shift in the identity of the dominant species impacts the condition and form of the habitat of living beings, which can withstand various events on both macro and micro levels. Through this design, architecture in the future is no longer seen as a static idea, merely a functional reflection of human creation. Instead, architecture appears as a dynamic entity, aligned with the needs of self-organize organisms, capable of adapting and becoming dominant in its period of victory."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library