Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Dhani Saleh
"Latar Belakang: Ekspresi TIMP-2 (Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-2) secara imunohistokimia digunakan untuk menentukan sifat invasif lokal ameloblastoma yang berkaitan dengan kemampuan rekurensi.
Tujuan: Mengevaluasi ekspresi TIMP-2 secara imunohistokimia pada ameloblastoma pleksiform dan folikuler.
Metode: Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia pada sampel ameloblastoma pleksiform (n=16) dan folikuler (n=14) dengan antibodi monoklonal TIMP-2. Ekspresi imunohistokimia TIMP-2 dinilai dengan software Image J.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi TIMP-2 pada ameloblastoma pleksiform dan folikuler pada uji Chi-Square dengan nilai signifikan p=0.072 (p>0.05).
Pembahasan: Ekspresi TIMP-2 yang lemah berkaitan dengan meningkatnya kemampuan invasif lokal ameloblastoma.
Kesimpulan: Ameloblastoma pleksiform dan folikuler sama-sama memiliki kemampuan invasif lokal yang sama.

Background: Expression of TIMP-2 (Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-2) immunohistochemically was used to evaluate local invasive characteristic of ameloblastomas which contributed to recurrence.
Objective: To evaluate expression of TIMP-2 in plexiform and follicular ameloblastoma.
Method: Plexiform (n=16) and follicular (n=14) ameloblastoma?s samples were immunohistochemically examined with monoclonal antibody TIMP-2. Expression of TIMP-2 was evaluated with Image J software.
Result: No significant difference of immunohistochemical expression of TIMP-2 between plexiform and follicular ameloblastoma p=0.072 (p>0.05), that was analyzed with Chi-Square test.
Discussion: Low grade TIMP-2 expression was contributed to local invasive capacity of ameloblastomas.
Conclusion: Plexiform and follicular ameloblastoma have similarity in capacity of local invasiveness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rum
"LatarBelakang: Struktur dentokraniofasial pada anak dengan celah bibir dan langit-langit yang ditangani dengan prosedur bedah, akan mempengaruhi pertumbuhan maksila, namun tidak mempengaruhi struktur dan posisi mandibula. Disproporsional atau kelainan dentofasial dapat terjadi apabila pertumbuhan maksila tidak sejalan dengan pertumbuhan mandibula sehingga untuk mencapai keberhasilan perawatan perlu memperhatikan keadaan pertumbuhan dan perkembangan anak terutama pada kasus yang diindikasikan perawatan orthodonti disertai bedah orthognatik, dimana waktu dilakukan bedah pada saat pertumbuhan telah selesai. Dalam mengidentifikasi tahap pertumbuhan dapat digunakan beberapa indikator seperti usia kronologis, tinggi dan berat badan, perkembangan gigi geligi dan karakteristik maturasi seksual yaitu menstruasi pada wanita dan perubahan suara pada pria. Indikator lainnya adalah perkembangan skeletal yang umumnya dilakukan melalui pemeriksaan foto radiografik. Penentuan maturasi skeletal dengan mengevaluasi marurasi tulang karpal, sangat membantu untuk menetapkan diagnosis dan merencanakan perawatan yang tepat.
Tujuan: Untuk menilai tahap maturasi tulang karpal penderita celah bibir dan/atau langitlangit usia 15 - 20 tahun.
Bahan dan Cara : Dilakukan pengambilan rontgen foto karpal tangan kiri pada 25 sampel, hasil radiografi dilakukan analisa dengan maturasi skeletal indeks. Dari data yang didapat dilakukan uji statistik chi-squere.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tahap maturasi tulang karpal pada penderita celah bibir dan langit-langit pada kelompok umur 15-17 tahun, sangat bervariasi. Pada kelompok umur 18-20 tahun, baik lakilaki dan perempuan tahap maturasi skeletal telah selesai. Hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan maturasi skeletal yang bermakna antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan :.Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara maturasi skeletal kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan pada penderita celah bibir dan/atau langit-langit.

Background : Dentocraniofacial structure in children with cleft lip and palate treated with surgical procedures, will affect the growth of the maxilla, but does not affect the structure and position of the mandible. Disproportionate or dentofacial abnormalities can occur when the growth of the maxilla is not in line with the growth of the mandible so as to achieve treatment success should pay attention to the state of growth and development of children, especially in the case of the indicated treatment with surgical orthodontic orthognatic, where surgery is the time when growth has been completed. In the growth stage can be used to identify some indicators such as chronological age, height and weight, the development of teeth and characteristics of sexual maturation that menstruation in women and in men the sound changes. Another indicator is the skeletal development which is generally done through radiographic examination. Determination of skeletal maturation by evaluating marurasi carpal bones, is helpful to establish the diagnosis and appropriate treatment plan.
Objectives : To assess patients with carpal bone maturation stage cleft lip and/or palate aged 15-20 years.
Material and Method : Hand wrist x-ray image of the left hand on 25 sample, result of radiograph performed analysis with Skeletal Maturation Index (SMI). The data was performed statistical analysis chi-squere test.
Results : The results showed carpal bone maturation stage in patients with cleft lip and palate in the age group 15-17 years, are very varied. In the age group 18-20 years, both male and female skeletal maturation stage has been completed. The test result showed statistically differences in skeletal maturation between male and female with cleft lip and palate on Skeletal Maturation Index (SMI).
Conclusion: From this study it can be conclude that there significant differences male skeletal maturation compared to female of children with cleft lip and palate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tri Susilo
"Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO.
Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO.
Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV.
Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm.
Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.

Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus.
Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO.
Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV.
Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm.
Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Yohan Edward
"Defek tulang merupakan kondisi yang sering dijumpai di daerah mulut dan maksilofasial. Rekonstruksi perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan material tandur tulang sintetik, salah satunya adalah biomaterial komposit hidroksiapatit-kitosan. Suatu biomaterial yang bertindak sebagai bahan tandur tulang harus memiliki kemampuan bioaktivitas, yang dinilai secara in vitro dari kemampuannya membentuk lapisan bone-like apatite pada permukaannya setelah diberikan perlakuan dalam cairan yang analog plasma tubuh. Pada uji in vitro dalam simulated body fluid selama 2, 4, 6 dan 8 hari nampak terbentuk lapisan bone-like apatite pada permukaan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan SEM dan XRD.

Bone defect in oral and maxillofacial region is common occurred. Reconstruction, regardless the etiology is required. Bone graft materials as reconstruction material can be made synthetically, one of them is hydroxyapatite-chitosan composite. This biomaterial needs bioactive ability to act as bone graft. Bioactive ability can be examined by the formation of bone-like apatite on the composite surface after incubating in human plasma analogue solution. In this study, the hydroxyapatite-chitosan granules show bone-like apatite formation on the surface after incubation in simulated body fluid which then confirmed using SEM and XRD analysis for 2, 4, 6 and 8 days."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lully Kurniawan
"Latar Belakang : Defek pada mandibula yang tidak direkonstruksi dapat menyebabkan
morbiditas yang berat seperti gangguan mastikasi, bicara, dan estetika. Defek mandibula
dapat disebabkan oleh berbagai sebab diantaranya trauma, infeksi, kondisi patologis,
dan kongenital. Diperlukan tindakan rekonstruksi untuk memperbaiki defek tersebut.
Penggunaan autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal
rekonstruksi. Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat
dua pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di Indonesia sendiri,
penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan
akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Pemilihan rekonstruksi defek yang
lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft
memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak
membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang
lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorbsi dan infeksi pada
non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non
vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan
graft tersebut
Tujuan : Mengevaluasi pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan
autogenous bone graft pada penyembuhan tulang mandibula (studi pada Ovis aries
sebagai model manusia). Material dan Metode : Penelitian metode quasi eksperimental dengan bentuk post test
with control group design ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh Platelet Rich
Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft pada penyembuhan
mandibula Ovis aries secara klinis dan laboratoris (studi pada Ovis aries sebagai model
manusia).
Kesimpulan : Pemeriksaan klinis pada PRP dan Non-PRP dari hasil rata-rata tidak
terdapat perbedaan yang bermakna. Pemeriksaan laboratoris pada PRP dengan Non-
PRP sebelum dan sesudah operasi juga didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna

Background: Mandibular defects that are not reconstructed can cause serious
morbidity such as impaired mastication, speech, aesthetics. Mandibular defects can be
caused by a variety of causes including trauma, infection, pathological conditions and
congenital. Reconstruction is required to correct the defect. Autogenus bone graft is
still the main choice in terms of reconstruction. In mandibular defects there are two
options, vascularized graft and non vascularized graft. In Indonesia, the use of
vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools
and operator limitations. The selection of reconstruction of more reliable defects i.e.
with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages
namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not
require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorbsi
and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer
non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft.
Purpose: Evaluating the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with
autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries as a human
model).
Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was
conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed withautogenous bone graft in clinical examination and laboratoris in sheep (Ovis aries as a
human model).
Conclusion: Clinical examination in PRP with Non-PRP from the average result there
is not a meaningful difference. Laboratory examination before and after operation in
PRP with Non-PRP also obtained not significantly different meaning
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Eka Saputra
"

Latar belakang: Kista dan tumor odontogenik adalah lesi yang terjadi pada rahang dan berasal dari sisa epitel pembentuk gigi. EGFR adalah salah satu reseptor growth factor yang penting sebagai regulator proliferasi dan diferensiasi sel, diantaranya perkembangan dan morfogenesis gigi. EGFR juga dikenal  sebagai proto onkogen yang menginisiasi signalling pathway pada terjadinya beberapa tumor ganas. Penelitian melaporkan adanya peningkatan ekspresi EGFR pada beberapa kista dan tumor odontogenik sebagaimana yang terjadi pada tumor ganas. Tujuan: Untuk melihat dan membuat suatu profil ekspresi EGFR pada kista dan tumor odontogenik. Metode penelitian: 73 blok parafin kista dan tumor odontogenik didapatkan secara consecutive sampling dari data spesimen pada Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSUPN-CM selama periode November 2015 – November 2019. Seluruh sampel diperiksa secara imunohistokimia menggunakan antibodi EGFR.  Hasil: Didapatkan 7 jenis lesi odontogenik: kista radikular (4), kista dentigerous (5), OKC (5), ameloblastoma (54), AOT (1), CEOT (2), ameloblastic carcinoma (2). Seluruh sampel memberikan ekspresi EGFR yang positif, dengan lokasi ekspresi pada sitoplasma. Skor EGFR bervariasi antara 1-2 dengan rerata 1,34. Intensitas beragam terdiri dari 41 % sampel lemah, 48% sampel sedang dan 11% sampel kuat.  Kesimpulan: EGFR berperan dalam terjadinya kista dan tumor odontogenik. Lokasi pulasan yang dominan terjadi pada sitoplasma sesuai dengan karakteristik kista dan tumor odontogenik yang tumbuh dan berkembang lambat.

 


Background: Odontogenic cysts and tumors are lesions that occur in the jaw and derived from the remnants of tooth-forming epithelium. EGFR is one of  the growth factor receptors that is important as a regulator of cells proliferation and differentiation, including the development and morphogenesis of the tooth.  EGFR is also known as a protooncogen which initiates signalling pathway in the occurrence of several malignant tumors. Recent studies have reports an increase EGFR expression on odontogenic cysts and tumors as occurs in malignant tumors. Objective: This study aims to observe and make an expression profile of odontogenic cysts and tumors. Method: 73 paraffin blocks were collected through consecutive sampling from speciment data in Pathological Anatomy Department FKUI/RSUPN-CM during 2015 – 2019 period. The EGFR expression were detected using immunohistochemistry. Results: There were 7 types of odontogenic lesion: radicular cyst (4), dentigerous cyst (5), OKC (5), ameloblastoma (54), AOT (1), CEOT (2), ameloblastic carcinoma (2). All samples showed positive expression of EGFR and staining location on cytoplasm. EGFR score was vary between 1 – 2 with a mean of 1,34. Intensity of staining were consisted of 41% samples have weak staining, 48% samples have moderate staining and 11% sampels have strong staining Conclusion: EGFR have a role in the occurance of odontogenic cysts and tumors. All the staining location occurs in the cytoplasm was appropriate to the characteristics of these lessions that grows and develops slowly.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Ramadhan
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis menganalisis hubungan antara infeksi odontogenik dengan terjadinya komplikasi infeksi sistemik. Penelitian ini merupakan sebuah studi cross sectional dengan desain retrospektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyebaran infeksi odontogenik berdasarkan tingkat keparahan menurut Flynn Severity Score terhadap komplikasi infeksi sistemik servikal sellulitis maupun DNM, Sedangkan pada komplikasi infeksi sistemik sepsis, maka kelompok usia pasien dan penyakit penyerta memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya komplikasi infeksi sistemik sepsis tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat keparahan menurut Flynn Severity Score, usia pasien dan penyakit penyerta dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi infeksi sistemik berupa servikal selullitis, DNM maupun sepsis.

This study aims to analyze the relationship between odontogenic infections and the complications of systemic infections. This is a cross sectional study with a retrospective design. The results of this study indicate that there is a significant relationship between the spread of odontogenic infection based on the severity according to the Flynn Severity Score on complications of cervical systemic infection, DNM and sepsis, regarding complications of systemic infections in sepsis group, the patient’s age and accompanying diseases have a significant influence on the occurrence of complications of the sepsis systemic infection. As a conclusion, based on Flynn Severity Score, the patient’s age and accompanying diseases can influence the occurrence of complications of systemic infections in the form of cervical sellulitis, DNM and sepsis
 
 

Keywords: cervical cellulitis, DNM, odontogenic infection, sepsis

 

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariefianto Yudhi Nugroho
"Latar Belakang : Teknik bone engineering dalam rekonstruksi mandibula banyak dilakukan di bidang bedah mulut guna keberhasilan proses rehabilitasi. Penambahan dua hal yang memungkinkan untuk membantu proses penyembuhan adalah dengan bone graft dan penambahan growth factors seperti Platelet Rich Plasma (PRP). Penggunaan bone graft pada defek tulang yang besar dapat membantu penyembuhan luka. Autogenous bone graft merupakan jenis graft yang paling sering digunakan, dikarenakan sifatnya yang osteogenik, osteoconductive dan osteoinductive. Vascularized bone graft merupakan terapi pilihan pada defek mandibula dengan panjang lebih dari 6 cm. Namun non vascularized bone graft juga menjadi pilihan karena memiliki beberapa keuntungan seperti kontur yang lebih baik, memiliki volume tulang yang cukup untuk keperluan estetik atau insersi implan. Serta merupakan terapi pilihan pada defek tulang kurang dari 6 cm. Tetapi resiko resorpsi pada non vascularized bone graft lebih besar. Penambahan PRP yang mengandung banyak growth factor dapat membantu proses rehabilitasi penyembuhan jaringan tulang. Salah satunya TGF-β yang membantu peningkatan jumlah osteoblas untuk penyembuhan jaringan tulang. Pada penelitian ini penambahan PRP pada autogenous bone graft non vascularized diharapkan mampu membantu penyembuhan tulang, dengan melakukan pengamatan pada jumlah osteoblas. Tujuan : Mengevaluasi pengaruh penambahan platelet rich plasma pada penyembuhan tulang mandibula dengan autogenous bone graft dilihat dari jumlah osteoblas (studi pada Ovis Aries) Material dan Metode : Penelitian quasi eksperimental in vivo dengan membagi dua kelompok, kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan penambahan PRP. Kemudian dilakukan evaluasi pengaruh pemberian platelet rich plasma pada penyembuhan tulang mandibula dengan autogenous bone graft dilihat dari jumlah osteoblas (studi pada Ovis Aries) Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna antara jumlah osteoblas kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan penambahan PR

Background: Bone engineering techniques in mandibular reconstruction are mostly performed in the field of oral surgery for the success of the rehabilitation process. Two additional things that make it possible to help the healing process are bone graft and the addition of growth factors such as Platelet rich plasma (PRP). The use of bone grafts in large bone defects can aid in wound healing. Autogenous bone graft is the type of graft that is most often used, because of its osteogenik, osteoconductive and osteoinductive properties. Vascularized bone graft is the treatment of choice in mandibular defects longer than 6 cm. However, non-vascularized bone graft is also an option because it has several advantages such as better contours, having sufficient bone volume for aesthetic purposes or implant insertion. And is the treatment of choice for bone defects less than 6 cm. But the risk of resorption in the non-vascularized bone graft is greater. The addition of PRP which contains a lot of growth factors can help the rehabilitation process of healing bone tissue. One of them is TGF-β which helps increase the number of osteoblass for healing bone tissue. In this study, the addition of PRP to non-vascularized autogenous bone graft is expected to be able to help bone healing, by observing the number of osteoblass. Objective: To evaluate the effect of platelet rich plasma administration on the healing of mandibular bone with autogenous bone graft based on the number of osteoblass (study on Ovis Aries). Material and Methods: This in vivo analytical experimental study was divided into two groups, a group with autogenous bone graft and a group with autogenous bone graft and the addition of PRP. Then an evaluation of the effect of platelet rich plasma on the healing of mandibular bone with autogenous bone graft was evaluated from the number of osteoblass (study in Ovis Aries). Conclusion: There is a significant difference between the number of osteoblass in the group with autogenous bone graft and the group with autogenous bone graft and the addition of PRP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library