Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Halida Bunga Fisandra
"Diskusi mengenai orkestra di Indonesia tak jauh dari perdebatan dan pencarian jawaban atas legitimasinya sebagai kesenian Indonesia dan identitas nasional. Sejumlah kajian lebih rinci mencoba untuk menemukan genre dan konstruksi karya musik yang sifatnya deterministik. Sehingga, representasi karya musik dapat dibaca sebagai simbol yang memanifestasi nilai-nilai ke-Indonesia-an. Hal ini banyak ditemukan khususnya pada karya-karya yang mengeksplorasi orkestra dengan musik tradisi Indonesia. Kerap disebut sebagai musik hybrid, sinkretisme, apropriasi dan cross-culture, jenis musik ini sekadar diletakkan sebagai objek dan cermin dari realita. Melalui antropologi kontemporer, tesis ini mencoba mencari jalan tengah ontologis dan epistemologis fenomena orkestra di Indonesia yang berbeda dari tradisi lama semiotika Saussurean dan filsafat Kantian. Gugatan atas dualisme subjek-objek dalam kajian ini membuka peluang pada penelusuran relasi yang terjalin antara aktor manusia dan non-manusia secara setara. Menggunakan paradigma teknologi dari Heidegger, musik akan dilihat sebagai rentetan proses yang bukan tanpa cela dan tak sekadar alat mencapai tujuan utopis. Melainkan, sebagai bagian dari jaringan dan asosiasi yang terus menerus bergerak sebagai peristiwa mediasi yang diliputi kemungkinan nilai dan peristiwa dapat terjadi secara indeterminate dan chaos. Melalui pendekatan Bruno Latour, penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksempurnaan musikal juga merupakan kebenaran realita, yang menjadi celah agar orkestra dapat dimaknai bukan sebagai keberhasilan maupun kegagalan. Melainkan, sebagai proses Menjadi dalam rangkaian eksplorasi musikal yang tak akan pernah selesai.

Discussions about orchestras in Indonesia are not far from debates and searching for answers to their legitimacy as Indonesian art and national identity. Recent studies try to find deterministic genres and the construction of musical works. Thus, the representation of orchestral works can be seen as symbols that manifest Indonesian values. It's often found especially in orchestral works that explore orchestras with Indonesian traditional music. Often referred to as hybrid, syncretism, appropriation, and cross-culture, this type of music is placed as an object and a mirror of reality. Through contemporary anthropology, this thesis tries to find a different ontological and epistemological ground for orchestral phenomena in Indonesia, which is different from the old tradition of Saussurean semiotics and the Kantian tradition of philosophy. The critics against subject-object dualism in this study open an opportunity for exploring relations between equal actants, human and non-human. Through the Heideggerian technological paradigm, music will be seen as a series of processes that are not flawless and not just a means to an end to achieve utopian goals. Rather, as part of networks and associations that are constantly moving as mediating events with the possibility of values and events that are indeterminate and chaos. Through Bruno Latour’s perspective, this research shows that musical imperfection is also the truth of reality, which is a chance where the orchestra can be interpreted not as success or failure. Rather, as a Being-in-the-world in a never-ending process of musical explorations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revina Adisty Santoso
"Skripsi ini membahas tentang peran dan identitas ilustrator di tengah maraknya penggunaan AI Art. Keberadaan AI Art yang mampu menciptakan ilustrasi secara otomatis telah menimbulkan pertanyaan kritis apakah kehadiran kecerdasan buatan ini akan menggantikan peran tradisional ilustrator di masa depan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah wawancara mendalam dengan tiga subjek yang merupakan ilustrator berpengalaman, serta dilakukan observasi terhadap aktivitas mereka di media sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman dan pandangan beragam para ilustrator tentang potensi mereka akan digantikan oleh AI. Ilustrator meyakini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan AI yang mendasari tindakan mereka dalam membuat ilustrasi yang berbeda dengan hasil ilustrasi buatan AI.

This paper discusses the role and identity of the illustrator in the midst of the widespread use of AI Art. The existence of AI Art which is able to create illustrations automatically has raised a critical question whether the presence of artificial intelligence will replace the traditional role of the illustrator in the future. The research method used for this paper is in-depth interviews with three subjects who are experienced illustrators, as well as observing their activities on social media. The results of this study show that illustrators has diverse understanding and views of their potential will be replaced by AI. Illustrators believe they have their own advantages compared to AI which underlies their actions in making illustrations that are different from the illustrations made by AI."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rahul Ananta
"Dalam kegiatan mendesain dan mengembangkan produk di tiket.com, diterapkan banyak metode dan teknik sesuai dengan keahlian masing-masing karyawannya. Proses yang menyelaraskan seluruh alur kerja dari masing-masing individu adalah melalui metode participatory design atau desain partisipatif di mana dalam sebuah kelompok atau organisasi, penggabungan metode desain dan ilmu sosial memungkinkan para pelakunya untuk berkolaborasi dalam menjalankan sebuah proyek desain. Sebagaimana Miller (2017) menyebutkan proses desain partisipatif juga dapat mendorong sebuah proses desain sebagai proses designing with, not designing for. Untuk melanggengkan desain partisipatif pada divisi ini, diperlukan dinamika serta komunikasi yang sesuai agar alur kerja proyek menjadi lancar, tidak hanya bagi pengguna, namun bagi para pelaku desain itu sendiri. Tulisan ini berfokus pada bagaimana proses korespondensi (correspondence) yang melibatkan penulis sebagai salah satu pelaku desain berada di tengah komunitas tiketdesign dapat mengalami serta memahami korespondensi dan prinsipnya yang tergambar pada proses kerja (mendesain dan mengembangkan produk digital sebagai user experience researcher) sebagai bentuk kebiasaan, kepedulian, dan berkehidupan.

Many methods and techniques are used to design and create products at tiket.com, depending on the expertise of each employee. The process that can be stated to be able to align the whole workflow of each worker is through the participatory design method. Groups or organizations that combine design approaches with social sciences enable actors to collaborate on a design project. As Miller (2017) mentions the participatory design process can also encourage a design process as a process of designing with, not designing for. To perpetuate participatory design in this division, it is necessary to have appropriate dynamics and communication so that the project workflow becomes smooth, not only for users, but for the design actors themselves. This paper focuses on how the correspondence process, which involved writer as one of the design actors in the tiketdesign community, was able to experience and understand correspondence and its principles as depicted in the work process (designing and developing digital products as a user experience researcher) as a form of habit, agencing, and attentionality."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Ba'Agil
"Penelitian ini memaparkan kemunculan dan dinamika sebuah komunitas film independen bernama Bale Films yang berada di Desa Cibanteng, daerah pinggiran yang dianggap bukan sebagai pusat dari industri kreatif dan teknologi. Melalui participant observation dan wawancara mendalam ditemukan demokratisasi teknologi memainkan peranan penting untuk menjelaskan kemunculan dan dinamika komunitas film independen di Desa Cibanteng. Demokratisasi teknologi membuat teknologi untuk memproduksi film menjadi murah. Walaupun begitu, kata “murah” begitu relatif di tiap kelas sosial yang ada, perlu proses yang panjang untuk Bale Films memiliki berbagai teknologi produksi film skala kecil. Ditemukan juga, keadaan ini yang membuat teknologi semakin murah menguntungkan perusahaan besar industri film arus utama juga, dengan modal besar perusahaan arus utama mampu membuat film beranggaran besar yang menyingkirkan penawaran dari film independen yang beranggaran rendah, terlokalisasi, dan unik. Kesenjangan antara independen dengan dominasi industri mendorong perdebatan yang bermuara pada kritik budaya yang dilakukan oleh Bale Films sebagai komunitas film independen terhadap dominasi budaya film industri (film nasional arus utama). Kritik-kritik ini berada pada tataran wacana, wacana-wacana berupa film independen merdeka, bebas, jujur, seni di atas uang.

This research show the emergence and dynamics of an independent film community called Bale Films located in Cibanteng village, a suburb that is considered not as the center of creative industry and technology. Through participant observation and in-depth interviews, founds that the democratization of technology plays an important role in explaining the emergence and dynamics of the independent film community in Cibanteng Village. The democratization of technology makes the technology for producing films cheaply. Although word “cheap” is so relative in every existing social class, it takes a long process for Bale Films to have various small-scale film production technologies. Also, this situation makes technology increasingly profitable for the big film industry companies as well, with the large capital of mainstream companies being able to make big-budget films that block the offerings of low-budget, localized, unique independent films. The gap between independent and the domination of the industry, encourages contention which leads to the cultural criticism carried out by Bale Films as an independent film community against the cultural domination of the film industry (mainstream national films). These criticisms are at the level of discourse, discourses in the form of independent, free, honest films, art over money."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valentine Ruth Pebrina
"Media sosial menjadi salah satu bentuk media baru yang paling diminati dewasa ini bagi sejumlah orang ataupun kelompok tertentu dalam merepresentasikan diri mereka. Untuk kondisi ini sangat terlihat jelas sekali dari kehidupan para beauty influencer di media sosial yang menunjukkan intensitas penggunaan media sosial dalam upaya memperoleh engagement atau self curated melalui bentuk konten yang mereka unggah. Tidak bisa dipungkiri dalam menggunakan media sosial tersebut, para beauty influencer memiliki berbagai keyakinan tentang media maupun teknologi baru yang nampak membuat mereka menyadari pilihan medium yang dapat digunakan dalam bermedia sosial. Hal ini yang kemudian menjadi menarik perhatian karena dalam praktiknya para beauty influencer ketika memilih media mereka tidak hanya terpaku pada satu macam media sosial saja, melainkan memiliki media lain yang mereka gunakan sehingga kerap dapat dilihat dalam kaca mata praktik media switching. Berdasarkan fokus media yang menjadi perhatian saya dalam hal ini adalah terkait dengan penggunaan media sosial Instagram dan juga Tik Tok. Terlebih praktik yang diperlihatkan dalam kasus ini berhubungan selama pandemi Covid-19 yang menunjukkan tingginya penggunaan media sosial di masyarakat. Maka berangkat dari itu dalam temuan lapangan saya di penelitian ini dengan melihat berbagai bentuk ideologi media yang terlihat dari pengalaman, pemahaman, dan proses yang diilhami oleh para beauty influencer ketika bermedia sosial seyogianya dapat memperlihatkan bagaimana mereka senantiasa menggunakan media sosial pilihannya untuk mengekspresikan dan menampilkan diri.

Social media has become one of the most sought after media as of late for a number of people or certain groups in representing themselves. For this condition, it seems clear from the lives of beauty influencers on social media who shows the intensity of using social media in an effort to get engagement or self-curated through the forms of content they upload. It can’t be put aside that in using social media the beauty influencers themselves also have various beliefs on the new media and technology which makes them aware of the choices in which medium can be used for social media. This is what is then interesting because in their practice of choosing media they are not limited to one single social media, there are other social medias that they use and from that it is often seen through the practice of social media switching. Based on the media focused on in this, my focus is related to the use of the social media Instagram and Tik Tok. Moreover, the practices shown in this case are related during the Covid-19 pandemic which shows the high use of social media in society. Therefore, from that, within the findings of this research, by looking at the various forms of media ideology seen from the experiences, understandings, and processes of the beauty influencers when using social media it can be seen how they continuously use the social media of their choice to express and present themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfina Nurmayati
"Virtual Youtuber atau sering disebut sebagai VTuber menjadi salah satu entitas unik yang kini muncul di era digital. Kemunculannya yang cukup masif pada akhirnya membentuk suatu komunitas virtual yang memiliki keunikannya sendiri. Interaksi yang terjadi di dalam komunitas VTuber akan selalu berkaitan dengan konten yang dibuat oleh para VTuber. Konten yang dimaksud secara spesifik adalah video atau pun live streaming yang mereka lakukan di Youtube. Melalui konten tersebut interaksi terjadi dan VTuber itu sendiri diakui di dalam komunitas, tetapi dengan konten itu pula terjadi pertukaran nilai dan materiel yang bisa dirasakan oleh VTuber. Penelitian etnografi ini akan membahas sense of community yang dirasakan para VTuber. Lebih lanjut penilitian ini akan membahas konten yang menjadi sarana komunikasi para VTuber di dalam komunitas sekaligus sebagai komoditas dengan kerangka teori komunikasi sebagai ritual.

The Virtual Youtuber, also known as VTuber, is one of the unique entities that have emerged in the internet era. Its massive emergence has eventually formed a virtual community that has its own uniqueness. The interactions that occur within the VTuber community's interactions will always be related to the content that the VTubers produce. The content in question is specifically the videos or live streamings that they do on Youtube. The interaction occurs through the content and the VTubers itself are recognized within the community, but with the content, there is also an exchange of values and materials that can be felt by VTuber. This ethnographic research will discuss the sense of community that the VTubers feel. Furthermore, this research will discuss the content that serves as means of communication for the VTubers within the community as well as a commodity with the theoretical framework of communication as a ritual."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Ratu Salsabila
"Dari adanya adaptasi budaya modern foto prewedding tentu akan memiliki kaitan dengan fenomena lain, terutama dari rangkaian acara pranikah yang sudah ada sebelumnya, seperti tradisi pingitan atau masa dipiare dalam adat kebudayaan masyarakat Betawi. Terdapat modifikasi pada masa piare demi melakukan foto prewedding yang dinilai memiliki nilai yang lebih substansial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak munculnya tren foto prewedding di kalangan generasi milenial dan keterkaitannya dengan praktik masa piare dalam kebudayaan orang Betawi. Penelitian ini juga menggali lebih dalam tentang bagaimana masa piare masa kini direproduksi menjadi aktivitas yang tetap ada namun tidak dijadikan aktivitas wajib yang perlu dilakukan, karena adanya produksi budaya baru yang modern dan dinilai lebih substansial, yakni tren budaya foto prewedding. Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan teori subjectivity, practice, dan cultural value. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik piare saat ini dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Ini karena di masa sekarang calon pengantin milenial harus melakukan beragam aktivitas pranikah seperti technical meeting dengan para vendor, fitting gaun, testing food, bridal shower, dan yang utama yaitu foto prewedding. Hal-hal tersebut dinilai lebih substansial sehingga menjadi alasan para calon pengantin milenial Betawi melakukan negosiasi pada pelaksanaan praktik masa piare dari sebulan menjadi hanya beberapa hari saja.

From the adaptation of modern culture, prewedding photos are related to other phenomena, especially from a series of prewedding events, such as the tradition of the dipiare period among the Betawi people.There was a modification during the piare period due to the practice of prewedding photos which were considered to have substantial value. This study aims to examine the impact of the emergence of the prewedding photo trend among the millennial generation and its relation to the practice of piare in Betawi culture. This research also digs deeper into how the current piare period is reproduced into an activity that still exists but is not mandatory, due to the existence of a new, modern cultural production, known as the prewedding photo trend. In this research, the theory of subjectivity, practice, and cultural values is used. The results of the study show that the current practice of piare is considered no longer relevant to the times. This is because nowadays millennial brides-to-be have to carry out various prewedding activities such as technical meetings with vendors, dress fittings, food testing, bridal showers, and most importantly, prewedding photos. These things are considered to be more substantial, so they are the reason for Betawi millennial brides to negotiate the implementation of the piare period from a month to just a few days."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikri Muhammad Isthafa
"Sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan kota dengan penduduk yang memiliki beragam latar belakang. Sebagai kota modern, kota Jakarta memiliki sebuah tempat yang merupakan cerminan dari masyarakatnya, terbentuk melalui internet menjadi dunia digital kota Jakarta. Sebagai digital natives, generasi Z kota Jakarta merupakan kelompok masyarakat yang paling familier dengan ruang virtual kota Jakarta. Generasi Z kota Jakarta memiliki peran penting dalam proses terbentuknya fenomena budaya populer. Makalah ini akan membahas mengenai peran generasi Z dalam ruang virtual kota Jakarta sebagai kunci dari terbentuknya budaya populer, dengan menggunakan konsep antropologi digital dari Horst dan Miller mengenai materialitas. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data makalah adalah studi literatur dengan mengkaji data-data berupa buku dan artikel. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa beberapa fenomena budaya populer kota Jakarta merupakan sebuah fenomena yang mendapatkan atensi masyarakat luas berkat bantuan generasi Z kota Jakarta.

As the national capital, Jakarta is a city with people from various backgrounds. As a modern city, the city of Jakarta has a place that is a reflection of its people, formed through the internet to become the digital world of the city of Jakarta. As digital natives, Generation Z of Jakarta is a group of people who are most familier with the virtual space of Jakarta. Generation Z of Jakarta has an important role in the formation of popular culture phenomena. This paper will discuss the role of generation Z in the virtual space of the city of Jakarta as the key to the formation of popular culture, using Horst and Miller's digital anthropological concept of materiality. The method used in collecting paper data is a literature study by examining data in the form of books and articles. Based on the results of the research, it can be concluded that several popular cultural phenomena in the city of Jakarta are phenomena that have received the attention of the wider community thanks to the help of generation Z in the city of Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Putra Naim
"Pembentukan kota melibatkan dinamika hubungan antara ruang dan para aktornya. Proses konstruksi ruang terjadi melalui rutinitas, praktik, dan kontestasi, melibatkan berbagai elemen dinamis seperti masyarakat. Fokus penelitian ini adalah Halte Universitas Pancasila di Jakarta Selatan, yang seharusnya berfungsi sebagai tempat naik-turun penumpang, namun justru menghadirkan bentuk konflik efisiensi kota. Penelitian ini berupaya mengeksplorasi dinamika ruang publik dengan menggali analisis rutinitas, praktik, dan kontestasi antara berbagai aktor pengguna halte juga merupakan hasil dari adanya relasi kuasa. Hasil penelitian mengungkap konflik efisiensi kota yang muncul akibat keberadaan pedagang kaki lima dan ojek di halte. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi partisipatoris dan wawancara, penelitian ini mencoba merefleksikan kehidupan publik yang kompleks di perkotaan, dengan menyoroti persepsi aktor terhadap ruang publik dan pemaknaan baru terhadap ruang yang tidak hanya berdasarkan fungsi utamanya, tetapi juga melibatkan kegunaan alternatif.

City formation involves the dynamics of the relationship between space and its actors. The process of space construction occurs through routines, practices, and contestation, involving various dynamic elements such as society. The focus of this research is the Pancasila University bus stop in South Jakarta, which is supposed to function as a place for passengers to get on and off, but instead presents a form of conflict in city efficiency. This research seeks to maximize the dynamics of public space by exploring the analysis of routines, practices, and contestations between various actors who use bus stops and are also the result of power relations. The results of the research reveal that city efficiency conflicts arise due to the presence of street vendors and motorcycle taxis at bus stops. By using data collection techniques such as observation and interviews, this research tries to reflect the complex public life in cities, by highlighting actors' perceptions of public space and new meanings of space that are not only based on their main function but also involve alternative uses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Rifia Bella
"Tulisan ini menawarkan pendekatan etnografi kolaborasi dalam melihat dan memahami fenomena kepunahan bahasa melalui kacamata antropologi linguistik kontemporer, khususnya pada masyarakat Hamap, Alor, Nusa Tenggara Timur. Meskipun masyarakat Hamap dinyatakan mengalami kepunahan bahasa, mereka tidak merasa bahasa Hamap mengalami kepunahan. Dalam upaya making sense kenyataan dari kepunahan bahasa perlu adanya preposisi dengan bantuan metodologi yang arif dalam melihat bahasa yang hadir dalam interaksi dan dinamika sosial di masyarakat. Permasalahan sebelumnya adalah, mayoritas metodologi terdahulu melihat kepunahan bahasa dengan penyelamatan melalui pakem-pakem umum (konservasi, dokumentasi, revitalisasi), penyelamatan gramatikal (seperti pembuatan kamus dan penghitungan bahasa) sehingga analisis partikularitas pada masyarakat yang diteliti tidak terlihat. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan etnografi kolaborasi dapat menjadi alternatif dalam mengidentifikasi dan juga menganalisis persoalan kepunahan bahasa. Dengan pendekatan etnografi kolaborasi, ditemukan bahwa di tengah status kepunahan bahasa, terdapat penggunaan bahasa Hamap pada situasi-situasi dan kondisi-kondisi tertentu. Terutama di tengah kondisi masyarakat Hamap yang hidup berdampingan dengan tiga kelompok etnis lainnya, yakni Klon, Abui, dan Kui. Selain itu juga, dalam tulisan ini saya mencoba mempertanyakan kembali konsepsi mengenai kepunahan bahasa yang sudah menghegemoni dengan memperlihatkan praktik-praktik berbahasa yang nyata terjadi di masyarakat Hamap

This thesis presents a collaborative ethnographic approach to observing and understanding language extinction phenomena through the lens of contemporary linguistic anthropology, specifically within the Hamap community in Alor, East Nusa Tenggara. Despite the Hamap community being acknowledged as experiencing language extinction, they do not perceive the Hamap language as endangered. To make sense of the reality of language extinction, there is a need for prepositions aided by a judicious methodology to examine the language present in interactions and social dynamics within the community. The previous issue was that the majority of earlier methodologies viewed language extinction through general frameworks (conservation, documentation, revitalization) and grammatical preservation (such as creating dictionaries and language counts), neglecting the analysis of particularities within the studied community. Therefore, this research indicates that the collaborative ethnographic approach can be an alternative in identifying and analyzing language extinction issues. Through this approach, it was found that amidst the endangered status, the Hamap language is still used in specific situations and conditions. This is particularly evident in the context of the Hamap community coexisting with three other ethnic groups: Klon, Abui, and Kui. Additionally, in this writing, I attempt to question the prevailing conception of language extinction by demonstrating actual language practices occurring in the Hamap community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>