Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djantera Kawi
"Dialektologi sebagai bagian dari linguistik historis komparatif, sejak kebangkitannya pada tahun 1876, yang disemarakkan oleh munculnya DSA (Deutscher Sprachatlas) oleh George Wenker pada tahun-tahun berikutnya telah memberi angin baru atau memperkaya pandangan para ahli bahasa dalam telaah kebahasaan. Bahkan kemudian pengingkaran atas hukum-bunyitanpa-kecuali (Ausnahmslosigkeit der Lautaesetze), yaitu pandangan kebahasaan yang dianut oleh kelompok yang menamakan dirinya Neogrammarians (Junggrammatiker) dengan tokoh-tokoh seperti Brugmann, Osthoff dan Leskien.
Sejak itu perhatian pada bidang dialektologi yang juga dikenal sebagai geografi bahasa atau dialek semakin meningkat; dan hal ini ditandai antara lain dengan munculnya karya besar Gillieron yaitu ALF (Atlas Linguistique de la France) dengan suatu modifikasi dalam hal metodologinya apabila dibandingkan dengan DSA-nya Wenker. Ferdinand de Saussure, pelopor linguistik struktural yang membuat pembedaan bahasa ke dalam apa yang dinamakan langue (bahasa sebagai sistem tanda) dan parole (pemakaian bahasa atau ujaran) menyebut data DSA sebagai langue dan ALF sebagai parole (Moulton, 1972: 199).
Dalam kontras dengan linguistik historis komparatif, dialektologi dianggap sebagai telaah variasi bahasa pada dimensi (matra) lain dari dimensi waktu. Dialektologi berkenaan dengan dimensi yang berhubungan dengan ruang dan jarak geografis.
Bahasa yang dipakai pada wilayah yang luas sering diucapkan agak berbeda atau sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Perbedaan tersebut mungkin berkenaan dengan fonologi, leksikon dan gramatika. Variasi geografis ini sesungguhnya sudah lama menjadi perhatian para ahli kebahasaan. Oleh karena itu dalam menerapkan hukum bunyi tersebut, para pemuka Junggrammatiker mengatakan bahwa hukum-hukum itu berlaku dalam batas-batas tertentu. Bila ada penyimpangan maka penyimpangan itu akan dirumuskan kembali dalam hukum tertentu yang lain. Bila tidak dapat dijelaskan maka hal itu merupakan akibat dari analogi. Hal ini ditopang oleh penemuan K. Verner dalam tahun 1876, yang kemudian terkenal dengan nama Hukum-Verner. Rumusan Hukum Verner tersebut berbunyi sebagai berikut: 'Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara bila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa' (Keraf, 1984. 43).
Di samping itu yang penting dicatat sebagai dampak dari telaah geografi dialek ialah bahwa bahasa-bahasa lokal dengan kebervariasian dan keberbedaannya yang besar mampu menyajikan data yang sangat luas yang berperan sebagai sebuah laboratorium yang dapat dimanfaatkan oleh para ahli bahasa dengan segala ancangan teori telaahnya (Moulton, 1972: 217).
Dari sejarah perkembangan dialektologi, sejak kebangkitannya, pada pertengahan abad ke-19 di Eropah hingg sekarang, tampak bahwa baik dialektologi itu sendiri (juga linguistik historis komparatif sebagai induknya) maupun linguistik umum telah berkembang dengan pesat dan saling menopang. Dengan berkembangnya linguistik struktural yang rumusan-rumusannya didasarkan pada berbagai data lapangan yang sangat bervariasi, maka berkembang pula dialektologi struktural sebagai implikasi dari penerapan teori-teori struktural dalam telaah dialektologi. Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya dalam hal penerapan teori generatif dan sosilinguistik.
Apabila dalam sejarah perkembangan linguistik di Eropah, dialektologi--melalui peta-peta--menyajikan segala macam gejala fonologi, leksikal dan gramatikal yang sangat berharga untuk telaah linguistik, maka telaah dialektologi atas bahasa-bahasa Indonesia tentu akan bermanfaat pula bagi para ahli bahasa di Indonesia dan perkembangan linguistik di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
D00165
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Bawa
"ABSTRAK
Melalui penerapan dialektologi struktural (yang dimulai oleh Weinreich, 1954) dan dialektologi tradisional (dimulai oleh Wenker, 1876) dengan metode pengumpulan data pupuan lapangan (Ayatrohaedi, 1978), maka berhasil diungkapkan variasi dan sejumlah dialek-dialek geografis bahasa Bali, baik dari struktur fonologi maupun dari sudut kosa katanya. Dialek-dialek geografis bahasa Bali di Daerah Tingkat I Propinsi ?Bali dari variasi struktur fonologinya dapat dilihat dari inventarisasi fonem, distribusi, dan realisasinya, baik fonem vokal maupun fonem konsonannya. Dari sudut inventarisasi fonem vokal, bahasa Bali di Daerah Tingkat I Propinsi Bali dapat dibagi menjadi tiga dialok geografis, yaitu (1) dialek geografis bahasa Bali yang memiliki inventarisasi fonem vokal /i, E, a,g , u, o/, (2) dialek geografis bahasa Bali yang memiliki inventarisasi fonem vokal o, a , j , u, o/, dan. (3) dialek geografis bahasa Bali yang memiliki inventarisasi fonem vocal/I, E, a, j, U, o/. Dialek geografis bahasa Bali kelompok pertam.a, yang memiliki inventarisasi fonem vokal /i, E, a,j, u, o/ memiliki wilayah pada umumnya di daerah pegunungan di Bali yakni di daerah yang di scbut daerah Bali Aga/Bali Mula. Dialek geografis kelompok kedua, yang memiliki inventarisasi fonem vokal /I, e, a,j, U, 0/ terdapat di daerah-daerah yang umumnya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali dan di kota Singaraja dan sekitarnya. Pusat kekuasaan Majapahit yang paling lama di Bali adalah di Kota Klungkung dan sekitarnya. Sedangkan dialek geografis bahasa Bali kelompok ketiga, yang memiliki inventarisasi fonem vocal/I, E, a, j,U, o/ terdapat di daerah bagian barat pulau Bali. Daerah dialek goografis kelompok tiga merupakan daerah kekuasaan Majapahit, sedangkan daerah dialek goografis bahasa Bali kelompok pertama adalah daerah-daerah yang sangat sulit menerima pengaruh kekuasaan Majapahit.
"
1983
D64
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparman Herusantosa
"ABSTRAK
Organisasi-organisasi pemuda yang mengadakan kongres pada tanggal 28 Oktober 1928 tidak hanya berkeinginan untuk mempunyai tanah air yang satu dan berbangsa yang satu, tetapi juga berkeinginan mempunyai bahasa persatuan. Mudah dipahami bahwa keinginan yang tersebut terakhir itu didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku bangsa; yang pada umumnya memiliki bahasa daerahnya sendiri. Keinginan para pemuda tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Bab XV, pasal 36, dengan perumusan " Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia" disertai penjelasan. "Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup." Sebagai warga negara Indonesia, setiap orang berkewajiban untuk menyadari betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh untuk kelahiran sebuah bahasa negara. Dalam kewajiban tersebut terkandung keharusan untuk menggunakannya secara baik dan benar dan lebih dari itu ialah kewajiban untuk mempertahankan dan mengembangkannya. Hal tersebut antara lain juga disebabkan fungsi bahasa Indonesia sebagai penghubung berbagai bahasa daerah Nusantara dalam membentuk satu masyarakat bahasa (Masinambow, 1985 : Kompas 18 Januari), atau seperti yang dikatakan Einar Haugen (1966:927),"A language is the medium of communication between speakers of different dialects.""
1987
D67
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Fatimah Djajasudarmi
"Disertasi ini mengkaji sebanyak 421 'kecap anteuran (selanjutnya disebut KA) bahasa Sunda. Unsur ini telah diakui kehadirannya di dalam bahasa Sunda sejak Rigg (1862). Rigg menyebut KA dengan idiomatic expressions di dalam kamusnya. Kehadiran kamus Rigg (1862) dianggap sebagai langkah awal bagi ilmu bahasa Sunda.
Istilah KA bermacam-macam, ada yang menyebut
(1) idiornatische uitdrukking (Uilkens, 1875),
(2) tusschenwerpsel (Coolsma, 1873; Oosting, 1884; Lezer, 1931), (3) kecap pangariteur pagawean (Ardiwinata, 1916; Wirakusumah
dan Djajawiguna, 1969),
(4) umpak basa (Kern, 1943),
(5) kecap anteuran (Satjadibrata, 1944; Adiwidjaja,1951; Fokker, 1952; Nataprawira, 1953);
(6) morfem anteuran (Sukanda, 1979);
(7) morfem inkoatif (Djajasudarma, 1980."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1986
D100
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Bawa
"ABSTRAK
Daerah Tingkat I Propinsi Bali, yang merupakan lokasi penelitian ini, terdiri dari lima buah pulau yang berpenghuni dan sebuah pulau lagi yang tidak ada penduduknya. Lima buah pulau yang berpenghuni itu adalah pulau Bali, pulau Nusa Penida, pulau Nusa Ceningan, pulau Nusa Lemongan, dan pulau Serangano Pulau Bali merupakan pulau yang paling besar, Pulau"
1983
D1646
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library