Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riana Sahrani
Abstrak :
[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan refleksi, strategi refleksi, kesulitan hidup, dan usia terhadap kebijaksanaan. Penelitian ini menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner yang digunakan adalah Kuesioner Karakteristik Orang yang Bijaksana, Kuesioner Kebijaksanaan, Kuesioner Refleksi, Kuesioner Strategi Refleksi, dan Kuesioner Pengalaman Hidup Sulit. Partisipan terdiri dari 29 nominator, 30 orang yang dipilih oleh nominator (terdiri dari 18 orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana dan 12 orang yang kurang dinominasikan), dan 110 orang yang dipilih secara accidental. Hasil analisis menunjukkan bahwa, refleksi kesulitan hidup memiliki peranan yang signifikan dalam pencapaian kebijaksanaan seseorang. Kebijaksanaan dan refleksi meningkat sejalan usia, pada orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana. Demikian pula pada orang awam yang memperoleh nilai tinggi di kuesioner. Selanjutnya, pada orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana, ditemukan bahwa mereka menerapkan strategi refleksi self-distanced, mempunyai sifat positif, melakukan refleksi diri, bersyukur, ada orang yang mendukung, dan punya tokoh panutan. Sementara pada orang yang kurang dinominasi sebagai orang yang bijaksana, mereka menerapkan strategi refleksi self-immersed, cenderung kurang mampu mengatasi masalah, fokus pada sifat negatif, kurang merefleksi diri, dan menyesali diri.
ABSTRAK
The goal of this research was to find out the role of reflection, reflection strategy, difficult life experiences, and age towards wisdom attainment. It used questionnaires and interviews. The questionnaires used were Wisdom, Reflection, Reflection Strategy, and Difficult Life Experience Questionnaire. Participants consisted of 29 nominators, 30 nominees (18 wisdom nominees and 12 lessnominated), and 110 laypersons. Results revealed that the reflection of difficult life experience has significant role in achieving one’s wisdom. Wisdom and reflection increase with age on people nominated as wise. As well as lay persons who got high score on the questionnaires. People nominated as wise used selfdistanced reflection strategy, showed positive characteristics, do self-reflection, be grateful, supported, dan have role models. While non wise people used selfimmersed reflection strategy, tended to be less able to overcome problems, focus on negativity, less in self-reflection, and regrets, The goal of this research was to find out the role of reflection, reflection strategy, difficult life experiences, and age towards wisdom attainment. It used questionnaires and interviews. The questionnaires used were Wisdom, Reflection, Reflection Strategy, and Difficult Life Experience Questionnaire. Participants consisted of 29 nominators, 30 nominees (18 wisdom nominees and 12 lessnominated), and 110 laypersons. Results revealed that the reflection of difficult life experience has significant role in achieving one’s wisdom. Wisdom and reflection increase with age on people nominated as wise. As well as lay persons who got high score on the questionnaires. People nominated as wise used selfdistanced reflection strategy, showed positive characteristics, do self-reflection, be grateful, supported, dan have role models. While non wise people used selfimmersed reflection strategy, tended to be less able to overcome problems, focus on negativity, less in self-reflection, and regrets]
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
D2134
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawati Intan Savitri
Abstrak :

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh jarak psikologis saat menulis naratif terhadap refleksi diri adaptif. Jika mekanisme menjaraki-diri yang menggunakan perspektif dan kata-ganti personal saat menulis dianggap memfasilitasi refleksi diri adaptif, apakah variasi penggunaan keduanya memiliki pengaruh adaptif yang berbeda-beda? Dilakukan 3 studi. Studi 1.a. (N= 428),dilakukan untuk membuktikan dugaan bahwa penggunaan perspektif (aktor vs pengamat) saat mengingat peristiwa negatif akan berbeda dalam refleksi diri adaptifnya. Didapatkan hasil studi 1.a. hanya dapat membedakan mekanisme menjaraki-diri, tetapi tidak pada reaktivitas emosi, penghindaran, bercerita berulang dan pemaknaan kembali. Sedangkan Studi 1.b.(N=428) berhasil membuktikan penggunaan kata ganti persona pertama berbeda secara signifikan dengan kata ganti nama diri dalam hal menjaraki-diri, reaktivitas emosi, bercerita berulang, pemaknaan kembali kecuali penghindaran, ketika refleksi diri dilakukan dengan cara menulis. Studi 2 (N = 496) dilakukan untuk membuktikan bahwa terdapat variasi penggunaan perspektif (aktor vs pengamat) dengan kata-ganti personal (pertama vs nama-diri) pada menulis refleksi diri, studi membuktikan bahwa terdapat perbedaan refleksi diri adaptif pada efek utama maupun interaksi pada penggunaan perspektif dan kata ganti personal. Studi 3 (N=92) dilakukan untuk menjawab dugaan bahwa terdapat perbedaan pengaruh variasi jarak psikologis terhadap refleksi diri adaptif pada metode menulis ekspresif, menulis dengan menjaraki-diri dengan kelompok kontrol. Ditemukan terdapat perbedaan pengaruh variasi jarak psikologis pada penggunaan kata ganti personal dan perspektif dalam menulis naratif. Diskusi dan pembahasan dilakukan dengan mempertimbangkan teori level pemaknaan yang dikaitkan dengan jarak psikologis.


Self-distancing mechanism is being mentally distant from recalled negative experience. If the self-distancing mechanism using personal pronouns and perspective considered to facilitate adaptive reflection, do the variation of both methods have different adaptive influences? Study 1.a. (N=428), is conducted to prove whether the use of perspectives (actor and observer) when recalling negative memory has different influence in the adaptive self-reflection. Study 1.a. found that the use of perspective only distinguishes mechanism of self-distancing, but does not distinguish emotional reactivity, avoidance, recounting and reconstruing. Study 1.b. (N=428) found that the use of first personal pronouns has differ significantly from the use of third personal pronouns, i.e. name, in the term of self-distancing, emotional reactivity, recounting, reconstruing but not for avoidance when writing self reflection. Study 2 (N= 496) has been conducted to prove that there are variation in the use of perspectives (actor v.s. observer) with the use of personal pronoun (first person v.s one’s name). The study proved that there are difference in adaptive self reflections on the main effect as well as on the interaction effect of the use of perspective and personal pronouns. Study 3 (N=92) has been conducted to answer the question whether there are different influences on the variation of psychological distance toward adaptive self reflection, between expressive writing methods, writing with self-distancing and  control group. Study found that there are different influences of psychological distance on the use of personal pronoun dan perspective in writing narrative. Discussions considered of the construal level theory of psychological distance.

2019
D2665
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Fahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Perbedaan pandangan yang mencolok di antara berbagai kelompok muslim Indonesia dalam isu-isu kemasyarakatan dan ketatanegaraan sesungguhnya merupakan perbedaan dalam memahami ajaran agama Islam. Perbedaan pemahaman ini kemudian berujung pada perbedaan ideologi atau orientasi politik yang dianut, bahkan pertarungan politik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai moral sebagai predikator dalam orientasi politik yang terbentuk dalam lima nilai moral, yakni nilai kepedulian, keadilan, kesetiaan, hormat pada otoritas dan nilai kesucian.Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan analisis model struktural. Analisis model struktural digunakan untuk menguji model pengaruh nilai moral terhadap orientasi politik Islam. Partisipan pada penelitian ini adalah sejumlah individu beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuan yang terafiliasi pada kelompok keagamaan muslim tertentu. Jumlah sampel dalam penelitian ini N = 531 orang muslim yang terafilisasi pada Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam PUI , Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII , dan Hizbut Tahrir Indonesia HTI .Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa secara umum nilai moral dapat memprediksi orientasi politik Islam. Nilai moral yang terdiri dari kepedulian, keadilan, kesetiaan, hormat pada otoritas, dan kesucian dapat memprediksi orientasi politik Islam. Lebih khusus lagi, nilai moral kepedulian, keadilan, kesetiaan, dan hormat pada otoritas dapat memprediksi orientasi politik Islam dengan dimediasi oleh nilai moral kesucian. Perbedaan orientasi politik pada kelompok-kelompok Islam ditentukan oleh nilai moral kesucian. Temuan lainnya adalah setiap kelompok muslim Indonesia memperlihatkan pola yang berbeda dalam nilai moral yang memprediksi orientasi politik Islam. Berdasarkan penelitian ini Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam PUI , dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII termasuk kelompok Islam dengan orientasi politik inklusif sementara Persis dan Hizbut Tahrir Indonesia HTI termasuk pada kelompok Islam dengan orientasi politik eksklusif.
ABSTRACT
The striking differences of views among various Indonesian Muslim groups on social and constitutional issues are, in fact, differences in understanding Islamic teachings. This difference of understanding then leads to differences in ideology or political orientation adopted, even political struggles. This study aims to see the moral value as a predicator in the political orientation that is formed in five moral values, namely the value of caring, justice, loyalty, respect for authority and the value of sanctity.The research was conducted by quantitative method with structural model analysis approach. Structural model analysis is used to test the model of the influence of moral values on Islamic political orientation. Participants in this study were a number of Muslim individuals, both men and women affiliated with certain Muslim religious groups. The number of samples in this study N 531 of muslims affiliated to Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Islamic Union PUI , Islamic Da 39 wah Institute of Indonesia LDII , and Hizbut Tahrir Indonesia HTI .The results obtained in this study is that in general the moral value can predict the political orientation of Islam. Moral values consisting of caring, justice, loyalty, respect for authority, and holiness can predict the political orientation of Islam. More specifically, the moral values of caring, justice, loyalty, and respect for authority can predict the political orientation of Islam by being mediated by the moral values of purity. The difference of political orientation to Islamic groups is determined by the moral values of purity. Another finding is that every Indonesian Muslim group shows a different pattern of moral values predicting Islamic political orientation. Based on this research, Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Islamic Unity PUI , and Islamic Da 39 wah Institute of Indonesia LDII including Islamic groups with inclusive political orientation while Persis and Hizbut Tahrir Indonesia HTI exclusive political orientation.
2016
D2407
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfindra Primaldhi
Abstrak :
ABSTRAK
Partisipasi warga dalam pemilu di Indonesia cukup tinggi. Sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2014, tingkat partisipasi di atas 70 . Namun, dalam kurun waktu yang sama, pemilihan oleh warga tampak tidak konsisten. Tiga partai politik yang berbeda memenangi tiga pemilu legislatif di tahun 2004, 2009, dan 2014. Selain itu perolehan suara pasangan presiden-wakil presiden yang menjadi pemenang pilpres cenderung tidak sejalan dengan perolehan suara partai dalam koalisi yang mengusung pasangan itu. Untuk menjelaskan tingkah laku memilih warga yang tampak tidak konsisten, penelitian ini menggunakan pendekatan moral intuisionisme Haidt, 2001 , Moral Foundation Theory Haidt Graham, 2007 , dan gairah harmonis Vallerand, 2008, 2015 . Studi ini menggunakan tiga penelitian dengan pendekatan kuantitatif sebagai dukungan empiris. Penelitian pertama menggunakan metode survei pada 903 pemilih di 34 provinsi; penelitian kedua menggunakan metode kuasi-eksperimental pada 165 partisipan masyarakat umum; dan penelitian ketiga menggunakan metode eksperimental pada 179 partisipan masyarakat umum. Hasil studi pertama menunjukkan pada Pilpres 2014 profil moral pemilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berbeda dengan profil moral pemilih Prabowo-Hatta, dan perbedaan dukungan terhadap fondasi moral keadilan, kepedulian, kesetiaan, dan kepatuhan, serta gugus moral individualizing mengarahkan pemilih pada pasangan kandidat yang berbeda. Selanjutnya, hasil studi kedua, menunjukkan profil moral pemilih berhubungan langsung dengan tingkah laku memilih kandidat presiden fiktif. Pemilih cenderung memilih kandidat presiden yang memiliki fondasi moral dominan yang sama dengan dirinya. Hasil studi ketiga menunjukkan hubungan tersebut bergantung pada gairah politik pada pemilih. Semakin besar gairah politik semakin kuat pengaruh fondasi moral dominan dalam mengarahkan pilihan kandidat presiden. Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan walaupun tampak tidak konsisten, pada dasarnya warga memilih kandidat presiden yang sejalan dengan fondasi moral dominan dalam dirinya, dengan dimoderasi oleh gairah politik Kata-kata kunci: intuisi moral, fondasi moral, gairah politik, tingkah laku memilih, Moral Foundation Theory, Social Intuisionist Model
ABSTRACT
Citizen participation in Indonesian General Election is quite high. Voters turnout are consistently above 70 since 2004 election to the last election in 2014. However, voters seem inconsistent in casting their vote. Three different political parties have won in three legislative elections in 2004, 2009 and 2014. Further, the total vote for the winning presidential-vice presidential pair does not correspond to the overall vote for the coalition of political parties which they represent. To address this seemingly inconsistent voting behavior, this study use a combination of moral intuitionist approach Haidt, 2001 , Moral Foundation Theory Haidt Graham, 2007 , and harmonious passion Vallerand, 2008, 2015 . Three studies with quantitative approach were conducted. The first study surveyed 903 voters in 34 provinces; the second study is a quasi experimental design with 165 participants from the general public; and a third study is an experimental design with 179 participants from the general public. Results from the first study show that overall, in the 2014 presidential election, moral profile of voters for Joko Widodo-Jusuf Kalla is different from voters for Prabowo-Hatta. Further, differing support for fairness, care, loyalty, and authority moral foundations, and individuallizing moral dimension among voters are correlated to different candidate pair choice. Results from the second study, show voter 39;s moral profile is directly related to their hypothetical presidential candidate choice. Voters 39; tend to vote for a presidential candidate who share the same dominant moral foundation with them. Results from the third study show that this relationship depends on voters political passion. The greater the political passion the stronger the influence of the dominant moral foundation in directing presidential candidate choice. Overall these studies show that although voters seem inconsistent, their voting preference are directed by their dominant moral foundation, and moderated by political passion. Keywords: moral intuition, moral foundation, political passion, voting behavior, , Moral Foundation Theory, Social Intuisionist Model
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2499
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Missiliana Riasnugrahani
Abstrak :
ABSTRAK
Berdasarkan Perspektif Career Construction Theory (CCT), penelitian ini menunjukkan bahwa fleksibilitas kognitif, PsyCap, reka-karya, terkait dengan penemuan panggilan. Penelitian ini terdiri dari dua studi. Pada studi satu, penelitian terhadap 304 karyawan ditemukan bahwa model adaptasi CCT dapat menjelaskan proses penemuan panggilan pada karyawan. Karyawan yang memiliki kapasitas adaptif yaitu fleksibilitas kognitif dan PsyCap yang tinggi, akan lebih proaktif untuk mengubah batasan-batasan pekerjaannya, sehingga merasakan pekerjaan sebagai panggilan dalam hidupnya. Selanjutnya dalam studi dua diukur pengaruh otonomi kerja terhadap respon beradaptasi individu, serta kualitas hubungan atasan dan bawahan dalam peningkatan kinerja karyawan. Penelitian terhadap 461 karyawan menunjukkan bahwa panggilan tidak hanya merupakan hasil penemuan pribadi tapi juga hasil interaksi dengan kondisi organisasi. Organisasi yang memberikan kebebasan untuk menjadwalkan pekerjaan dan menentukan prosedur pelaksanaannya akan mendorong karyawan untuk proaktif mengubah aktivitas pekerjaannya menjadi lebih sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sehingga dapat menemukan panggilan. Selain itu karyawan yang sudah menemukan panggilan akan dapat menampilkan kinerja yang baik, jika kualitas hubungan atasan-bawahan baik, yaitu adanya dukungan instrumental dan dukungan emosional yang tinggi, serta umpan balik yang konstruktif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketiga tipe reka-karya saling berinteraksi. Penelitian lanjutan dapat mempertimbangkan faktor iklim organisasi dan faktor internal karyawan yang memengaruhi penemuan panggilan.
ABSTRACT
Based on career construction theory (CCT), this study aimed to describe mechanisms of discerning work as a calling, along with the organizational factors that influence it. We do so by measuring the individual adaptation process which includes adaptive readiness, adaptability resources, adapting responses and adaptation results. This process is represented respectively by cognitive flexibility, PsyCap, job crafting, and calling. The first study from 304 employees indicated that CCT can explain the process of finding a calling in employees. Calling is a beliefs that individuals gains as a result of continuous evaluation and adaptation processes at work. Employees who have cognitive flexibility, and high PsyCap, will be more proactive to change the limits of their work, and get a new meaning in their work. Moreover, the second study from 461 hospital employees, demonstrates that organizations can help employees to find calling in their jobs by giving them the freedom to schedule jobs and determine the procedures for their implementation. The organization also plays a role in encouraging employees with a calling to have a good performance, by establishing a high leader-member exchange. The leader can provide high instrumental and emotional support, as well as providing constructive feedback. The study also found interactions of job crafting's types, namely how they promoted each other.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
D2666
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Elfida
Abstrak :
Konsep kebahagiaan dapat dibedakan berdasarkan perspektif hedonik (subjective well-being/SWB), eudaimonik (psychological well-being/PWB), dan gabungan keduanya (PERMA). Semua konsep kebahagiaan berasal dari pemikir dari budaya Barat yang berorientasi individualistik dan hanya terfokus pada diri manusia dan lingkungannya, kurang memperhatikan pengaruh nilai budaya lainnya yang kolektivis dan religius terhadap kebahagiaan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya peran religiusitas, spiritualitas, kebersyukuran dan makna hidup dalam kebahagiaan orang Indonesia. Penelitian ini menggunakan disain konvergen dari metode campuran. Studi kualitatif dilakukan untuk menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya dan agama mempunyai peran penting dalam pengalaman kebahagiaan partisipan. Partisipan berjumlah 9 orang berusia 23-74 tahun. Hasil studi kualitatif menemukan tiga tema besar pengalaman bahagia, yaitu pemaknaan pengalaman bahagia, dimensi kebahagiaan, dan faktor-faktor yang terkait dengan kebahagiaan. Pemaknaan pengalaman bahagia meliputi tiga tema, yaitu rasa mampu mengatasi masalah dengan penerimaan dan syukur, kepuasan hidup dalam ketercukupan, dan rasa berharga berkat pencapaian dengan kerja keras. Dimensi kebahagiaan mencakup enam tema yang menggambarkan pengalaman kebahagiaan hedonik dan eudaimonik. Kebahagiaan hedonik meliputi dua tema yaitu pencapaian personal dan menikmati aktivitas waktu luang. Kebahagiaan eudaimonik mencakup hubungan dengan Tuhan, hubungan baik di dalam keluarga, hubungan sosial yang positif, dan kepedulian pada sesama. Faktor-faktor yang terkait dengan kebahagiaan meliputi ketaatan pada ajaran agama adalah hal utama, kesadaran spiritual, pemaknaan positif terhadap kehidupan, bersyukur kepada Tuhan di saat senang dan susah, dan pemahaman terhadap makna hidup. Studi kuantitatif dilakukan untuk menguji model teoritis yang menyatakan kebersyukuran dan makna hidup memediasi hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan konstruk PERMA. Partisipan adalah 421 orang berusia 17-63 tahun. Hasil studi kuantitatif memperlihatkan bahwa model teoritis yang diajukan fit dengan data. Dengan demikian, kebersyukuran dan makna hidup terbukti memediasi hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan. Hasil analisis data juga memperlihatkan bahwa spritualitas, kebersyukuran dan makna hidup masing-masing merupakan prediktor yang signifikan terhadap kebahagiaan, sedangkan religiusitas tidak terbukti sebagai prediktor kebahagiaan. Hubungan spiritualitas dan kebahagiaan, juga dapat dimediasi secara parsial oleh kebersyukuran dan makna hidup. Religiusitas tidak memiliki hubungan langsung dengan kebahagiaan tetapi dimediasi penuh oleh kebersyukuran dan makna hidup. Sebagai tambahan, religiusitas dan spiritualitas merupakan konstruk yang berbeda tetapi saling berhubungan. ......The concept of well-being can be distinguished based on the hedonic and eudaimonic perspectives, and the combination of both (PERMA). All the concepts of well-being came from Western thinkers whose culture is individually oriented and only focus on human beings and their environment, paying less attention to the influence of other collectivist and religious cultural values on well-being. This research aimed to prove the role of religiosity, spirituality, gratitude, and the meaning in life in the well-being of Indonesians. This research used a convergent design of mixed-method. The qualitative study was conducted to explain that culture values and religion has an important role in the participant's well-being experience. Participants were 9 people aged 23-74 years. The result of qualitative study found three major themes of well-being experience, namely meaning of well-being experiences, dimensions of well-being, and factors related to wellbeing. The meaning of well-being included three themes, namely the sense of being able to overcome problems with acceptance and gratitude, life satisfaction in sufficiency, and a sense of worth for the accomplishment with hard work. The dimensions of happiness included six themes that describe hedonic and eudaimonic well-being. Hedonic well-being included two themes, namely personal achievement and enjoying leisure activities. Eudaimonic well-being included relationships with God, good relationships in the family, positive social relationships, and caring for others. Factors associated with well-being were adherence to religious teachings is predominant, spiritual awareness, positive meaning toward life, gratitude to God in good and bad times, and understanding of the meaning in life. The quantitative study was conducted to test theoretical model that gratitude and meaning in life mediated the relations between religiosity and spirituality with well-being (using PERMA construct). Participants were 421 people aged 17-63 years. The results showed that the proposed theoretical models was fit with the data. Thus, gratitude and meaning in life were proven to mediate the relationship between religiosity and spirituality with well-being. The results also showed that spirituality, gratitude and the meaning in life were significant predictors of well-being, but religiosity was not. The relationship between spirituality and well-being could also be mediated partially by gratitude and the meaning of life. Religiosity did not have a direct relationship with well-being but was fully mediated by gratitude and the meaning in life. In addition, religiosity and spirituality were different but interconnected constructs.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miwa Patnani
Abstrak :
Setiap pasangan menikah biasanya menginginkan untuk memiliki anak sebagai keturunan. Namun tidak semua pasangan memiliki anak meskipun telah menikah bertahun-tahun dengan berbagai penyebab. Ketidakhadiran anak dalam perkawinan menimbulkan berbagai dampak baik dampak positif maupun negatif. Riset empiris menunjukkan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak memiliki kualitas perkawinan yang rendah, namun sebagian riset lain menunjukkan kebalikannya. Perbedaan tersebut diasumsikan karena adanya perbedaan individu dalam memaknai pengalamannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana pengalaman pasangan tanpa anak dalam menjalani perkawinannya, dan bagaimana peranan konteks dalam mempengaruhi pengalamannya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi fenomenologi yang menekankan pada pengalaman partisipan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang yang telah menikah minimal selama 3 tahun dan belum pernah memiliki anak. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) yang menghasilkan 8 tema pengalaman partisipan, yaitu pengalaman positif, pengalaman negatif, penerimaan, relasi dengan pasangan, relasi dengan lingkungan, relasi dengan Tuhan, konflik, dan penilaian pada perkawinan. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa pasangan tanpa anak merasakan pengalaman positif maupun negatif terkait dengan kondisinya. Dengan interaksi yang positif dan dukungan sosial dari lingkungan terdekat memudahkan penerimaan terhadap ketidakhadiran anak dalam perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi penilaian yang positif terhadap kualitas perkawinannya. ......It is such a common thought to every married couple to have children as heirs, especially in pro natalist country. Unfortunately, not every married couple could have children due to some condition, mainly infertility related. The absence of children causing both positive and negative impact to the couple. Some empirical studies showed that childless couple have a high quality married, but some studies showed the opposite result. The contradictive result assumed to be caused by the individual differences in their experiences. This study aimed to explore how involuntary childless’ experience and how these experiences affected by context. Qualitative approached using phenomenological study is considered to be the best approach to answer these research questions. Participants of this study were 11 individuals who considered as involuntary childless, have been married for at least 3 years and never have biological children. Data was gathered by in depth interview, and analyzed using Interpretative Phenomenological Analysis. Result showed 8 themes including positive experience, negative experience, acceptance, spousal relation, external relation, religious relation, conflict and marital evaluation. As a conclusion, this study suggest that involuntary childless have both positive and negative experience due to their condition. Along with positive interaction and social support, involuntary childless develop a good coping strategies to cope and lead to an acceptance to the absence of children. Furthermore, it will affect to the evaluation of the high quality of marriage.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library