Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jan Halmaher Amili
Abstrak :
Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer. Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum. Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut. ......Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesn't have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan suatu permasalahan utama kesehatan dengan risiko seumur hidup pada perempuan yang menjalani paling sedikitnya satu kali intervensi pembedahan prolaps. Retensio urin pasca operasi rekonstruksi prolaps organ panggul disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari pemeriksaan hingga penanganan pasca operasi yang berkontribusi terhadap terjadinya retensio urin. Penelitian di RSCM tentang penggunaan kateter 24 jam pada pasien pasca operasi prolapse organ panggul terhadap insiden retensio urin adalah sebesar 29,5%. Penelitian ini akan melakukan perbandingan penggunaan kateter 24 jam yang dibandingkan kateter 48 jam terhadap insiden retensio urin yang nantinya akan menjadi standar baku terbaru di RSCM dan RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Tujuan: Untuk mengetahui mana di antara kateter 24 jam dan 48 jam yang lebih baik untuk mengurangi angka kejadian retensio urin pascaoperasi prolaps organ panggul. Metode: Penelitian diagnosa, uji klinis acak, pengambilan sampel berturut-turut. Perbandingan antara kateter 24 jam dan 48 jam setelah operasi prolaps organ panggul Hasil: Total 54 subjek dalam penelitian ini, 3 subjek (11,1%) di antara 27 subjek dengan kateter 24 jam mengalami retensio urin. 1 subjek (3,7%) di antara 27 subjek dengan kateter 48 jam mengalami retensio urin. Kesimpulan: Penggunaan kateter 48 jam pascaoperasi prolaps organ panggul lebih baik daripada kateter 24 jam dalam mengurangi angka kejadian retensio urin. ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) is a major health problem with a lifetime risk in women who undergo at least one prolapse surgical intervention. Postoperative retention of urine pelvic organ prolapse reconstruction is caused by a number of factors ranging from examinations to postoperative clients that contribute to the occurrence of urinary retention. Research at the RSCM about 24- hour catheter use in postoperative pelvic organ prolapse patients for the incidence of urinary retention was 29.5%. This study will compare the use of a 24-hour catheter compared to a 48-hour catheter against the incidence of urinary retention which will later become the latest standard in RSCM and RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Objective: To know which one among 24-hour and 48-hour catheter is better to decrease incidence of urinary retention after pelvic organ prolapse surgery. Methode: Diagnosis research, randomized clinical trial, consecutive sampling. Comparison between 24-hour and 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery Result: Total 54 subjects in this research, 3 subjects (11.1%) among 27 subjects with 24-hour catheter experienced urinary retention. 1 subject (3.7%) among 27 subjects with 48-hour catheter experienced urinary retention. Conclussion: The application of 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery is beter than 24-hour catheter to decrease the incidence of urinary retention.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
Abstrak :
Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer. Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum. Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut.
Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesnt have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond Surya
Abstrak :
Latar belakang: Setiap tahun, lebih dari 135.000 orang di bawah usia 45 tahun didiagnosis kanker. Deteksi dan penatalaksanaan yang baik pada pasien kanker membuat angka harapan hidup meningkat. Kemajuan teknologi di bidang preservasi fungsi reproduksi menjawab permasalahan fungsi reproduksi pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter yang melayani pasien kanker mengenai preservasi fungsi reproduksi. Metode: Studi deskriptif dengan metode potong lintang dilaksanakan di RSUD tipe D di Jakarta dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak 1 November 2017 hingga 31 Agustus 2019. Penelitian ini melibatkan dokter yang melayani pasien kanker. Kami mengeksklusi jika kuesioner tidak lengkap atau tidak dikembalikan kepada peneliti. Penelitian ini dimulai dari translasi, validasi kuesioner, hingga pengambilan subjek penelitian. Data ditampilkan secara deskriptif. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor 926/UN2.F1/ETIK/2017. Hasil: Sebagian besar dokter umum, spesialis, dan subspesialis yang berpartisipasi dalam penelitian ialah 26-30 tahun (65,4%), 31-35 tahun (70,4%), dan 31-40 tahun (53%). Dokter umum paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio (12,1%). Dokter spesialis paling mengetahui preservasi beku sperma (25,4%). Sementara itu, dokter subspesialis paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio, preservasi beku sperma, dan penanganan sebelum tatalaksana kanker (pre-treatment) dengan agonis GNRH (seperti suntikan depot leuprolide) dengan presentase 13%. Preservasi kesuburan sebagai prioritas penting pada pasien kanker yang baru didiagnosis paling banyak menunjukkan sikap positif dari dokter umum (72,0%), dokter spesialis (73,3%), dan dokter subspesialis (100%). Dokter umum paling banyak memiliki perilaku untuk merujuk pasien yang memiliki pertanyaan tentang kesuburan ke spesialis fertilitas (44,4%). Dokter spesialis (54,9%) maupun dokter subspesialis (67%) paling banyak menunjukkan perilaku untuk mediskusikan kemungkinan dampak kondisi pasien dan/ atau penanganan terhadap kesuburan mereka di masa mendatang. Kesimpulan: Preservasi fungsi reproduksi yang paling diketahui dokter umum berbeda dengan dokter spesialis maupun subspesialis. Sikap positif baik pada dokter umum, spesialis, dan subspesialis sama. Perilaku pada dokter umum berbeda dengan dokter spesialis dan subspesialis. ......Introduction: More than 135,000 people under 45 years old diagnosed cancer annually. Good detection and management of cancer patients increases the quality of life. Technology advancement in fertility preservation is the answer for cancer patients. This study aims to determine knowledge, attitude, and practice of practitioners providing health cancer patients about fertility preservation. Methods: Descriptive study with cross-sectional study was conducted in type D government hospital and Dr. Cipto Mangunkusumo hospital in Jakarta between 1st November 2017 and 31st August 2019. This study involved practitioners providing cancer patients. We excluded whether incomplete questionnaire or not submitted to author. Data were described descriptively. It has been verified by ethical committee of Medical Faculty Universitas Indonesia under 926/UN2.F1/ETIK/2017. Results: Most of general practitioners, specialists, and subspecialists participated in this study were 26-30 years old (65.4%), 31-35 years old (70.4%), and 31-40 years old (53%); respectively. General practitioners knew in vitro fertilization (IVF) with embryo cryopreservation (12.1%) at most. Specialists knew most widely sperm cryopreservation (24.5%). Meanwhile, subspecialists knew IVF with embryo cryopreservation, sperm cryopreservation, and cancer pre-pretreatment with GnRH agonist (such as leuprolide injection) with percentage of 13%. Positive attitude of fertility preservation as important priority on cancer patients was showed among general practitioners (72.0%), specialists (73.3%), and subspecialists (100%). General practitioners mostly referred patients to fertility specialist (44.4%). In the meantime, specialists (54.9%) and subspecialists (67%) discussed the possibility of patient condition and/ or treatment to fertility in future at most. Conclusion: The knowledge of fertility preservation is different among general practitioners, specialists, and subspecialists. Positive attitudes among them were similar. Practice between general practitioners and specialists also subspecialists was different.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deniswari Rahayu
Abstrak :
Latar belakang: Hiperandrogen merupakan fenotip yang seingkali ditemukan pada SOPK memiliki peran terhadap perubahan tampilan fisik (hirsutisme dan obesitas) juga infertilitas. Kondisi ini dilaporkan dapat menyebabkan gangguan citra tubuh, kecemasan hingga depresi sehingga juga dapat berkontribusi terhadap kejadian disfungsi seksual. Gangguan fungsi seksual pada wanita seringkali tidak dilaporkan. Sebagai langkah awal, dengan mengetahui hubungan perubahan fisik akibat hiperandrogen dan obesitas terhadap disfungsi seksual, maka diharapkan penatalaksanaan infertilitas pada kasus SOPK dapat dilakukan lebih komprehensif. Tujuan: Mengetahui hubungan antara hiperandrogenisme, profil antropometri (IMT dan rasio pinggang-pinggul), dan disfungsi seksual pada wanita infertil Indonesia dengan SOPK. Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek merupakan 71 wanita infertil dengan SOPK di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia yang berobat pada Desember 2021 – Desember 2022. Hiperandrogenisme biokimiawi dinilai dengan kadar androgen bebas dan rasio LH/FSH sedangkan hiperandrogenisme klinis dinilai menggunakan skor Ferriman-Gallwey dimodifikasi. Profil antropometri dinilai menggunakan IMT dan rasio pinggang-pinggul. Kami menggunakan kuesioner FSFI untuk mengevaluasi disfungsi seksual dan kuesioner HAM-A untuk menilai kecemasan. Hasil: Sebanyak 53,3% subjek mengalami disfungsi seksual, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara hirsutisme, profil antropometri, dan skor disfungsi seksual pada wanita infertil dengan SOPK (p >0,05). Analisis skor keseluruhan domain FSFI menunjukkan bahwa lubrikasi dan kepuasan lebih rendah pada pasien obesitas (p=0,02 dan p=0,03), tetapi ini tidak berkontribusi pada skor disfungsi seksual secara keseluruhan. Selain itu, subjek yang mengalami disfungsi seksual memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi (p<0,005), dengan analisis korelasi menunjukkan bahwa skor FG memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kecemasan. Kesimpulan: Hirsutisme dan profil antropometri tidak terkait dengan disfungsi seksual pada wanita infertil Indonesia dengan SOPK. Namun, hirsutisme dapat berperan dalam menyebabkan kecemasan pada wanita Indonesia dengan SOPK. Penelitian kolaboratif dan kualitatif diperlukan selanjutnya karena fungsi seksual wanita adalah subjek yang kompleks. ......Background: Hyperandrogenism, a phenotype often found in PCOS, plays a role in physical changes (hirsutism and obesity) as well as infertility. This condition is reported to contribute to body image disturbances, anxiety, and even depression, thereby potentially contributing to the occurrence of sexual dysfunction and impacting infertility conditions. Sexual dysfunction in women is often underreported, leading to a lack of in-depth evaluation by clinicians. As a preliminary step, by understanding the relationship between physical changes due to hyperandrogenism and obesity with sexual dysfunction, it is hoped that the management of infertility in PCOS cases in Indonesia can be more comprehensive. Objective: To evaluate the relationship between hiperandrogenism, anthropometric profile (BMI and waist to hip ratio), and sexual dysfunction in infertile Indonesian women with PCOS. Methods: A cross-sectional study was conducted from December 2021 to December 2022 on 71 infertile women with PCOS at Yasmin Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia. Biochemical hyperandrogenism was assessed through free androgen levels and the LH/FSH ratio, while clinical hyperandrogenism was evaluated using the modified Ferriman-Gallwey score. The anthropometric profile was assessed using BMI and waist-to-hip ratio. We utilized the FSFI questionnaire to evaluate sexual dysfunction and the HAM-A questionnaire to assess anxiety. Results: In this study, it was discovered that 53.3% of subjects experienced sexual dysfunction. However, there was no statistically significant relationship between hirsutism, anthropometric profile, and sexual dysfunction score in infertile women with PCOS (p >0.05). Analysis of the overall FSFI domain score revealed that lubrication and satisfaction were lower in patients with obesity (p=0.02 and p=0.03), but this did not contribute to an overall sexual dysfunction score. Also, we found that subjects who experienced sexual dysfunction had a higher anxiety score (p<0.005), with correlation analysis showing that FG scores have a significant positive correlation with anxiety. Conclusions: Hirsutism and anthropometric profile are not associated with sexual dysfunction in infertile Indonnesian women with PCOS. However, hirsutism could play a role in causing anxiety in Indonesian PCOS women. Additional qualitative and collaborative investigation is required as female sexual function is a intricate subject.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistya Ngudi Insan K
Abstrak :
Latar Belakang Masalah utama bagi pasien Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) adalah ketidakmampuan berhubungan seksual dengan baik. Solusinya adalah membuatkan vagina (neovagina) yang diharapkan dapat mengembalikan fungsi seksualnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi seksual pasien MRKH yang telah dilakukan neovagina amnion graft di RSCM secara kuantitatif, mengetahui data genital hiatus dan panjang vagina pasien pasca neovagina dan hubungan antara keduanya dengan fungsi seksual, serta mengetahui persepsi dan pengalaman fungsi seksual pasien pasca neovagina amnion graft secara kualitatif. Metode Penelitian kuantitatif menggunakan desain cross-sectional dengan menilai fungsi seksual pada perempuan MRKH pasca neovagina amnion graft menggunakan kuesioner Female Sexual Function Indeks (FSFI) dengan diameter (genital hiatus) dan panjang vagina sebagai faktor yang berperan terhadap fungsi seksual. Untuk penelitian kualitatif dilakukan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam (cross-sectional survey). Hasil Rerata skor FSFI pada pasien pasca neovagina amnion graft di RSCM adalah 21,4 dengan rerata genital hiatus 2,9 cm, dan rerata panjang vagina 7 cm. Genital Hiatus melebihi 3,14 cm dan panjang vagina kurang dari 6,51 cenderung berkorelasi dengan skor FSFI yang rendah (kurang atau sama dengan 19). Dari pendalaman kualitatif, didapatkan pasien pasca neovagina amnion graft mampu memiliki fungsi seksual dengan baik dan pemendekan vagina menyebabkan disfungsi seksual karena nyeri. Kurangnya komunikasi dan pemanasan, serta kualitas hubungan dengan pasangan mempengaruhi faktor gairah, rangsangan, lubrikasi, orgasme dan kepuasan seksual. Kesimpulan Pentingnya memiliki target panjang vagina minimal 7-9 cm saat pembuatan neovagina pasien MRKH dan kepatuhan pasien dalam melakukan dilatasi untuk menjaga panjang vagina yang cukup. Penelitian lanjutan multisenter diperlukan. ......Background The main problem of Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) patients is the inability to have proper sexual intercourse. Neovagina is one of the solution which is expected to restore patient’s sexual function. The purpose of this study is to determine the sexual function of MRKH patients who had undergone a neovaginal amnion graft at RSCM quantitatively, to assess the genital hiatus and vaginal length of post neovaginal data, and to determine the relationship between perceptions and experiences of sexual function with post-neovaginal amnion graft patients qualitatively. Methods This quantitative study used a cross-sectional design by assessing sexual function in MRKH patients post-neovaginal amnion graft by Female Sexual Function Index (FSFI) questionnaire with genital hiatus and vaginal length as factors that play role in sexual function. Data collection in qualitative study uses in-depth interviews (cross-sectional survey). Results The mean FSFI score in post-neovaginal amnion graft patients at RSCM was 21.4 with an average genital hiatus of 2.9 cm and average vaginal length of 7 cm. Genital hiatus greater than 3.14 cm and vaginal length less than 6.51 tend to correlate with a low FSFI score (less or equal to 19). Post-neovaginal amnion graft patients were able to have better sexual function and vaginal shortening leads to sexual dysfunction due to pain. Lack of communication and foreplay, as well as the quality of relationships with partners affect patient’s arousal, stimulation, lubrication, orgasm and sexual satisfaction. Conclusion It is important to have a target vaginal length of at least 7-9 cm when undergoing neovaginal in MRKH patients. Patient compliance in dilating to maintain sufficient vaginal length also plays an important role. Further multicenter follow-up research is needed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Satrya Wibawa
Abstrak :
Latar belakang: Nyeri perineum adalah keluhan umum di kalangan wanita setelah persalinan pervaginam yang dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Berbagai faktor determinan persalinan telah diidentifikasi berpengaruh terhadap peningkatan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Studi sebelumnya telah berfokus pada nyeri persalinan dan manajemen nyeri pasca operasi caesar tetapi tidak pada faktor yang dapat memperberat derajat nyeri. Tujuan: Menganalisis dan menilai hubungan faktor determinan persalinan pervaginam dan derajat nyeri perineum postpartum dalam 24 jam setelah persalinan pervaginam. Metode: Ini adalah studi kasus-kontrol dengan subyek pasien yang menjalani persalinan pervaginam baik secara spontan atau dengan bantuan alat dengan indikasi apa pun di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama tahun 2020. Nyeri perineum dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dalam waktu 24 jam pasca persalinan setelah pemberian Asam Mefenamat 500mg dosis tunggal secara oral. Perbandingan dilakukan dengan Chi-square atau uji eksak Fisher dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil: Sebanyak 205 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Peningkatan nyeri perineum (VAS 4-10) ditemukan pada 41 kasus (20%). Peningkatan nyeri perineum banyak ditemukan pada subyek berusia di bawah 30 tahun (p=0,04). Ditemukan hubungan bermakna antara berat badan lahir bayi baru lahir > 3.000 gram dengan nyeri perineum (p<0.001) dengan aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). Terdapat juga hubungan bermakna antara derajat robekan perineum dengan nyeri perineum postpartum (p 0,006) dengan aOR 41,25. Prosedur episiotomi juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan nyeri perineum postpartum (p < 0,001) dengan aOR 45,2 Kesimpulan: Berat lahir bayi, derajat robekan perineum, dan episiotomi telah terbukti menjadi faktor yang dapat meningkatkan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan dalam mengelola nyeri perineum postpartum untuk mencegah morbiditas jangka panjang dari persalinan pervaginam. Studi tambahan dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk kesimpulan yang tepat. ......Background: Perineal pain is a common complaint among women after vaginal delivery that may lead to long term morbidity. Various determinant factors in labour have been identified have influence on increasing perineal pain after vaginal delivery. Previous studies have focused on labor pain and post-cesarean delivery pain management but not on the determinant factors. Objective: Analyze and assess the association of determinant factors in vaginal delivery and the postpartum perineal pain within 24 hours after vaginal delivery. Methods: This was case-control study including patient underwent vaginal delivery either spontaneously or with assisted vaginal delivery at any indication at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during 2020. Perineal pain was assessed with Visual Analog Scale (VAS) within 24 hours post delivery after administration of Mefenamic Acid 500mg single dose orally. Comparisons were made with Chi-square or Fisher’s exact test continued with multivariate analysis with logistic regression. Results: A total of 205 subjects were included in the study. Increased perineal pain (VAS 4-10) was found in 41 cases (20%). Increase perineal pain was commonly found in subjects under 30 years old (p = 0.04). Found significant association between newborn birthweight > 3.000 gram with perineal pain (p<0.001) with aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). There was also significant association between degree of perineal tears with postpartum perineal pain (p 0.006) with aOR 41.25. Episiotomy procedure also shows significant association with increase postpartum perineal pain (p < 0.001) with aOR 45.2. Conclusions: Neonatal birthweight, degree of perineal tear, and episiotomy have been shown to be determinant factors increasing perineal pain after vaginal delivery. These factors should be taken into consideration in managing postpartum perineal pain in order to prevent long-term morbidity from vaginal delivery. Additional studies with larger samples are needed for exact conclusion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Astri Purnaningtyas
Abstrak :
Latar belakang: Inkontinensia urin tekanan (IUT) atau Stress Urinary Incontinence (SUI) didefinisikan sebagai kebocoran urin yang tidak disengaja saat aktivitas fisik atau saat bersin atau batuk. Jenis inkontinensia urin ini merupakan yang paling umum terjadi, dengan prevalensi sebesar 23–35% pada kelompok wanita dewasa. Biaya perawatan IUT diperkirakan lebih dari 16 milliar US dollar per tahunnya. Saat ini, terdapat beberapa pilihan terapi IUT, baik bedah hingga non–bedah. Jenis prosedur yang ditanggung oleh sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia adalah teknik Plikasi Kelly dengan efektifitas yang rendah dan rekurensi yang tinggi. Kemampuan regenerasi dari PRP (Platelet–Rich Plasma) menjadi salah satu pertimbangan yang dapat diberikan bagi pasien–pasien IUT yang dilakukan pembedahan Plikasi Kelly. Kemampuan PRP sebagai perekat, diharapkan mampu mengembalikan struktur dan fungsi Ligamentum Pubouretralis melalui aktivasi fibroblas untuk memacu pembentukan kolagen baru dengan biaya yang cukup murah menjadi pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas tindakan Plikasi Kelly di Indonesia. Objektif: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan–perbedaan perbaikan gejala klinis berupa perbaikan kualitas hidup (dinilai menggunakan kuisioner IIQ–7), penurunan berat Tes Pembalut serta kenaikan kadar serum IGF–1 pada pasien IUT yang diberikan penambahan PRP pada saat prosedur pembedahan Plikasi Kelly. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal yang berlangsung di 2 center penelitian, yaitu di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penelitian berlangsung dari bulan Maret 2021 hingga Desember 2021. Sampel penelitian adalah wanita dengan IUT yang menjalani prosedur pembedahan Plikasi Kelly. Hasil: Tidak terdapat perbedaan kualitas hidup (berdasarkan skor kuisioner IIQ–7) antara kelompok studi yang menerima adjuvan PRP dengan kelompok kontrol (4,8 vs 14,3; p=0,104). Rerata perubahan delta Tes Pembalut pada kelompok studi didapatkan lebih tinggi bermakna dibanding kelompok kontrol (49,8 vs 10,8; p=0,03), namun perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh derajat keparahan IUT. Rerata kenaikan kadar serum IGF–1 pada kelompok studi ditemukan lebih tinggi bermakna dibanding kelompok kontrol pasca 3 bulan tindakan operatif (33,5 vs 13; p = 0,000). Kesimpulan: Pemberian PRP sebagai terapi adjuvan pada pasien IUT yang menjalani tindakan Plikasi Kelly memberikan manfaat perbaikan Ligamentum Pubouretralis yang dinilai berdasarkan perbaikan klinis (penurunan berat Tes Pembalut), kenaikan kadar IGF–1, dan peningkatan kualitas hidup (kuisioner IIQ–7). Prosedur injeksi PRP dinilai relatif aman dan efektif dalam meningkatkan efektifitas tindakan Plikasi Kelly. Hasil ini diharapkan dapat memberi bukti klinis untuk rejimen baru terapi IUT yang dapat dilakukan di Indonesia. ......Background: Stress urinary incontinence (SUI) is defined as involuntary urine leakage that occurs during physical activity, sneezing, or coughing. It is the most common type of urinary incontinence, with a prevalence of 23–35% in adult women. The treatment cost for SUI was approximately more than 16 billion US dollars each year. There are plenty of choices for SUI management, from surgical to non–surgical therapies. The procedure covered by Indonesia’s National Health Insurance is Kelly Plication surgery with a low rate of effectiveness and a high chance of recurrent. The Platelet–Rich Plasma (PRP), with its regenerative ability, is considered to be given for patients with SUI that underwent Kelly Plication surgery. The PRP injection, with its ability to act as an adhesive agent, is expected to help restore the Pubourethal Ligament’s structure and function through fibroblast activation to help trigger new collagen formation. Due to it’s low cost required, the PRP injection could be considered to help improve the effectiveness of Kelly Plication Surgery in Indonesia. Objective: The aim of this study was to find the differences in clinical improvements, including the quality of life (measured with IIQ–7 questionnaire), decreased in weight of Pad test results, and increase in IGF–1 serum level in patients with SUI that were given the PRP injection as an adjuvant during Kelly Plication surgery. Methods: Experimental single–blind randomized control trial study in a group of women with SUI that underwent the Kelly Plication Surgery. The study was conducted at 2 study centers in Dr. Cipto Mangunkusumo Central General Hospital, Jakarta, and Dr. Kariadi Central General Hospital, Semarang, from March 2021 to December 2021. Result: There was no significant difference in the quality of life (measured with IIQ–7 questionnaire scores), between the study group which received the PRP adjuvant with the control group (4,8 vs 14,3; p = 0,104). The mean difference score for the weight of Pad test results in the study group was significantly higher than the control group (49,8 vs 10,8; p = 0,03). But this result was influenced by the severity of IUT. The mean increased score for the IGF–1 serum level in the study group was significantly higher than the control group, 3 months after the surgery (33,5 vs 13; p = 0,000). Conclusion: The PRP injection as adjuvant therapy is considered to give more benefits for patients with SUI that underwent Kelly Plication surgery. The repair of the Pubouretral Ligament is measured by the improvement of the symptom (decreased of the Pad Test score), increased IGF–1 serum level, and quality of life improvement (increased of IIQ–7 Questionnaire). The procedure is considered safe and helps improve the effectiveness of the surgery. This result helps to provide clinical evidence for a new therapy regimen that could be applied in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suhair
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul merupakan salah satu kondisi fisik yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan disfungsi seksual pada perempuan. Pembedahan rekonstruksi adalah salah satu pilihan yang dapat dilakukan dalam tatalaksana prolaps organ panggul pada perempuan seksual aktif. Dengan adanya perbaikan anatomis dasar panggul setelah pembedahan, diharapkan akan terjadi perbaikan gejala disfungsi seksual yang terjadi sebelum pembedahan. Objektif: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perubahan gejala disfungsi seksual yang dinilai dengan kuesioner FSFI-6 Indonesia sebelum dan 3 bulan sesudah pembedahan prolaps organ panggul, serta faktor yang mempengaruhinya. Metode: Kohort prospektif observasional pre-post without control study pada perempuan prolaps organ panggul seksual aktif yang direncanakan untuk pembedahan mulai Maret 2020 hingga Mei 2021 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati Jakarta. Dari 33 pasien yang direncanakan pembedahan rekonstruksi, rerata usia 56.83 ± 7.97 tahun, telah diberikan informed consent dan menyetujui untuk mengikuti penelitian, dilakukan pemeriksaan uroginekologi dan pengisisan kuesioner FSFI-6. Tiga bulan setelah pembedahan, dilakukan pengisisan kuesioner kedua dan pemeriksaan kembali di poli uroginekologi. Terdapat 3 pasien drop out dari penelitian, sehingga jumlah data yang dapat dialanilis adalah 30. Dilakukan analisis data untuk tujuan utama yaitu analisis perubahan skor FSFI setelah pembedahan dan pengaruh dari faktor usia, paritas, indeks massa tubuh, komorbiditas dan derajat prolaps. Sebagai data tambahan dilakukan penilaian perubahan genital hiatus dan total panjang vagina sebelum dan sesudah pembedahan. Hasil: Terdapat perbaikan total skor FSFI-6 sebelum dan sesudah pembedahan prolaps organ panggul yang bermakna dari 15.00±5.42 menjadi 17.90±4.38 dengan rerata perubahan 2.9 (p=0.000). Tidak terdapat pengaruh usia, paritas, IMT, derajat prolaps dan komorbiditas terhadap perubahan total skor FSFI. Rerata perubahan total panjang vagina dari 7.97±0.77 menjadi 6.80±0.87 (p=0.003) dan genital hiatus berkurang dari 5.57 ± 1.0 menjadi 3.28 ± 0.46 (p=0.000). ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) have an impact on sexuality. Few studies evaluate the impact of sexual function after POP surgery showed varied difference results. Reconstructive surgery as a choice to recovery anatomical of pelvic floor in POP was expected to improved sexual function. Objective: The aim of this study to evaluate the changes of total sexual function index and all its domain after reconstructive surgery on POP and determine factors associated with this score changing. Methods: This cohort prospective observasional pre-post without control study performed between March 2020 and May 2021 in 33 patients sexually active with POP, mean age 56.83 ± 7.97 years, underwent reconstructive surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital in Jakarta. All patients gave informed consent and completed the Female Sexual Function Index (FSFI)-6 Indonesian version’s questionnaire before surgery and underwent urogynaecological examination assessment. Three months after surgery patients repeated the FSFI questionnaire and a clinical check-up. There were 3 patients drop out from study and 30 patients complete the questionnaire. The primary end-point was post-operative sexual function as evaluated by the FSFI, the secondary end-points were determined factors associated whether the sexual function was related to age, parity, body mass index, comorbidity or severity of prolaps. The additional aim of this study was to calculate the change of objective anatomical genital hiatus and total vaginal length that measured with POPQ. Results: Preoperatively, the total FSFI score was 15.00 ± 5.42 and postoperatively 17.90 ± 4.38, giving a significant difference of 2.90 ± 1.04 (p<0.001). The median post-operative scores of all domains showed positive improvements. Twenty two women (76.6%) improved their FSFI-6 score postoperatively, six (20%) had an equal score, and one (3.3%) reported a lower score. There was no significant related factors associated the change of sexual function index to age, parity, body mass index, comorbidity and severity of prolapse in this study. In regards to vaginal anatomy, vaginal length was a lite shortly postoperatively from 7.97±0.77 to 6.80±0.87 (p=0.003), and vaginal caliber was significantly narrowed from 5.57 ± 1.0 to 3.28 ± 0.46 width (p=0.000). Conclusions: Our study results demonstrate that reconstructive surgery of POP resulting an improvement of total score sexual function index.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library